Anda di halaman 1dari 5

Kematian kawan-kawan, saudara kandung, orang tua, atau kakek nenek, dapat mengakibatkan

kematian menjadi suatu tema yang penting dalam kehidupan remaja. Kematian kawan-kawan
sebaya yang melakukan tindakan bunuh diri dapat menjadi suatu hal yang sulit diatasi oleh
remaja yang merasa bersalah karena telah gagal mencegah tindakan bunuh diri tersebut
merasa telah di tolak oleh kawan-kawan yang dianggap bertanggung jawab terhadap kematian
itu (Hayslip & Hansson, 2003, h 441).
Remaja mengembangkan konsep lebih abstrak mengenai kematian daripada anak-anak.
Sebgaai contoh, remaja mendeskripsikan kematian dalam pengertian kegelapan, sinar, transisi,
atau ketiadaan (Wenestam dan Wass, 1987). Mereka juga mengembangkan pandangan religius
dan filosofis mengenai hakekat kematian dan apakah terdapat kehidupan setelah kematian.
Masa Dewasa Hingga kini belum terdapat bukti yang menunjukan bahwa di masa dewasa
muda, seseorang mengembangkan sebuh orientasi khusus mengenai perkembangan kematian.
Seiring dengan bertambahnya usia, kesadaran mengenai kematian pada seseorang juga
mneingkat, di mana kesadaran ini biasanya menjadi intensif di masa dewasa menengah. Para
peneliti telah menemukan bahwa orang-orang paruh-baya memiliki ketakutan yang lebih besar
terhadap kematian dibandingkan orang-orang dewasa yang lebih muda atau lebih tua (Kalish
dan Reynolds, 1976). Orang dewasa yang lebih tua didorong untuk lebih sering mengkaji makna
dari kehidupan dan kematian dibandingkan orang-orang yang lebih muda.
Dibandingkan orang-orang deawasa menengah, orang-orang dewasa muda yang mendekati ajal
seing kali lebih merasa hidupnya “dicuri” dibandingkan orang lanjut usia dengan situasi
demikian (Kalish, 198). Orang-orang dewasa muda lebih sering merasa bahwa mereka belum
memperoleh kesempatan untuk melakukan apa yang di ingin mereka lakukan dlama hidupnya.
Orang dewasa muda merasa bahwa mereka kehilangan apa yang sebenarnya ingin mereka raih,
sementara orang dewasa tua merasa bahwa mereka kehilangan apa yang telah mereka milkiki.
Di usia tua, kematian diri sendiri dapat diterima secara lebih baik. Meningkatnya
pemikiran dan percakapan mengenai kematian dan meningkatnya pengahayatan mengenai
integritas yang diperoleh melalui suatu tinjuan hidup, dapat membantu orang lanjut usia
menghadapi kematiannya. Dibandingkan orang-orang yang lebih muda.

4. Menghadapi Kematian Diri Sendiri


Mengetahui bahwa kematian merupakan suatu hal yang tidak terelakan membuat kita
menyusun prioritas dan struktur waktunya. Seiring dengan bertambahnya usia, kita menyadari
waktu hidup menjadi berkurang, di mana hal ini mengakibatkan prioritas dan strukturisasi juga
mengalami perubahan. Contoh jika orang ditanya bagaimana mereka akan menggunakan
waktunya yang tinggal tersisa 6 bulan, jawaban orang muda mungkin akan memperlihatkan
keinginan untuk melakukan aktivitas-aktivitas seperti melakukan perjalanan berkeliling dan
melakukan hal- hal yang belum pernah dilakukan; sementara jawaban orang lanjut usia
mungkin akan mencerminkan aktivitas-aktivitas yang lebih terfokus ke dalam diri-seperti
kontemplasi dan meditasi (Kalish & Reynolds, 1976).
Penelitian terbaru mempelajari 36 orang yang mendekati ajalnya, berusia 38 hingga 92
tahun dengan rata-rata usia 68 tahun (Terry dkk,,2006). Tiga area perhatian yang selalu muncul
adalah (1) privasi dan otonomi, terutama menyangkut keluarga mereka (2) informasi yang tidak
cukup mengenai perubahan fisik dan perawatan medis ketika menjelang ajal; (3) motivasi untuk
memperpendek hidup mereka, yang diindikasikan oleh semua pasien.
TAHAP-TAHAP MENJELANG KEMATIAN MENURUT KUBLER-ROSS
Elisabeth Kubler-Ross (1969) membagi perilaku dan pikiran dari orang yang mendekati ajal ke
dalam lima tahap, yaitu : penolakan dan isolasi, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan
penerimaan.
Penolakan dan isolasi (denial and isolation) adalah tahap pertama dan proses
menjelang kematian sebagaimana dinyatakan oleh Kubler-Ross, di mana orang yang akan
meninggal menyangkal bahwa ia akan meninggal. Ini merupakan reaksi umum yang muncul
pada penyakit terminal. Meskipun demikian, penolakan biasanya hanya merupakan mekanisme
pertahanan diri yang bersifat sementara. Penolakan akan diganti dengan meningkatnya
kesadaran apabila orang tersebut dihadapkan pada hal-hal seperti pertimbangan keuangan,
urusan yang belum selesai, dan kekhawatiran mengenai kelangsungan hidup anggota keluarga
nantinya
Marah (anger) adalah tahap kedua menurut Kubler-Ross, di mana orang yang mendekati
ajal menyadari bahwa penyangkalan yang dilakukan selama tidak dapat dipertahankan lagi.
Penyangkalan memberi jalan bagi munculnya kemarahan, kebencian, kegusuran, dan iri hati.
Realisasi kehilangan ini sangat besar, dan orang-orang yang menjadi simbol kehidupan, energi,
dan fungsi-fungsi yang kompoten, menjadi target utaman kebencian dan kecemburuan orang
yang mendekati ajal tersebut.
Menawar (bargaining) adalah tahap ketiga dari Kubler-Ross, di mana orang tersebut
berharap kematiannya dapat ditunda atau ditangguhkan. Beberapa orang melakukan
penawaran atau negosiasi sering kali kepada Tuhan ketika mereka mencoba menunda
kematiannya. Periode depresi atau persiapan duka-cita dapat saja muncul. Menurut Kubler-
Ross, orang pada tahap ini tidak perlu dihibur karena orang tersebut perlu merenungkan
kematiannya yang akan segera terjadi.
Menerima (acceptance) adalah tahap kelima dari proses menjelang kematian
sebagaimana dikemukakan oleh Kubler-Ross di mana orang tersebut mengembangkan rasa
damai, menerima nasibnya, dan dalam banyak kasus, ingin dibiarkan sendiri. Dalam tahap ini,
perasaan dan rasa sakit pada fisik mungkin hilang.
Bagaimanakah evaluasi terkini mengenai pendekatan Kubler-Ross? Menurut Robert Kastenbaun
(2009), pendekatan Kubler-Ross memiliki beberapa masalah yaitu :
 Keberadaan lima tahap tersebut belum pernah ditunjukan oleh Kubler-Ross atau
penelitian independen.
 Interpretasi terhadap tahap-tahap ini mengakibatkan situasi pasien, termasuk
dukungan relasi, efek tertentu dari penyakit, kewajiban keluarga, dan iklim
institusi di mana mereka diwawancarai .
Dalam menghadapi kematiannya. Beberapa individu terus berjuang hingga akhir,
dengan putus asa mencoba untuk tetap hidup. Mereka tidak kunjung menerima
kematiannya. Beberapa psikolog berpendapat bahwa semakin individu itu berusaha
menghindar dan menolak kematian yang tidak terelakan itu, mereka akan semkain sulit
meninggal dengan tenang dan terhormat; psikolog lain berpendepat bahwa beberapa
individu lebih dapat beradaptasi apabila mereka tidak menghadapi kematiannya secara
langsung (Lifton 1977).
PEMAHAMAN TERHADAP KENDALI DAN PENOLAKAN
Bagi beberapa orang lanjut usia menghadapi kematian, pemahaman terhadap kendali yang
dimiliki dapat menjadi sebuah strategi yang adaptif. Ketika individu dibiarkan untuk memiliki
keyakinan bahwa mereka dapat memengaruhi dan mengendalikan peristiwa seperti
memperpanjang hidupnya mereka dapat menjadi lebih dewasa dan gembira. Ingatlah di Bab
17, pemberian kendali kepada para penghuni panti wreda dapat meningkatkan sikap mereka
dan memperpanjang usia hidupnya (Rodin & Langer, 1977).
Bagi sejumlah individu, penolakan juga dapat menjadi suatu cara yang baik dalam
menghadapi kematian. Cara ini dapat bersikap adaptif maupun maladaptif. Penolakan ini
mencegah individu agar tidak mengatasinya dengan perasaan marah dan terluka; meskipun
demikian, apabila penolakan mencegah kita untuk menjalankan fungsi-fungsi yang dapat
mempertahankan hidup, maka penolakan itu dikatakan bersifat maladaptif. Penolakan dapat
baik ataupun buruk kualitas adaptifnya perlu dievaluasi secara individual.
BEBERAPA KONTEKS DI MANA ORANG MENINGGAL
Bagi individu yang mendekati ajal, konteks di mana mereka meninggal merupakan hal yang
penting. Lebih dari 50 persen orang Amerika meninggal di rumah sakit. Sekitar 20 persen
meninggal di rumah perawatan. Beberapa orang menghabiskan hari-hari terakhirnya dalam
kondisi sendirian dan ketakutan (Clay, 1997).
Rumah sakit menawarkan sejumlah keuntungan penting bagi individu yang mendekati
ajal; sebagai contoh, para staf propesional sudah siap dan dilengkapi dengan teknologi medis
yang dapat memperpanjang hidup. Namun, rumah sakit mungkin bukanlah tempat terbaik bagi
banyak orang untuk meninggal (Pantilat & Isaac, 2008). Sebagian besar individu mengatakan
bahwa mereka lebih memilih meninggal di rumah (Jackson & kawan-kawan, 2010; Kalish &
Reynolds, 1976).
5. Mengatasi Kematian Orang Lain
Dalam hidup, kita dpaat mengalami peristiwa kehilangan dalam berbagai bentuk perceraian,
kematian hewan peliharaan, kehilangan pekerjaan-pengalaman kehilangan yang paling berat
adalah kematian seseorang yang kita cintai dan pedulikan-orangtua, saudara kandung,
pasangan, sanak saudara, atau kawan. Dalam skala yang mengukur stres hidup yang paling
membutuhkan kemampuan penyesuaian, kematian pasangan menempati peringkat tertinggi.
Bagaimanakah cara terbaik yang digunakan untuk berkomunikasi dengan individu menjelang
kematiannya? Bagaiamana cara kita mengatasi kematian seseorang yang kita cintai?
BERKOMUNIKASI DENGAN ORANG YANG MENJELANG AJALNYA
Sebagian besar psikoloh berpendapat bahwa menjelang kematiannya, individu yang
bersangkutan maupun orang-orang terdekat sebaiknya mengetahuinya agar dapat saling
berinteraksi dan berkomuikasi berdasarkan pengetahuan itu (Banja,2005). Apa keuntungan
yang di peroleh dari kesadaran yang terbuka ini bagi individu menjelang kematiannya?
Pertama, individu dapat menyesuaikan hidupnya dengan cara meninggal sesuai keinginanya.
Kedua, mereka dapat menyelesaikan beberapa rencana dan proyek, dapat melakukan
pengaturan bagi orang-orang yang masih hidup, dan dapat berpartisipasi dalam membuat
keputusan mengenai pemakamannya. Ketiga, individu berkesempatan meninjau kembali
hidupnya, bercakap-cakap dengan orang-orang yang penting dalam hidupnya, dan mengakhiri
kehidupannya dengan kesadaran mengenai bagaimana kehidupannya selama ini. Dan keempat,
individu itu menjadi lebih memahami apa yang terjadi dengan tubuhnya dan apa yang
dilakukan oleh para staf medis terhadap tubuhnya (Kalish, 1981).
DUKACITA
Kajian kita mengenai dukacita berfokus pada dimensi-dimensi mengenai dukacita, model dwi
proses dalam mengatasi kehilangan, dan variasi budaya dalam dukacita yang sehat.
Dimensi-dimensi Dukacita. Dukacita (grief) adalah ketumpulan emosi ketidakyakinan,
kecemasan karena keterpisahan (separation anxiety), keputusan, kesedihan, dan kesepian, yang
menyertai kehilangan seseorang yang kita cintai. Dukacita bukanlah suatu kondisi emosional
yang sederhana, melainkan suatu kondisi kompleks yang melibatkan proses dengan berbagai
dimensi. Dalam pandangan ini, meratapi orang yang meningga; adalah dimensi yang penting.
Perasaan merana atau kerinduan mencerminkan harapan atau kebutuhan yang muncul secara
berulang untuk berrtemu kembali dengan orang yang sudah tidak ada. Penelitian terbaru
mengungkap bahwa kematian orang yang dicintai, diikuti oleh kesedihan dan penerimaan
terhadap perasaan negatif terkait orang yang meninggal berangsur-angsur berkurang enam
bulan setelah kematian (Maciejewski&kawan-kawan, 2007). Dalam penelitian ini, merana lebih
umum daripada depresi. Dimensi lain dari duka cita adalah kecemasan karena keterpisahan
(separation anxiety), yang tidak hanya melibatkan perasaan merana dan preokupasi dengan
pikiran-pikiran mengenai orang yang telah meninggal, namun berfokus juga pada tempat dan
hal-hal yang terkait dengan orang yang telah meninggal tersebut, dan juga tangkisan atau
keluhan. Dukacita juga dapat melibatkan perasaan putus asa atau sedih.

Anda mungkin juga menyukai