Oktober 2021
EFUSI PARAPNEUMONIA
iv
SURAT PERNYATAAN
(Muhammad Arif)
iv
ABSTRACT
Parapneumonic effusions are pleural effusions that occur in the pleural space adjacent
to a bacterial pneumonia. When bacteria invade the pleural space, a complicated
parapneumonic effusion or empiema may result. Empiema is collection of pus in
pleural cavity. If left untreated, complicated parapneumonic effusion/empiema leads
pleural thickening. Simple parapneumonic effusions can be managed conservatively
with appropriate antibiotics, but complicated parapneumonic effusions often require
some kind of drainage along with antibiotics. Delay in treatment is associated with
high morbidity and mortality.
ABSTRAK
Efusi parapneumonia adalah efusi pleura yang terjadi di rongga pleura yang
berdekatan dengan pneumonia bakterial. Ketika bakteri menyerang ruang pleura,
efusi parapneumonia atau empiema yang rumit dapat terjadi. Empiema adalah
kumpulan nanah di rongga pleura. Jika tidak diobati, efusi / empiema parapneumonia
yang rumit menyebabkan penebalan pleura. Efusi parapneumonik sederhana dapat
dikelola secara konservatif dengan antibiotik yang sesuai, tetapi efusi parapneumonik
yang rumit seringkali memerlukan semacam drainase bersama dengan antibiotik.
Keterlambatan pengobatan dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
iv
DAFTAR ISI
Contents
HALAMAN SAMPUL i
SURAT PERNYATAAN ii
ABSTRAK iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR TABEL vi
PENDAHULUAN 1
ANATOMI DAN FISIOLOGI 2
EPIDEMIOLOGI 9
ETIOLOGI 10
PATOFISIOLOGI 11
KLASIFIKASI 16
DIAGNOSIS 19
TATALAKSANA 26
KESIMPULAN 34
DAFTAR PUSTAKA 35
iv
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
iv
PENDAHULUAN
1
ANATOMI DAN FISIOLOGI
Paru Manusia terletak pada cavum pleura dengan apex yang terletak
memanjang di atas costa 1, sedangkan basisnya berbentuk konkaf terletak di
permukaan superior diafragma. Pada umumnya, paru kanan berukuran lebih lebar
daripada paru kiri, karena adanya proyeksi jantung ke sisi kiri. Namun, paru kiri
lebih panjang dibandingkan paru kanan karena bentuk kubah diafragma yang lebih
tinggi pada sisi kanan, karena adanya hepar.4 Paru normalnya terdiri atas beberapa
lobus yang dipisahkan oleh fissura-fissura. Fissura interlobaris adalah penjorokan
dalam yang memanjang dari permukaan luar paru hingga ke bagian tengah. Pleura
visceralis turut berlipat-lipat membentuk fissura, sehingga permukaan paru menjadi
licin dan memungkinkan pergerakan bebas setiap lobusnya.4
Paru kanan terdiri atas lobus superior, lobus medius, dan lobus inferior,
dengan fissura minor/horizontal memisahkan lobus superior dan lobus medius,
sementara fissura oblique memisahkan lobus medius dan lobus inferior. Paru kiri
terbagi menjadi lobus atas dan lobus bawah, yang dipisahkan oleh fissura oblique. 4
Paru memiliki dua sistem sirkulasi sirkulasi. Sirkulasi tekanan rendah dan bervolume
tinggi, yang membawa darah dengan saturasi oksigen yang rendah dari ventrikel
dextra ke paru untuk pertukaran gas dengan udara yang dihirup melalui celah
alveolar. Sementara itu, sirkulasi dengan tekanan tinggi dan volume rendah dari
sirkulasi bronkial membawa darah bersaturasi oksigen tinggi menuju jalan nafas,
pleura, dan dinding arteri serta vena pulmonaris (vasa vasora). Arteri pulmonaris
bercabang dan mengikuti alur jalan nafas untuk membentuk kapiler pulmonaris di
dinding alveolar.4
2
Gambar
1. Anatomi topografi segmen bronkopulmoner
Dua jaringan limfatik yang berbeda dapat terlihat pada paru manusia dewasa
yang normal, yaitu plexus profunda yang terletak di jaringan ikat sekitar percabangan
jalan nafas dan plexus superfisial yang membentuk jaringan pleura visceral. Sistem
limfatik dapat membuang 1.5 liter cairan per jam, dan berperan dalam mekanisme
pembersihan edema paru. Pleksus superfisial beranastomosis dengan pleksus
profunda, dan mengalir langsung ke limfonodus mediastinal. 4 Jalan nafas manusia
dipersarafi via nervus otonom aferen dan eferen. Sistem ini mengatur banyak aspek
fungsi jalan nafas, mencakup aliran darah pulmoner, sekresi kelenjar mukus,
3
ventilasi, tonus otot polos jalan nafas, dan refleks batuk. Input dari nervus aferen
menuju sistem saraf pusat diintegrasikan di batang otak dan menghasilkan berbagai
output refleks
4
bervariasi, mulai dari 4.1 hingga 12.7 ml, atau 0.26±0.1 ml per kilogram massa tubuh.
Rata-rata volume cairan pleura kanan berkisar 8.46±4.3 ml, demikian juga sisi kiri.4
Pleura terdiri atas dua lapisan (pleura parietalis dan visceralis) yang bertemu
di hilum dan membentuk lipatan yang disebut ligamen pulmonaris di distal.5 Pleura
parietalis menutupi permukaan dalam rongga thoraks, mediastinum, dan diafragma,
sementara pleura visceralis membungkus permukaan paru, termasuk fissura
4
interlobaris. Kedua lapisan pleura memiliki struktur histologi yang serupa, yaitu
lapisan mesotelial, submesotelial, fibroelastis superfisial, subpleural, dan lapisan
fibroelastis profunda. Pleura visceral memiliki lima lapisan, yaitu sel mesotelial tanpa
membran basement, lapisan submesotelial dengan jaringan ikat longgar, lapisan
elastis, lapisan jaringan ikat longgar interstisial dengan kolagen, pembuluh darah, dan
limfatik, dan lapisan serat elastis dan fibrosa yang melengket erat ke paru. Sedangkan
pleura parietalis hanya memiliki satu lapisan sel mesotelial kuboid yang
dipertahankan dengan jaringan ikat longgar serta pembuluh darah, dan limfatik.6
Tekanan ini bekerja di permukaan pleura sekitar ±6 cm H 2O selama
pernafasan tidal, dan menjadi semakin negatif saat menarik nafas lebih dalam,
terutama pada cranial cavum pleura. Tekanannya berkurang sekitar 0.2 cmH 2O/cm
tinggi badan pada laki-laki.4 Gaya yang mempertahankan paru tetap mengembang
disebabkan karena adanya pengeluaran berlanjut dari cairan pleura melalui pembuluh
limfatik dan kapiler subpleural yang mencegah cairan intrapleural meningkat. Gaya
perlengketan antara permukaan paru dan dinding dada bekerja seperti vakum
simultan di seluruh permukaan pleura, menyebabkan paru mengikuti bentuk dinding
dada saat inspirasi dan ekspirasi.5 Regulasi volume dan komposisi cairan pleura
dipengaruhi oleh banyak mekansime, seperti hukum Starling melalui mesotelium dan
kapiler yang berdekatan, drainase limfatik via stomata pleura parietal, dan aktivitas
sel mesotelial. Namun, mekanisme yang melibatkan seluler hingga saat ini telah
ditolak.4
Pembentukan cairan ini berdasarkan hipotesis Starling. Hipotesis ini
menyatakan bahwa perpindahan cairan terjadi karena adanya gradien tekanan
5
hidrostatik dan tekanan osmotik koloid pada membran, serta adanya permeabilitas
terhadap cairan dan protein di membran tersebut. Kemudian, cairan tersebut dibuang
ke jaringan limfatik. Dinding ductus limfatik mengandung otot polos, dan memiliki
beberapa katup satu arah. Dengan kontraksi dan relaksasi yang terkoordinasi, cairan
limfa secara aktif terpompa dari cavum pleura, yang menimbulkan tekanan
hidrostatik negatif sehingga meningkatkan laju aliran cairan pleura sebagai respon
dari pembentukan cairan dan memastikan cairan pleura tidak menumpuk. Pada
keadaan normal, proses ini seimbang serta cairan pleura tetap terjaga minimal dan
konstan. Perubahan pada satu atau lebih proses dapat menimbulkan akumulasi
cairan.7
Gambar 3. Diagram
skematik filtrasi normal
dan resorpsi cairan di
cavum pleura.
Dikutip dari (6)
Median total
cell count dalam cairan
pleura pada orang normal yang tidak merokok adalah 91 x 10 3 leukosit/ml cairan,
kemudian setelah dihitung dengan faktor dilusi yaitu 18.86, total jumlah leukosit pada
cairan pleura adalah 1716 x 103 sel/ml. Hasil hitung diff count menunjukkan
predominan makrofag dan limfosit, kemudian sel mesotelial, neutrofil, dan eosinofil
dalam jumlah kecil. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara pria dan wanita,
namun pada perokok terdapat peningkatan signifikan neutrofil cairan pleura.4
6
Cairan pleura normal mengandung immunoglobulin, yaitu IgG dan IgA, serta
komplemen. Aktivasi komplemen dapat menyebabkan lisis mikroba dan inflamasi,
disertai produksi sitokin dan peningkatan fagositosis sel. Sel mesotelial juga
memproduksi fibronectin yang mencegah perlengketan organisme seperti
Pseudomonas aeruginosa. Salah satu respon bawaan mesotelium pleura adalah
pelepasan reactive oxygen species (ROS) dan reactive nitrogen intermediates. Sel
mesotelial melepaskan nitrat oksida dalam jumlah besar sebagai respon dari stimulasi
sitokin, lipopolisakarida, dan partikulat. Sintesis nitrat oksda berperan dalam infeksi
cavum pleura dan terlibat dalam inflamasi pleura.4
EPIDEMIOLOGI
7
signifikan seiring bertambahnya usia.12 Angka kejadian infeksi cavum thoraks pada
pria dua kali lipat lebih banyak daripada wanita. Selain itu, insidensi penderita
diabetes, konsumsi minimal beralkohol jangka panjang, obat-obatan, dan rheumatoid
artritis juga lebih tinggi daripada populasi normal.13
ETIOLOGI
8
PATOFISIOLOGI
9
berkurangnya tekanan negatif intrapleural adalah komponen-komponen
patofisiologikal yang relevan dan dapat membedakan efusi pleura transudat maupun
eksudat.16
Gambar 4.
Patofisiologi Parapneumonic Effusion
10
Perubahan EPP dapat terbagi menjadi tiga tahap, yaitu:
a) Tahap eksudatif
Pada tahap ini, fokus infeksi parenkim (contoh: pneumonia) menyebabkan
peningkatan cairan interstisial pulmonaris, yang akan melalui pleura visceral,
kerusakan endotel pembuluh darah, dan peningkatan permeabilitas sehingga
cairan terakumulasi di cavum pleura dan menyebabkan efusi. Awalnya, cairan
bersifat steril (EPP sederhana), kemudian bakteri menginvasi cavum pleura
melalui pembuluh darah dan mesothel yang rusak, dan menyebabkan komplikasi
EPP. Cairan pleura pada tahap ini bersifat eksudatif, dan didominasi oleh PMN
dengan kadar glukosa dan pH yang normal. 3,13,14
b) Tahap fibropurulen
Ciri khas tahap ini adalah terjadinya infeksi bakteri pada cairan pleura yang
terakumulasi. Faktor proinflamasi multipel menstimulasi neutrofil untuk migrasi
dan fibrosit untuk kemotaksis, sehingga akumulasi cairan pleura semakin besar,
disertai banyak PMN, bakteri, dan debris seluler. Pada saat yang sama, reaksi
kaskade koagulasi dan pembekuan terjadi. Fibrin kemudian terdeposit dalam
bentuk lembaran yang membungkus dan melengket pada pleura visceral dan
parietal. Membran-membran fibrin ini akan menciptakan partisi di cavum pleura
menjadi lokulasi-lokulasi efusi. Deposit fibrin dan growth factors yang
dilepaskan sel mesotelial menginduksi proliferasi fibroblast dan fibrosis di
permukaan pleura membentuk korteks fibrosa solid. Pada tahap ini, karena
fagositosis metabolisme bakteri dan neutrofil, asam laktat meningkat, pH dan
glukosa cairan pleura berkurang, dan kadar LDH meningkat progresif. 3,13,14
c) Tahap terorganisir
Fibroblas berkembang menjadi eksudat di permukaan pleura parietal dan visceral
untuk memproduksi membran inelastic. Membran ini dapat membungkus paru
dan menghambat ekspansi paru. Korteks fibrosa solid pada pleura visceral
11
menyebabkan paru terbungkus, sedangkan pada pleura parietal menyebabkan
mobilitas dinding dada dan diafragma merupakan karakteristik empiema tahap
terorganisir. Setelah itu, dekortikasi perlu dipertimbangkan karena sulit untuk
mengeradikasi infeksi jika lokulasi tersebut bertahan setelah cairan dikeluarkan.
Ketika infeksi berhasil dikontrol, membran tersebut akan menyembuh secara
spontan dalam 3-6 bulan. Sementara itu, tatalaksana yang tidak adekuat dapat
menyebabkan infeksi cavum pleura kronik. 3,13,14
Berdasarkan perbedaan kadar glukosa, LDH, dan pH pada efusi pleura, dapat
dibedakan menjadi: uncomplicated EPP, complicated EPP, dan empiema. Infeksi
cavum pleura sederhana berkaitan dengan tahap eksudatif, di mana terapi antibiotik
dapat diberikan. Sementara itu, infeksi kompleks dan empiema membutuhkan
drainase atau operasi.13
KLASIFIKASI
12
c) Tahap terorganisir
● Eksudat tebal dan bersedimen
● Pertumbuhan fibroblast
● Fibrosis
● Membran inelastis di permukaan pleura
● TraEPPd lung
Light
a) Kelas 1 (tidak ada EPP signifikan)
Ketebalan <10 mm pada X-ray lateral.
b) Kelas 2 (EPP tipikal)
Ketebalan >10 mm pada X-ray lateral; glukosa >40 mg/dl; pH > 7,2; kultur dan
pewarnaan gram negatif.
c) Kelas 3 (EPP borderline complicated)
pH berkisar antara 7.0-7.2 dan/atau LDH >1000 U/L dan glukosa >40 mg/dl,
kultur dan pewarnaan gram negatif.
d) Kelas 4 (EPP complicated sederhana)
pH<7 dan/atau glukosa <40 mg/dl, kultur dan pewarnaan gram positif, tanpa
lokulasi dan pus.
e) Kelas 5 (EPP complicated kompleks)
pH<7 dan/atau glukosa <40 mg/dl dan/atau kultur dan pewarnaan gram positif,
multilokulasi tanpa pus.
f) Kelas 6 (empiema sederhana)
Terdapat pus; satu lokulasi.
g) Kelas 7 (empiema kompleks)
Terdapat pus dan banyak lokulasi.
Muers
a) Simple EPP
13
Pleura : Tipis
Cairan : Jernih, PMN (+)
Kultur bakteri : Steril, pH >7.3, LDH <500 U/L, glukosa >60 mg/ml, glukosa
cairan : glukosa serum > 0.5
b) Complicated EPP
Pleura : Lokulasii, deposisi fibrin
Cairan : Jernih, PMN (+)
Kultur bakteri : Bakteri ±/+, pH >7.3, LDH <500 U/L, glukosa >60 mg/ml,
glukosa cairan : glukosa serum > 0.5
c) Empiema
Pleura : Jaringan granulasi tebal
Cairan : Pus, PMN (++)
Kultur bakteri : Bakteri (+), pH <7.1, LDH >1000 U/L, glukosa <40 mg/dl,
glukosa cairan : glukosa serum < 0.5
14
DIAGNOSIS
15
Gambar 6. Alur diagnosis efusi pleura yang disertai infeksi
Dikutip dari (13)
16
Radiologi
a) X-Ray
Jika terdapat kecurigaan efusi pleura, maka perlu dilakukan X-Ray thoraks.
Sudut kostofrenikus yang tumpul pada X-Ray thoraks posisi PA hanya terlihat jika
volume cairan >500 ml. Keberadaan cairan pleura paling mudah terlihat pada foto
posisi lateral dengan volume >50 ml. Jika kedua diafragma terlihat dan sudut
kostofrenikus posterior tidak tumpul, maka tidak ada cairan yang signifikan. Jika
sudut kostofrenikus posterior tumpul, maka efusi pleura perlu dievaluasi dengan
foto posisi lateral decubitus, ultrasound cavum pleura, atau CT Scan thoraks. Foto
posisi lateral decubitus dapat mengonfirmasi adanya cairan efusi bebas di sekitar
paru.3,16
b) Ultrasound
17
Ultrasound adalah alat yang baik dalam mengevaluasi efusi pleura. Alat ini
tidak hanya membantu menegakkan diagnosis, namun juga drainase cairan dari
cavum pleura. Ultrasound memiliki dua keuntungan. Pertama, sifatnya yang
portable dan dapat dilakukan dengan mudah di perawatan intensif, dan dapat
menentukan jika cairan pleura itu terbagi dalam septa-septa. Jumlah cairan pleura
bebas dapat dihitung secara semikuantitatif dengan menghitung jarak antara
dinding dada dalam dengan inferior paru pada posisi radiograf decubitus atau CT
scan dada. Jika jaraknya <10 mm, maka efusi tidak signifikan secara klinis dan
tidak ada indikasi thoracentesis.3
c) CT Scan
Walaupun tingkat sensitivitas CT Scan dalam mendeteksi membran di
cavum pleura tidak maksimal, namun CT Scan dapat membedakan pasien dengan
complicated EPP dan abses paru perifer. CT Scan thoraks dapat memperlihatkan
efusi pleura yang tidak terlihat dari X-Ray konvensional, membedakan cairan
pleura dengan proliferasi jaringan pleura, sehingga memberikan petunjuk tentang
kemungkinan penyebab efusi (pneumonia, kanker, emboli paru). Jika
memungkinkan, CT scan harus dilakukan setelah drainase efusi, karena efusi dapat
menutupi kondisi patologis pleura dan paru. CT Scan dengan kontras sangat
berguna dalam diagnosis empiema pleura dan abses paru, membedakan kondisi
patologi pleura yang jinak dan ganas.13,16 Pada empiema seringkali ditemukan
penebalan pleura sebanyak lebih dari 80% dan penyengatan pleura pada hamper
95% pasien empiema. Kondisi penebalan dan penyengatan pleura parietal dan
visceral dapat memberikan bentuk “split pleura sign” yang terlihat pada 70% kasus
empiema.6
18
Gambar 8. (Kiri) CT Scan pasien dengan empiema sinistra, (kanan) CT Scan pasien
dengan empiema terlokalisir
Cairan disebut efusi eksudatif jika memenuhi satu dari tiga kriteria di atas.
Jika tidak ada kriteria yang dipenuhi, maka efusi tergolong transudat. Efusi eksudatif
memerlukan pemeriksaan diagnostik dan terapeutik lanjutan, dan seringkali
membutuhkan intervensi bedah atau non-bedah.21 Tingkat keasaman cairan pleura
turut berperan dalam menegakkan diagnosis. Asidosis cairan pleura ditemukan pada
infeksi pleura dengan komplikasi, TB, artritis rheumatoid, dan efusi maligna. Jika
nilai pH < 7.2, drainase pleura perlu dipasang sesegera mungkin. Sebuah meta-
analisis memperlihatkan bahwa pH yang rendah adalah indikator terbaik kasus EPP
dengan komplikasi.16 Konsentrasi glukosa dalam cairan pleura normalnya setara
dengan glukosa dalam darah. Pada kasus empiema, TB, keganasan, dan rheumatoid
artritis seringkali ditemukan konsentrasi glukosa yang rendah.16
TATALAKSANA
19
Tatalaksana efusi pleura infeksius berkonsentrasi pada pemberian antibiotik,
drainase thoraks, injeksi cavitas intrapleural, thorakoskopi, operasi, dan beberapa
aspek lainnya seperti edukasi umum8,13. Jika drainase dari chest tube pertama tidak
adekuat, maka alternatif lain dapat berupa tambahan chest tube, VATS, dan
dekortikasi thorakotomi.9
20
Tatalaksana Umum
Nutrisi yang buruk dan hipoalbuminemia menjadi salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap prognosis penderita empiema. Infeksi pleura sendiri berperan
dalam reaksi katabolik yang memicu kondisi imunodefisiensi. Oleh karena itu, aspek
nutrisi pasien juga harus diperhatikan. Pemberian nutrisi harus diberikan, disertai air,
elektrolit, dan produk keseimbangan asam basa. Selain itu, risiko terjadinya
thromboemboli vena pada penderita empiema juga tinggi, sehingga profilaksis
thrombosis dengan heparin turut dipertimbangkan. Jika antikoagulan tidak tersedia,
maka penggunaan stocking atau profilaksis mekanik dapat digunakan.8,13
Antibiotik
Terapi antibiotik memegang peran penting dalam tatalaksana empiema akut
dan harus disesuaikan dengan hasil analisis mikrobiologi cairan pleura dan kultur
darah. Pemberian antibiotik sesegera mungkin, setelah infeksi pleura terdiagnosis.
Efusi kecil dengan ketebalan <10 mm akan menyembuh dengan pemberian antibiotik
empiris, namun jika terjadi penambahan volume efusi dan perburukan kondisi
diperlukan re-evaluasi rencana antibiotik. 6 Cavum thoraks dan paru memiliki
perbedaan signifikan dalam kadar oksigen dan pH; maka spektrum bakteri penyebab
infeksi cavum thoraks tidak akan sama persis dengan penyebab pneumonia.
Patogen tersering penyebab community-acquired pleural infection adalah
streptococcus, diikuti oleh bakteri anaerob dan staphylococcus. Sebaiknya, terapi
yang dipilih adalah obat yang dapat berpenetrasi hingga cavum pleura sejauh
mungkin, seperti kombinasi penisilin + beta lactam, klindamisin, dan metronidazole,
serta menghindari obat aminoglikosida karena memiliki penetrasi yang buruk dan
inaktivasi pada lingkungan asam. Pada pasien dengan alergi penisilin, dapat diberikan
klindamisin + fluoroquinolone, atau cephalosporin generasi 3 dan carbapenem.
21
Gambar 10 Manajemen Efusi Parapneumonia
Thorakosintesis
Pengambilan sampel cairan pleura untuk diagnostik harus dilakukan pada
penderita efusi pleura, sepsis, atau pneumonia. Hal ini disebabkan karena sulitnya
membedakan efusi sederhana yang dapat menyembuh dengan antibiotik, dari EPP
dengan komplikasi yang membutuhkan pemasangan chest tube.6 Karakteristik cairan
pleura juga perlu diketahui demi perencanaan tatalaksana yang sesuai. Aspirasi cairan
pleura merupakan indikasi pada pasien dngan efusi pleura >10 mm dan pneumonia,
tanda klinis sepsis atau riwayat trauma thoraks, atau riwayat operasi. USG thoraks
perlu dilakukan untuk mengurangi risiko terjadinya pneumothoraks. Pada penderita
efusi dengan komplikasi, thorakosintesis terapeutik tanpa pemasangan chest drain
tidak disarankan. 6
22
Drainase Thoraks
Thorakostomy dengan antibiotik yang tepat adalah terapi untuk empiema
tahap 1. Ketika ditemukan pus atau cairan berkabut pada sampel cairan pleura,
jumlah efusi ≥1/2, glukosa ≤40 mg/dL, LDH >2,000 U/L chest tube harus segera
dipasangkan. Indikasi lain untuk melakukan drainase thoraks adalah kondisi EPP, di
mana pH <7.2 dan terdapat invasi bakteri pada cavum pleura yang diketahui dari
pewarnaan gram atau kultur sampel pleura yang positif.6,13 Keberadaan lokulasi pada
X-Ray thoraks atau USG berkaitan dengan prognosis yang buruk dan merupakan
indikasi tambahan drainase thoraks sesegera mungkin. Terlebih lagi, efusi pleura
yang mencakup 40% hemithoraks, sering kali membutuhkan debridement
pembedahan. Pada kasus ini, chest drain harus dipasangkan dengan bantuan radiologi.
Sampai saat ini, belum ada konsensus yang menentukan ukuran optimal chest
tube. Walaupun drain ukuran besar (≥28-F) lebih sering digunakan untuk
mengevakuasi nanah atau cairan dengan kekentalan tinggi, sebuah penelitian
prospektif non-randomised tidak menunjukkan perbedaan signifikan keberhasilan
dalam penggunaan chest tube ≤14-F dan >14-F. Namun, kateter ukuran kecil (10–14-
F) lebih mudah dimasukkan dan lebih nyaman pada pasien, sehingga sering
direkomendasikan sebagai terapi awal infeksi pleura. Kegagalan drainase sering
disebabkan oleh oklusi dan terlepas. Oleh karena itu, beberapa penelitian
membuktikan bahwa pembilasan regular (20-30 ml saline setiap 6-8 jam melalui
three-way) dan suction (−20 cm H2O) dapat memperbaiki efisiensi drainase dan
mencegah oklusi kateter. Kemudian, chest tube dapat dilepas ketika tanda klinis dan
sepsis telah terselesaikan dan hasil radiologi menunjukkan penurunan volume cairan
pleura.6
Fibrinolitik Intrapleura
Tahap fibropurulen empiema ditandai dengan terbentuknya septa-septa fibrin
dan peningkatan densitas cairan pleura. Pada tahun 2005, sebuah penelitian MIST-1
23
dipublikasikan, dan telah membandingkan hasil klinis 430 penderita efusi pleura
dengan komplikasi yang diterapi dengan streptokinase (250000 UI) dan placebo. Dari
hasil penelitian tersebut, ditemukan bahwa streptokinase intrapleural tidak
mengurangi tingkat mortalitas, frekuensi pembedahan, durasi rawat inap atau
memperbaiki abnormalitas pada X-Ray thoraks. Pada saat ini, streptokinase dan
urokinase bermanfaat dalam menghancurkan septa-septa fibrin, namun belum berefek
pada kekentalan cairan atau pencegahan pembentukan biofilm bakteri.6
Gambar 11. X-Ray thoraks pasien dengan empiema sinsitra multilokul yang berhasil
diterapi dengan fibrinolitik intrapleura
Torakoskopi Medik
Torakoskopi medik menyebabkan luka dan efek samping yang lebih sedikit,
serta memegang posisi penting dalam diagnosis efusi pleura dengan penyebab yang
tidak diketahui, serta sangat praktis ketika terdapat kecurigaan kea rah efusi pleura
maligna atau pleuritis TB.3 Torakoskopi medik (atau pleuroskopi) dilakukan dengan
sedasi moderat oleh pulmonologis menggunakan port akses tunggal dan alat
rigid/semirigid. Tindakan ini memungkinkan inspeksi visual, drainase, prosedur
pleurodesis, dan biopsy pleura parietal. 23 Penelitian menemukan bahwa pengobatan
torakoskopi medik efektif untuk pengobatan efusi parapneumonik dengan komplikasi
untuk sekitar 90% pasien. Namun, saat ini tidak ada studi klinis sampel acak,
terkontrol, dan jumlah data yang banyak, serta data keamanannya tidak mencukupi.
Perawatan torakoskopi disarankan ketika perawatan medis konservatif gagal.3
Pembedahan
Pada pasien dengan empiema tahap II-III, pembedahan adalah terapi
utamanya. Pembedahan diindikasikan pada pasien dengan empiema tahap III, pasien
empiema tahap awal yang mengalami kegagalan terapi medikamentosa, dan penderita
efusi pleura dengan komplikasi. Poin utama pada pembedahan adalah evakuasi
24
material yang terinfeksi, debridement septa-septa pleura, dan dan re-ekspansi paru.
Pada kasus empiema tahap III yang lambat ditangani, akan membutuhkan dekortikasi
pleura yaitu pembuangan bagian pleura visceral yang menebal dan restriktif. 6
Drainase bedah diperlukan pada sekitar 1/3 pasien dengan infeksi rongga pleura.
Ketika drainase saja tidak menyembuhkan empiema pleura dan mencapai re-ekspansi
paru, intervensi bedah menjadi gold standard. Terutama pada pasien dengan sisa-sisa
sepsis persisten dan berkaitan dengan penumpukan cairan pleura meskipun telah
menerima terapi medikomentosa harus dipertimbangkan untuk pembedahan.
Pembedahan bertujuan untuk menghilangkan septasi yang terinfeksi atau
lokulasi pleura, dan debridemen deposisi. Sedangkan manfaat terapi minimal invasif
dibandingkan dengan terapi medis pada penderita empiema fibropurulen sudah jelas,
maka pendekatan bedah pada empiema tahap III lebih disukai. Sementara itu, standar
debdridement rongga pleura dan dekortikasi pleura viseral dan parietal dilakukan
dengan pembedahan terbuka konvensional dengan thorakotomi.14 Drainase kronik
rongga pleura dapat dilakukan dengan prosedur drainase terbuka.
Saat ini, video-assisted thoracoscopic surgery (VATS) seringkali digunakan
sebagai terapi pembedahan awal. Video Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS)
sering digunakan pada empiema multilokulasi atau empiema unilokulasi yang gagal
diatasi dengan antibiotik dan chest drain.3 VATS dilaporkan ekuivalen dengan
pembedahan terbuka dalam hal resolusi penyakit, dan lebih baik dalam hal durasi
rawat inap, komplikasi post operatif, dan morbiditas. Dekortikasi paru tetap menjadi
prosedur yang sangat sulit dan memakan waktu operator dalam melaksanakan
VATS.6
Pilihan teknik VATS yang digunakan adalah preferensi operator. Persyaratan
intraoperatif konversi tindakan minimal invasif menjadi torakotomi masih
kontroversial, namun dianggap berkaitan dengan tahap empiema, durasi waktu sejak
25
awal gejala klinis, jumlah drainase cairan pleura, dan jika ekspansi paru tidak
memuaskan.3,6 Dekortikasi mengangkat semua jaringan fibrosa dari pleura visceral
dan parietal bersama dengan nanah dari ruang pleura. Tindakan ini dapat
mengeliminasi sepsis pleura dan dengan demikian membantu ekspansi paru-paru
tersebut. Pada tahap akut infeksi, dekortikasi membantu mengendalikan infeksi..23
Gambar 12. CT Scan pasien dengan empiema sinistra, sebelum (a) dan sesudah (b)
pembedahan; debridement pleura dan dekortikasi pleura parietal melalui videothorakoskopi.
Dikutip dari (14)
26
KESIMPULAN
2. Perubahan EPP dapat terbagi menjadi tiga tahap, yaitu Tahap eksudatif, Tahap
fibropurulen, dan Tahap terorganisir
27
DAFTAR PUSTAKA
28
pleural empiema due to community acquired pneumonia. J Infect Chemother.
2016; 22: 292.
12. Schweigert M, Solymosi N, Dubecz A, Fernandez MJ, Stadhulber RJ, Ofner
D, et al. Surgery for parapneumonic pleural empiema - What influence does
the rising prevalence of multimorbidity and advanced age has on the current
outcome? Surgeon. 2016 Apr; 14(2): 70
13. Yang W, Zhang B, Zhang ZM. Infectious pleural effusion status and treatment
progress. J Thorac Dis. 2017; 9(11): 4691.
14. Reichert M, Hecker M, Witte B, Bodner J, Padberg W, Weigand MA, et al.
Stage-directed therapy of pleural empiema. Langenbecks Arch Surg. 2017
Feb; 402(1): 15-26.
15. Kopman DF, Light R. Pleural Disease. N Engl J Med 2018; 378: 740-51
16. Jany B, Welte T. Pleural Effusion in Adults—Etiology, Diagnosis, and
Treatment. Dtsch Arztebl Int. 2019; 116: 377–86.
17. Pan H, He J, Shen J, Jiang L, Liang W, He J. A meta-analysis of video-
assisted thoracoscopic decortication versus open thoracotomy decortication
for patients with empiema. J Thorac Dis. 2017; 9(7): 2006-14.
18. Bedawi EO, Hassan M, Rahman NM. Recent developments in the
management of pleural infection: a comprehensive review. Clin Respir J.
2018 Aug; 12(8): 2309-20
19. Caviezel C, Schuetz P, Gerdes S, Gambazzi F. Procalcitonin as preoperative
marker for surgery in advanced parapneumonic empiema. J Thorac Dis.
2017;9(3):734-41
20. Griffith D, Boal M, Rogers T. Evolution of practice in the management of
parapneumonic effusion and empiema in children. J Ped Surg. 2018; 58: 644-
46
21. Koppurapu V, Meena N. A review of the management of complex para-
pneumonic effusion in adults. J Thorac Dis. 2017; 9(7): 2135-41.
22. Porcel JM. Chest Tube Drainage of the Pleural Space: A Concise Review for
Pulmonologists. Tuberc Respir Dis. 2018; 81: 106-115
29