Anda di halaman 1dari 35

Tinjauan Pustaka III

Oktober 2021

EFUSI PARAPNEUMONIA

Nama: dr. Muhammad Arif

Pembimbing: dr. Harry Akza Putrawan, Sp.P (K)

PROGRAM STUDI PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO
MAKASSAR
2021

iv
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa


tinjauan pustaka ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan
yang berlaku di Universitas Hasanuddin. Jika dikemudian hari ternyata saya
melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan
menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Hasanuddin kepada saya.

Makassar, 07 Oktober 2021

(Muhammad Arif)

iv
ABSTRACT
Parapneumonic effusions are pleural effusions that occur in the pleural space adjacent
to a bacterial pneumonia. When bacteria invade the pleural space, a complicated
parapneumonic effusion or empiema may result. Empiema is collection of pus in
pleural cavity. If left untreated, complicated parapneumonic effusion/empiema leads
pleural thickening. Simple parapneumonic effusions can be managed conservatively
with appropriate antibiotics, but complicated parapneumonic effusions often require
some kind of drainage along with antibiotics. Delay in treatment is associated with
high morbidity and mortality.

Keyword: Parapneumonic Effusion, Empiema, Lung infection

ABSTRAK

Efusi parapneumonia adalah efusi pleura yang terjadi di rongga pleura yang
berdekatan dengan pneumonia bakterial. Ketika bakteri menyerang ruang pleura,
efusi parapneumonia atau empiema yang rumit dapat terjadi. Empiema adalah
kumpulan nanah di rongga pleura. Jika tidak diobati, efusi / empiema parapneumonia
yang rumit menyebabkan penebalan pleura. Efusi parapneumonik sederhana dapat
dikelola secara konservatif dengan antibiotik yang sesuai, tetapi efusi parapneumonik
yang rumit seringkali memerlukan semacam drainase bersama dengan antibiotik.
Keterlambatan pengobatan dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

Kata kunci: Efusi Parapneumonia, Empiema, Infeksi paru

iv
DAFTAR ISI
Contents

HALAMAN SAMPUL i
SURAT PERNYATAAN ii
ABSTRAK iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR TABEL vi
PENDAHULUAN 1
ANATOMI DAN FISIOLOGI 2
EPIDEMIOLOGI 9
ETIOLOGI 10
PATOFISIOLOGI 11
KLASIFIKASI 16
DIAGNOSIS 19
TATALAKSANA 26
KESIMPULAN 34
DAFTAR PUSTAKA 35

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi topografi segmen bronkopulmoner 3


Gambar 2. Drainase limfatik paru 4
Gambar 3. Diagram skematik filtrasi normal & resorpsi cairan di cavum pleura 7
Gambar 4. Patofisiologi Parapneumonic Effusion 13
Gambar 5. Tahapan dan progresi empiema pleura 15
Gambar 6. Alur diagnosis efusi pleura yang disertai infeksi 21
Gambar 7. X-Ray parapneumonic empiema dextra 22
Gambar 8. CT Scan pasien dengan empiema sinistra & CT Scan empiema
terlokalisir 24
Gambar 9. Proses tatalaksana efusi pleura infeksius 26
Gambar 10. Manajemen Parapneumonic effusion 28
Gambar 11. X-Ray thoraks pasien dengan empiema sinsitra multilokul yang berhasil
diterapi dengan fibrinolitik intrapleura 30
Gambar 12. CT Scan pasien dengan empiema sinistra 33

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Penyebab efusi pleura transudat dan eksudat 11

iv
PENDAHULUAN

Efusi Parapneumonia (EPP) adalah segala jenis efusi pleura yang


berhubungan dengan pneumonia, abses paru, dan TB paru. EPP merupakan penyebab
terbanyak akumulasi cairan di cavum pleura. Dari satu penelitian, EPP menjadi
penyebab terbanyak ketiga dari efusi pleura, setelah kanker dan gagal jantung, di
antara 3077 pasien yang diperiksakan thoracentesis diagnostik.1 Sekitar 20-40% dari
penderita pneumonia dilaporkan mengalami EPP; dengan 60% dari antaranya
berhubungan langsung dengan proses parapneumonic, sementara 40% sisanya terjadi
secara indirek dari sepsis sistemik.2 Kemungkinan terjadinya EPP harus
dipertimbangkan pada semua pasien dengan efusi pleura dan demam; dan khususnya
pada pasien pneumonia yang gagal merespon terhadap antibiotik.1
Tatalaksana klinis yang diberikan, jika tidak dapat menanggulangi proses
infeksi dan inflamasi yang terjadi, maka kondisi EPP akan semakin kompleks dan
berkembang menjadi parapneumonic empiema.2 Empiema, istilah yang digunakan
untuk tahap lanjut dari EPP, mengindikasikan adanya pus di cavum pleura dan harus
selalu didrainase.1 Diagnosis klinis empiema dilaporkan sebagai adanya bakteri atau
pus yang jelas di rongga pleura. Selanjutnya, EPP kompleks dan EPP dengan kultur
bakteri yang positif membutuhkan prosedur invasif, seperti tube thoracostomy
sebagai resolusinya.2 EPP umumnya berukuran kecil dan membaik dengan antibiotik.
Pada EPP dengan komplikasi atau empiema dapat ditemukan keberadaan bakteri pada
cairan. Kebanyakan penderita EPP dapat membaik tanpa terapi spesifik, namun pada
10% pasien membutuhkan sejumlah intervensi.3

1
ANATOMI DAN FISIOLOGI

Paru Manusia terletak pada cavum pleura dengan apex yang terletak
memanjang di atas costa 1, sedangkan basisnya berbentuk konkaf terletak di
permukaan superior diafragma. Pada umumnya, paru kanan berukuran lebih lebar
daripada paru kiri, karena adanya proyeksi jantung ke sisi kiri. Namun, paru kiri
lebih panjang dibandingkan paru kanan karena bentuk kubah diafragma yang lebih
tinggi pada sisi kanan, karena adanya hepar.4 Paru normalnya terdiri atas beberapa
lobus yang dipisahkan oleh fissura-fissura. Fissura interlobaris adalah penjorokan
dalam yang memanjang dari permukaan luar paru hingga ke bagian tengah. Pleura
visceralis turut berlipat-lipat membentuk fissura, sehingga permukaan paru menjadi
licin dan memungkinkan pergerakan bebas setiap lobusnya.4

Paru kanan terdiri atas lobus superior, lobus medius, dan lobus inferior,
dengan fissura minor/horizontal memisahkan lobus superior dan lobus medius,
sementara fissura oblique memisahkan lobus medius dan lobus inferior. Paru kiri
terbagi menjadi lobus atas dan lobus bawah, yang dipisahkan oleh fissura oblique. 4
Paru memiliki dua sistem sirkulasi sirkulasi. Sirkulasi tekanan rendah dan bervolume
tinggi, yang membawa darah dengan saturasi oksigen yang rendah dari ventrikel
dextra ke paru untuk pertukaran gas dengan udara yang dihirup melalui celah
alveolar. Sementara itu, sirkulasi dengan tekanan tinggi dan volume rendah dari
sirkulasi bronkial membawa darah bersaturasi oksigen tinggi menuju jalan nafas,
pleura, dan dinding arteri serta vena pulmonaris (vasa vasora). Arteri pulmonaris
bercabang dan mengikuti alur jalan nafas untuk membentuk kapiler pulmonaris di
dinding alveolar.4

2
Gambar
1. Anatomi topografi segmen bronkopulmoner

Dikutip dari (4)

Dua jaringan limfatik yang berbeda dapat terlihat pada paru manusia dewasa
yang normal, yaitu plexus profunda yang terletak di jaringan ikat sekitar percabangan
jalan nafas dan plexus superfisial yang membentuk jaringan pleura visceral. Sistem
limfatik dapat membuang 1.5 liter cairan per jam, dan berperan dalam mekanisme
pembersihan edema paru. Pleksus superfisial beranastomosis dengan pleksus
profunda, dan mengalir langsung ke limfonodus mediastinal. 4 Jalan nafas manusia
dipersarafi via nervus otonom aferen dan eferen. Sistem ini mengatur banyak aspek
fungsi jalan nafas, mencakup aliran darah pulmoner, sekresi kelenjar mukus,

3
ventilasi, tonus otot polos jalan nafas, dan refleks batuk. Input dari nervus aferen
menuju sistem saraf pusat diintegrasikan di batang otak dan menghasilkan berbagai
output refleks

Gambar 2. Drainase limfatik paru


Dikutip dari (4)

Terdapat tiga kelompok utama reseptor sensoris di paru, yaitu C-fibers,


rapidly adapting stretch receptors (RARs), dan slowly adapting stretch receptors
(SARs). RARs dan SARs adalah mekanoreseptor utama, yang merespon terhadap
inflasi paru dan stimulasi mekanik. Di lain hal, C-fibers relatif tidak sensitif pada
stimulasi mekanik yang minim, namun dapat terstimulasi oleh zat kimia, edema paru,
dan demam. Inervasi eferen paru diatur oleh serabut saraf simpatik adrenergik,
parasimpatik kolinergik, serta tipe inhibitorik dan eksitatorik serabut saraf non-
adrenergik dan nonkolinergik.4 Cavum pleura dapat berukuran lebar 20 μm serta
mengandung cairan yang jernih dan tidak berwarna dengan konsentrasi kandungan
protein kurang dari 1.5 gr/dl. Jumlah cairan pleura dalam setiap cavum pleura

4
bervariasi, mulai dari 4.1 hingga 12.7 ml, atau 0.26±0.1 ml per kilogram massa tubuh.
Rata-rata volume cairan pleura kanan berkisar 8.46±4.3 ml, demikian juga sisi kiri.4
Pleura terdiri atas dua lapisan (pleura parietalis dan visceralis) yang bertemu
di hilum dan membentuk lipatan yang disebut ligamen pulmonaris di distal.5 Pleura
parietalis menutupi permukaan dalam rongga thoraks, mediastinum, dan diafragma,
sementara pleura visceralis membungkus permukaan paru, termasuk fissura
4
interlobaris. Kedua lapisan pleura memiliki struktur histologi yang serupa, yaitu
lapisan mesotelial, submesotelial, fibroelastis superfisial, subpleural, dan lapisan
fibroelastis profunda. Pleura visceral memiliki lima lapisan, yaitu sel mesotelial tanpa
membran basement, lapisan submesotelial dengan jaringan ikat longgar, lapisan
elastis, lapisan jaringan ikat longgar interstisial dengan kolagen, pembuluh darah, dan
limfatik, dan lapisan serat elastis dan fibrosa yang melengket erat ke paru. Sedangkan
pleura parietalis hanya memiliki satu lapisan sel mesotelial kuboid yang
dipertahankan dengan jaringan ikat longgar serta pembuluh darah, dan limfatik.6
Tekanan ini bekerja di permukaan pleura sekitar ±6 cm H 2O selama
pernafasan tidal, dan menjadi semakin negatif saat menarik nafas lebih dalam,
terutama pada cranial cavum pleura. Tekanannya berkurang sekitar 0.2 cmH 2O/cm
tinggi badan pada laki-laki.4 Gaya yang mempertahankan paru tetap mengembang
disebabkan karena adanya pengeluaran berlanjut dari cairan pleura melalui pembuluh
limfatik dan kapiler subpleural yang mencegah cairan intrapleural meningkat. Gaya
perlengketan antara permukaan paru dan dinding dada bekerja seperti vakum
simultan di seluruh permukaan pleura, menyebabkan paru mengikuti bentuk dinding
dada saat inspirasi dan ekspirasi.5 Regulasi volume dan komposisi cairan pleura
dipengaruhi oleh banyak mekansime, seperti hukum Starling melalui mesotelium dan
kapiler yang berdekatan, drainase limfatik via stomata pleura parietal, dan aktivitas
sel mesotelial. Namun, mekanisme yang melibatkan seluler hingga saat ini telah
ditolak.4
Pembentukan cairan ini berdasarkan hipotesis Starling. Hipotesis ini
menyatakan bahwa perpindahan cairan terjadi karena adanya gradien tekanan

5
hidrostatik dan tekanan osmotik koloid pada membran, serta adanya permeabilitas
terhadap cairan dan protein di membran tersebut. Kemudian, cairan tersebut dibuang
ke jaringan limfatik. Dinding ductus limfatik mengandung otot polos, dan memiliki
beberapa katup satu arah. Dengan kontraksi dan relaksasi yang terkoordinasi, cairan
limfa secara aktif terpompa dari cavum pleura, yang menimbulkan tekanan
hidrostatik negatif sehingga meningkatkan laju aliran cairan pleura sebagai respon
dari pembentukan cairan dan memastikan cairan pleura tidak menumpuk. Pada
keadaan normal, proses ini seimbang serta cairan pleura tetap terjaga minimal dan
konstan. Perubahan pada satu atau lebih proses dapat menimbulkan akumulasi
cairan.7

Gambar 3. Diagram
skematik filtrasi normal
dan resorpsi cairan di
cavum pleura.
Dikutip dari (6)

Median total
cell count dalam cairan
pleura pada orang normal yang tidak merokok adalah 91 x 10 3 leukosit/ml cairan,
kemudian setelah dihitung dengan faktor dilusi yaitu 18.86, total jumlah leukosit pada
cairan pleura adalah 1716 x 103 sel/ml. Hasil hitung diff count menunjukkan
predominan makrofag dan limfosit, kemudian sel mesotelial, neutrofil, dan eosinofil
dalam jumlah kecil. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara pria dan wanita,
namun pada perokok terdapat peningkatan signifikan neutrofil cairan pleura.4

6
Cairan pleura normal mengandung immunoglobulin, yaitu IgG dan IgA, serta
komplemen. Aktivasi komplemen dapat menyebabkan lisis mikroba dan inflamasi,
disertai produksi sitokin dan peningkatan fagositosis sel. Sel mesotelial juga
memproduksi fibronectin yang mencegah perlengketan organisme seperti
Pseudomonas aeruginosa. Salah satu respon bawaan mesotelium pleura adalah
pelepasan reactive oxygen species (ROS) dan reactive nitrogen intermediates. Sel
mesotelial melepaskan nitrat oksida dalam jumlah besar sebagai respon dari stimulasi
sitokin, lipopolisakarida, dan partikulat. Sintesis nitrat oksda berperan dalam infeksi
cavum pleura dan terlibat dalam inflamasi pleura.4

EPIDEMIOLOGI

Berbagai penelitian menunjukkan insidensi EPP yang meningkat sangat cepat,


khususnya pada populasi dewasa muda. Frekuensi rawat inap penderita EPP dewasa
telah mengalami peningkatan dua kali lipat dalam dua dekade terakhir. 2 Sekitar 20-
40% pasien yang rawat inap karena pneumonia juga menderita efusi pleura, dan 60%
di antaranya berkembang menjadi PPA.3,8 Empiema adalah akumulasi pus di cavum
pleura. Pneumonia adalah penyebab tersering empiema. Penelitian menunjukkan
bahwa 57% pasien rawat inap dengan pneumonia bakterial memiliki EPP dan sekitar
10% EPP berkembang menjadi empiema. Prosedur bedah diketahui menjadi
penyebab terbanyak kedua empiema.9
Sementara itu, empiema pada anak sering terjadi akibat pneumonia bakterial.
Insidensi EPP dan efusi pleura dilaporkan mengalami peningkatan sejak 1990an. Saat
ini, insidensi EPP/ efusi pelura berkisar antara 3.5-12.5 per 100000 anak. Insidensi
puncak pneumonia anak adalah pada usia balita, dan pneumonia menyumbang
proporsi yang banyak pada rawat inap anak di rumah sakit, 0.6% di antaranya
berkembang menjadi empiema.10,11 Sementara itu, pasien geriatri lebih sering
mengalami infeksi saluran pernapasan bawah. Data dari populasi di United Kingdom
memperlihatkan bahwa insidensi community-acquired pneumonia meningkat

7
signifikan seiring bertambahnya usia.12 Angka kejadian infeksi cavum thoraks pada
pria dua kali lipat lebih banyak daripada wanita. Selain itu, insidensi penderita
diabetes, konsumsi minimal beralkohol jangka panjang, obat-obatan, dan rheumatoid
artritis juga lebih tinggi daripada populasi normal.13

ETIOLOGI

Efusi Parapneumonia mengarah pada adanya penumpukan cairan dalam cavum


pleura. Hal ini dikaitkan dengan adanya infeksi paru ipsilateral, terutama pneumonia.
Empiema thoracis adalah pengumpulan pus di cavum pleura, dan merupakan
penyakit mengancam jiwa. Penyakit ini paling sering disebabkan oleh staphylococci
dan Haemophilus influenzae (lebih jarang). Keadaan ini seringkali diawali dari
trauma, ruptur abses paru, atau komplikasi TB primer.10 Dari hasil pemeriksaan
mikrobiologi sputum terhadap 1170 kasus, ditemukan bahwa mikroba terbanyak
penyebab empiema adalah Staphylococcus aureus (termasuk MRSA), Pseudomonas
aeruginosa, Escherichia coli, Haemophilus influenza, Klebsiella pneumonia, dan
Streptococcus pneumonia.2
Dengan penggunaan antibiotik yang semakin meluas, aspek bakteriologis
empiema telah berubah menjadi spesies gram negative seperti Klebsiella pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa, Proteus sp., dan Escherichia coli, khususnya jika pasien
dalam perawatan intensif. Infeksi enterobacili gram negatif biasanya merupakan hasil
infeksi pleura di bawah diafragma. Dalam kasus hemothoraks dan komplikasi, S.
aureus umumnya terlibat. Jika cairan empiema memberikan bau busuk, diduga
terdapat infeksi anaerob. Bakteri anaerob yang dominan dari kultur empiema antara
lain Fusobacterium nucleatum, Prevotella species, Peptostreptococcus, dan fragilis.3
Selain itu, MTB juga termasuk penyebab infeksi pleura terbanyak di dunia yang
berkaitan dengan ko-infeksi HIV.9

8
PATOFISIOLOGI

Penyebab terbanyak efusi eksudatif adalah kondisi yang berkaitan dengan


pneumonia, maka dinamakan Efusi Parapneumonia. Istilah empiema diartikan
sebagai infeksi atau adanya pus di rongga pleura.15

Tabel 1. Penyebab efusi pleura transudat dan eksudat

Efusi transudat Efusi eksudat


Gagal jantung kongestif Infeksi: bakteri, virus, jamur, parasit
Sirosis Neoplasma: metastasis, mesothelioma
Sindrom nefrotik Paramalignant effusions: pleuritis reaktif karena
Glomerulonefritis adanya kanker, obstruksi jalan nafas atau
Dialisis peritoneal atelektasis
Hipoalbuminemia Reaktif: pleuritis reaktif karena adanya pneumonia
Atelektasis (parapneumonic)
Obstruksi vena cava superior Penyakit emboli: emboli paru
Sarkoidosis Penyakit abdomen: pankreatitis, kolesistitis, abses
TraEPPd lung hepar atau lien
Myxedema Gangguan jantung dan perikardiak, ginekologi,
kolagen vascular, medikasi, hemothoraks,
chylothoraks, dll
Dikutip dari (13)

Kedua lapisan pleura berperan penting dalam homeostasis cairan di cavum


pleura. Rata-rata cairan yang diproduksi dan absorpsi, keseimbangan tekanan
hidrostatik dan onkotik yang terdapat antara sirkulasi sistemik, pulmonaris, dan
cavum pleura harus sebanding. Efusi pleura terjadi jika terdapat gangguan
keseimbangan ini, dapat disebabkan karena peningkatan produksi atau penurunan
resorpsi. Tekanan onkotik yang rendah (contohnya, hypoalbuminemia), peningkatan
tekanan kapiler pulmonaris, peningkatan permeabilitas, obstruksi limfatik, dan

9
berkurangnya tekanan negatif intrapleural adalah komponen-komponen
patofisiologikal yang relevan dan dapat membedakan efusi pleura transudat maupun
eksudat.16

Abses parapneumonia termasuk dalam penyebab peningkatan produksi cairan


dari interstisial paru, selain edema paru, gagal jantung kongestif, dll. Peningkatan
tekanan pleura intravaskular akan diikuti oleh akumulasi cairan pleura. Sementara,
empiema adalah bentuk khusus efusi pleura. Kaskade patofisiologi ini terjadi jika
permukaan pleura yang mengalami inflamasi sekitar 200 cm2. Dilatasi awal
pembuluh darah menyebabkan edema soft tissue, dan diikuti oleh gangguan
permeabilitas sehingga cairan serosa dan eksudatif cairan serofibrinosa memasuki
cavum pleura. Kemudian, fibrin yang terbentuk akan menyumbat pengeluaran cairan
melalui pembuluh limfatik pleura parietal, dan akan menyebabkan deskuamasi dan
nekrosis mesotelium.5

Gambar 4.
Patofisiologi Parapneumonic Effusion

Dikutip dari (13)

10
Perubahan EPP dapat terbagi menjadi tiga tahap, yaitu:

a) Tahap eksudatif
Pada tahap ini, fokus infeksi parenkim (contoh: pneumonia) menyebabkan
peningkatan cairan interstisial pulmonaris, yang akan melalui pleura visceral,
kerusakan endotel pembuluh darah, dan peningkatan permeabilitas sehingga
cairan terakumulasi di cavum pleura dan menyebabkan efusi. Awalnya, cairan
bersifat steril (EPP sederhana), kemudian bakteri menginvasi cavum pleura
melalui pembuluh darah dan mesothel yang rusak, dan menyebabkan komplikasi
EPP. Cairan pleura pada tahap ini bersifat eksudatif, dan didominasi oleh PMN
dengan kadar glukosa dan pH yang normal. 3,13,14

b) Tahap fibropurulen

Ciri khas tahap ini adalah terjadinya infeksi bakteri pada cairan pleura yang
terakumulasi. Faktor proinflamasi multipel menstimulasi neutrofil untuk migrasi
dan fibrosit untuk kemotaksis, sehingga akumulasi cairan pleura semakin besar,
disertai banyak PMN, bakteri, dan debris seluler. Pada saat yang sama, reaksi
kaskade koagulasi dan pembekuan terjadi. Fibrin kemudian terdeposit dalam
bentuk lembaran yang membungkus dan melengket pada pleura visceral dan
parietal. Membran-membran fibrin ini akan menciptakan partisi di cavum pleura
menjadi lokulasi-lokulasi efusi. Deposit fibrin dan growth factors yang
dilepaskan sel mesotelial menginduksi proliferasi fibroblast dan fibrosis di
permukaan pleura membentuk korteks fibrosa solid. Pada tahap ini, karena
fagositosis metabolisme bakteri dan neutrofil, asam laktat meningkat, pH dan
glukosa cairan pleura berkurang, dan kadar LDH meningkat progresif. 3,13,14
c) Tahap terorganisir
Fibroblas berkembang menjadi eksudat di permukaan pleura parietal dan visceral
untuk memproduksi membran inelastic. Membran ini dapat membungkus paru
dan menghambat ekspansi paru. Korteks fibrosa solid pada pleura visceral

11
menyebabkan paru terbungkus, sedangkan pada pleura parietal menyebabkan
mobilitas dinding dada dan diafragma merupakan karakteristik empiema tahap
terorganisir. Setelah itu, dekortikasi perlu dipertimbangkan karena sulit untuk
mengeradikasi infeksi jika lokulasi tersebut bertahan setelah cairan dikeluarkan.
Ketika infeksi berhasil dikontrol, membran tersebut akan menyembuh secara
spontan dalam 3-6 bulan. Sementara itu, tatalaksana yang tidak adekuat dapat
menyebabkan infeksi cavum pleura kronik. 3,13,14

Berdasarkan perbedaan kadar glukosa, LDH, dan pH pada efusi pleura, dapat
dibedakan menjadi: uncomplicated EPP, complicated EPP, dan empiema. Infeksi
cavum pleura sederhana berkaitan dengan tahap eksudatif, di mana terapi antibiotik
dapat diberikan. Sementara itu, infeksi kompleks dan empiema membutuhkan
drainase atau operasi.13

KLASIFIKASI

Terdapat beberapa sistem klasifikasi Efusi Parapneumonia, antara lain:

American Thoracic Surgery


a) Tahap eksudatif
● Proses inflamasi meluas hingga pleura dan menyebabkan akumulasi cairan
● Jumlah sel sedikit
● Paru dapat mengembang atroge
b) Tahap fibropurulen
● Akumulasi pus yang jelas di lateral dan dorsal
● Deposisi PMN dan fibrin di permukaan pleura disertai fibrin-fibrin pada cairan
pleura
● Lokulasi dan pembentukan membran
● Pengembangan paru berkurang

12
c) Tahap terorganisir
● Eksudat tebal dan bersedimen
● Pertumbuhan fibroblast
● Fibrosis
● Membran inelastis di permukaan pleura
● TraEPPd lung

Light
a) Kelas 1 (tidak ada EPP signifikan)
Ketebalan <10 mm pada X-ray lateral.
b) Kelas 2 (EPP tipikal)
Ketebalan >10 mm pada X-ray lateral; glukosa >40 mg/dl; pH > 7,2; kultur dan
pewarnaan gram negatif.
c) Kelas 3 (EPP borderline complicated)
pH berkisar antara 7.0-7.2 dan/atau LDH >1000 U/L dan glukosa >40 mg/dl,
kultur dan pewarnaan gram negatif.
d) Kelas 4 (EPP complicated sederhana)
pH<7 dan/atau glukosa <40 mg/dl, kultur dan pewarnaan gram positif, tanpa
lokulasi dan pus.
e) Kelas 5 (EPP complicated kompleks)
pH<7 dan/atau glukosa <40 mg/dl dan/atau kultur dan pewarnaan gram positif,
multilokulasi tanpa pus.
f) Kelas 6 (empiema sederhana)
Terdapat pus; satu lokulasi.
g) Kelas 7 (empiema kompleks)
Terdapat pus dan banyak lokulasi.

Muers
a) Simple EPP

13
Pleura : Tipis
Cairan : Jernih, PMN (+)
Kultur bakteri : Steril, pH >7.3, LDH <500 U/L, glukosa >60 mg/ml, glukosa
cairan : glukosa serum > 0.5
b) Complicated EPP
Pleura : Lokulasii, deposisi fibrin
Cairan : Jernih, PMN (+)
Kultur bakteri : Bakteri ±/+, pH >7.3, LDH <500 U/L, glukosa >60 mg/ml,
glukosa cairan : glukosa serum > 0.5
c) Empiema
Pleura : Jaringan granulasi tebal
Cairan : Pus, PMN (++)
Kultur bakteri : Bakteri (+), pH <7.1, LDH >1000 U/L, glukosa <40 mg/dl,
glukosa cairan : glukosa serum < 0.5

British Thoracic Surgery


a) Efusi pleura parapneumonic sederhana
Makroskopis : Cairan jernih
Karakteristik cairan : pH >7.2, LDH <1000 U/L, glukosa >2.2 mmol/l, tanpa
organisme pada kultur atau pewarnaan gram
b) Efusi pleura parapneumonic kompleks
Makroskopis : Cairan jernih atau berawan
Karakteristik cairan : pH <7.2, LDH >1000 U/L, glukosa >2.2 mmol/l, dapat
ditemukan organisme pada kultur atau pewarnaan gram.
c) Empiema
Makroskopis : Pus terlihat jelas
Karakteristik cairan : Tidak memerlukan pemeriksaan biokimia, dapat ditemukan
hasil positif pada kultur dan pewarnaan gram.

14
DIAGNOSIS

Anamnesis dan pemeriksaan fisis


Gejala klinis parapneumonic effusion dapat beragam. Pada tahap awal,
penderita mengeluhkan nyeri dada pleuritik yang sering disertai demam dan batuk.
Sedangkan pada tahap akhir, sesak adalah gejala yang dominan timbul. 17 Beberapa
gejala yang tampak, mencerminkan adanya respon inflamasi pleura, seperti restriksi
gerakan paru, atau gangguan pertukaran gas. Gejala tersering pada inflamasi pleura
ada nyeri pleuritik, yang timbul karena rangsangan saraf pada pleura parietal. Nyeri
ini umumnya dirasakan di regio yang terjadi kelainan, dan seringkali berkaitan
dengan siklus pernafasan. 11
Anamnesis adalah hal wajib untuk menentukan etiologi dasar empiema.
Gejala klinis pun tergantung pada agen penyebab pneumonia, bakteri aerob atau
anaerob. Onset akut nyeri dada, demam, produksi sputum, dan sesak pada pasien
mengindikasikan infeksi bakteri aerob. Pada pasien dengan penurunan imunitas
dengan lemah, kehilangan berat badan dalam waktu cepat, anemia, atau anorexia,
umumnya disebabkan oleh bakteri anaerob dan terjadi secara subakut. Demam dan
tanda-tanda sepsis, termasuk kenaikan leukosit dan marker inflamasi, menandakan
progresi pneumonia menjadi empiema pleura.6
Riwayat penyakit juga sangat penting. Perlu ditanyakan kepada pasien
mengenai riwayat infeksi pernafasan, demam, penurunan berat badan, dan malaise.
Apakah gejala ini muncul tiba-tiba atau perlahan dalam waktu lama, atau beberapa
minggu? Adakah penyakit kronik lain yang diderita pasien? Informasi mengenai
riwayat penyakit jantung juga penting, karena gagal jantung kongestif turut
menyumbang angka penyebab efusi pleura bilateral. Riwayat klinis yang penting
ditanyakan juga adalah pemakaian obat-obatan dan riwayat paparan asbes.16
.

15
Gambar 6. Alur diagnosis efusi pleura yang disertai infeksi
Dikutip dari (13)

Riwayat dan pemeriksaan fisis dapat mengarahkan pada pemeriksaan lebih


lanjut. Suara nafas mengalami penurunan baik unilateral ataupun bilateral, atau
menghilang pada basal. Pada perkusi dapat ditemukan pekak pada basal. Jika efusi
besar, maka tanda takipnea akan menyertai. Pleural rub kadang dapat terdengar pada
fase awal EPP. Pada EPP unilateral, dapat ditemukan pekak unilateral dari hasil
perkusi.16 Selain itu, tanda tersering pada EPP adalah nyeri tekan intercostal.10
Pemeriksaan fisis dapat mengidentifikasi adanya cairan dalam pleura, ketika
penemuan konsolidasi, seperti ronkhi halus atau kasar, bronkofoni, dan peningkatan
fremitus digantikan oleh suara nafas dan fremitus yang menurun. Hasil pemeriksaan
ini dapat mengarahkan efusi pleura namun seringkali sulit untuk mengidentifikasi
etiologi dasar, di mana anamnesis yang tajam lebih berperan. Diperlukan
pemeriksaan X-Ray untuk evaluasi yang lebih lanjut.3,18

16
Radiologi
a) X-Ray
Jika terdapat kecurigaan efusi pleura, maka perlu dilakukan X-Ray thoraks.
Sudut kostofrenikus yang tumpul pada X-Ray thoraks posisi PA hanya terlihat jika
volume cairan >500 ml. Keberadaan cairan pleura paling mudah terlihat pada foto
posisi lateral dengan volume >50 ml. Jika kedua diafragma terlihat dan sudut
kostofrenikus posterior tidak tumpul, maka tidak ada cairan yang signifikan. Jika
sudut kostofrenikus posterior tumpul, maka efusi pleura perlu dievaluasi dengan
foto posisi lateral decubitus, ultrasound cavum pleura, atau CT Scan thoraks. Foto
posisi lateral decubitus dapat mengonfirmasi adanya cairan efusi bebas di sekitar
paru.3,16

Gambar 7. X-Ray parapneumonic empiema dextra

Dikutip dari (19)

b) Ultrasound

17
Ultrasound adalah alat yang baik dalam mengevaluasi efusi pleura. Alat ini
tidak hanya membantu menegakkan diagnosis, namun juga drainase cairan dari
cavum pleura. Ultrasound memiliki dua keuntungan. Pertama, sifatnya yang
portable dan dapat dilakukan dengan mudah di perawatan intensif, dan dapat
menentukan jika cairan pleura itu terbagi dalam septa-septa. Jumlah cairan pleura
bebas dapat dihitung secara semikuantitatif dengan menghitung jarak antara
dinding dada dalam dengan inferior paru pada posisi radiograf decubitus atau CT
scan dada. Jika jaraknya <10 mm, maka efusi tidak signifikan secara klinis dan
tidak ada indikasi thoracentesis.3
c) CT Scan
Walaupun tingkat sensitivitas CT Scan dalam mendeteksi membran di
cavum pleura tidak maksimal, namun CT Scan dapat membedakan pasien dengan
complicated EPP dan abses paru perifer. CT Scan thoraks dapat memperlihatkan
efusi pleura yang tidak terlihat dari X-Ray konvensional, membedakan cairan
pleura dengan proliferasi jaringan pleura, sehingga memberikan petunjuk tentang
kemungkinan penyebab efusi (pneumonia, kanker, emboli paru). Jika
memungkinkan, CT scan harus dilakukan setelah drainase efusi, karena efusi dapat
menutupi kondisi patologis pleura dan paru. CT Scan dengan kontras sangat
berguna dalam diagnosis empiema pleura dan abses paru, membedakan kondisi
patologi pleura yang jinak dan ganas.13,16 Pada empiema seringkali ditemukan
penebalan pleura sebanyak lebih dari 80% dan penyengatan pleura pada hamper
95% pasien empiema. Kondisi penebalan dan penyengatan pleura parietal dan
visceral dapat memberikan bentuk “split pleura sign” yang terlihat pada 70% kasus
empiema.6

18
Gambar 8. (Kiri) CT Scan pasien dengan empiema sinistra, (kanan) CT Scan pasien
dengan empiema terlokalisir

Dikutip dari (6,9)

Analisis Cairan Pleura


Efusi eksudat disebabkan oleh adanya faktor inflamasi pada pleura atau paru.
Mekanisme lain efusi eksudat juga dapat disebabkan oleh gangguan drainase limfatik
cairan pleura, kerusakan ductus thoracicus, dan perpindahan cairan peritoneal melalui
diafragma. Kriteria yang digunakan untuk membedakan cairan transudat dan eksudat
adalah Kriteria Light, yaitu:21
a) Rasio protein cairan pleura/protein serum >0.5
b) Rasio LDH cairan pleura/ LDH serum >0.6
c) LDH cairan pleura >2/3 garis batas atas nilai normal LDH serum.

Cairan disebut efusi eksudatif jika memenuhi satu dari tiga kriteria di atas.
Jika tidak ada kriteria yang dipenuhi, maka efusi tergolong transudat. Efusi eksudatif
memerlukan pemeriksaan diagnostik dan terapeutik lanjutan, dan seringkali
membutuhkan intervensi bedah atau non-bedah.21 Tingkat keasaman cairan pleura
turut berperan dalam menegakkan diagnosis. Asidosis cairan pleura ditemukan pada
infeksi pleura dengan komplikasi, TB, artritis rheumatoid, dan efusi maligna. Jika
nilai pH < 7.2, drainase pleura perlu dipasang sesegera mungkin. Sebuah meta-
analisis memperlihatkan bahwa pH yang rendah adalah indikator terbaik kasus EPP
dengan komplikasi.16 Konsentrasi glukosa dalam cairan pleura normalnya setara
dengan glukosa dalam darah. Pada kasus empiema, TB, keganasan, dan rheumatoid
artritis seringkali ditemukan konsentrasi glukosa yang rendah.16

TATALAKSANA

19
Tatalaksana efusi pleura infeksius berkonsentrasi pada pemberian antibiotik,
drainase thoraks, injeksi cavitas intrapleural, thorakoskopi, operasi, dan beberapa
aspek lainnya seperti edukasi umum8,13. Jika drainase dari chest tube pertama tidak
adekuat, maka alternatif lain dapat berupa tambahan chest tube, VATS, dan
dekortikasi thorakotomi.9

Gambar 9. Proses tatalaksana efusi pleura infeksius

Dikutip dari (13)

20
Tatalaksana Umum
Nutrisi yang buruk dan hipoalbuminemia menjadi salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap prognosis penderita empiema. Infeksi pleura sendiri berperan
dalam reaksi katabolik yang memicu kondisi imunodefisiensi. Oleh karena itu, aspek
nutrisi pasien juga harus diperhatikan. Pemberian nutrisi harus diberikan, disertai air,
elektrolit, dan produk keseimbangan asam basa. Selain itu, risiko terjadinya
thromboemboli vena pada penderita empiema juga tinggi, sehingga profilaksis
thrombosis dengan heparin turut dipertimbangkan. Jika antikoagulan tidak tersedia,
maka penggunaan stocking atau profilaksis mekanik dapat digunakan.8,13

Antibiotik
Terapi antibiotik memegang peran penting dalam tatalaksana empiema akut
dan harus disesuaikan dengan hasil analisis mikrobiologi cairan pleura dan kultur
darah. Pemberian antibiotik sesegera mungkin, setelah infeksi pleura terdiagnosis.
Efusi kecil dengan ketebalan <10 mm akan menyembuh dengan pemberian antibiotik
empiris, namun jika terjadi penambahan volume efusi dan perburukan kondisi
diperlukan re-evaluasi rencana antibiotik. 6 Cavum thoraks dan paru memiliki
perbedaan signifikan dalam kadar oksigen dan pH; maka spektrum bakteri penyebab
infeksi cavum thoraks tidak akan sama persis dengan penyebab pneumonia.
Patogen tersering penyebab community-acquired pleural infection adalah
streptococcus, diikuti oleh bakteri anaerob dan staphylococcus. Sebaiknya, terapi
yang dipilih adalah obat yang dapat berpenetrasi hingga cavum pleura sejauh
mungkin, seperti kombinasi penisilin + beta lactam, klindamisin, dan metronidazole,
serta menghindari obat aminoglikosida karena memiliki penetrasi yang buruk dan
inaktivasi pada lingkungan asam. Pada pasien dengan alergi penisilin, dapat diberikan
klindamisin + fluoroquinolone, atau cephalosporin generasi 3 dan carbapenem.

21
Gambar 10 Manajemen Efusi Parapneumonia

Dikutip dari (15)

Thorakosintesis
Pengambilan sampel cairan pleura untuk diagnostik harus dilakukan pada
penderita efusi pleura, sepsis, atau pneumonia. Hal ini disebabkan karena sulitnya
membedakan efusi sederhana yang dapat menyembuh dengan antibiotik, dari EPP
dengan komplikasi yang membutuhkan pemasangan chest tube.6 Karakteristik cairan
pleura juga perlu diketahui demi perencanaan tatalaksana yang sesuai. Aspirasi cairan
pleura merupakan indikasi pada pasien dngan efusi pleura >10 mm dan pneumonia,
tanda klinis sepsis atau riwayat trauma thoraks, atau riwayat operasi. USG thoraks
perlu dilakukan untuk mengurangi risiko terjadinya pneumothoraks. Pada penderita
efusi dengan komplikasi, thorakosintesis terapeutik tanpa pemasangan chest drain
tidak disarankan. 6

22
Drainase Thoraks
Thorakostomy dengan antibiotik yang tepat adalah terapi untuk empiema
tahap 1. Ketika ditemukan pus atau cairan berkabut pada sampel cairan pleura,
jumlah efusi ≥1/2, glukosa ≤40 mg/dL, LDH >2,000 U/L chest tube harus segera
dipasangkan. Indikasi lain untuk melakukan drainase thoraks adalah kondisi EPP, di
mana pH <7.2 dan terdapat invasi bakteri pada cavum pleura yang diketahui dari
pewarnaan gram atau kultur sampel pleura yang positif.6,13 Keberadaan lokulasi pada
X-Ray thoraks atau USG berkaitan dengan prognosis yang buruk dan merupakan
indikasi tambahan drainase thoraks sesegera mungkin. Terlebih lagi, efusi pleura
yang mencakup 40% hemithoraks, sering kali membutuhkan debridement
pembedahan. Pada kasus ini, chest drain harus dipasangkan dengan bantuan radiologi.
Sampai saat ini, belum ada konsensus yang menentukan ukuran optimal chest
tube. Walaupun drain ukuran besar (≥28-F) lebih sering digunakan untuk
mengevakuasi nanah atau cairan dengan kekentalan tinggi, sebuah penelitian
prospektif non-randomised tidak menunjukkan perbedaan signifikan keberhasilan
dalam penggunaan chest tube ≤14-F dan >14-F. Namun, kateter ukuran kecil (10–14-
F) lebih mudah dimasukkan dan lebih nyaman pada pasien, sehingga sering
direkomendasikan sebagai terapi awal infeksi pleura. Kegagalan drainase sering
disebabkan oleh oklusi dan terlepas. Oleh karena itu, beberapa penelitian
membuktikan bahwa pembilasan regular (20-30 ml saline setiap 6-8 jam melalui
three-way) dan suction (−20 cm H2O) dapat memperbaiki efisiensi drainase dan
mencegah oklusi kateter. Kemudian, chest tube dapat dilepas ketika tanda klinis dan
sepsis telah terselesaikan dan hasil radiologi menunjukkan penurunan volume cairan
pleura.6

Fibrinolitik Intrapleura
Tahap fibropurulen empiema ditandai dengan terbentuknya septa-septa fibrin
dan peningkatan densitas cairan pleura. Pada tahun 2005, sebuah penelitian MIST-1

23
dipublikasikan, dan telah membandingkan hasil klinis 430 penderita efusi pleura
dengan komplikasi yang diterapi dengan streptokinase (250000 UI) dan placebo. Dari
hasil penelitian tersebut, ditemukan bahwa streptokinase intrapleural tidak
mengurangi tingkat mortalitas, frekuensi pembedahan, durasi rawat inap atau
memperbaiki abnormalitas pada X-Ray thoraks. Pada saat ini, streptokinase dan
urokinase bermanfaat dalam menghancurkan septa-septa fibrin, namun belum berefek
pada kekentalan cairan atau pencegahan pembentukan biofilm bakteri.6
Gambar 11. X-Ray thoraks pasien dengan empiema sinsitra multilokul yang berhasil
diterapi dengan fibrinolitik intrapleura

Dikutip dari (6)

Torakoskopi Medik

Torakoskopi medik menyebabkan luka dan efek samping yang lebih sedikit,
serta memegang posisi penting dalam diagnosis efusi pleura dengan penyebab yang
tidak diketahui, serta sangat praktis ketika terdapat kecurigaan kea rah efusi pleura
maligna atau pleuritis TB.3 Torakoskopi medik (atau pleuroskopi) dilakukan dengan
sedasi moderat oleh pulmonologis menggunakan port akses tunggal dan alat
rigid/semirigid. Tindakan ini memungkinkan inspeksi visual, drainase, prosedur
pleurodesis, dan biopsy pleura parietal. 23 Penelitian menemukan bahwa pengobatan
torakoskopi medik efektif untuk pengobatan efusi parapneumonik dengan komplikasi
untuk sekitar 90% pasien. Namun, saat ini tidak ada studi klinis sampel acak,
terkontrol, dan jumlah data yang banyak, serta data keamanannya tidak mencukupi.
Perawatan torakoskopi disarankan ketika perawatan medis konservatif gagal.3

Pembedahan
Pada pasien dengan empiema tahap II-III, pembedahan adalah terapi
utamanya. Pembedahan diindikasikan pada pasien dengan empiema tahap III, pasien
empiema tahap awal yang mengalami kegagalan terapi medikamentosa, dan penderita
efusi pleura dengan komplikasi. Poin utama pada pembedahan adalah evakuasi

24
material yang terinfeksi, debridement septa-septa pleura, dan dan re-ekspansi paru.
Pada kasus empiema tahap III yang lambat ditangani, akan membutuhkan dekortikasi
pleura yaitu pembuangan bagian pleura visceral yang menebal dan restriktif. 6
Drainase bedah diperlukan pada sekitar 1/3 pasien dengan infeksi rongga pleura.
Ketika drainase saja tidak menyembuhkan empiema pleura dan mencapai re-ekspansi
paru, intervensi bedah menjadi gold standard. Terutama pada pasien dengan sisa-sisa
sepsis persisten dan berkaitan dengan penumpukan cairan pleura meskipun telah
menerima terapi medikomentosa harus dipertimbangkan untuk pembedahan.
Pembedahan bertujuan untuk menghilangkan septasi yang terinfeksi atau
lokulasi pleura, dan debridemen deposisi. Sedangkan manfaat terapi minimal invasif
dibandingkan dengan terapi medis pada penderita empiema fibropurulen sudah jelas,
maka pendekatan bedah pada empiema tahap III lebih disukai. Sementara itu, standar
debdridement rongga pleura dan dekortikasi pleura viseral dan parietal dilakukan
dengan pembedahan terbuka konvensional dengan thorakotomi.14 Drainase kronik
rongga pleura dapat dilakukan dengan prosedur drainase terbuka.
Saat ini, video-assisted thoracoscopic surgery (VATS) seringkali digunakan
sebagai terapi pembedahan awal. Video Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS)
sering digunakan pada empiema multilokulasi atau empiema unilokulasi yang gagal
diatasi dengan antibiotik dan chest drain.3 VATS dilaporkan ekuivalen dengan
pembedahan terbuka dalam hal resolusi penyakit, dan lebih baik dalam hal durasi
rawat inap, komplikasi post operatif, dan morbiditas. Dekortikasi paru tetap menjadi
prosedur yang sangat sulit dan memakan waktu operator dalam melaksanakan
VATS.6
Pilihan teknik VATS yang digunakan adalah preferensi operator. Persyaratan
intraoperatif konversi tindakan minimal invasif menjadi torakotomi masih
kontroversial, namun dianggap berkaitan dengan tahap empiema, durasi waktu sejak

25
awal gejala klinis, jumlah drainase cairan pleura, dan jika ekspansi paru tidak
memuaskan.3,6 Dekortikasi mengangkat semua jaringan fibrosa dari pleura visceral
dan parietal bersama dengan nanah dari ruang pleura. Tindakan ini dapat
mengeliminasi sepsis pleura dan dengan demikian membantu ekspansi paru-paru
tersebut. Pada tahap akut infeksi, dekortikasi membantu mengendalikan infeksi..23

Gambar 12. CT Scan pasien dengan empiema sinistra, sebelum (a) dan sesudah (b)
pembedahan; debridement pleura dan dekortikasi pleura parietal melalui videothorakoskopi.
Dikutip dari (14)

26
KESIMPULAN

1. Efusi Parapneumonia adalah efusi pleura yang berhubungan dengan pneumonia,


abses paru, dan TB Paru

2. Perubahan EPP dapat terbagi menjadi tiga tahap, yaitu Tahap eksudatif, Tahap
fibropurulen, dan Tahap terorganisir

3. Terdapat beberapa sistem klasifikasi Efusi Parapneumonia, antara lain berdasarkan


American Thoracic Society, Light, Muers, dan British Thoracic Surgery

4. Tatalaksana efusi pleura infeksius berkonsentrasi pada pemberian antibiotik,


drainase thoraks, injeksi cavitas intrapleural, thorakoskopi, operasi, dan beberapa
aspek lainnya seperti edukasi umum

27
DAFTAR PUSTAKA

1. JM. Minimally invasive treatment of complicated parapneumonic effusions


and empiemas in adults. Clin Respir J. 2018; 12: 1361
2. McGuire AL, Mousadoust D, Yeung C, Myers R, Grant K, Nasir B, et al.
Incidence of parapneumonic empiema and complex parapneumonic effusion:
A retrospective cohort study of 1766 pneumonia cases at a tertiary-level
regional thoracic surgery referral center. Canadian Journal of Respiratory,
Critical Care, and Sleep Medicine. 2020; 4(1): 32-3
3. Singh S, Singh SK, Tentu AK. Management of parapneumonic effusion and
empiema. J Assoc Chest Physicians. 2019; 7:51
4. Sahasrabudhe N, Gosney JR, Hasleton P. The normal lung: histology,
embryology, development, aging, and function. In: Hasleton P, Flieder DB,
eds. Spencer’s Pathology of The Lung. 6th ed. New York: Cambridge
University Press; 2013. p. 8-10
5. Cafarotti S, Condoluci A, Inderbitzi R. Physiology and Pathophysiology of
the Pleura. In: Kiefer T, eds. Chest Drains in Daily Clinical Practice.
Switzerland: Springer International Publishing Switzerland; 2017. p.18
6. Nistor CE, Tsui S, Kirali K, Ciuche A, Aresu G, Kocher GJ. Thoracic
Surgery: Cervical, Thoracic and Abdominal Approaches. Switzerland:
Springer International Publishing Switzerland; 2020. Embryology and
Anatomy of The Pleura: p. 403
7. Chubb SP, Williams RA. Biochemical Analysis of Pleural Fluid and Ascites.
Clin Biochem Rev. 2018; 39 (2): 39-40
8. Meganathan P, Awasthi S. Predicting Complicated Parapneumonic Effusion
in Community Acquired Pneumonia: Hospital Based Case-Control Study.
Indian J Pediatr. 2019; 86(2): 140
9. Aghajanzadeh M, Hassankhani A, Maafi AA, Safarpoor Y. The role of
thoracoscopy in management and outcome of stage II thoracic parapneumonic
empiema: review of 148 cases. Indian J Thorac Cardiovasc Surg. 2016 May;
32: 189.
10. Meher SK, Mahapatra SK, Murmu SK, Meher P. Evaluation of predisposing
factors, etiology, and clinical manifestations of childhood empiema thoracis at
a tertiary care center of Odisha. Indian J Child Health. 2018; 5(4): 305
11. Krenke K, Urbankowska E, Urbankowski T, Lange J, Kulus M. Clinical
characteristics of 323 children with parapneumonic pleural effusion and

28
pleural empiema due to community acquired pneumonia. J Infect Chemother.
2016; 22: 292.
12. Schweigert M, Solymosi N, Dubecz A, Fernandez MJ, Stadhulber RJ, Ofner
D, et al. Surgery for parapneumonic pleural empiema - What influence does
the rising prevalence of multimorbidity and advanced age has on the current
outcome? Surgeon. 2016 Apr; 14(2): 70
13. Yang W, Zhang B, Zhang ZM. Infectious pleural effusion status and treatment
progress. J Thorac Dis. 2017; 9(11): 4691.
14. Reichert M, Hecker M, Witte B, Bodner J, Padberg W, Weigand MA, et al.
Stage-directed therapy of pleural empiema. Langenbecks Arch Surg. 2017
Feb; 402(1): 15-26.
15. Kopman DF, Light R. Pleural Disease. N Engl J Med 2018; 378: 740-51
16. Jany B, Welte T. Pleural Effusion in Adults—Etiology, Diagnosis, and
Treatment. Dtsch Arztebl Int. 2019; 116: 377–86.
17. Pan H, He J, Shen J, Jiang L, Liang W, He J. A meta-analysis of video-
assisted thoracoscopic decortication versus open thoracotomy decortication
for patients with empiema. J Thorac Dis. 2017; 9(7): 2006-14.
18. Bedawi EO, Hassan M, Rahman NM. Recent developments in the
management of pleural infection: a comprehensive review. Clin Respir J.
2018 Aug; 12(8): 2309-20
19. Caviezel C, Schuetz P, Gerdes S, Gambazzi F. Procalcitonin as preoperative
marker for surgery in advanced parapneumonic empiema. J Thorac Dis.
2017;9(3):734-41
20. Griffith D, Boal M, Rogers T. Evolution of practice in the management of
parapneumonic effusion and empiema in children. J Ped Surg. 2018; 58: 644-
46
21. Koppurapu V, Meena N. A review of the management of complex para-
pneumonic effusion in adults. J Thorac Dis. 2017; 9(7): 2135-41.
22. Porcel JM. Chest Tube Drainage of the Pleural Space: A Concise Review for
Pulmonologists. Tuberc Respir Dis. 2018; 81: 106-115

29

Anda mungkin juga menyukai