EJ1173650 en Id
EJ1173650 en Id
com
ISSN 2087-8885
E-ISSN 2407-0610
Email: msalehginting@gmail.com
Abstrak
Dengan mengambil peran sebagai mentor dan fasilitator, seorang guru di 4th kelas sekolah dasar
perlu melihat kondisi siswa dalam tahap berpikir konkrit. Proses pembelajaran perlu disesuaikan
agar objek abstrak dalam matematika dapat direpresentasikan melalui objek konkret sebagai
jembatan untuk memasuki pengetahuan yang sudah dimiliki siswa, khususnya untuk materi
pecahan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pencapaian dan peningkatan kemampuan
penalaran matematis siswa melalui penerapan pendekatan pendidikan matematika realistik
Indonesia (PMRI). Subjek penelitian terdiri dari 51 siswa pada kelompok eksperimen dan 45 siswa
pada kelompok kontrol yang dikategorikan menjadi tiga tingkatan (rendah, sedang, dan tinggi).
Abstrak
Sebagai pendamping sekaligus fasilitator, seorang guru di kelas 4 sekolah dasar perlu
memperhatikan kondisi para siswanya yang berada pada taraf berfikir konkret. Proses belajar perlu
disesuaikan sehingga objek abstrak pada dapat "direpresentasikan" melalui benda konkret sebagai
jembatan pengetahuan yang telah dimiliki siswa, khususnya terhadap materi. Penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji dan meningkatkan kemampuan penalaran matematika (KPM) siswa
melalui penerapan pendekatan pembelajaran matematika Indonesia (PMRI). Subjek penelitian
terdiri dari 51orang kelas eksperimen dan 45 orang kelas kontrol yang terbagi menjadi tiga level
(rendah, sedang dan tinggi).
Bagaimana Mengutip: Saleh, M., Prahmana, RCI, Isa, M., & Murni. (2018). Peningkatan Kemampuan
Penalaran Siswa Sekolah Dasar Melalui Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.Jurnal Pendidikan
Matematika, 9(1), 41-54.
Sulit dibayangkan bagaimana proses belajar berjalan dan bagaimana hasil belajarnya terhadap orang-orang yang tidak memiliki
kemampuan mendengar dan bertujuan untuk mengetahui indahnya kicauan burung, terlebih lagi kepada orang-orang yang
memiliki kemampuan mendengar tetapi tidak pernah mendengar. burung berkicau (Syamsuri, Purwanto, Subanji, & Irawati,
2017). Mereka mungkin memberikan jawaban tertulis, tetapi mereka tidak dapat memahaminya dan itu bukan pengetahuan
yang mereka miliki. Fenomena ini terjadi karena kondisi mereka yang tidak mendukung untuk mengenal jenis suara. Sama
halnya dengan seorang guru sebagai pengajar dan seorang fasilitator perlu melihat secara seksama kondisi atau kemampuan
Pecahan adalah topik yang pertama kali diperkenalkan kepada siswa sekolah dasar ketika mereka berada di
kelas 4th nilai. Oleh karena itu, penting bagi siswa untuk terlibat dalam pembelajaran yang tepat dan menyenangkan
41
42 Jurnal Pendidikan Matematika, Volume 9, No. 1, Januari 2018, hlm. 41-54
pecahan sedemikian rupa sehingga dapat menghindari miskonsepsi dalam memahaminya (Wahyu, Amin,
& Lukito, 2017). Proses pembelajaran harus dimulai dengan memahami konsep pecahan melalui kegiatan
memanfaatkan benda konkret, baik yang diskrit maupun yang kontinu. Setelah mereka memahami makna
pecahan, maka diberikan simbol yang sesuai dengan representasi yang mereka lihat dan pahami melalui
benda konkret.
Beberapa laporan menunjukkan bahwa banyak siswa mengalami kesulitan dalam memahami dan memecahkan
masalah pecahan. Bahkan mengembangkan kecemasan di kalangan siswa untuk belajar. Morge (2011) melaporkan
bahwa topik pecahan dapat menakutkan dan sulit bagi anak-anak, bahkan sampai kelas menengah. Serupa dengan ini,
Naiser, Wright, dan Capraro (2003) menunjukkan bahwa pecahan seringkali sulit bagi siswa untuk sepenuhnya
memahami. Guru harus menemukan berbagai strategi untuk digunakan di kelas untuk mengajar pecahan. Sama
Pernyataan tersebut dilaporkan bahwa “guru mengatakan bahwa salah satu topik di kelas lima yang sulit
dipahami oleh siswa kelas lima adalah pecahan (Julie, Suwarsono, & Juniati, 2013).
Lebih lanjut, Li & Smith (2007) melaporkan bahwa diperlukan desain pembelajaran pecahan bagi
guru untuk melaksanakan pembelajaran. Masalah kesulitan terkait pecahan tidak hanya dialami oleh siswa
tetapi juga guru atau guru honorer dalam memilih strategi untuk melaksanakan pembelajaran pecahan.
Ketika siswa tidak memahami konsep pecahan, mereka memberikan jawaban “tidak ada” atau “nol”
mengacu pada hasil pembagian ketika pembagi lebih besar dari pembagian. Pecahan menjadi penting
untuk dipahami oleh siswa untuk mendukung mereka mempelajari materi lain. Laursen (sebagaimana
dikutip dalam Brown & Quinn, 2007) menyatakan bahwa ketidakmampuan untuk melakukan operasi dasar
pada pecahan biasa telah menyebabkan pola kesalahan yang muncul dalam pembelajaran aljabar.
Masalah dapat muncul ketika siswa mencoba menerapkan jalan pintas yang disalahpahami,
Ketika siswa secara sadar terlibat dalam proses menemukan konsep matematika dengan menggunakan benda
konkret, maka akan memberikan jejak yang kuat dalam mengingat temuan tersebut. Hal-hal yang dialami akan
meninggalkan jejak yang lebih kuat dibandingkan dengan yang diperoleh dari membaca atau mendengarkan. Temuan
yang mereka peroleh dari proses pembelajaran berdasarkan jalur berpikir mereka sendiri akan diterima secara logis
dan menciptakan pembelajaran yang lebih bermakna (Treffers, 1987). Dahar (1988) menyatakan bahwa dari teori
perkembangan kognitif Piaget, kita mengetahui bahwa anak-anak yang lebih muda masih dalam tahap mempelajari
konsep-konsep konkret, sedangkan konsep-konsep yang lebih sulit atau lebih abstrak lebih cocok untuk dipelajari oleh
orang yang lebih tua. Pada tataran konkrit, siswa dianggap menguasai konsep jika telah mengenal objek yang
dihadapinya.
Melalui pendekatan pembelajaran realistik, siswa akan memahami konsep dan operasi
pecahan melalui aktivitas mental. Terkait pembelajaran realistik, Tim PMRI (2010:18)
Saleh, Prahmana, Isa, & Murni, Meningkatkan Kemampuan Penalaran Anak SD… 43
menyatakan bahwa Realistic Mathematics Education (RME) dipandang sebagai pendekatan yang potensial untuk
meningkatkan pemahaman matematika siswa. Terinspirasi oleh filosofi RME, mereka mengembangkan
pendekatan untuk meningkatkan pembelajaran matematika di sekolah-sekolah Indonesia. Dikenal sebagai PMRI
yang merupakan singkatan dari Pendidikan Matematika Realistik Indonesia atau RME versi bahasa Indonesia.
Berdasarkan argumen tersebut, matematika tidak hanya untuk dipelajari, tetapi juga untuk diterapkan dalam
aktivitas kehidupan sehari-hari (Sumirattana, Makanong, & Thipkong, 2017). Dalam tulisan ini, definisi
operasional PMRI adalah pembelajaran yang memanfaatkan masalah kontekstual dan objek konkret untuk
memahami konsep dan masalah serta merepresentasikan pecahan berdasarkan konteks yang dipilih.
Sebenarnya banyak fenomena didaktis yang berkaitan dengan pembelajaran matematika. Namun,
lebih sedikit orang yang memperhatikannya dan tidak menggunakannya meskipun penuh dengan prinsip-
prinsip matematika. Upaya peningkatan potensi tersebut diperlukan agar pembelajaran dapat bermakna,
pemahaman siswa terhadap matematika dapat terkonstruksi dengan baik, dan pelembagaan ilmiah dapat
terjadi di dalamnya.
Model pembelajaran yang menekankan pada algoritma, tanpa memberikan waktu dan kesempatan yang cukup
untuk menemukan pengetahuan, akan menjadi tidak berarti bagi siswa. Bruner (sebagaimana dikutip dalam Dahar,
1988) menyatakan bahwa discovery learning sesuai dengan gagasan pencarian pengetahuan aktif oleh manusia yang
mengarah pada hasil yang baik. Meskipun tidak mudah bagi siswa untuk menemukan konsep seperti yang diharapkan
guru, namun konteks perlu diperhatikan agar dapat merangsang siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran sesuai
Pada tataran konkrit, siswa dapat dikatakan telah menguasai suatu konsep jika mengenal objek yang
pernah diketahuinya. Dahar (1988) menyatakan bahwa seseorang telah mencapai pemahaman terhadap suatu
konsep dalam tataran konkrit jika ia mengenali objek yang pernah ia temui sebelumnya. Seorang anak yang
pernah memainkan mainan dan memberikan respon yang sama ketika anak menemukan mainan tersebut, maka
dikatakan anak tersebut telah menguasai konsep pada tataran konkrit. Untuk menguasai konsep pada tataran
konkrit, siswa perlu memperhatikan objek dengan seksama, kemudian membedakannya dengan rangsangan
lain di lingkungannya.
Mengikuti jalur berpikir siswa dalam proses pembelajaran, berdasarkan prinsip lintasan belajar yang
dikutip oleh Clements & Clara (sebagaimana dikutip oleh Westenskow, 2012), lintasan belajar adalah
pemetaan kemajuan pembelajaran konsep dan keterampilan matematika. Mengikuti alur berpikir siswa
dalam proses pemahaman matematika, dapat bermanfaat untuk memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mengaktualisasikan potensinya. Oleh karena itu, potensi siswa dapat digali secara optimal sehingga
dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam pemecahan masalah lainnya sebagai
representasi eksternal.
Materi matematika didominasi oleh benda-benda abstrak. Abstrak matematika harus dimodifikasi
menjadi lebih konkrit sehingga siswa dapat berimajinasi melalui masalah kontekstual (Swanson & Williams,
2014). Proses pembelajaran yang diawali dengan pemanfaatan benda-benda konkrit akan memberikan
jejak yang mendalam karena sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya yang bergerak dari
44 Jurnal Pendidikan Matematika, Volume 9, No. 1, Januari 2018, hlm. 41-54
konkrit hingga formal. Kegiatan pembelajaran yang melibatkan objek konkret akan menimbulkan tindakan dan
Hal ini dimungkinkan bagi siswa untuk memberikan respon dan algoritma solusi secara formal dan informal
ketika mereka terlibat dalam masalah kontekstual. Urutan belajar yang dilakukan oleh seorang siswa untuk mencapai
tujuan dapat berbeda antara satu siswa dengan siswa lainnya. Namun, seorang perancang pembelajaran harus
mempertimbangkan antara tahap perkembangan proses berpikir siswa dan tahap berdasarkan struktur matematika.
Oleh karena itu, siswa harus memahami matematika dengan tidak hanya menghafalnya tetapi juga dengan diberikan
Menurut Koenig (2007), kegiatan penalaran dan pembuktian dalam program pembelajaran dari tingkat
taman kanak-kanak sampai sekolah menengah atas harus terdiri dari: (1) Mengenali penalaran dan pembuktian
sebagai aspek dasar matematika; (2) Membuat dan menyelidiki dugaan dalam matematika; (3) Mengembangkan
dan mengevaluasi argumen dalam matematika; (4) Memilih dan menggunakan berbagai macam metode
Penalaran menurut Shurter & Pierce (sebagaimana dikutip dalam Sumarmo, 2014) dapat didefinisikan sebagai
suatu proses untuk mencapai suatu kesimpulan yang logis berdasarkan fakta dan sumber yang relevan. Manusia
seringkali menemukan masalah yang menuntut mereka untuk menemukan solusi dan menarik kesimpulan. Sebuah
kesimpulan dapat ditarik melalui penalaran dengan melihat setiap hubungan dari argumen atau informasi yang
tersedia. Oleh karena itu, kemampuan penalaran perlu dikembangkan sejak anak usia dini melalui proses pembelajaran
yang dirancang di sekolah. Melalui latihan pengembangan penalaran, siswa dapat melihat masalah dan kecukupan
Ketika siswa melihat bahwa informasi yang diberikan tidak memadai, maka mereka dapat menarik
kesimpulan awal yang menyarankan perlunya informasi tambahan. Selanjutnya mereka dapat mencari
informasi tambahan dengan memanfaatkan pengetahuan yang ada selama informasi tersebut dapat
diturunkan dari masalah yang diberikan. Oleh karena itu, guru perlu mengetahui sejauh mana siswa
METODE
Percobaan dilakukan di dua sekolah dasar, yaitu SD Negeri 2 Banda Aceh dan SD IT Nurul
Ishlah Banda Aceh. Setiap sekolah melibatkan dua kelompok 4th-siswa kelas. Pemilihan kedua
sekolah sebagai lokasi penelitian dilakukan melalui beberapa pertimbangan seperti aspek
jumlah siswa dalam kelompok dan aspek guru matematika.
Penelitian ini dilakukan dengan menetapkan dua perlakuan terhadap subjek. Satu kelompok terdiri dari 51 siswa
diperlakukan dengan pembelajaran pendekatan PMRI sebagai kelompok eksperimen, sedangkan kelompok lainnya
terdiri dari 45 siswa menjadi kelompok kontrol dan diperlakukan dengan pembelajaran konvensional. Pembelajaran
Instrumen Penelitian
Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, tes, dan wawancara tidak terstruktur.
Pengamatan dilakukan secara terstruktur dan tidak terstruktur. Instrumen yang digunakan adalah
tes dan nontes. Tes terdiri dari tes kemampuan awal matematika dan tes kemampuan penalaran
matematika. Instrumen juga dilengkapi dengan RPP dan benda-benda konkret. Proses pengumpulan
data menggunakan instrumen yang telah divalidasi keterbacaannya, telah direvisi sesuai dengan
masukan dari ahli isi dan ahli bahasa, telah dicobakan pada non mata pelajaran baik guru maupun
siswa.
Indikator kemampuan penalaran matematis adalah: (1) menggunakan atau menafsirkan model
matematika seperti rumus, grafik, tabel, skema, dan penarikan kesimpulan darinya; (2) pemecahan
masalah dengan menggunakan metode matematika yang sesuai seperti aritmatika, geometrik, atau
analitik; (3) komunikasi informasi matematika secara efektif menggunakan simbol, visual, numerik, atau
representasi lisan; dan (4) menilai tingkat keakuratan kesimpulan berdasarkan informasi kuantitas.
Kemampuan penalaran matematis didefinisikan sebagai kemampuan siswa untuk memeriksa kecukupan atau
kebutuhan data dan semua hubungan antara argumen dan informasi yang tersedia untuk menarik kesimpulan. Shurter
& Pierce (sebagaimana dikutip dalam Sumarmo, 2014) menyatakan bahwa masalah kemampuan penalaran matematika
terdiri dari masalah nonrutin yang dirancang untuk mengetahui kemampuan siswa dalam penalaran matematika.
Masalah yang diajukan terdiri dari masalah dengan ilustrasi dan masalah tanpa ilustrasi yang dilengkapi dengan data
untuk mencari solusi. Namun, itu bukan data siap pakai untuk memungkinkan siswa membuat dan menyelidiki dugaan
serta mengembangkan dan mengevaluasi argumen menuju pemecahan masalah. Dalam konstruksi masalah
diharapkan terjadi proses penalaran yang mengarah pada penarikan kesimpulan yang logis berdasarkan fakta dan
Pengamatan Awal
Objek Beton
Benda konkret yang digunakan sebagai media pembelajaran adalah papan berbentuk persegi panjang yang dibagi
menjadi 24 bagian sama besar sehingga menyerupai bentuk coklat seperti pada Gambar 1.
46 Jurnal Pendidikan Matematika, Volume 9, No. 1, Januari 2018, hlm. 41-54
Gambar 1. Cokelat
Model papan pecahan persegi panjang dibagi menjadi 24 bagian ( unit) tetapi tidak dipisahkan jadi
yang dapat digunakan untuk menyatakan pecahan dengan penyebut 2, 3, 4, 6, 8, 12, dan 24 dan
pembilang 1 sampai 24. Papan pecahan dilengkapi dengan kertas karton berbagai ukuran sehingga
dapat menutupi sebagian papan untuk menunjukkan nilai pecahan tertentu. Pemilihan materi ini
dirasa bermanfaat bagi siswa untuk memahami konsep pecahan dan melakukan operasi
penjumlahan dan pengurangan pecahan dengan pembilang dan penyebut tertentu. Papan terbuat
dari kayu atau triplek di ukuran cm. Melalui pemilihan ukuran ini, sebuah “chocolate chip” dapat dibuat dengan ukuran
Delapan ukuran mewakili nilai pecahan yang berbeda: dengan ukuran atau , dengan ukuran
, dengan ukuran atau , dengan ukuran , dengan ukuran , dengan ukuran , dengan ukuran
, serta satu ukuran . Contoh ukuran kertas yang mewakili setiap nilai pecahan dapat
dan
Persegi panjang pecahan dilengkapi dengan kertas karton dengan bentuk persegi panjang dan ukuran
tertentu sedemikian rupa sehingga mewakili nilai pecahan yang diinginkan. Contoh papan pecahan yang mewakili
Kertas karton digunakan untuk menutupi bagian dari pecahan persegi panjang untuk mewakili pecahan yang sesuai.
Setiap kelompok siswa diberikan dua buah papan pecahan untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada siswa untuk
mencoba merepresentasikan pecahan. Papan dua pecahan juga memungkinkan siswa melakukan penjumlahan pecahan.
“Cobek”
Cobek, atau lesung, adalah peralatan dapur yang terbuat dari tanah liat yang biasanya digunakan untuk menggiling cabai, bawang merah, dan
bumbu lainnya secara tradisional di Aceh, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.
Sebuah lesung diberikan kepada setiap kelompok untuk dipecah-pecah menjadi beberapa bagian untuk merepresentasikan makna
Batasan Penelitian
Ada lima representasi pecahan, yaitu: bagian dari keseluruhan, pembagian, rasio, pengukuran,
48 Jurnal Pendidikan Matematika, Volume 9, No. 1, Januari 2018, hlm. 41-54
dan operator. Penelitian ini difokuskan pada pengertian pecahan sebagai bagian dari keseluruhan. Konsep ini dapat ditunjukkan
Analisis data
Data kuantitatif diperoleh melalui tes kemampuan matematika awal dan tes kemampuan penalaran
matematis. Data kemampuan awal matematika diperoleh sebelum proses pembelajaran pecahan dan digunakan
untuk mengklasifikasikan tingkat siswa (rendah, sedang, dan tinggi), sedangkan tes kemampuan penalaran
matematika diberikan sebelum dan sesudah pembelajaran dari kedua sekolah dasar tersebut. . Ada dua variabel
yang terlibat dalam penelitian ini, pendidikan matematika realistik sebagai variabel bebas dan kemampuan
Soal tes dibuat dalam bentuk esai dengan mempertimbangkan aspek penalaran. Esai dapat
digunakan untuk melihat peningkatan kemampuan penalaran melalui pretest dan posttest untuk dianalisis
skor peningkatannya. Analisis data yang digunakanPerangkat lunak Paket Statistik untuk Ilmu Sosial
(SPSS), 18th Versi: kapan. Pada tahap awal, seluruh data hasil pengujian disajikan dalam tabel yang terdiri
dari dua bagian besar, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Proses penjumlahan antara dua pecahan yang berbeda penyebutnya diawali dengan
pemahaman terhadap penjumlahan dua pecahan yang penyebutnya sama. Ada beberapa cara
siswa melakukan penjumlahan dan dengan menggunakan papan pecahan. Langkah-langkahnya adalah memilih kertas karton
(2) Langkah 2: Dua chip yang berbeda diganti menggunakan chip yang sama.
(3) Langkah 3: Memeriksa apakah penggantian telah dilakukan dengan benar (jika perlu).
(4) Langkah 4: Jika substitusi telah dilakukan dengan benar, maka siswa menghitung penambahan
Proses pembelajaran pecahan menggunakan papan pecahan sebagai model chocolate chip dapat dilakukan
(1) Memperkuat pemahaman terhadap makna pecahan melalui benda konkret tanpa lambang pecahan.
Langkah ini akan menciptakan jejak yang kuat di benak siswa karena mereka langsung mengamati
(2) Melalui model pecahan menggunakan benda konkret, guru menunjukkan berbagai nilai pecahan yang
berbeda kepada siswa mengacu pada perbedaan ukuran model pecahan. Guru juga menunjukkan
model pecahan berukuran relatif sama kepada siswa mengacu pada pecahan senilai.
(3) Selanjutnya siswa belajar tentang pembagian benda konkret, kontinu dan diskrit,
mengenalkan pecahan senilai melalui proses pembagian konkret serta menciptakan
pemahaman interpretasi pecahan sebagai suatu pembagian.
(4) Guru memperkenalkan lambang pecahan.
(5) Guru memperkenalkan operasi pecahan melalui benda konkret.
Ilustrasi pada Gambar 8 menyajikan contoh penggunaan kertas karton pada papan pecahan untuk
Gambar 8 merupakan pecahan dari . Itu kemudian digantikan oleh dua kertas karton yang mewakili nilai
dari, maka keduanya bersama-sama membuat nilai atau setara dengan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9.
50 Jurnal Pendidikan Matematika, Volume 9, No. 1, Januari 2018, hlm. 41-54
Penggunaan benda konkret berupa papan pecahan yang dilengkapi dengan kertas karton telah mampu
meningkatkan kemampuan penalaran siswa. Hal ini dapat dilihat dari proses dan hasil belajar mereka khususnya
Masalah diberikan sebelum dan sesudah proses pembelajaran. Siswa memberikan jawaban yang berbeda dan
hal ini menunjukkan peningkatan kualitas dari jawaban yang diberikan. Contoh diberikan di bawah ini.
Diberikan gambar seperti diilustrasikan pada Gambar 10. Siswa diminta untuk memberikan penjelasan
apakah daerah yang diarsir AKD adalah dari persegi panjang ABCD.
D 10 cm K C
A 10 cm E 10 cm B
Sebelum proses pembelajaran, siswa memberikan jawaban bahwa AKD adalah dan bukan ABCD. Namun, setelah
proses pembelajaran, siswa memberikan jawaban yang berbeda seperti yang terlihat pada Gambar 11.
Hasil uji-t independen N-Gain kemampuan penalaran matematis memberikan nilai sebesar
2,977 dan nilai Signifikan (P) sebesar 0,004 untuk semua kategori. Karena nilai
, maka ditolak. Dengan demikian, ada perbedaan yang signifikan dari peningkatan
kemampuan penalaran matematis antara siswa yang diajar dengan menggunakan pembelajaran pendekatan PMRI dan siswa yang diajar
Secara umum pencapaian dan peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang diajar
dengan pendekatan PMRI lebih baik dibandingkan dengan kemampuan penalaran matematis siswa yang
diajar dengan pembelajaran konvensional. Siswa aktif memanfaatkan benda konkret dalam memecahkan
masalah baik secara mandiri maupun kelompok, seperti mencari pecahan senilai.
Namun, prestasi belajar siswa pada kategori kemampuan awal matematika menengah tidak
memberikan perbedaan yang signifikan. Fenomena yang sama juga ditunjukkan oleh siswa dengan
kategori kemampuan awal matematika rendah. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam
pencapaian dan peningkatan kemampuan penalaran matematis antara siswa yang diajar dengan
pendekatan PMRI dan siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional. Informasi lengkap
tergambar pada Tabel 2.
Pencapaian Peningkatan
Arti dari
Kemampuan KAM Berarti
NGain
PMRI PKV PMRI PKV
T 28,17 20,08 0,4719 0,1840
S 19,23 13,50 0,2858 0,1373
R 13,15 12,40 0,1358 0,1505
Total 20.00 14,91 0,2927 0,1566
Matematika
KAM Kesimpulan Kesimpulan
Pemikiran
T PMRI>.PKV PMRI>PKV
S PMRI=PKV PMRI>PKV
R PMRI=PKV PMRI=PKV
Total PMRI > PKV PMRI>PKV
52 Jurnal Pendidikan Matematika, Volume 9, No. 1, Januari 2018, hlm. 41-54
KESIMPULAN
Pencapaian dan peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang diajar dengan pendekatan
PMRI lebih baik dibandingkan dengan kemampuan penalaran matematis siswa yang diajar dengan pembelajaran
konvensional. Namun, prestasi belajar siswa pada kategori kemampuan awal matematika menengah tidak
memberikan perbedaan yang signifikan. Fenomena yang sama juga ditunjukkan oleh siswa dengan kategori
REFERENSI
Brown, G., & Quinn, RJ (2007). Menyelidiki Hubungan Antara Kecakapan Pecahan dan
Sukses dalam Aljabar. Asosiasi Guru Matematika Australia, 63(4), 8-15.
Dahar, RW (1988). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Dirjen Dikti.
Julie, H., Suwarsono, Juniati, D. (2013). Siklus Pertama Pengembangan Bahan Ajar Untuk
Pecahan di Kelas Lima Menggunakan Pendidikan Matematika Realistik. Jurnal Pendidikan
Matematika, 4(2), 172-187.
Koenig, G. (2007). Perangkat Lunak Orchard dan Prinsip dan Standar NCTM untuk Sekolah
Matematika. Reston: Kelompok Belajar Siboney.
Li, Y., & Smith, D. (2007). Pengetahuan Calon Guru SMP Dalam Matematika Dan
Pedagogi Untuk Pengajaran – Kasus Pembagian Pecahan. In Woo, JH, Lew, HC, Park,
KS & Seo, DY (Eds.).Prosiding Konferensi ke-31 International Group for the Psychology
of Mathematics Education, 3, 185-192. Seoul: PM. Texas A&M University, AS Tersedia
di http://www.emis.de/proceedings/PME31/3/185.pdf.
Morge, SP (2011). Membantu Anak Memahami Konsep Pecahan Menggunakan Berbagai Konteks dan
Interpretasi. Jurnal Pendidikan Anak, 87(4).
Naiser, EA, Wright, KAMI, & Capraro, RM (2003). Mengajar pecahan: Strategi yang digunakan untuk
mengajarkan pecahan kepada siswa kelas menengah. Jurnal Penelitian Pendidikan Anak,18(3),
193-198.
Sumirattana, S., Makanong, A., & Thipkong, S. (2017). Menggunakan pendidikan matematika realistis dan
Proses pemecahan masalah DAPIC untuk meningkatkan literasi matematika siswa sekolah
menengah.Jurnal Ilmu Sosial Kasetsart, 38(3), 307-315.
Swanson, D., & Williams, J. (2014). Membuat matematika abstrak menjadi konkret di dalam dan di luar sekolah.
Studi Pendidikan di Matematika, 86(2), 193-209.
Syamsuri, S., Purwanto, P., Subanji, S., & Irawati, S. (2017). Menggunakan Kerangka Teori APOS: Mengapa
Apakah Siswa Tidak Dapat Membuat Bukti Formal?. Jurnal Internasional tentang Emerging
Mathematics Education, 1(2), 135-146.
Treffers, A. (1987). Tiga Dimensi. Model Tujuan dan Deskripsi Teori dalam Matematika
Petunjuk-Proyek Wiskobas. Dordrecht, Belanda: Perusahaan Penerbitan Reidel.
Saleh, Prahmana, Isa, & Murni, Meningkatkan Kemampuan Penalaran Anak SD… 53
Wahyu, K., Amin, SM, & Lukito, A. (2017). Kartu motivasi untuk mendukung pemahaman siswa tentang
pembagian pecahan. Jurnal Internasional tentang Emerging Mathematics Education, 1(1), 99-120.
Wang, G., Zhang, J., & Zhou, J. (2013). Karakteristik Efisiensi Pembelajaran Matematika
Perilaku. Jurnal Pendidikan Matematika, 6(1), 56-59.
Westenskow, A. (2012). Lintasan Pembelajaran Pecahan Setara untuk Siswa dengan Matematika
Kesulitan Belajar Saat Menggunakan Manipulatif. Disertasi yang Diterbitkan. Logan: Universitas
Negeri Utah.
54 Jurnal Pendidikan Matematika, Volume 9, No. 1, Januari 2018, hlm. 41-54