Anda di halaman 1dari 14

Diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia - www.onlinedoctranslator.

com

ISSN 2087-8885
E-ISSN 2407-0610

Jurnal Pendidikan MatematikaJilid 9,


No. 1, Januari 2018, hlm. 41-54

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALASAN SISWA SD


MELALUI BAHASA INDONESIA REALISTIS
PENDIDIKAN MATEMATIKA

Muhammad Saleh1, Rully Charitas Indra Prahmana2, Muhammad Isa1, Murni3


1Universitas
Serambi Mekkah, Jl. Unmuha, Batoh, Lueng Bata, Banda Aceh, Indonesia
2Universitas
Ahmad Dahlan, Jl. Pramuka Kav. 5, Pandeyan, Umbulharjo, Yogyakarta, Indonesia
3Universitas Abulyatama, Jl. Blang Bintang Lama, Km. 8,5, Lampoh Keude, Aceh Besar, Banda Aceh, Indonesia

Email: msalehginting@gmail.com

Abstrak
Dengan mengambil peran sebagai mentor dan fasilitator, seorang guru di 4th kelas sekolah dasar
perlu melihat kondisi siswa dalam tahap berpikir konkrit. Proses pembelajaran perlu disesuaikan
agar objek abstrak dalam matematika dapat direpresentasikan melalui objek konkret sebagai
jembatan untuk memasuki pengetahuan yang sudah dimiliki siswa, khususnya untuk materi
pecahan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pencapaian dan peningkatan kemampuan
penalaran matematis siswa melalui penerapan pendekatan pendidikan matematika realistik
Indonesia (PMRI). Subjek penelitian terdiri dari 51 siswa pada kelompok eksperimen dan 45 siswa
pada kelompok kontrol yang dikategorikan menjadi tiga tingkatan (rendah, sedang, dan tinggi).

Kata kunci: Realistis, Pendidikan Matematika, Pecahan, Penalaran, Sekolah Dasar

Abstrak
Sebagai pendamping sekaligus fasilitator, seorang guru di kelas 4 sekolah dasar perlu
memperhatikan kondisi para siswanya yang berada pada taraf berfikir konkret. Proses belajar perlu
disesuaikan sehingga objek abstrak pada dapat "direpresentasikan" melalui benda konkret sebagai
jembatan pengetahuan yang telah dimiliki siswa, khususnya terhadap materi. Penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji dan meningkatkan kemampuan penalaran matematika (KPM) siswa
melalui penerapan pendekatan pembelajaran matematika Indonesia (PMRI). Subjek penelitian
terdiri dari 51orang kelas eksperimen dan 45 orang kelas kontrol yang terbagi menjadi tiga level
(rendah, sedang dan tinggi).

Kata kunci: Realistik, Pendidikan Matematika, Pecahan, Penalaran, Sekolah Dasar

Bagaimana Mengutip: Saleh, M., Prahmana, RCI, Isa, M., & Murni. (2018). Peningkatan Kemampuan
Penalaran Siswa Sekolah Dasar Melalui Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.Jurnal Pendidikan
Matematika, 9(1), 41-54.

Sulit dibayangkan bagaimana proses belajar berjalan dan bagaimana hasil belajarnya terhadap orang-orang yang tidak memiliki

kemampuan mendengar dan bertujuan untuk mengetahui indahnya kicauan burung, terlebih lagi kepada orang-orang yang

memiliki kemampuan mendengar tetapi tidak pernah mendengar. burung berkicau (Syamsuri, Purwanto, Subanji, & Irawati,

2017). Mereka mungkin memberikan jawaban tertulis, tetapi mereka tidak dapat memahaminya dan itu bukan pengetahuan

yang mereka miliki. Fenomena ini terjadi karena kondisi mereka yang tidak mendukung untuk mengenal jenis suara. Sama

halnya dengan seorang guru sebagai pengajar dan seorang fasilitator perlu melihat secara seksama kondisi atau kemampuan

siswanya yang terlibat dalam proses pembelajaran.

Pecahan adalah topik yang pertama kali diperkenalkan kepada siswa sekolah dasar ketika mereka berada di

kelas 4th nilai. Oleh karena itu, penting bagi siswa untuk terlibat dalam pembelajaran yang tepat dan menyenangkan

41
42 Jurnal Pendidikan Matematika, Volume 9, No. 1, Januari 2018, hlm. 41-54

pecahan sedemikian rupa sehingga dapat menghindari miskonsepsi dalam memahaminya (Wahyu, Amin,

& Lukito, 2017). Proses pembelajaran harus dimulai dengan memahami konsep pecahan melalui kegiatan

memanfaatkan benda konkret, baik yang diskrit maupun yang kontinu. Setelah mereka memahami makna

pecahan, maka diberikan simbol yang sesuai dengan representasi yang mereka lihat dan pahami melalui

benda konkret.

Beberapa laporan menunjukkan bahwa banyak siswa mengalami kesulitan dalam memahami dan memecahkan

masalah pecahan. Bahkan mengembangkan kecemasan di kalangan siswa untuk belajar. Morge (2011) melaporkan

bahwa topik pecahan dapat menakutkan dan sulit bagi anak-anak, bahkan sampai kelas menengah. Serupa dengan ini,

Naiser, Wright, dan Capraro (2003) menunjukkan bahwa pecahan seringkali sulit bagi siswa untuk sepenuhnya

memahami. Guru harus menemukan berbagai strategi untuk digunakan di kelas untuk mengajar pecahan. Sama

Pernyataan tersebut dilaporkan bahwa “guru mengatakan bahwa salah satu topik di kelas lima yang sulit

dipahami oleh siswa kelas lima adalah pecahan (Julie, Suwarsono, & Juniati, 2013).

Lebih lanjut, Li & Smith (2007) melaporkan bahwa diperlukan desain pembelajaran pecahan bagi

guru untuk melaksanakan pembelajaran. Masalah kesulitan terkait pecahan tidak hanya dialami oleh siswa

tetapi juga guru atau guru honorer dalam memilih strategi untuk melaksanakan pembelajaran pecahan.

Ketika siswa tidak memahami konsep pecahan, mereka memberikan jawaban “tidak ada” atau “nol”

mengacu pada hasil pembagian ketika pembagi lebih besar dari pembagian. Pecahan menjadi penting

untuk dipahami oleh siswa untuk mendukung mereka mempelajari materi lain. Laursen (sebagaimana

dikutip dalam Brown & Quinn, 2007) menyatakan bahwa ketidakmampuan untuk melakukan operasi dasar

pada pecahan biasa telah menyebabkan pola kesalahan yang muncul dalam pembelajaran aljabar.

Masalah dapat muncul ketika siswa mencoba menerapkan jalan pintas yang disalahpahami,

Ketika siswa secara sadar terlibat dalam proses menemukan konsep matematika dengan menggunakan benda

konkret, maka akan memberikan jejak yang kuat dalam mengingat temuan tersebut. Hal-hal yang dialami akan

meninggalkan jejak yang lebih kuat dibandingkan dengan yang diperoleh dari membaca atau mendengarkan. Temuan

yang mereka peroleh dari proses pembelajaran berdasarkan jalur berpikir mereka sendiri akan diterima secara logis

dan menciptakan pembelajaran yang lebih bermakna (Treffers, 1987). Dahar (1988) menyatakan bahwa dari teori

perkembangan kognitif Piaget, kita mengetahui bahwa anak-anak yang lebih muda masih dalam tahap mempelajari

konsep-konsep konkret, sedangkan konsep-konsep yang lebih sulit atau lebih abstrak lebih cocok untuk dipelajari oleh

orang yang lebih tua. Pada tataran konkrit, siswa dianggap menguasai konsep jika telah mengenal objek yang

dihadapinya.

Berdasarkan paradigma konstruktivis, belajar adalah kegiatan aktif dimana siswa


mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Suparno (1997) menyatakan bahwa konstruktivis berpikir
bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia. Manusia mengkonstruksi pengetahuan melalui
interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan.

Melalui pendekatan pembelajaran realistik, siswa akan memahami konsep dan operasi
pecahan melalui aktivitas mental. Terkait pembelajaran realistik, Tim PMRI (2010:18)
Saleh, Prahmana, Isa, & Murni, Meningkatkan Kemampuan Penalaran Anak SD… 43

menyatakan bahwa Realistic Mathematics Education (RME) dipandang sebagai pendekatan yang potensial untuk

meningkatkan pemahaman matematika siswa. Terinspirasi oleh filosofi RME, mereka mengembangkan

pendekatan untuk meningkatkan pembelajaran matematika di sekolah-sekolah Indonesia. Dikenal sebagai PMRI

yang merupakan singkatan dari Pendidikan Matematika Realistik Indonesia atau RME versi bahasa Indonesia.

Berdasarkan argumen tersebut, matematika tidak hanya untuk dipelajari, tetapi juga untuk diterapkan dalam

aktivitas kehidupan sehari-hari (Sumirattana, Makanong, & Thipkong, 2017). Dalam tulisan ini, definisi

operasional PMRI adalah pembelajaran yang memanfaatkan masalah kontekstual dan objek konkret untuk

memahami konsep dan masalah serta merepresentasikan pecahan berdasarkan konteks yang dipilih.

Sebenarnya banyak fenomena didaktis yang berkaitan dengan pembelajaran matematika. Namun,

lebih sedikit orang yang memperhatikannya dan tidak menggunakannya meskipun penuh dengan prinsip-

prinsip matematika. Upaya peningkatan potensi tersebut diperlukan agar pembelajaran dapat bermakna,

pemahaman siswa terhadap matematika dapat terkonstruksi dengan baik, dan pelembagaan ilmiah dapat

terjadi di dalamnya.

Model pembelajaran yang menekankan pada algoritma, tanpa memberikan waktu dan kesempatan yang cukup

untuk menemukan pengetahuan, akan menjadi tidak berarti bagi siswa. Bruner (sebagaimana dikutip dalam Dahar,

1988) menyatakan bahwa discovery learning sesuai dengan gagasan pencarian pengetahuan aktif oleh manusia yang

mengarah pada hasil yang baik. Meskipun tidak mudah bagi siswa untuk menemukan konsep seperti yang diharapkan

guru, namun konteks perlu diperhatikan agar dapat merangsang siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran sesuai

dengan tujuan pembelajaran (Wang, Zhang, & Zhou, 2013).

Pada tataran konkrit, siswa dapat dikatakan telah menguasai suatu konsep jika mengenal objek yang

pernah diketahuinya. Dahar (1988) menyatakan bahwa seseorang telah mencapai pemahaman terhadap suatu

konsep dalam tataran konkrit jika ia mengenali objek yang pernah ia temui sebelumnya. Seorang anak yang

pernah memainkan mainan dan memberikan respon yang sama ketika anak menemukan mainan tersebut, maka

dikatakan anak tersebut telah menguasai konsep pada tataran konkrit. Untuk menguasai konsep pada tataran

konkrit, siswa perlu memperhatikan objek dengan seksama, kemudian membedakannya dengan rangsangan

lain di lingkungannya.

Mengikuti jalur berpikir siswa dalam proses pembelajaran, berdasarkan prinsip lintasan belajar yang

dikutip oleh Clements & Clara (sebagaimana dikutip oleh Westenskow, 2012), lintasan belajar adalah

pemetaan kemajuan pembelajaran konsep dan keterampilan matematika. Mengikuti alur berpikir siswa

dalam proses pemahaman matematika, dapat bermanfaat untuk memberikan kesempatan kepada siswa

untuk mengaktualisasikan potensinya. Oleh karena itu, potensi siswa dapat digali secara optimal sehingga

dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam pemecahan masalah lainnya sebagai

representasi eksternal.

Materi matematika didominasi oleh benda-benda abstrak. Abstrak matematika harus dimodifikasi

menjadi lebih konkrit sehingga siswa dapat berimajinasi melalui masalah kontekstual (Swanson & Williams,

2014). Proses pembelajaran yang diawali dengan pemanfaatan benda-benda konkrit akan memberikan

jejak yang mendalam karena sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya yang bergerak dari
44 Jurnal Pendidikan Matematika, Volume 9, No. 1, Januari 2018, hlm. 41-54

konkrit hingga formal. Kegiatan pembelajaran yang melibatkan objek konkret akan menimbulkan tindakan dan

melibatkan beberapa indera siswa.

Hal ini dimungkinkan bagi siswa untuk memberikan respon dan algoritma solusi secara formal dan informal

ketika mereka terlibat dalam masalah kontekstual. Urutan belajar yang dilakukan oleh seorang siswa untuk mencapai

tujuan dapat berbeda antara satu siswa dengan siswa lainnya. Namun, seorang perancang pembelajaran harus

mempertimbangkan antara tahap perkembangan proses berpikir siswa dan tahap berdasarkan struktur matematika.

Oleh karena itu, siswa harus memahami matematika dengan tidak hanya menghafalnya tetapi juga dengan diberikan

kesempatan yang lebih luas untuk memikirkan berbagai pemahaman masalah.

Menurut Koenig (2007), kegiatan penalaran dan pembuktian dalam program pembelajaran dari tingkat

taman kanak-kanak sampai sekolah menengah atas harus terdiri dari: (1) Mengenali penalaran dan pembuktian

sebagai aspek dasar matematika; (2) Membuat dan menyelidiki dugaan dalam matematika; (3) Mengembangkan

dan mengevaluasi argumen dalam matematika; (4) Memilih dan menggunakan berbagai macam metode

penalaran dan pembuktian.

Penalaran menurut Shurter & Pierce (sebagaimana dikutip dalam Sumarmo, 2014) dapat didefinisikan sebagai

suatu proses untuk mencapai suatu kesimpulan yang logis berdasarkan fakta dan sumber yang relevan. Manusia

seringkali menemukan masalah yang menuntut mereka untuk menemukan solusi dan menarik kesimpulan. Sebuah

kesimpulan dapat ditarik melalui penalaran dengan melihat setiap hubungan dari argumen atau informasi yang

tersedia. Oleh karena itu, kemampuan penalaran perlu dikembangkan sejak anak usia dini melalui proses pembelajaran

yang dirancang di sekolah. Melalui latihan pengembangan penalaran, siswa dapat melihat masalah dan kecukupan

informasi untuk menarik suatu kesimpulan.

Ketika siswa melihat bahwa informasi yang diberikan tidak memadai, maka mereka dapat menarik

kesimpulan awal yang menyarankan perlunya informasi tambahan. Selanjutnya mereka dapat mencari

informasi tambahan dengan memanfaatkan pengetahuan yang ada selama informasi tersebut dapat

diturunkan dari masalah yang diberikan. Oleh karena itu, guru perlu mengetahui sejauh mana siswa

memahami informasi yang diberikan.

METODE

Lokasi dan Sampel Penelitian

Percobaan dilakukan di dua sekolah dasar, yaitu SD Negeri 2 Banda Aceh dan SD IT Nurul
Ishlah Banda Aceh. Setiap sekolah melibatkan dua kelompok 4th-siswa kelas. Pemilihan kedua
sekolah sebagai lokasi penelitian dilakukan melalui beberapa pertimbangan seperti aspek
jumlah siswa dalam kelompok dan aspek guru matematika.
Penelitian ini dilakukan dengan menetapkan dua perlakuan terhadap subjek. Satu kelompok terdiri dari 51 siswa

diperlakukan dengan pembelajaran pendekatan PMRI sebagai kelompok eksperimen, sedangkan kelompok lainnya

terdiri dari 45 siswa menjadi kelompok kontrol dan diperlakukan dengan pembelajaran konvensional. Pembelajaran

konvensional artinya pembelajaran dilaksanakan tanpa adanya intervensi, penambahan, atau


Saleh, Prahmana, Isa, & Murni, Meningkatkan Kemampuan Penalaran Anak SD… 45

bantuan dari orang lain.

Instrumen Penelitian

Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, tes, dan wawancara tidak terstruktur.
Pengamatan dilakukan secara terstruktur dan tidak terstruktur. Instrumen yang digunakan adalah
tes dan nontes. Tes terdiri dari tes kemampuan awal matematika dan tes kemampuan penalaran
matematika. Instrumen juga dilengkapi dengan RPP dan benda-benda konkret. Proses pengumpulan
data menggunakan instrumen yang telah divalidasi keterbacaannya, telah direvisi sesuai dengan
masukan dari ahli isi dan ahli bahasa, telah dicobakan pada non mata pelajaran baik guru maupun
siswa.
Indikator kemampuan penalaran matematis adalah: (1) menggunakan atau menafsirkan model

matematika seperti rumus, grafik, tabel, skema, dan penarikan kesimpulan darinya; (2) pemecahan

masalah dengan menggunakan metode matematika yang sesuai seperti aritmatika, geometrik, atau

analitik; (3) komunikasi informasi matematika secara efektif menggunakan simbol, visual, numerik, atau

representasi lisan; dan (4) menilai tingkat keakuratan kesimpulan berdasarkan informasi kuantitas.

Kemampuan Penalaran Matematika

Kemampuan penalaran matematis didefinisikan sebagai kemampuan siswa untuk memeriksa kecukupan atau

kebutuhan data dan semua hubungan antara argumen dan informasi yang tersedia untuk menarik kesimpulan. Shurter

& Pierce (sebagaimana dikutip dalam Sumarmo, 2014) menyatakan bahwa masalah kemampuan penalaran matematika

terdiri dari masalah nonrutin yang dirancang untuk mengetahui kemampuan siswa dalam penalaran matematika.

Masalah yang diajukan terdiri dari masalah dengan ilustrasi dan masalah tanpa ilustrasi yang dilengkapi dengan data

untuk mencari solusi. Namun, itu bukan data siap pakai untuk memungkinkan siswa membuat dan menyelidiki dugaan

serta mengembangkan dan mengevaluasi argumen menuju pemecahan masalah. Dalam konstruksi masalah

diharapkan terjadi proses penalaran yang mengarah pada penarikan kesimpulan yang logis berdasarkan fakta dan

sumber yang relevan.

Pengamatan Awal

Observasi awal dilakukan untuk mencari kemungkinan dilakukannya penelitian berdasarkan


kebutuhan dan mengamati pelaksanaan proses pembelajaran. Salah satu syaratnya adalah jumlah
kelompok belajar (ruang kelas) di 4th kelas minimal 2 kelompok. Observasi difokuskan pada kualifikasi
guru matematika yang mengajar di SD binaan dan pengalamannya mengikuti workshop atau
pelatihan PMRI. Ada tujuh sekolah dasar di Banda Aceh yang kami kunjungi sebelum menetapkan
lokasi penelitian, yaitu dua sekolah swasta dan lima sekolah negeri.

Objek Beton
Benda konkret yang digunakan sebagai media pembelajaran adalah papan berbentuk persegi panjang yang dibagi

menjadi 24 bagian sama besar sehingga menyerupai bentuk coklat seperti pada Gambar 1.
46 Jurnal Pendidikan Matematika, Volume 9, No. 1, Januari 2018, hlm. 41-54

Gambar 1. Cokelat

Model papan pecahan persegi panjang dibagi menjadi 24 bagian ( unit) tetapi tidak dipisahkan jadi

yang dapat digunakan untuk menyatakan pecahan dengan penyebut 2, 3, 4, 6, 8, 12, dan 24 dan

pembilang 1 sampai 24. Papan pecahan dilengkapi dengan kertas karton berbagai ukuran sehingga

dapat menutupi sebagian papan untuk menunjukkan nilai pecahan tertentu. Pemilihan materi ini

dirasa bermanfaat bagi siswa untuk memahami konsep pecahan dan melakukan operasi

penjumlahan dan pengurangan pecahan dengan pembilang dan penyebut tertentu. Papan terbuat

dari kayu atau triplek di ukuran cm. Melalui pemilihan ukuran ini, sebuah “chocolate chip” dapat dibuat dengan ukuran

bentuk 24 chip kecil di cm.

Delapan ukuran mewakili nilai pecahan yang berbeda: dengan ukuran atau , dengan ukuran

, dengan ukuran atau , dengan ukuran , dengan ukuran , dengan ukuran , dengan ukuran

, serta satu ukuran . Contoh ukuran kertas yang mewakili setiap nilai pecahan dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Bentuk dan Representasi Pecahan

Nilai dari Ukuran Kertas sebagai:


Formulir Kertas
Pecahan Perwakilan

dan

Persegi panjang pecahan dilengkapi dengan kertas karton dengan bentuk persegi panjang dan ukuran

tertentu sedemikian rupa sehingga mewakili nilai pecahan yang diinginkan. Contoh papan pecahan yang mewakili

dapat dilihat pada Gambar 2.


Saleh, Prahmana, Isa, & Murni, Meningkatkan Kemampuan Penalaran Anak SD… 47

Gambar 2. Papan Pecahan

Kertas karton digunakan untuk menutupi bagian dari pecahan persegi panjang untuk mewakili pecahan yang sesuai.

Setiap kelompok siswa diberikan dua buah papan pecahan untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada siswa untuk

mencoba merepresentasikan pecahan. Papan dua pecahan juga memungkinkan siswa melakukan penjumlahan pecahan.

“Cobek”

Cobek, atau lesung, adalah peralatan dapur yang terbuat dari tanah liat yang biasanya digunakan untuk menggiling cabai, bawang merah, dan

bumbu lainnya secara tradisional di Aceh, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Cobek atau lesung

Sebuah lesung diberikan kepada setiap kelompok untuk dipecah-pecah menjadi beberapa bagian untuk merepresentasikan makna

pecahan, terutama konsep pecahan sebagai bagian dari satu kesatuan.

Gambar 4. Membuat objek nyata yang mewakili nilai pecahan

Batasan Penelitian

Ada lima representasi pecahan, yaitu: bagian dari keseluruhan, pembagian, rasio, pengukuran,
48 Jurnal Pendidikan Matematika, Volume 9, No. 1, Januari 2018, hlm. 41-54

dan operator. Penelitian ini difokuskan pada pengertian pecahan sebagai bagian dari keseluruhan. Konsep ini dapat ditunjukkan

dengan menggunakan objek diskrit dan kontinu.

Analisis data

Data kuantitatif diperoleh melalui tes kemampuan matematika awal dan tes kemampuan penalaran

matematis. Data kemampuan awal matematika diperoleh sebelum proses pembelajaran pecahan dan digunakan

untuk mengklasifikasikan tingkat siswa (rendah, sedang, dan tinggi), sedangkan tes kemampuan penalaran

matematika diberikan sebelum dan sesudah pembelajaran dari kedua sekolah dasar tersebut. . Ada dua variabel

yang terlibat dalam penelitian ini, pendidikan matematika realistik sebagai variabel bebas dan kemampuan

penalaran matematika sebagai kemampuan penalaran.

Soal tes dibuat dalam bentuk esai dengan mempertimbangkan aspek penalaran. Esai dapat

digunakan untuk melihat peningkatan kemampuan penalaran melalui pretest dan posttest untuk dianalisis

skor peningkatannya. Analisis data yang digunakanPerangkat lunak Paket Statistik untuk Ilmu Sosial

(SPSS), 18th Versi: kapan. Pada tahap awal, seluruh data hasil pengujian disajikan dalam tabel yang terdiri

dari dua bagian besar, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

HASIL DAN DISKUSI

Proses penjumlahan antara dua pecahan yang berbeda penyebutnya diawali dengan
pemahaman terhadap penjumlahan dua pecahan yang penyebutnya sama. Ada beberapa cara

siswa melakukan penjumlahan dan dengan menggunakan papan pecahan. Langkah-langkahnya adalah memilih kertas karton

yang sesuai dengan pecahan yang diwakilinya.

(1) Langkah 1: Memilih keping cokelat yang mewakili dan .

Gambar 5. Keripik coklat mewakili dan

(2) Langkah 2: Dua chip yang berbeda diganti menggunakan chip yang sama.

Gambar 6. Keripik coklat sebagai pecahan yang nilainya sama


Saleh, Prahmana, Isa, & Murni, Meningkatkan Kemampuan Penalaran Anak SD… 49

(3) Langkah 3: Memeriksa apakah penggantian telah dilakukan dengan benar (jika perlu).

(4) Langkah 4: Jika substitusi telah dilakukan dengan benar, maka siswa menghitung penambahan

dari ilustrasi, yaitu . Langkah-langkah penambahan diilustrasikan pada Gambar 5 dan

Gambar 6, sedangkan Gambar 7 menunjukkan hasilnya.

Gambar 7. Keripik coklat hasil penambahan

Proses pembelajaran pecahan menggunakan papan pecahan sebagai model chocolate chip dapat dilakukan

melalui langkah-langkah berikut.

(1) Memperkuat pemahaman terhadap makna pecahan melalui benda konkret tanpa lambang pecahan.

Langkah ini akan menciptakan jejak yang kuat di benak siswa karena mereka langsung mengamati

dan mengalami untuk memahami pecahan.

(2) Melalui model pecahan menggunakan benda konkret, guru menunjukkan berbagai nilai pecahan yang

berbeda kepada siswa mengacu pada perbedaan ukuran model pecahan. Guru juga menunjukkan

model pecahan berukuran relatif sama kepada siswa mengacu pada pecahan senilai.

(3) Selanjutnya siswa belajar tentang pembagian benda konkret, kontinu dan diskrit,
mengenalkan pecahan senilai melalui proses pembagian konkret serta menciptakan
pemahaman interpretasi pecahan sebagai suatu pembagian.
(4) Guru memperkenalkan lambang pecahan.
(5) Guru memperkenalkan operasi pecahan melalui benda konkret.
Ilustrasi pada Gambar 8 menyajikan contoh penggunaan kertas karton pada papan pecahan untuk

mewakili pecahan dari .

Gambar 8. Representasi pecahan

Gambar 8 merupakan pecahan dari . Itu kemudian digantikan oleh dua kertas karton yang mewakili nilai

dari, maka keduanya bersama-sama membuat nilai atau setara dengan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9.
50 Jurnal Pendidikan Matematika, Volume 9, No. 1, Januari 2018, hlm. 41-54

Gambar 9. Representasi keping coklat, masing-masing kertas karton mewakili fraksi

Penggunaan benda konkret berupa papan pecahan yang dilengkapi dengan kertas karton telah mampu

meningkatkan kemampuan penalaran siswa. Hal ini dapat dilihat dari proses dan hasil belajar mereka khususnya

dalam pemecahan masalah dan penalaran matematika.

Masalah diberikan sebelum dan sesudah proses pembelajaran. Siswa memberikan jawaban yang berbeda dan

hal ini menunjukkan peningkatan kualitas dari jawaban yang diberikan. Contoh diberikan di bawah ini.

Diberikan gambar seperti diilustrasikan pada Gambar 10. Siswa diminta untuk memberikan penjelasan

apakah daerah yang diarsir AKD adalah dari persegi panjang ABCD.

D 10 cm K C

A 10 cm E 10 cm B

Gambar 10. Ilustrasi masalah

Sebelum proses pembelajaran, siswa memberikan jawaban bahwa AKD adalah dan bukan ABCD. Namun, setelah

proses pembelajaran, siswa memberikan jawaban yang berbeda seperti yang terlihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Jawaban siswa terhadap masalah


Saleh, Prahmana, Isa, & Murni, Meningkatkan Kemampuan Penalaran Anak SD… 51

Hasil uji-t independen N-Gain kemampuan penalaran matematis memberikan nilai sebesar

2,977 dan nilai Signifikan (P) sebesar 0,004 untuk semua kategori. Karena nilai

, maka ditolak. Dengan demikian, ada perbedaan yang signifikan dari peningkatan
kemampuan penalaran matematis antara siswa yang diajar dengan menggunakan pembelajaran pendekatan PMRI dan siswa yang diajar

dengan menggunakan pembelajaran konvensional.

Secara umum pencapaian dan peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang diajar

dengan pendekatan PMRI lebih baik dibandingkan dengan kemampuan penalaran matematis siswa yang

diajar dengan pembelajaran konvensional. Siswa aktif memanfaatkan benda konkret dalam memecahkan

masalah baik secara mandiri maupun kelompok, seperti mencari pecahan senilai.

Gambar 12. Mencari pecahan senilai

Namun, prestasi belajar siswa pada kategori kemampuan awal matematika menengah tidak
memberikan perbedaan yang signifikan. Fenomena yang sama juga ditunjukkan oleh siswa dengan
kategori kemampuan awal matematika rendah. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam
pencapaian dan peningkatan kemampuan penalaran matematis antara siswa yang diajar dengan
pendekatan PMRI dan siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional. Informasi lengkap
tergambar pada Tabel 2.

Meja 2. Pencapaian dan peningkatan kemampuan penalaran matematis

Pencapaian Peningkatan
Arti dari
Kemampuan KAM Berarti
NGain
PMRI PKV PMRI PKV
T 28,17 20,08 0,4719 0,1840
S 19,23 13,50 0,2858 0,1373
R 13,15 12,40 0,1358 0,1505
Total 20.00 14,91 0,2927 0,1566
Matematika
KAM Kesimpulan Kesimpulan
Pemikiran
T PMRI>.PKV PMRI>PKV
S PMRI=PKV PMRI>PKV
R PMRI=PKV PMRI=PKV
Total PMRI > PKV PMRI>PKV
52 Jurnal Pendidikan Matematika, Volume 9, No. 1, Januari 2018, hlm. 41-54

KESIMPULAN

Pencapaian dan peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang diajar dengan pendekatan

PMRI lebih baik dibandingkan dengan kemampuan penalaran matematis siswa yang diajar dengan pembelajaran

konvensional. Namun, prestasi belajar siswa pada kategori kemampuan awal matematika menengah tidak

memberikan perbedaan yang signifikan. Fenomena yang sama juga ditunjukkan oleh siswa dengan kategori

kemampuan awal matematika rendah.

REFERENSI
Brown, G., & Quinn, RJ (2007). Menyelidiki Hubungan Antara Kecakapan Pecahan dan
Sukses dalam Aljabar. Asosiasi Guru Matematika Australia, 63(4), 8-15.
Dahar, RW (1988). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Dirjen Dikti.
Julie, H., Suwarsono, Juniati, D. (2013). Siklus Pertama Pengembangan Bahan Ajar Untuk
Pecahan di Kelas Lima Menggunakan Pendidikan Matematika Realistik. Jurnal Pendidikan
Matematika, 4(2), 172-187.
Koenig, G. (2007). Perangkat Lunak Orchard dan Prinsip dan Standar NCTM untuk Sekolah
Matematika. Reston: Kelompok Belajar Siboney.

Li, Y., & Smith, D. (2007). Pengetahuan Calon Guru SMP Dalam Matematika Dan
Pedagogi Untuk Pengajaran – Kasus Pembagian Pecahan. In Woo, JH, Lew, HC, Park,
KS & Seo, DY (Eds.).Prosiding Konferensi ke-31 International Group for the Psychology
of Mathematics Education, 3, 185-192. Seoul: PM. Texas A&M University, AS Tersedia
di http://www.emis.de/proceedings/PME31/3/185.pdf.
Morge, SP (2011). Membantu Anak Memahami Konsep Pecahan Menggunakan Berbagai Konteks dan
Interpretasi. Jurnal Pendidikan Anak, 87(4).
Naiser, EA, Wright, KAMI, & Capraro, RM (2003). Mengajar pecahan: Strategi yang digunakan untuk
mengajarkan pecahan kepada siswa kelas menengah. Jurnal Penelitian Pendidikan Anak,18(3),
193-198.

TIM PMRI. (2010).Pengantar Pendidikan Matematika Realistis. Yogyakarta: SEAMEO


Pusat Regional untuk QITEP dalam Matematika.

Sumarmo, U. (2014). Berfikir dan Disposisi Matematika Serta Pembelajarannya. Di Jurusan


Matematika FPMIPA. Kumpulan Makalah. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Sumirattana, S., Makanong, A., & Thipkong, S. (2017). Menggunakan pendidikan matematika realistis dan
Proses pemecahan masalah DAPIC untuk meningkatkan literasi matematika siswa sekolah
menengah.Jurnal Ilmu Sosial Kasetsart, 38(3), 307-315.

Suparno. (1997).Filsafat Konstruktivis dalam Pendidikan (5th ed.). Yogyakarta: Kanisius.

Swanson, D., & Williams, J. (2014). Membuat matematika abstrak menjadi konkret di dalam dan di luar sekolah.
Studi Pendidikan di Matematika, 86(2), 193-209.
Syamsuri, S., Purwanto, P., Subanji, S., & Irawati, S. (2017). Menggunakan Kerangka Teori APOS: Mengapa
Apakah Siswa Tidak Dapat Membuat Bukti Formal?. Jurnal Internasional tentang Emerging
Mathematics Education, 1(2), 135-146.
Treffers, A. (1987). Tiga Dimensi. Model Tujuan dan Deskripsi Teori dalam Matematika
Petunjuk-Proyek Wiskobas. Dordrecht, Belanda: Perusahaan Penerbitan Reidel.
Saleh, Prahmana, Isa, & Murni, Meningkatkan Kemampuan Penalaran Anak SD… 53

Wahyu, K., Amin, SM, & Lukito, A. (2017). Kartu motivasi untuk mendukung pemahaman siswa tentang
pembagian pecahan. Jurnal Internasional tentang Emerging Mathematics Education, 1(1), 99-120.

Wang, G., Zhang, J., & Zhou, J. (2013). Karakteristik Efisiensi Pembelajaran Matematika
Perilaku. Jurnal Pendidikan Matematika, 6(1), 56-59.
Westenskow, A. (2012). Lintasan Pembelajaran Pecahan Setara untuk Siswa dengan Matematika
Kesulitan Belajar Saat Menggunakan Manipulatif. Disertasi yang Diterbitkan. Logan: Universitas
Negeri Utah.
54 Jurnal Pendidikan Matematika, Volume 9, No. 1, Januari 2018, hlm. 41-54

Anda mungkin juga menyukai