Anda di halaman 1dari 18

Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 136-153

Politik Indonesia
Indonesian Political Science Review
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JPI

Pembiaran Pada Potensi Konflik dan Kontestasi Semu Pemilukada Kota Blitar:
Analisis Institusionalisme Pilihan Rasional

Moh. Fajar Shodiq Ramadlan1, Tri Hendra Wahyudi1

1 Universitas Brawijaya, Indonesia

Info Artikel Abstrak

Sejarah Artikel:
Pemilukada serentak merupakan langkah baru dalam demokratisasi di Indonesia.
Diterima 31 Maret 2016 Melihat pengalaman penyelenggaraan Pemilukada di banyak daerah yang berpotensi
Disetujui 15 Juni 2016 menimbulkan konflik dan kerusuhan, manajemen konflik diperlukan guna
Dipublikasi 15 Juli 2016 mengantisipasi potensi konflik. Artikel ini menjelaskan manajemen konflik
pemilukada di Kota Blitar menggunakan pendekatan kelembagaan pilihan rasional,
Keywords: dengan asumsi bahwa lembaga-lembaga yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu
Local Election; Conflict mempunyai kemampuan dalam manajemen konflik. Kota Blitar dipilih karena
Managemen; Pseudo- mempunyai aspek yang parikular dimana terdapat dua kandidat, yakni petahana dan
Contestation; Avoiding
perseorangan, tetapi dengan kontestasi yang bersifat semu. Artikel ini merupakan hasil
penelitian kualitatif eksploratif. Teknik penggalian data adalah dengan focus group
discussion yang melibatkan lembaga-lembaga terkait pemilukada di Kota Blitar.
Melalui penelitian ini, ditemukan bahwa meskipun institusi terkait pemilukada
memahami potensi konflik, tetapi manajemen konflik yang dipilih adalah metode
pembiaran.

Abstract
The simultaneous local election is the new step of democratization in Indonesia.
Viewing an implementation about the local election in each district which have many
of potential conflict and unrest, conflict managements required to anticipate a
potential conflict. This paper will suggest to describe about conflict management of the
local election in Blitar City using an rational choice institutionalism approach,
assuming that institutions has a capacity to solve a problem of conflict management in
the local election. Blitar city been selected because it has a particular aspect that the
two candidates, namely by incumbent and independent, but the contestation is pseudo-
contestation. This paper is the result of exploratory qualitative research. The
techniques to explore data is use focus group discussion that involved an institutions
related with Blitar local election. Belong this research, the institutions that related in
the local elections understand a potential conflict, but the selected conflict
management is avoiding method.

© 2016 Universitas Negeri Semarang


Alamat korespondensi: ISSN 2477 – 8060
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Gedung Darsono Lantai 2, Jl. Veteran, Malang, 65145 Indonesia,
Email: fajarramadlan@ub.ac.id, cc: fajarramadlan@gmail.com

136
Pendahuluan (SNPK) Indonesia menunjukkan sejak tahun
Pemilukada langung serentak menjadi 2005 hingga 2014, di seluruh wilayah
langkah baru dalam demokratisasi di Indonesia, terjadi 2570 konflik terkait
Indonesia. Setelah debat panjang di DPR pemilihan dan jabatan, dalam berbagai bentuk
untuk menentukan apakah tetap konflik dan tersebar di seluruh Indonesia. Dua
diselenggarakan pemilukada atau tahun pertama penyelenggaraan Pemilukada
mengembalikan pemilihan kepala daerah ke (2005-2007), setidaknya terdapat 98 dari 323
DPRD, yang salah satu pertimbangannya daerah yang menyelenggarakan Pemilukada
adalah besarnya biaya penyekenggaraan dirundung persoalan. Tak kurang dari
pemilukada, maka pemilukada serentak penyelenggaraan 21 Pemilukada berakhir
merupakan jalan tengah untuk tujuan jangka bentrokan dan kerusuhan. (Kompas. 28 Juni
panjang untuk menciptakan pemilihan kepala 2013).
daerah yang lebih efektif dan efisien. Dalam kaitan itu, setidaknya ada 5
Keputusan untuk melaksanakan pemilukada (lima) sumber konflik potensial, baik
serentak memang baru disahkan pada tahun menjelang, saat penyelenggaraan, maupun
2015, dan gelombang pertama pemilukada pengumuman hasil Pemilukada. Pertama,
serentak akan dimulai pada bulan Desember konflik yang bersumber dari mobilisasi politik
2015 di 271 daerah yang masa jabatan kepala atas nama etnik, agama, daerah, dan darah.
daerahnya berakhir pada 2015 dan semester I- Kedua, konflik yang bersumber dari
2016. Gelombang kedua pemilukada diadakan kampanye negatif antar pasangan calon kepala
pada Februari 2017 untuk kepala daerah yang daerah. Ketiga, konflik yang bersumberdari
akhir masa jabatan semester II-2016 dan premanisme politik dan pemaksaan kehendak.
2017. Gelombang ketiga pemilukada diadakan Keempat, konflik yang bersumber dari
pada Juni 2018 untuk AMJ 2018 dan 2019. manipulasi dan kecurangan penghitungan
Adapun pemilukada serentak nasional suara hasil Pemilukada. Kelima, konflik yang
disepakati diadakan pada 2027. bersumber dari perbedaan penafsiran terhadap
Pengalaman penyelenggaraan aturan main penyelenggaraan Pemilukada
pemilukada di Indonesia bukan tanpa (Haris, 2005). Kelima sumber konflik tersebut
pengalaman konflik dan kerusuhan. Sejak juga menjadi potensi konflik penyelenggaraan
diselenggarakan pertama kali pada Juli 2005, Pemilukada serentak di berbagai daerah.
tak kurang dari 1.027 pemilukada Dalam konteks tersebut, kebutuhan atas
diselenggarakan di negeri ini. Tahun 2012, kapasitas mengelola konflik pemilukada
dilaksanakan 73 pemilukada (enam pemilihan menjadi penting.
gubernur dan 67 pemilihan bupati/wali kota). Kota Blitar merupakan salah satu
Data Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan daerah yang menyelenggarakan pemilukada

137
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...

pada Desember 2015. Pemilukada di Kota calon perseorangan. Calon perseorangan


Blitar, diikuti oleh dua pasangan kandidat, mensyaratkan calon yang benar-benar
yakni calon incumbent Samanhudi Anwar– populer, didukung oleh akar rumput, dan
Santoso, yang diusung koalisi Partai mempunyai kemampuan logistik dan
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), keuangan yang mumpuni. Karena itu,
Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai kontestasi yang terjadi adalah kontestasi semu
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai (pseude-contestation)
Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Golongan Gambaran tersebut menjadikan
Karya (Golkar), Partai Hati Nurani Rakyat kontestasi dalam pemilukada Kota Blitar
(Hanura), Partai Amanat Nasional (PAN), dan relatif berintensitas rendah, atau tidak terjadi
Partai Demokrat. Calon petahana Samanhudi kompetisi yang ketat. Banyak pihak, baik
Anwar adalah Wali Kota Blitar, yang pemerintah, partai politik, penyelenggara
sebelumnya menggantikan Djarot Syaiful pemilu bahkan masyarakat, berpersepsi bahwa
Hidayat yang kemudian menjabat sebagai pemilukada Kota Blitar sudah dapat diprediksi
wakil gubernur DKI Jakarta. Sedangkan siapa yang akan menjadi pemenang. Kondisi
wakilnya Santoso adalah mantan Sekretaris ini juga menjadikan banyak stakeholder
Daerah Kota Blitar. Calon kedua adalah menjelang dilaksanaknnya Pemilukada Kota
Muhsin-Dwi Sumardiyanto, yang maju Blitar menilai bahwa Pemilukada Kota Blitar
sebagai kandidat walikota dari jalur akan berlangsung minim konflik.
perseorangan. Salah seorang kandidat yang
Yang perlu dikritisi dalam konteks diprediksi menjadi pemenang, Samanhudi,
pemilukada kota Blitar, sekaligus argumen juga mengungkapkan bahwa Pemilukada kota
mengapa Kota Blitar dipilih sebagai obyek Blitar akan berlangsung sangat kondusif.
penelitian adalah, kandidat perseorangan Bahkan nuansa permusuhan baik di tingkat
(independent) sebenarnya merupakan pasangan calon maupun pendukung
“kandidat boneka” dari petahana (incumbent). disebutnya sama sekali tak ada. Ia
Proses pendaftaran kandidat perseorangan mengungkapkanbahwa setiap pagi ia sarapan
relatif sangat rapi, detail dan tanpa kendala bersama calon lawan. Fenomena ini
yang berarti, serta mencukupi persyaratan menunjukkan bahwa Pemilukada Kota Blitar
untuk menjadi calon independen. Padahal, merupakan kontestasi “semu”. Dalam
jika merujuk pada Undang-undang nomor kontestasi semu inilah, menarik melihat model
8/2015 tentang Pemilihan Umum Kepala manajemen konflik yang dipilih oleh berbagai
Daerah dan Wakil Kepala Daerah, prasyarat stakeholder di dalam pemilukada.
calon independen sangat berat dan Artikel ini hendak menjelaskan
mempersulit aspek administratif pendaftaran bagaimana para stakeholder terkait

138
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 136-153

penyelenggaraan pemilukada di Kota Blitar Hasil FGD ditranskrip, di-koding, ditabulasi


melihat potensi konflik yang terjadi untuk kemudian dianalisis
menjelang pemilukada. Kedua, artikel ini
hendak menjelaskan model yang digunakan Pendekatan Institusionalisme Pilihan
dalam manajemen konflik dalam konteks Rasional
kontestasi “semu” pada pemilukada di Kota Akar ilmu politik adalah pada studi-
Blitar. Artikel ini memberi sumbangsih dalam studi tentang lembaga, tentang kelembagaan
kajian pengelolaan konflik pemilukada negara, birokrasi, kebijakan publik, yang
terutama dalam pilihan-pilihan model yang kesemuanya dilihat dalam kerangka
digunakan oleh stakeholder di daerah dalam kelembagaan. Tetapi pada periode pasca-
pelaksanaan Pemilukada melalui perspektik Perang Dunia II, disiplin ilmu politik,
institusionalisme pilihan rasional. terutama di Amerika Serikat, telah mengkritik
studi tentang lembaga-lemabaga tersebut
Kajian Pustaka dengan berkembangnya dua pendekatan yang
Metodologi lebih didasarkan pada asumsi individualistik:
Penelitian ini menggunakan teknik behavioralisme dan pilihan rasional. Kedua
Focus Group Discussion (FGD) atau Diskusi pendekatan ini mengasumsikan bahwa
Kelompok Terarah dalam penggalian data. individu bertindak secara otonom sebagai
Dalam teknik FGD, aktor atau kelompok yang individu, baik berdasarkan karakteristik sosio-
terkait, yang menjadi informan, di kumpulkan psikologis atau perhitungan rasional untung
pada satu forum, untuk saling berinteraksi, rugi oleh individu. Dalam kedua teori,
berdiskusi, dan saling membantah atau individu tidak dibatasi oleh baik lembaga
menguatkan tentang suatu persoalan atau formal maupun informal, tapi akan membuat
topik spesifik, dengan dipandu oleh fasilitator pilihan mereka sendiri. Faktor individu
atau mediator (Somekh and Lewin, 2011: 2- dipandang lebih determinan dalam proses-
15) proses berjalannya lembaga-lembaga negara,
Teknik ini dipilih karena dapat serta pada keputusan-keputusan politik
mempertemukan dan terjalin komunikasi intra (Peters, 1999: 25). Hal ini merupakan titik
dan antar pihak terkait pemilukada Blitar, tolak dari perkembangan pendekatan “new-
mulai penyelenggara pemilu, partai politik institutionalism” atau pendekatan
hingga pemerintah. Melalui pertemuan pada institusionalisme baru.
satu forum, dapat diidentifikasi cara pandang Tahun 1980-an, perhatian terhadap
yang berbeda terhadap pemahaman, lembaga formal dan non-formal pada sektor
pemaknaan, penafsiran suatu masalah, publik dan bagaimana peran penting struktur,
berdasarkan latar belakang dan kepentingan. mulai tumbuh kembali. Penjelasan

139
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...

kelembagaan digunakan dalam studi Dalam arikel ini, kami menggunakan


kebijakan dan tata kelola pemerintahan, tetapi pendekatan institusionalisme pilihan rasional
juga memperhatikan perilaku pada tingkat dalam menjelaskan relasi kelembagaan dan
individu. manajemen konflik dalam pemilukada.
Pendekatan institusionalisme baru Institusionalisme pilihan rasional
mencerminkan banyak vitur dari versi lama berawal dari studi tentang perilaku kongres di
dari pendekatan institusionalisme untuk Amerika, dimana terdapat perbedaan yang
memahami politik, di samping, juga memberi beragam dan tajam terhadap preferensi dan
kemajuan pada studi politik pada sejumlah karekteristik legislator mengenai kebijakan.
teori dan analisis empiris. Sebagai contoh: Tetapi meski terjadi perbedaan yang tajam,
“institusionalisme lama” sistem presidensial kongres masih menunjukkan situasi yang
secara signifikan berbeda degan sistem cukup stabil. Fenomena ini memunculkan
parlementer berdasarkan struktur formal dan pertanyaan bagaimana institusi dengan
aturan. Pendekatan “institusionalisme baru”, perbedaan yang tajam masih dapat berjalan
melihat lebih jauh dan mencoba untuk mecari dengan stabil. Salah satu penjelasannya adalah
tahu apakah perbedaan-perbedaan tersebut adanya transaksi atau tawar menawar di antara
benar-benar berbeda, dan jika demikian, para legislator dalam perumusan atau
bagaimana mengatur kehidupan politik yang kesepakatan terhadap kebijakan tersebut.
berbeda tersebut? Apakah perbedaan tersebut Teradapat proses-proses politik berdasarkan
lantas juga menciptakan perbedaan dalam hal pertimbangan untung rugi untuk
kinerja pemerintah? (Peters, 1999: 25). menyelesaikan masalah-masalah bersama
Pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut, lebih (Hall dan Taylor, 1996: 9). Institusionalisme
jauh, juga merefleksikan bahwa pendekatan pilihan rasional melihat proses
insitusionalisme baru juga melihat bagaimana institusionalisasi dan relasi antar institusi
sebuah sistem, struktur, atau lembaga- sebagai mekanisme untuk menyelesaikan
lembaga tersebut direkayasa dan berintraksi persoalan bersama melalui pertimbangan-
sedemikian rupa untuk mencapai tujuan pertimbangan rasional dan untung rugi.
tertentu. Dalam pandangan institusionalisme
Hall dan Taylor (1996: 9) membagi pilihan rasional-seperti halnya teori pilihan
pendekatan institusionalisme baru ke dalam rasional-manusia secara individual-yang juga
tiga kelompok teori, yaitu institusionalisme merupakan representasi dar sebuah institusi-
historis (historical institutionalism), dipandang sebagai individu rasional yang
institusionalisme pilihan rasional (rational bertindak atas dorongan kepentingan rasional,
choice institutionalism) dan institusionalisme didasari oleh perhitungan ekonomis, untung-
sosiologis (sociological instituti¬onalism). rugi, memaksimalkan keuntungan dan aksi-

140
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 136-153

reaksi dari aktor lainnya. Asumsi mendasar institusionalisme, termasuk analisis dalam
dari institusionalisme pilihan rasional adalah perilaku koalisi, pengembangan lembaga-
bahwa individu adalah aktor sentral dalam lemabga politik dan kajian tentang konflik
proses politik, dan bahwa orang-orang (Hall dan Taylor, 1996: 9). Dalam konteks
bertindak rasional untuk memaksimalkan penelitian ini, pendekatan institusionalisme
utilitas pribadi. Salah satu mencapai tujuan baru digunakan dalam melihat bagaimana
tersebut secara efektif adalah melalui tindakan lembaga-lembaga berperan dan merespon
institusional, dan perilaku mereka juga perubahan-perubahan yang menuntut peran
dibentuk oleh lembaga (Peters, 1991: 45). mereka. Serta, bagaimana aktor-aktor dalam
Tindakan individu mempengaruhi lembaga, lemabga, atau aktor-aktor yang merefleksikan
tetapi juga diatur oleh aturan-aturan dalam lembaga, berfikir, dan berperan. Baik peran
lembaga. Karena itu, tindakan atau keputusan yang diatur dan dibatasi oleh norma dan
lembaga, juga dapat merefleksikan tindakan aturan, maupun peran yang lebih luas yang
individu. tidak diatur dalam aturan-aturan formal.
Institusionalisme pilihan rasional
melihat keseimbangan institusional sebagai Konflik Pemilukada
norma atau aturan-baik formal maupun Konflik secara umum didefinisikan
informal-yang disepakati bersama. sebagai suatu situasi dimana dua pihak atau
Pendekatan ini melihat bahwa keadaan normal lebih berusaha untuk mendapatkan sumber
politik adalah di mana aturan permainan yang daya yang sama langka di sama waktu
stabil dan para aktor memaksimalkan (Wallensteen, 2002: 16). Para sarjana sosial
keuntungan (biasanya keuntungan pribadi) umumnya setuju bahwa lebih dari satu pihak
yang diberikan oleh aturan-aturan tersebut. agar sebagai prasyarat terjadinya konflik dan
Para aktor mempelajari aturan-aturan, strategi faktor waktu dinilai penting. Penyebab utama
adaptasi dan dengan demikian melahirkan adalah sumber daya yang langka. Sumber
keseimbangan institusional. Meski tidak daya bukan sekedar soal sumber ekonomi di
semua aktor merasa senang atau diuntungkan alam, tetapi juga berkaitan dengan orientasi
dengan struktur kelembagaan yang terbentuk, ekonomi, keamanan manusia, lingkungan, isu-
tetapi yang menjadi tujuan adalah pada isu sejarah, dll. Dalam konteks politik, jabatan
kondisi yang stabil. Setelah stabil, sangat sulit atau posisi strategis dalam institusi politik,
untuk mengubah aturan karena tidak ada yang juga dapat dilihat sebagai sumber daya yang
bisa memastikan hasil dari struktur yang terbatas.
terbentuk (Clarke and Foweraker, 2005: 572). Simon Fisher (2000: 6) menyatakan
Ada beberapa fenomena yang menjadi bahwa konflik merupakan keniscayaan, tak
perhatian para penganut pilihan rasional terhindarkan dan kerap bersifat reatif. Konflik

141
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...

dapat terjadi ketika tujuan masyarakat tidak (keputusan politik). Masalah yang
sejalan, berbagai pendapat dan konflik bisa dipertentangkan dalam konflik politik berada
diselesaikan tanpa terjadi kekerasan. Dalam pada tingkatan political (Urbaningrum, 1999).
perspektif hubungan masyarakat, Fisher Penjelasan di atas sejalan dengan
menjelaskan bahwa bahwa konflik disebabkan konteks pemilukada serentak, yang secara
oleh terjadinya polarisasi sosial, serta kondisi substansi adalah kompetisi dan konflik.
dimana tidak adanya saling rasa percaya Terjadi polarisasi di antara kelompok
dalam masyarakat, yang akhirnya melahirkan masyarakat dalam memperebutkan sumber
permusuhan diantara kelompok yang berbeda daya yang terbatas, dan pada banyak kasus
dalam suatu masyarakat. selain itu, penyebab melahirkan konflik vertikal dan horizontal.
konflik dalam masyarakat juga dapat Meski kompetisi dan konflik dalam
disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan dasar pemilukada jika terkelola akan menjadi celah
manusia. positif bagi perkembangan masyarakat, tetapi
Sejalan dengan Fisher, T.F. Hoult bukan proses yang mudah. Dibutuhkan kerja-
(dalam Wiradi, 2000) menyebut konflik kerja yang signifikan dalam mengelola
merupakan proses interaksi antara dua (atau konflik sosial agar mengarah pada
lebih) orang atau kelompok yang masing- pengkondisian situasi positif dimasyarakat.
masing memperjuangkan kepentingannya atas
obyek yang sama, yaitu sumber daya Manajemen Konflik Pemilukada
(dijelaskan tanah dan benda-benda lain yang Dalam pandangan fungsional, konflik
berkaitan dengan tanah, seperti air dan sebenarnya dapat dikelola. Manajemen
perairan, tanaman, tambang, dan juga udara konflik dapat dipahami sebagai rangkaian aksi
yang berada di atas tanah yang bersangkutan). dan reaksi antara pelaku dan pihak luar dalam
Konflik yang terjadi dapat berupa konflik konflik. Manajemen konflik mengacu pada
vertikal, yaitu antar pemerintah, masyarakat pendekatan untuk mengarahkan pada bentuk
dan swasta, antar pemerintah pusat, komunikasi dan tingkah laku dari pelaku
pemerintah kota dan desa, serta konflik maupun pihak luar dalam konflik bagaimana
horizontal yaitu konflik antar masyarakat. mereka mempengaruhi kepentingan mereka.
Konflik pemilukada, merupakan Manajemen konflik tidak hanya dipahami
konflik politik, dan konflik politik dapat sebagai upaya mengenali konflik dan
digolongkan dalam konflik sosial, terjadi di menganalisa agar konflik dapat dikontrol
antara anggota masyarakat sebagai akibat dari tetapi juga dipahami sebagai gagasan, teori
adanya hubungan sosial yang cukup intensif. dan metode untuk memahami konflik dan
Konflik politik berkaitan dengan penguasa praktik kolektif untuk mengurangi potensi
politik atau keputusan yang dibuatnya

142
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 136-153

kekerasan dan meningkatkan harmonisasi berkomunikasi secara terbuka, untuk


dalam proses politik. mengatasi perbedaan secara konstruktif
Selama ini, kritik yang berkembang dan berupaya merumuskan solusi yang
dalam manajemen konflik di banyak kasus dapat saling diterima. Model ini
konflik sosial di Indonesia, model manajemen mengharapkan win-win solution, dimana
konflik cenderung dilakukan dengan cara semua pihak merasa diuntungkan atau
parsial dan dengan cara dibentuk sedemikian mengalami kerugian minimal.
rupa (ad hoc). Akibatnya kurang menyentuh 2. Obliging style: strategi ini terjadi jika
jantung dan akar penyelesaian konflik jangka kepedulian terhadap kepentingan sendiri
panjang. Di banyak kasus, penyelesaian rendah dan kepedulian terhadap
konflik dimulai dengan penghentian konflik kepentingan orang lain tinggi. Gaya ini
melalui cara-cara koersif oleh pihak bersifat non-konfrontatif, menekankan
keamanan (peace keeping) kemudian untuk menjaga hubungan dengan orang
dilanjutkan dengan penetapan serangkain lain daripada mengejar hasil untuk
aturan termasuk sanksi bagi semua pihak agar kepentingan diri sendiri. Strategi ini akan
tidak mengulangi konflik (Suprapto, 2013). efektif dalam kondisi pihak yang
Salah satu model manajemen konflik memiliki kepedulian adalah pihak yang
adalah dual concern model atau model kuat dan dominan.
kepedulian ganda. Model ini merupakan salah 3. Dominating style: strategi ini merupakan
satu model manajemen konflik paling yang paling konfrontatif, yang lebih
sederhana, yang dikembangkan oleh Blake mementingkan kepentingan diri sendiri
dan Mouton (1964) dan dikembangkan oleh daripada kepentingan orang lain.
sarjana lain, salah satunya adalah Thomas Manajemen konflik menggunakan
(1976) dan Pruitt & Rubin (1986). Model ini strategi ini ditandai dengan upaya atau
bertolak dari pertanyaan apakah seseorang taktik intimidatif, ejekan, dan berfokus
atau kelompok memiliki kepedulian terhadap untuk mengalahkan lawan.
pihak lain dan apakah pemilihan strategi 4. Avoiding style: strategi ini berarti upaya
menyelesaikan masalah akan efektif dalam menghindari atau membiarkan masalah.
situasi atau persoalan tertentu. Terdapat lima Strategi ini merupakan gaya non-
strategi manajemen dan resolusi konflik konfrontatif. Untuk jangka waktu tertentu
menurut model kepedulian ganda (Cai and atau persoalan tertentu, cara ini efektif,
Fink, 2002), yakni: tetapi dapat menjadi persoalan besar jika
1. Integrating style: strategi manajemen berakumulasi menjadi persoalan yang
konflik ini ditandai dengan kesediaan lebihh besar dalam waktu jangka
pihak-pihak yang berkonflik untuk saling panjang.

143
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...

5. Compromising style: gaya ini Tabel 1. Perspektif Stakeholder tentang


mencerminkan pihak-pihak yang Manajemen dan Potensi Konflik Pemilukada
berkonflik berupaya untuk mengejar hasil di Kota Blitar
yang dapat diterima bersama untuk
mencapai hasul yang optimal. Cara ini
efektif pada situasi yang tidak ada
tekanan, waktu yang terbatas, atau
besarnya biaya jika konflik berlarut.
Dalam artikel ini, upaya keempat,
yakni avoiding style, yang akan diulas karena
menjadi pilihan mengelola konflik oleh aktor
dan institusi terkait Pemilukada Kota Blitar.

Eksplorasi Persepsi Stakeholder tentang


Potensi Konflik
Bagian ini akan mengulas bagaimana
pemahaman, persepsi dan interpretasi masing-
masing stakeholder atau actor/institusi yang
peneliti libatkan dalam FGD tentang potensi Penyelenggara pemilu, yakni KPUD
konflik, upaya mengelola konflik, dan dan Panwaslu Kota Blitar menyadari
persepsi mereka tentang kondisi politik sepenuhnya dan bahkan khawatir, jika terjadi
menjelang Pemilukada Kota Blitar. Melalui persoalan terkait penyelenggaraan pemilu,
pemetaan persepsi soal potensi konflik, serta maka yang menjadi sasaran utama kesalahan
berkaitan dengan hambatan-hambatan yang adalah penyelenggara pemilu. Dalam konteks
dirasakan oleh aktor atau institusi terkait pra-pemilu, baik KPUD dan Panwaslu masih
Pemilukada kota Blitar. menyadari bahwa tiap tahapan dalam
Secara sederhana, pemetaan Pemilukada mempunyai potensi konflik.
perspektif para stakeholder terkait potensi dan Bahkan persoalan pada satu tahapan, akan
upaya mengelola konflik pemilukada di Kota turut mengganggu tahapan selanjutnya.
Blitar dapat dilihat pada tabel berikut: Potensi konflik pada aspek yang mendasar,
misalnya, persoalan Daftar Pemilih Tetap
(DPT), dapat menjadi alat mendelegitimasi
proses penyelenggaraan pemilu. Tidak hanya
pada pelaksanaan pemungutan suara, tetapi
juga pada penetapan pemenang Pemilukada.

144
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 136-153

Potensi konflik yang menurut KPUD saat itu terlibat dalam FGD adalah
dan Panwaslu penting untuk dicermati adalah Bakesbangpollinmas). Persepi tersebut, selain
pada penerimaan hasil pemilu. Tetapi dalam karena kontestasi dalam pemilukada Kota
konteks pemilukada Kota Blitar, hasil pemilu Blitar tidak terlalu kompetitif, pemerintah
bukan menjadi masalah utama. Semua mengklaim Kota Blitar selama ini, baik secara
stakeholder menyadari kandidat mana yang sosial dan kultur, dirasa aman dan minim
akan menjadi pemenang – seperti yang sudah konflik dalam penyelenggaraan pemilu apa
dijelaskan pada bagian pendahuluan pun.
sebelumnya. Persepsi terhadap potensi konflik
Meski menyadari terdapat potensi di yang lebih beragam justru disampaikan oleh
tiap tahapan pemilu, KPUD dan Panwaslu partai politik. Meski sebagian partai politik
merasa bahwa ruang gerak mereka juga juga menyadari kandidat mana yang
terbatas karena mereka juga merupakan mempunyai peluang menang paling besar –
lembaga birokratis yang harus patuh terhadap bahkan sebagian di antara parpol di Kota
prosedur dan aturan. Hal ini yang menjadi Blitar mengungkapkan bahwa pemenang
hambatan KPUD dan Panwaslu dalam Pemilukada Kota Blitar sudah dapat diketahui
mengambil langkah lebih luas untuk sebelum pelaksanaan Pemilukada dimulai –
mengelola konflik. Salah satu perkembangan tetapi mereka menyadari bahwa terdapat
dalam hal ruang gerak dirasakan oleh beberapa hal yang dapat menjadi potensi
Panwaslu dengan dikeluarkanya Peraturan konflik Pemilukada di Kota Blitar. Pandangan
Bawaslu No 7 Tahun 2015 yang menambah tersebut, tidak lepas karena partai politik
dan mengatur adanya divisi pencegahan dan merupakan institusi yang di dalamnya berisi
hubungan antar lembaga pada organisasi aktor-aktor yang terlibat langsung dengan
66
Panwaslu. politik di Kota Blitar dalam jangka waktu
Persepsi soal potensi konflik pilada yang relatif lebih panjang, dibandingkan
oleh pemerintah Kota Blitar, justru berbeda dengan aktor yang ada di KPUD, Panwaslu,
dengan persepsi penyelenggara pemilu. bakesbangpol dan kepolisian. Karena itu,
Persepsi bahwa penyelenggaraan Pemilukada sebagian pandangan mereka di satu sisi
di Kota Blitar akan berlangsung aman dan merefleksikan kesadaran, pehamanan dan
tanpa konflik, lebih banyak diungkapan oleh pengalaman pemilu di masa lalu di Kota
pemerintah Kota Blitar (dalam hal ini, yang Blitar, serta kemugkinan-kemungkinan yang
terjadi pada pemilu mendatang.
66 Meski demikian, bagaimana pelaksanaan peran pada Partai politik menilai, di beberapa
divisi pencegahan dan hubungan antar lemabaga pada
Pemilukada Kota Blitar Desember 2015 lalu, belum momen pemilu di Kota Blitar, terdapat
dipahami dan diterapkan secara teknis dan spesifik,
mengingat aturan bawaslu No. 7 Tahun 2015 merupakan persoalan dalam penyelenggaraan
aturan baru.

145
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...

Pemilukada, tetapi partai politik melihat itu, dalam konteks pemilukada Kota Blitar,
persoalan tersebut ditangani dengan struktur aturan yang mensyaratkan syarat
mekanisme “pembiaran”. Persoalan minimal, menjadi refleksi pandangan kritis
pembiaran tersebut terjadi karena model partai politik terkait kondisi pemilukada di
politik yang lebih mengarah pada politik Kota Blitar yang didominasi oleh partai dan
transaksional. Beberapa persoalan tidak kandidat tertentu.
dilakukan melalui jalur hukum, atau, beberapa
pelanggaran memang sudah dikalkulasi Pembiaran pada Potensi Konflik: Sebuah
implikasi hukum pada pelanggaran tersebut. Pilihan Rasional
Fenomena ini, yang menurut partai politik Konflik adalah hal yang inheren di
menjadi salah satu sebab pelanggaran dalam dalam pemilukada, mengingat pemilukada
pemilu dilakukan melalui model pembiaran. adalah ajang kontestasi politik yang
Partai politik juga mengeluhkan melibatkan banyak anasir kepentingan di
penegakan aturan dan netralitas masyarakat. Dengan demikian, alih-alih
penyelenggara pemilu. Partai politik melihat menghindari konflik, yang terpenting adalah
terdapat kecenderungan pada kandidat dan bagaimana menyiapkan segenap
partai politik yang dominan dalam penyelenggara Pemilukada agar memiliki
pemerintahan untuk mengintervensi kapasitas mumpuni ketika berhadapan dengan
pemerintahan atau birokrasi, serta konflik, baik yang latent maupun ketika sudah
penyelenggara pemilu. Meski demikian, bertransformasi faktual.
kecenderungan ini dianggap “lumrah” oleh Dalam pemilukada, sensitivitas
partai politik, karena kecenderungan penyelenggara diuji dalam menghadapi
kelompok yang berkuasa berupaya untuk konflik, itulah mengapa keterlibatan
menguasai seluruh instrument kekuasaan, Kepolisian dan Pemerintah Daerah mutlak
termasuk pada aspek pemilu. diperlukan. Mengingat, pertama, KPUD dan
Persoalan yang sebenarnya menjadi Panwaslu adalah dua badan ad hoc yang masa
sorotan utama, terutama oleh partai politik di jabatannya sangat berbatas, sehingga
Kota Blitar yang tidak sepenuhnya terlibat keterlibatan dan pengalaman mereka dalam
dalam kontestasi Pemilukada Desember 2015, situasi konfliktual pemilukada sebelumnya
adalah soal struktur aturan yang tidak relatif minimal. Kedua, penyelenggara
membuka peluang partisipasi dan kompetisi pemilukada tidak dilengkapi dengan tupoksi
yang lebih luas. Adanya aturan yang dirasa yang berkaitan dengan deteksi potensi konflik,
membelenggu oleh partai kecil di daerah, pun ihwal otoritas pengelolaan konflik tidak
karena kader dari partai mereka dipaksa diatur dalam UU nomor 15/2011 tentang
berkoalisi dengan kader dari partai lain. Selain Penyelenggara Pemilihan Umum. Dengan

146
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 136-153

demikian sensitivitas serta keterampilan kalaupun hingga finalisasi DPS nama-nama


menggali informasi mencegah konflik, tidak purnawirawan tersebut belum masuk.
dimiliki penyelenggara Pemilu. Hal inilah Institusi-institusi terkait pemilukada –
yang mengharuskan penyelenggara pemilu – baik kontestastan dan penyelenggara – sudah
dalam hal pengelolaan konflik - tidak bisa menerka, berhitung dan memprediksi
lepas dari peran kepolisian dan pemerintah bagaimana dan sejauh apa pelanggaran,
daerah. kecurangan atau cacat dalam prosedur tidak
Sebagian partai politik kecil di Kota bertentangan dengan aspek hukum. Terdapat
Blitar (yang oposisi dengan partai dominan) kesamaan cara berpikir antara penyelenggara
melihat penyelenggara pemilu dan pemerintah pemilukada dengan partai dominan yang
daerah lebih nampak sebagai bagian dari aktor berpeluang besar memenangkan pemilukada,
yang melakukan pembiaran terhadap potensi yakni potensi konflik yang ada sebaiknya
konflik daripada pihak yang semestinya diabaikan saja, karena lambat laun akan
menjadi mediator. Parpol-parpol kecil (selain selesai dengan sendirinya. Namun demikian,
parpol pendukung petahana) menengarai di balik pengabaian konflik oleh partai
adanya indikasi ketidaknetralan dominan, sebenarnya ada skenario
penyelenggara pemilu, bukan soal adanya tersembunyi yakni memudahkan agenda
dugaan transaksional, melainkan proses pemilu dan pemenangan kandidat
penyelenggara pemilu enggan menjadi tertentu.
inisiator pemecah potensi masalah dan Alasannya, semakin sedikit potensi
masalah yang timbul dalam tahapan konflik yang masuk ke ranah penanganan
pemilukada. KPUD/Panwaslu (misalnya; kasus DPT dan
Hal diatas juga diakui oleh Ketua sengketa pencalonan walikota) maka potensi
Panwaslu Kota Blitar, diantaranya dalam gugatan yang masuk ke PTUN, sengketa
kasus daftar pemilih perseorangan (DPS). proses di Bawaslu ataupun sengketa hasil di
Salah satu kasus adalah terkait beberapa MK akan bisa diminimalisir. Jika sengketa
pemilih purnawirawan TNI dan Polisi. Secara semacam itu muncul, penyelenggara
normatif, semestinya Panwaslu menjadi pihak Pemilukada (KPUD/Panwaslu) harus bekerja
yang mendorong para purnawirawan ini lebih ekstra; melakukan investigasi, membuat
dipastikan namanya ada dalam DPS, melalui klarifikasi, menyusun laporan dan keterangan
mekanisme rekomendasi. Tetapi panwaslu tertulis, dan tindakan lain sebagai konsekuensi
lebih memilih wait and see, karena hukum posisi mereka sebagai pihak teradu
menurutnya proses perbaikan DPS masih atau pihak terkait. Di sinilah titik temu
cukup panjang dan masih banyak cara simbiosis antara penyelenggara pemilukada
dengan partai dominan dimungkinkan, sama-

147
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...

sama diuntungkan jika proses pemilukada mendiamkan kecurangan-kecurangan politik


berjalan lancar. Kesamaan cara berpikir adalah hal yang dianggap lumrah, (2)
demikian yang memungkinkan lahirnya rendahnya soliditas di antara partai politik di
konsensus dari para pihak yang punya luar koalisi-yang dibangun PDIP Kota Blitar,
berbagai kepentingan. Konsensus tersebut sehingga manuver pencalonan incumbent
bisa saja terwujud dengan atau tanpa proses tidak mendapatkan perlawanan yang berarti,
yang transaksional. (3) lemahnya posisi NGO pemantau pemilu,
Di samping itu, dengan berlindung di sehingga laporan-laporan perihal kecurangan
balik kekosongan norma hukum, Panwaslu pencalonan kepala daerah hanya menjadi
bisa berada di zona nyaman tanpa harus dokumen internal lembaga, tidak berujung
mengambil tanggungjawab pencegahan/ gugatan ke Panwaslu/KPUD.
penyelesaian konflik. Posisi ini bagi mereka Dari perspektif peserta pemilukada,
menjadi alasan, bahwa kesan ketidaknetralan pembiaran konflik yang dilakukan oleh
penyelenggara pemilu dalam kasus-kasus penyelenggara pemilukada akan mendorong
yang berpotensi konflik bukan karena aktor politik yang dominan memiliki skenario
penyelenggara pemilu berpihak, melainkan sendiri dalam penyelesaian potensi konflik.
ketiadaan otoritas menyelesaikan konflik Sehingga dinamika kepemiluan akan terpisah
membuat pilihan membiarkan konflik itu menjadi dua aspek, yakni: pertama, aspek
menjadi pilihan yang benar dan taat asas. normatif Pemilukada, yakni penyelenggaraan
Strategi pembiaran konflik seperti teknis tahapan Pemilukada mulai dari (1)
yang terjadi dalam pemilukada Kota Blitar, pemutakhiran DPT, (2) pendaftaran dan
sebenarnya bukan langkah dalam managemen penetapan calon kepala daerah, (3) masa
konflik yang ideal. Bahwa kemudian model kampanye dan masa tenang, (4) distribusi
pembiaran ini menjadikan potensi konflik logistik, (5) pemungutan suara dan
reda dengan sendirinya, bukanlah sebuah rekapitulasi hasil pemungutan, serta (6)
langkah maju. Alih-alih menyelesaikan penetapan calon terpilih.
masalah, pembiaran ini sejatinya akan Kedua, adalah penyelesaian konflik di
menimbulkan masalah besar jika kekuatan setiap tahapan pemilukada, yang tidak
politik antara penantang dengan petahana tercakup dalam kerangka normatif
relatif setara. Dinamika konfliktual yang penyelenggaraan pemilukada, sehingga
berujung situasi ‘damai’ ini lebih disebabkan masing-masing pihak mencari jalan keluar
oleh faktor lain di luar kendali penyelenggara sendiri-sendiri. Pada akhirnya kelompok
Pemilu, Pemerintah Daerah dan kepolisian. politik dominan (parpol) yang akan
Diantaranya, (1) paragmatisme para aktor menginisiasi skenario pengelolaan potensi
politik di luar kubu petahana, sehingga

148
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 136-153

konflik, untuk mendukung lancarnya antisipatif bagi kandidat petahana


pemenangan dalam pemilukada. (Samanhudi) seandainya gagal mendapatkan
Jika digambarkan dalam sebuah rekomendasi dan diusung oleh PDI-P.
bagan, yang menunjukkan bagaimana relasi Hal ini tak lepas dari cerita di
antara masing-masing aktor dengan potensi lapangan, bahwa penilaian DPP PDI-P yang
konflik yang ada dalam Pemilukada Kota menilai prestasi pemerintahan rezim
Blitar, akan tampak pola seperti di bawah ini. Samanhudi (2009-2014) tidak sebaik rezim
Gambar. 1 Pilihan Institusi dalam Managemen sebelumnya (Djarot Syaiful Hidayat 2004-
Konflik Pemilukada Kota Blitar 2009). Kekhawatiran ini pada akhirnya tidak
terbukti dengan keluarnya surat rekomendasi
pencalonan (kembali) Samanhudi oleh DPP
PDI-P. Langkah pengumpulan KTP
sebelumnya, menjadi skenario cadangan yang
digunakan untuk mengantisipasi satu
pasangan calon Walikota, yang dapat
menyebabkan penundaan jadwal pemilukada
Kota Blitar hingga tahun 2017.
Skema tersebut menggambarkan Langkah pengumpulan KTP tersebut
kecenderungan pilihan sikap dan arah akhirnya digunakan untuk membuat
managemen konflik yang dipilih oleh institusi “calon/kandidat boneka’ sebagai penantang
terkait pemilukada kota Blitar. Karena petahana dalam pemilukada Kota Blitar 2015.
masing-masing insititusi akan diuntungkan Calon boneka ini didaftarkan ke KPUD
jika ujung konfliknya adalah jalan damai, dengan menggunakan dukungan KTP yang
maka tiap istitusi cenderung memilih untuk telah dikumpulkan sebelumnya oleh petahana.
tidak mengambil tindakan konfrontatif Dengan strategi ini, meskipun parpol lain
terhadap yang institusi atau aktor lain. Relasi tidak mengajukan calon walikota, pemilukada
utilitarian sangat kental dalam kasus ini. Kota Blitar tetap bisa digelar pada 9
Contoh yang merefleksikan pilihan Desember 2015 karena telah memenuhi
pada sikap pembiaran misalnya, adalah pada kaidah hukum dengan menyertakan dua
kasus pencalonan kandidat. Berdasarkan pasangan calon walikota.
penuturan beberapa pihak dalam wawancara, Jika partai lain di Kota Blitar-
pengumpulan dukungan (berupa Kartu Tanda terutama partai oposisi-bersikap kritis, ada
Penduduk/KTP) dari penduduk Kota Blitar kemungkinan partai oposisi menggugat
bagi pencalonan pasangan perseorangan, keabsahan calon independen/perseorangan
muncul dari kekhawatiran dan langkah yang diduga kuat sebagai calon ‘boneka’ dari

149
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...

pasangan petahana. Misalnya, keungkinan yang melihat sosok manusia sebagai


daftar dukungan yang janggal (tanpa representasi institusi maupun kelompok sosial
kelengkapan administratif, materai, atau tertentu. Sehingga setiap tindakan mereka
tandatangan yang terindikasi palsu). Demikian harus dipandang sebagai tindakan rasional
halnya dengan Panwaslu, yang mempunyai sebagai pemenuhan dorongan kepentingan
tugas dan kewenangan melakukan verifikasi dan memaksimalkan keuntungan
faktual keabsahan dukungan, yang-jika institusi/kelompok sosial yang menaungi
terbukti tidak sah-bisa berdampak pada mereka. Selain perihal ekonomi, keuntungan
perbaikan atau pembatalan pencalonan. yang dimaksud dalam pengertian ini
Namun rupanya, baik LSM pemantau Pemilu, menyangkut pula minimalisasi reaksi negative
Parpol oposisi maupun Panwaslu Kota Blitar dari actor lain di luar institusi/kelompok
memilih untuk membiarkan pencalonan individu bersangkutan.
pasangan independen berjalan mulus. Dalam kasus pemilukada Kota Bllitar,
prosedur pencalonan walikota dari jalur
Ewuh-Pakewuh dan Pembiaran perseorangan memiliki masalah tersendiri.
Tindakan pembiaran pada potensi Tetapi, membiarkan persoalan di dalam
konfllik oleh institusi terkait Pemilukada Kota prosedur tersebut adalah pilihan rasional yang
Blitar menurut penulis bukan semata sikap pada akhirnya dipilih – dan diterima – semua
konsensus kolektif yang tiba-tiba muncul. pihak demi terhindar dari disintegrasi sosial.
Sikap tersebut berbasis pada pertimbangan Stabilitas soasial dinilai lebih mahal jika
untung rugi jika Pemilukada berjalan lancer, dibandingkan dengan pengungkapan
tanpa sengketa dan menemukan titik penyimpangan selama proses pengumpulan
ekuilibrium pada kontestasi. Bagan di atas dukungan pasangan calon walikota dari jalur
mencoba menjelaskan hal tersebut secara perseorangan, yang berpotensi menimbulkan
umum dimana, masing-masing institusi sadar, konflik. Dalam analisis institusionalisme
jika terjadi konflik (sengketa) selama pilihan rasional, aktor dan kelompok
pemilukada berlangsung, dapat memunculkan melaksanakan proyeknya dalam suatu konteks
konsekuensi politik, sosial dan psikologis yang dibatasi secara kolektif, pembatasan-
yang menimpa mereka, baik secara individual pembatasan tersebut terdiri dari institusi-
maupun kelembagaan, misalnya disintegrasi institusi, yaitu pola norma dan pola peran
atau polarisasi dalam masyarakat, selama yang telah berkembang dalam kehidupan
proses pemilukada berlangsung maupun sosial dan perilaku dari mereka yang
ketika kontestasi politik tersebut telah usai. memengang peran itu.
Bagan di atas linear dengan Dalam konteks pola norma yang
pendekatan institusionalisme pilihan rasional, membatasi institusi terkait pemilukada Kota

150
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 136-153

Blitar adalah nilai dan norma ewuh pakewuh. Kesimpulan


Ewuh pakewuh dapat dipahami sebagai sikap Dari beberapa uraian di atas, terdapat
tidak enak hati jika harus mengambil sikap beberapa poin yang menjadi kesimpulan,
berbeda dan konfrontatif dengan pihak lain pertama, kontestasi politik dalam Pemilukada
yang berbeda kepentingan dan pilihan politik. di Kota Blitar tahun 2015 bukan tanpa
Sikap ini mendorong seseorang atau persoalan. Ada beberapa potensi konflik di
sekelompok orang memilih diam dan tiap tahapan Pemilukada, baik pada persiapan
membiarkan penyimpangan yang dilakukan (terkait Daftar Pemilih Tetap, pendaftaran
pihak lain, sepanjang masih dalam batas kanddiat, penyiapan logistik),
toleransi, karena konfrontasi adalah pilihan penyelenggaraan dan pasca pemilu. Hal
terakhir yang sebisa mungkin dihindari. tersebut dirasakan oleh penyelenggara pemilu
Norma di atas, dalam pengamatan karena institusi yang mempunyai
penulis, beberapa kali dalam dialog intensif tanggungjawab dalam penyelenggaraaan
yang terjadi selama proses FGD Pemilukada Pemilukada Kota Blitar. Tetapi, situasi
Kota Blitar. Meski setiap actor atau institusi Pemilukada di Kota Blitar yang didominasi
mampu mengidentifikasi kelemahan dan oleh sebagian kecil elit dan partai politik
potensi persoalan dari masing-masing tahapan pemenang Pemilu 2014, memunculkan
Pemilukada-baik karena tindakan secara sadar persepsi bahwa Pemilukada di Kota Blitar
atau tidak sadar, misal karena kinerja pihak minim konflik karena sudah terdapat
lain yang tidak optimal, tetapi sikap yang “konsensus” bersama di antara aktor politik.
dipilih adalah pembiaran. Sebagian parpol Selain itu, persepsi bahwa pemenang
oposisi yang hadir dalam FGD menyebut Pemilukada sudah dapat diketahui bahkan
terdapat upaya ‘main mata’ antara petahana sebelum pemungutan suara dilakukan. Pada
dengan pasangan calon walikota lain, dan akhirnya, meski terdapat pemungutan suara,
indikasi upaya transaksional oleh petahana tetapi kontestasi yang terjadi adalah kontestasi
ketika pengumpulan dukungan calon semu.
perseorangan, yang diikuti pembiaran oleh Kedua, persepsi soal konflik disadari
KPUD dan Panwaslu. Pada akhirnya, pilihan oleh banyak stakeholder terkait Pemilukada di
sikap mendiamkan, membiarkan dan ewuh Kota Blitar, terutama oleh penyelenggara
pakewuh yang justru dipilih oleh parpol pemilu dan partai politik. Tetapi persepsi yang
oposisi. Tujuannya adalah terciptanya titik terkonstruksi di antara para aktor adalah
ekuilibrium dalam kehidupan sosial yang bahwa potensi konflik dalam Pemilukada
lebih besar, yakni situasi yang harmonis dan Kota Blitar 2015 sangat kecil. Untuk
minim konflik. kebutuhan jangka panjang, hal ini menjadikan
kota Blitar tidak mempunyai mekanisme

151
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...

manajemen konflik yang baik, belum ada Daftar Pustaka


early warning system tentang konflik Antaranews.com. 2015. Petahana Samanhudi-
Pemilukada. Padahal, kebutuhan terhadap Santoso Menangi Pilkada Kota Blitar.
manajemen konflik dalam pemilu, Diakses di http://www.antaranews.
membutuhkan desain kelembagaan yang di com/berita/535443/petahana-samanhu
antaranya berisi standar operasional dan di-santoso-menangi-Pemilukada-kota-
interaksi kelembagaan. Disamping itu, blitar pada 27 Desember 2015.
kebutuhan terhadap manajemen konflik dalam Budiardjo, M. (2003). Dasar-dasar ilmu
pemilu/Pemilukada, dibutuhkan karena aktor- politik. Gramedia pustaka utama.
aktor pada institusi penyelenggara pemilu Blake, R. R., & Mouton, J. S. (1985). The
(pemerintahan dan keamanan) dapat berganti- managerial grid III: The key to
ganti. leadership excellence.
Ketiga, model manajemen konflik Cai, D., & Fink, E. (2002). Conflict style
pada Pemilukada di Kota Blitar lebih tepat differences between individualists and
disebut sebagai ‘model pembiaran’ oleh collectivists. Communication
penyelenggara Pemilu, Pemerintah Daerah Monographs, 69 (1), 67-87.
dan pihak kepolisian. Pembiaran ini Clarke, P. A., & Foweraker, J. (2001).
berlindung di bawah dalih; di satu sisi, Encyclopedia of democratic thought.
Pemerintah Daerah dan Kepolisian tidak Taylor & Francis.
memiliki kewenangan intervensi atas proses Fisher, Simon., et.al, 2000. Mengelola Konflik
Pemilukada, sementara di sisi lain KPUD dan Ketrampilan dan Strategi Untuk
Panwaslu merasa tidak mendapatkan amanat Bertindak, terj. S.N. Karikasari dkk.,
dari Undang-undang untuk mengemban peran Jakarta: The British Council
sebagai mediator/inisiator pengelola konflik. Responding to Conflict.
Model pembiaran ini semakin meneguhkan Hall, P. A., & Taylor, R. C. (1996). Political
kesimpulan bahwa telah ada ‘konsensus’ science and the three new
antara actor-aktor politik yang sedang institutionalisms. Political studies,
berkuasa. Sehingga yang terjadi adalah, partai 44(5), 936-957.
politik dan elit berkuasa menjadi actor Haris, S. (2005). Mengelola Potensi Konflik
dominan pengendali konflik, dengan tujuan Pilkada, Kompas tanggal 10 Me
memuluskan strategi pemenangan calon 2005i.
mereka dalam Pemilukada Kota Blitar. Peters, B. G. (2011). Institutional theory in
political science: the new
institutionalism. Bloomsbury
Publishing USA.

152
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 136-153

Pruitt, D. G., & Rubin, J. Z. (2004). Teori


Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Somekh, B., & Lewin, C. (Eds.). (2011).
Theory and methods in social
research. Sage.
Suprapto, S. (2013). Revitalisasi Nilai-Nilai
Kearifan Lokal Bagi Upaya Resolusi
Konflik. Walisongo: Jurnal
Penelitian Sosial Keagamaan, 21(1),
19-38.
Tempo.co. 2015. Pemilukada Sepi, Dua
Calon Wali Kota Blitar Menolak
Kampanye. Diakses di http://nasional.
tempo.co/read/news/2015/09/02/0586
97350/Pemilukada-sepi-dua-calon-wa
li-kota-di-blitar-menolak-kampanye
pada 1 November 2015
Thomas, K. W. (1992). Conflict and conflict
management: Reflections and update.
Journal of organizational behavior,
13(3), 265-274.
Urbaningrum, A. (1999). Ranjau-ranjau
Reformasi; Potret Konflik Politik
Pasca Kejatuhan Soeharto, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Wallensteen, P. (2006). Understanding
Conflict Resolution: War, Peace and
the Global System (Arabic edition).
Wiradi, G. (2000). Reforma agraria:
perjalanan yang belum berakhir.
Konsorsium Pembaruan Agraria,
Sajogyo Institute.

153

Anda mungkin juga menyukai