6581 14352 2 PB
6581 14352 2 PB
Politik Indonesia
Indonesian Political Science Review
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JPI
Pembiaran Pada Potensi Konflik dan Kontestasi Semu Pemilukada Kota Blitar:
Analisis Institusionalisme Pilihan Rasional
Sejarah Artikel:
Pemilukada serentak merupakan langkah baru dalam demokratisasi di Indonesia.
Diterima 31 Maret 2016 Melihat pengalaman penyelenggaraan Pemilukada di banyak daerah yang berpotensi
Disetujui 15 Juni 2016 menimbulkan konflik dan kerusuhan, manajemen konflik diperlukan guna
Dipublikasi 15 Juli 2016 mengantisipasi potensi konflik. Artikel ini menjelaskan manajemen konflik
pemilukada di Kota Blitar menggunakan pendekatan kelembagaan pilihan rasional,
Keywords: dengan asumsi bahwa lembaga-lembaga yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu
Local Election; Conflict mempunyai kemampuan dalam manajemen konflik. Kota Blitar dipilih karena
Managemen; Pseudo- mempunyai aspek yang parikular dimana terdapat dua kandidat, yakni petahana dan
Contestation; Avoiding
perseorangan, tetapi dengan kontestasi yang bersifat semu. Artikel ini merupakan hasil
penelitian kualitatif eksploratif. Teknik penggalian data adalah dengan focus group
discussion yang melibatkan lembaga-lembaga terkait pemilukada di Kota Blitar.
Melalui penelitian ini, ditemukan bahwa meskipun institusi terkait pemilukada
memahami potensi konflik, tetapi manajemen konflik yang dipilih adalah metode
pembiaran.
Abstract
The simultaneous local election is the new step of democratization in Indonesia.
Viewing an implementation about the local election in each district which have many
of potential conflict and unrest, conflict managements required to anticipate a
potential conflict. This paper will suggest to describe about conflict management of the
local election in Blitar City using an rational choice institutionalism approach,
assuming that institutions has a capacity to solve a problem of conflict management in
the local election. Blitar city been selected because it has a particular aspect that the
two candidates, namely by incumbent and independent, but the contestation is pseudo-
contestation. This paper is the result of exploratory qualitative research. The
techniques to explore data is use focus group discussion that involved an institutions
related with Blitar local election. Belong this research, the institutions that related in
the local elections understand a potential conflict, but the selected conflict
management is avoiding method.
136
Pendahuluan (SNPK) Indonesia menunjukkan sejak tahun
Pemilukada langung serentak menjadi 2005 hingga 2014, di seluruh wilayah
langkah baru dalam demokratisasi di Indonesia, terjadi 2570 konflik terkait
Indonesia. Setelah debat panjang di DPR pemilihan dan jabatan, dalam berbagai bentuk
untuk menentukan apakah tetap konflik dan tersebar di seluruh Indonesia. Dua
diselenggarakan pemilukada atau tahun pertama penyelenggaraan Pemilukada
mengembalikan pemilihan kepala daerah ke (2005-2007), setidaknya terdapat 98 dari 323
DPRD, yang salah satu pertimbangannya daerah yang menyelenggarakan Pemilukada
adalah besarnya biaya penyekenggaraan dirundung persoalan. Tak kurang dari
pemilukada, maka pemilukada serentak penyelenggaraan 21 Pemilukada berakhir
merupakan jalan tengah untuk tujuan jangka bentrokan dan kerusuhan. (Kompas. 28 Juni
panjang untuk menciptakan pemilihan kepala 2013).
daerah yang lebih efektif dan efisien. Dalam kaitan itu, setidaknya ada 5
Keputusan untuk melaksanakan pemilukada (lima) sumber konflik potensial, baik
serentak memang baru disahkan pada tahun menjelang, saat penyelenggaraan, maupun
2015, dan gelombang pertama pemilukada pengumuman hasil Pemilukada. Pertama,
serentak akan dimulai pada bulan Desember konflik yang bersumber dari mobilisasi politik
2015 di 271 daerah yang masa jabatan kepala atas nama etnik, agama, daerah, dan darah.
daerahnya berakhir pada 2015 dan semester I- Kedua, konflik yang bersumber dari
2016. Gelombang kedua pemilukada diadakan kampanye negatif antar pasangan calon kepala
pada Februari 2017 untuk kepala daerah yang daerah. Ketiga, konflik yang bersumberdari
akhir masa jabatan semester II-2016 dan premanisme politik dan pemaksaan kehendak.
2017. Gelombang ketiga pemilukada diadakan Keempat, konflik yang bersumber dari
pada Juni 2018 untuk AMJ 2018 dan 2019. manipulasi dan kecurangan penghitungan
Adapun pemilukada serentak nasional suara hasil Pemilukada. Kelima, konflik yang
disepakati diadakan pada 2027. bersumber dari perbedaan penafsiran terhadap
Pengalaman penyelenggaraan aturan main penyelenggaraan Pemilukada
pemilukada di Indonesia bukan tanpa (Haris, 2005). Kelima sumber konflik tersebut
pengalaman konflik dan kerusuhan. Sejak juga menjadi potensi konflik penyelenggaraan
diselenggarakan pertama kali pada Juli 2005, Pemilukada serentak di berbagai daerah.
tak kurang dari 1.027 pemilukada Dalam konteks tersebut, kebutuhan atas
diselenggarakan di negeri ini. Tahun 2012, kapasitas mengelola konflik pemilukada
dilaksanakan 73 pemilukada (enam pemilihan menjadi penting.
gubernur dan 67 pemilihan bupati/wali kota). Kota Blitar merupakan salah satu
Data Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan daerah yang menyelenggarakan pemilukada
137
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...
138
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 136-153
139
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...
140
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 136-153
reaksi dari aktor lainnya. Asumsi mendasar institusionalisme, termasuk analisis dalam
dari institusionalisme pilihan rasional adalah perilaku koalisi, pengembangan lembaga-
bahwa individu adalah aktor sentral dalam lemabga politik dan kajian tentang konflik
proses politik, dan bahwa orang-orang (Hall dan Taylor, 1996: 9). Dalam konteks
bertindak rasional untuk memaksimalkan penelitian ini, pendekatan institusionalisme
utilitas pribadi. Salah satu mencapai tujuan baru digunakan dalam melihat bagaimana
tersebut secara efektif adalah melalui tindakan lembaga-lembaga berperan dan merespon
institusional, dan perilaku mereka juga perubahan-perubahan yang menuntut peran
dibentuk oleh lembaga (Peters, 1991: 45). mereka. Serta, bagaimana aktor-aktor dalam
Tindakan individu mempengaruhi lembaga, lemabga, atau aktor-aktor yang merefleksikan
tetapi juga diatur oleh aturan-aturan dalam lembaga, berfikir, dan berperan. Baik peran
lembaga. Karena itu, tindakan atau keputusan yang diatur dan dibatasi oleh norma dan
lembaga, juga dapat merefleksikan tindakan aturan, maupun peran yang lebih luas yang
individu. tidak diatur dalam aturan-aturan formal.
Institusionalisme pilihan rasional
melihat keseimbangan institusional sebagai Konflik Pemilukada
norma atau aturan-baik formal maupun Konflik secara umum didefinisikan
informal-yang disepakati bersama. sebagai suatu situasi dimana dua pihak atau
Pendekatan ini melihat bahwa keadaan normal lebih berusaha untuk mendapatkan sumber
politik adalah di mana aturan permainan yang daya yang sama langka di sama waktu
stabil dan para aktor memaksimalkan (Wallensteen, 2002: 16). Para sarjana sosial
keuntungan (biasanya keuntungan pribadi) umumnya setuju bahwa lebih dari satu pihak
yang diberikan oleh aturan-aturan tersebut. agar sebagai prasyarat terjadinya konflik dan
Para aktor mempelajari aturan-aturan, strategi faktor waktu dinilai penting. Penyebab utama
adaptasi dan dengan demikian melahirkan adalah sumber daya yang langka. Sumber
keseimbangan institusional. Meski tidak daya bukan sekedar soal sumber ekonomi di
semua aktor merasa senang atau diuntungkan alam, tetapi juga berkaitan dengan orientasi
dengan struktur kelembagaan yang terbentuk, ekonomi, keamanan manusia, lingkungan, isu-
tetapi yang menjadi tujuan adalah pada isu sejarah, dll. Dalam konteks politik, jabatan
kondisi yang stabil. Setelah stabil, sangat sulit atau posisi strategis dalam institusi politik,
untuk mengubah aturan karena tidak ada yang juga dapat dilihat sebagai sumber daya yang
bisa memastikan hasil dari struktur yang terbatas.
terbentuk (Clarke and Foweraker, 2005: 572). Simon Fisher (2000: 6) menyatakan
Ada beberapa fenomena yang menjadi bahwa konflik merupakan keniscayaan, tak
perhatian para penganut pilihan rasional terhindarkan dan kerap bersifat reatif. Konflik
141
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...
dapat terjadi ketika tujuan masyarakat tidak (keputusan politik). Masalah yang
sejalan, berbagai pendapat dan konflik bisa dipertentangkan dalam konflik politik berada
diselesaikan tanpa terjadi kekerasan. Dalam pada tingkatan political (Urbaningrum, 1999).
perspektif hubungan masyarakat, Fisher Penjelasan di atas sejalan dengan
menjelaskan bahwa bahwa konflik disebabkan konteks pemilukada serentak, yang secara
oleh terjadinya polarisasi sosial, serta kondisi substansi adalah kompetisi dan konflik.
dimana tidak adanya saling rasa percaya Terjadi polarisasi di antara kelompok
dalam masyarakat, yang akhirnya melahirkan masyarakat dalam memperebutkan sumber
permusuhan diantara kelompok yang berbeda daya yang terbatas, dan pada banyak kasus
dalam suatu masyarakat. selain itu, penyebab melahirkan konflik vertikal dan horizontal.
konflik dalam masyarakat juga dapat Meski kompetisi dan konflik dalam
disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan dasar pemilukada jika terkelola akan menjadi celah
manusia. positif bagi perkembangan masyarakat, tetapi
Sejalan dengan Fisher, T.F. Hoult bukan proses yang mudah. Dibutuhkan kerja-
(dalam Wiradi, 2000) menyebut konflik kerja yang signifikan dalam mengelola
merupakan proses interaksi antara dua (atau konflik sosial agar mengarah pada
lebih) orang atau kelompok yang masing- pengkondisian situasi positif dimasyarakat.
masing memperjuangkan kepentingannya atas
obyek yang sama, yaitu sumber daya Manajemen Konflik Pemilukada
(dijelaskan tanah dan benda-benda lain yang Dalam pandangan fungsional, konflik
berkaitan dengan tanah, seperti air dan sebenarnya dapat dikelola. Manajemen
perairan, tanaman, tambang, dan juga udara konflik dapat dipahami sebagai rangkaian aksi
yang berada di atas tanah yang bersangkutan). dan reaksi antara pelaku dan pihak luar dalam
Konflik yang terjadi dapat berupa konflik konflik. Manajemen konflik mengacu pada
vertikal, yaitu antar pemerintah, masyarakat pendekatan untuk mengarahkan pada bentuk
dan swasta, antar pemerintah pusat, komunikasi dan tingkah laku dari pelaku
pemerintah kota dan desa, serta konflik maupun pihak luar dalam konflik bagaimana
horizontal yaitu konflik antar masyarakat. mereka mempengaruhi kepentingan mereka.
Konflik pemilukada, merupakan Manajemen konflik tidak hanya dipahami
konflik politik, dan konflik politik dapat sebagai upaya mengenali konflik dan
digolongkan dalam konflik sosial, terjadi di menganalisa agar konflik dapat dikontrol
antara anggota masyarakat sebagai akibat dari tetapi juga dipahami sebagai gagasan, teori
adanya hubungan sosial yang cukup intensif. dan metode untuk memahami konflik dan
Konflik politik berkaitan dengan penguasa praktik kolektif untuk mengurangi potensi
politik atau keputusan yang dibuatnya
142
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 136-153
143
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...
144
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 136-153
Potensi konflik yang menurut KPUD saat itu terlibat dalam FGD adalah
dan Panwaslu penting untuk dicermati adalah Bakesbangpollinmas). Persepi tersebut, selain
pada penerimaan hasil pemilu. Tetapi dalam karena kontestasi dalam pemilukada Kota
konteks pemilukada Kota Blitar, hasil pemilu Blitar tidak terlalu kompetitif, pemerintah
bukan menjadi masalah utama. Semua mengklaim Kota Blitar selama ini, baik secara
stakeholder menyadari kandidat mana yang sosial dan kultur, dirasa aman dan minim
akan menjadi pemenang – seperti yang sudah konflik dalam penyelenggaraan pemilu apa
dijelaskan pada bagian pendahuluan pun.
sebelumnya. Persepsi terhadap potensi konflik
Meski menyadari terdapat potensi di yang lebih beragam justru disampaikan oleh
tiap tahapan pemilu, KPUD dan Panwaslu partai politik. Meski sebagian partai politik
merasa bahwa ruang gerak mereka juga juga menyadari kandidat mana yang
terbatas karena mereka juga merupakan mempunyai peluang menang paling besar –
lembaga birokratis yang harus patuh terhadap bahkan sebagian di antara parpol di Kota
prosedur dan aturan. Hal ini yang menjadi Blitar mengungkapkan bahwa pemenang
hambatan KPUD dan Panwaslu dalam Pemilukada Kota Blitar sudah dapat diketahui
mengambil langkah lebih luas untuk sebelum pelaksanaan Pemilukada dimulai –
mengelola konflik. Salah satu perkembangan tetapi mereka menyadari bahwa terdapat
dalam hal ruang gerak dirasakan oleh beberapa hal yang dapat menjadi potensi
Panwaslu dengan dikeluarkanya Peraturan konflik Pemilukada di Kota Blitar. Pandangan
Bawaslu No 7 Tahun 2015 yang menambah tersebut, tidak lepas karena partai politik
dan mengatur adanya divisi pencegahan dan merupakan institusi yang di dalamnya berisi
hubungan antar lembaga pada organisasi aktor-aktor yang terlibat langsung dengan
66
Panwaslu. politik di Kota Blitar dalam jangka waktu
Persepsi soal potensi konflik pilada yang relatif lebih panjang, dibandingkan
oleh pemerintah Kota Blitar, justru berbeda dengan aktor yang ada di KPUD, Panwaslu,
dengan persepsi penyelenggara pemilu. bakesbangpol dan kepolisian. Karena itu,
Persepsi bahwa penyelenggaraan Pemilukada sebagian pandangan mereka di satu sisi
di Kota Blitar akan berlangsung aman dan merefleksikan kesadaran, pehamanan dan
tanpa konflik, lebih banyak diungkapan oleh pengalaman pemilu di masa lalu di Kota
pemerintah Kota Blitar (dalam hal ini, yang Blitar, serta kemugkinan-kemungkinan yang
terjadi pada pemilu mendatang.
66 Meski demikian, bagaimana pelaksanaan peran pada Partai politik menilai, di beberapa
divisi pencegahan dan hubungan antar lemabaga pada
Pemilukada Kota Blitar Desember 2015 lalu, belum momen pemilu di Kota Blitar, terdapat
dipahami dan diterapkan secara teknis dan spesifik,
mengingat aturan bawaslu No. 7 Tahun 2015 merupakan persoalan dalam penyelenggaraan
aturan baru.
145
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...
Pemilukada, tetapi partai politik melihat itu, dalam konteks pemilukada Kota Blitar,
persoalan tersebut ditangani dengan struktur aturan yang mensyaratkan syarat
mekanisme “pembiaran”. Persoalan minimal, menjadi refleksi pandangan kritis
pembiaran tersebut terjadi karena model partai politik terkait kondisi pemilukada di
politik yang lebih mengarah pada politik Kota Blitar yang didominasi oleh partai dan
transaksional. Beberapa persoalan tidak kandidat tertentu.
dilakukan melalui jalur hukum, atau, beberapa
pelanggaran memang sudah dikalkulasi Pembiaran pada Potensi Konflik: Sebuah
implikasi hukum pada pelanggaran tersebut. Pilihan Rasional
Fenomena ini, yang menurut partai politik Konflik adalah hal yang inheren di
menjadi salah satu sebab pelanggaran dalam dalam pemilukada, mengingat pemilukada
pemilu dilakukan melalui model pembiaran. adalah ajang kontestasi politik yang
Partai politik juga mengeluhkan melibatkan banyak anasir kepentingan di
penegakan aturan dan netralitas masyarakat. Dengan demikian, alih-alih
penyelenggara pemilu. Partai politik melihat menghindari konflik, yang terpenting adalah
terdapat kecenderungan pada kandidat dan bagaimana menyiapkan segenap
partai politik yang dominan dalam penyelenggara Pemilukada agar memiliki
pemerintahan untuk mengintervensi kapasitas mumpuni ketika berhadapan dengan
pemerintahan atau birokrasi, serta konflik, baik yang latent maupun ketika sudah
penyelenggara pemilu. Meski demikian, bertransformasi faktual.
kecenderungan ini dianggap “lumrah” oleh Dalam pemilukada, sensitivitas
partai politik, karena kecenderungan penyelenggara diuji dalam menghadapi
kelompok yang berkuasa berupaya untuk konflik, itulah mengapa keterlibatan
menguasai seluruh instrument kekuasaan, Kepolisian dan Pemerintah Daerah mutlak
termasuk pada aspek pemilu. diperlukan. Mengingat, pertama, KPUD dan
Persoalan yang sebenarnya menjadi Panwaslu adalah dua badan ad hoc yang masa
sorotan utama, terutama oleh partai politik di jabatannya sangat berbatas, sehingga
Kota Blitar yang tidak sepenuhnya terlibat keterlibatan dan pengalaman mereka dalam
dalam kontestasi Pemilukada Desember 2015, situasi konfliktual pemilukada sebelumnya
adalah soal struktur aturan yang tidak relatif minimal. Kedua, penyelenggara
membuka peluang partisipasi dan kompetisi pemilukada tidak dilengkapi dengan tupoksi
yang lebih luas. Adanya aturan yang dirasa yang berkaitan dengan deteksi potensi konflik,
membelenggu oleh partai kecil di daerah, pun ihwal otoritas pengelolaan konflik tidak
karena kader dari partai mereka dipaksa diatur dalam UU nomor 15/2011 tentang
berkoalisi dengan kader dari partai lain. Selain Penyelenggara Pemilihan Umum. Dengan
146
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 136-153
147
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...
148
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 136-153
149
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...
150
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 136-153
151
Moh. Fajar Shodiq Ramadlan, Tri Hendra Wahyudi/ Pembiaran pada Potensi Konflik dan Kontestasi ...
152
Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1 (2) (2016) 136-153
153