Anda di halaman 1dari 25

8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PENELITIAN TERDAHULU

2.1 Tinjauan Pustaka


2.1.1 Penataan Ruang
2.1.1.1 Pengertian dan Ruang Lingkup Tata Ruang
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 26 Tahun 2007

tentang Penataan Ruang, yang dimaksud dengan ruang adalah :

“Wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk

ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan

makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan

hidupnya.”

Sedangkan menurut D.A.Tisnaamidjaja (1997), yang dimaksud

dengan pengertian ruang adalah :

“wujud fisik wilayah dalam dimensi geografis dan geometris yang

merupakan wadah bagi manusia dalam melaksanakan kegiatan

kehidupannya dalam suatu kualitas hidup yang layak”.

Ruang sebagai salah satu tempat untuk melangsungkan kehidupan

manusia, juga sebagai sumber daya alam merupakan salah satu karunia

Tuhan kepada bangsa Indonesia. Dengan demikian ruang wilayah Indonesia

merupakan suatu aset yang harus dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan

bangsa Indonesia secara terkoordinasi, terpadu dan seefektif mungkin

dengan memperhatikan faktor-faktor lain seperti, ekonomi, sosial, budaya,

hankam, serta kelestarian lingkungan untuk mendorong terciptanya

pembangunan nasional yang serasi dan seimbang.


9

Selanjutnya, dalam Keputusan Menteri Pemukiman dan Prasarana

Wilayah No. 327/KPTS/2002 tentang Penetapan Enam Pedoman Bidang

Penataan Ruang, yang dimaksud dengan ruang adalah:

“Wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, ruang udara sebagai satu

kesatuan wilayah tempat manusia dan makhluk hidup lainnya dan

melakukan serta memelihara kelangsungan hidupnya.”

2.1.1.2 Dasar Hukum Tata Ruang

Mochtar Koesoemaatmadja (2002), mengemukakan bahwa tujuan

pokok penerapan hukum apabila hendak direduksi pada satu hal saja adalah

ketertiban (order). Ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala

hukum, kebutuhan akan ketertiban ini, merupakan syarat pokok

(fundamental) bagi adanya masyarakat teratur: di samping itu tujuan lainnya

adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut

masyarakat pada zamannya.

Menurut Juniarso Ridwan (2008), konsep dasar hukum penataan

ruang, tertuang di dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 yang berbunyi:

”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia…”

Selanjutnya dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 amandemen ke

empat, berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
10

dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.”

Menurut M. Daud Silalahi (2001), salah satu konsep dasar

pemikiran tata ruang menurut hukum Indonesia terdapat dalam UUPA No. 5

Tahun 1960. Sesuai dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, tentang pengertian

hak menguasai dari negara terhadap konsep tata ruang, Pasal 2 UUPA

memuat wewenang untuk:

(1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan,

dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.

(2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang

dengan bumi, air, dan ruang angkasa.

(3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dan

perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang

angkasa.

Konsep tata ruang dalam tiga dimensi tersebut di atas terkait dengan

mekanisme kelembagaan dan untuk perencanannya diatur dalam Pasal 14

yang mengatakan:

(1) Pemerintah dalam rangka membuat suatu rencana umum mengenai

persediaan, peruntukan, dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa,

dan

(2) Berdasarkan rencana umum tersebut Pemda mengatur persediaan,

peruntukkan dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa.


11

Selanjutnya, Pasal 15 mengatur tentang pemeliharaan tanah,

termasuk mengambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya yang

merupakan kewajiban setiap orang, badan hukum, atau instansi yang

mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu dengan memperhatikan

pihak ekonomi lemah.

Ketentuan tersebut memberikan hak penguasan kepada negara atas

seluruh sumber daya alam Indonesia, dan memberikan kewajiban kepada

negara untuk menggunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Kalimat tersebut mengandung makna, negara mempunyai kewenangan

untuk melakukan pengelolaan, mengambil dan memanfaatkan sumber daya

alam guna terlaksananya kesejahteraan rakyat yang dikehendaki.

Untuk dapat mewujudkan tujuan negara tersebut, khususnya untuk

meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa

berarti negara harus dapat melaksanakan pembangunan sebagai penunjang

dalam tercapainya tujuan tadi dengan suatu perencanaan yang cermat dan

terarah. Apabila dicermati dengan seksama, kekayaan alam yang ada dan

dimiliki oleh negara, yang kesemuanya itu memiliki suatu nilai ekonomis,

maka dalam pemanfaatannya pun harus diatur dan dikembangkan dalam

pola tata ruang yang terkoordinasi, sehingga tidak akan adanya perusakan

terhadap lingkungan hidup.

Upaya pelaksanaan perencanaan penataan ruang yang bijaksana

adalah kunci dalam pelaksanaan tata ruang agar tidak merusak lingkungan

hidup, dalam konteks penguasaan negara atas dasar sumber daya alam,
12

menurut Juniarso Ridwan ”melekat di dalam kewajiban negara untuk

melindungi, melestarikan dan memulihkan lingkungan hidup secara utuh.

Artinya, aktivitas pembangunan yang dihasilkan dari perencanaan tata ruang

pada umumnya bernuansa pemanfaatan sumber daya alam tanpa merusak

lingkungan.

Untuk lebih mengoptimalkan konsep penataan ruang, maka

peraturan-peraturan peundang-undangan telah banyak diterbitkan oleh pihak

pemerintah, dimana salah satu peraturan perundang-undangan yang

mengatur penataan ruang adalah Undang-undang No. 26 Tahun 2007

tentang Penataan Ruang.

Undang-undang No. 26 Tahun 2007 merupakan undang-undang

pokok yang mengatur tentang pelaksanaan penataan ruang. Keberadaan

undang-undang tersebut diharapkan selain sebagai konsep dasar hukum

dalam melaksanakan perencanaan tata ruang, juga diharapkan dapat

digunakan sebagai bahan acuan pemerintah dalam penataan dan pelestarian

lingkungan hidup.

2.1.1.3 Asas dan Tujuan Penataan Ruang

Menurut H. Hermit (2008), sebagaimana asas hukum yang paling

utama yaitu keadilan, maka arah dan kerangka pemikiran serta pendekatan-

pendekatan dalam pengaturan (substansi peraturan perundang-undangan)

apa pun, termasuk UU Penataan Ruang, wajib dijiwai oleh asas keadilan.
13

Adapun asas penataan ruang menurut Undang-undang Nomor 26

Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Dalam kerangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia, penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas:

a. keterpaduan;

b. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan;

c. keberlanjutan;

d. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan;

e. keterbukaan;

f. kebersamaan dan kemitraan;

g. pelindungan kepentingan umum;

h. kepastian hukum dan keadilan; dan

i. akuntabilitas. (Pasal 2)

Kesembilan asas penyelenggaraan penataan ruang tersebut pada

intinya merupakan norma-norma yang diambil untuk memayungi semua

kaidah-kaidah pengaturan penataan ruang.

Adapun tujuan penataan ruang menurut Undang-undang Nomor 26

Tahun 2007 yaitu Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk

mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan

berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional

dengan:

a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan

buatan;
14

b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan

sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan

c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif

terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang (Pasal 3).

Dari pasal tersebut dapat dipahami bahwa rumusan tujuan

(pengaturan penataan ruang) merupakan penerapan bagaimana konsep asas-

asas penyelenggaran penataan ruang mengendalikan arah dan sasaran yang

hendak dituju oleh suatu pengaturan UU Penataan Ruang ini.

2.1.1.4 Klasifikasi Penataan Ruang

Menurut H. Hermit (2008), klasifikasi penataan ruang bukan

merupakan hal baru dalam pengaturan sistem penataan ruang kita. Pasal UU

Penataan ruang ini berbunyi, “Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan

sistem, fungsi utama kawasan kawasan, wilayah administratif, kegiatan

kawasan, dan nilai strategi kawasan.”.

Menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan

Ruang klasifikasi penataan ruang adalah:

Pasal 4

Penataan ruang diklasifikasikan berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan,

wilayah administratif, kegiatan kawasan, dan nilai strategis kawasan.

Pasal 5

(1) Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri atas sistem wilayah dan sistem

internal perkotaan.
15

(2) Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan

lindung dan kawasan budi daya.

(3) Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif terdiri atas penataan

ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan

ruang wilayah kabupaten/kota.

(4) Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan terdiri atas penataan

ruang kawasan perkotaan dan penataan ruang kawasan perdesaan.

(5) Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas penataan

ruang kawasan strategis nasional, penataan ruang kawasan strategis

provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.

Pasal 6

(1) Penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan:

a. kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

rentan terhadap bencana;

b. potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya

buatan; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan

keamanan, lingkungan hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi

sebagai satu kesatuan; dan

c. geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi.

(2) Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan

penataan ruang wilayah kabupaten/kota dilakukan secara berjenjang

dan komplementer.
16

(3) Penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang wilayah yurisdiksi dan

wilayah kedaulatan nasional yang mencakup ruang darat, ruang laut,

dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan.

(4) Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota meliputi ruang

darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi

sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

(5) Ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang-

undang tersendiri.

Dari pasal-pasal tersebut telah jelas klasifikasi penataan ruang baik

berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan-kawasan, wilayah administratif,

kegiatan kawasan, dan nilai strategi kawasan.

2.1.1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan UU No. 26 tahun 2007

tentang Penataan Ruang, “pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan

melalui kegiatan pengawasan dan penertiban”. Uraian berikut ini meliputi

penjelasan kegiatan pengendalian pemanfaatan sebagai piranti manajemen

dan kegiatan pengendalian yang terkait dengan mekanisme perijinan. Ruang

lingkup dan batasan pengendalian pemanfaatan ruang dapat dilihat pada

Gambar 2.1 tentang Diagram Lingkup Kegiatan Pengendalian


17

Pengendalian
Pemanfaatan Ruang

Pengawasan Penertiban
Pemanfaatan Ruang Pemanfaatan Ruang

Laporan Pemantauan Evaluasi


Perubahan Penyimpangan Rencana Sanksi Sanksi
Sanksi Pidana
Pemanfaatan Pemanfaatan Pemanfaatan Administratif Perdata
Ruang Ruang Ruang

Gambar 2.1 Diagram Lingkup Kegiatan Pengendalian

a. Pengawasan

Suatu usaha atau kegiatan untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang

dengan fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang yang

dilakukan dalam bentuk :

 Pelaporan adalah usaha atau kegiatan memberi informasi secara

obyektif mengenai pemanfaatan ruang baik yang sesuai maupun yang

tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

 Pemantauan adalah usaha atau kegiatan mengamati, mengawasi dan

memeriksa dengan cermat perubahan kualitas tata ruang dan

lingkungan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Pemantauan

rutin terhadap perubahan tata ruang dan lingkungan dilakukan oleh

Pemerintah Kabupaten/Kota masing-masing dengan mempergunakan

semua laporan yang masuk, baik yang berasal dari individu


18

masyarakat. Organisasi kemasyarakatan, aparat RT, RW, kelurahan

dan kecamatan. Pemantauan ini menjadi kewajiban perangkat

Pemerintah Daerah sebagai kelanjutan dari temuan pada proses

pelaporan yang kemudian ditindak lanjuti bersama-sama berdasarkan

proses dan prosedur yang berlaku.

 Evaluasi adalah usaha atau kegiatan untuk menilai kemajuan kegiatan

pemanfaatan ruang secara keseluruhan setelah terlebih dahulu

dilakukan kegiatan pelaporan dan pemantauan dalam mencapai tujuan

rencana tata ruang. Inti evaluasi adalah menilai kemajuan seluruh

kegiatan pemanfaatan dalam mencapai tujuan rencana tata ruang.

Evaluasi dilakukan secara terus menerus dengan membuat potret tata

ruang. Setiap tahunnya hal ini dibedakan dengan kegiatan peninjuan

kembali yang diamanatkan UU Penataan Ruang. Peninjauan kembali

adalah usaha untuk menilai kembali kesahihan rencana tata ruang dan

keseluruhan kinerja penataan ruang secara berkala, termasuk

mengakomodasi pemuktahiran yang dirasakan perlu akibat paradigma

serta peraturan atau rujukan baru dalam kegiatan perencanaan tata

ruang yang dilakukan setelah dari kegiatan suatu evaluasi ditemukan

permasalahan-permasalahan yang mendasar.

b. Penertiban

Penertiban adalah usaha untuk mengambil tindakan terhadap pemanfaatan

ruang yang tidak sesuai dengan rencana dapat terwujud. Tindakan

penertiban dilakukan melalui pemeriksaan dan penyelidikan atas semua


19

pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang

yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Penertiban terhadap

pemanfaatan ruang dilakukan oleh pemerintah daerah melalui aparat yang

diberi wewenang dalam hal penertiban pelanggaran pemamnfaatan ruang

termasuk aparat kelurahan. Bentuk pengenaan sanksi ini dapat berupa

sanksi administrasi, sanksi pidana, maupun sanksi perdata yang diatur

dalam perundang-undangan yang berlaku.

Kegiatan penertiban dapat dilakukan dalam bentuk penertiban langsung

dan penertiban tidak langsung. Penertiban langsung yaitu melalui

mekanisme penegakan hukum yang diselenggarakan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan penertiban tidak

langsung yaitu pengenaan sanksi disinsentif pemanfaatan ruang yang

dapat diselenggarakan antara lain melalui pengenaan retribusi secara

progresif atau membatasi sarana dan prasarana dasar lingkungannya.

2.1.2 Definisi Pertambangan

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral dan Batubara Pasal 1 butir (1) disebutkan pertambangan adalah sebagian

atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan, dan

pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi penyelidikan umum,eksplorasi,

studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,

pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.


20

2.1.2.1 Usaha pertambangan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Usaha pertambangan adalah

kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi

tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, kostruksi,

penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan,

serta pasca tambang. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa

usaha pertambangan bahan-bahan galian dibedakan menjadi 8 (delapan)

macam yaitu:

 Penyelidikan umum, adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk

mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi.

 Eksplorasi, adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk

memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk,

dimensi, sebaran, kualitas, dan sumber daya terukur dari bahan galian,

serta informasi mengenai lingkungan sosial dan lingkungan hidup.

 Operasi produksi, adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang

meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk

pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak

lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.

 Konstruksi, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan

pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian

dampak lingkungan.

 Penambangan, adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk

memproduksi mineral dan/atau batu bara dan mineral ikutannya.


21

 Pengolahan dan pemurnian, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk

meningkatkan mutu mineral dan/atau batu bara serta untuk memanfaatkan

dan memperoleh mineral ikutan.

 Pengangkutan, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan

mineral dan/atau batu bara dari daerah tambang dan/atau tempat

pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan.

 Penjualan, adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil

pertambangan mineral atau batubara.

Usaha pertambangan ini dikelompokkan atas:

1. Pertambangan mineral; dan

2. Pertambangan batubara.

Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki

sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya

yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu. Pertambangan

mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau

batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air

tanah.Pertambangan mineral digolongkan atas:

1. Pertambangan mineral radio aktif;

2. Pertambangan mineral logam;

3. Pertambangan mineral bukan logam;

4. Pertambangan batuan.

Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara

alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan. Pertambangan batubara adalah


22

pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk

bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.

2.1.2.2 Konsep Pengelolaan Pertambangan

Menurut Sudrajat (2010), cap atau kesan buruk bahwa pertambangan

merupakan kegiatan usaha yang bersifat zero value sebagai akibat dari

kenyataan berkembangnya kegiatan penambangan yang tidak memenuhi

kriteria dan kaidah-kaidah teknis yang baik dan benar, adalah anggapan

yang segera harus segera diakhiri. Caranya adalah melakukan penataan

konsep pengelolaan usaha pertambangan yang baik dan benar.

Menyadari bahwa industri pertambangan adalah industri yang akan

terus berlangsung sejalan dengan semakin meningkatnya peradaban

manusia, maka yang harus menjadi perhatian semua pihak adalah bagaimana

mendorong industri pertambangan sebagai industri yang dapat

memaksimalkan dampak positif dan menekan dampak negatif seminimal

mungkin melalui konsep pengelolaan usaha pertambangan berwawasan

jangka panjang. Berdasarkan pada pengamatan dan pengalaman Sudrajat

(2010), yang bergelut dalam dunia praktis di lapangan, munculnya sejumlah

persoalan yang mengiringi kegiatan usaha pertambangan di lapangan

diantaranya :

1) Terkorbankannya pemilik lahan

Kegiatan usaha pertambangan adalah kegiatan yang cenderung

mengorbankan kepentingan pemegang hak atas lahan. Hal ini sering terjadi
23

lantaran selain kurang bagusnya administrasi pertanahan di tingkat bawah,

juga karena factor budaya dan adat setempat. Kebiasaan masyarakat adat di

beberapa tempat dalam hal penguasaan hak atas tanah biasanya cukup

dengan adanya pengaturan intern mereka, yaitu saling mengetahui dan

menghormati antara batas-batas tanah. Keadaan tersebut kemudian

dimanfaatkan oleh sekelompok orang dengan cara membuat surat tanah dari

desa setempat.

2) Kerusakan lingkungan

Kegiatan usaha pertambangan merupakan kegiatan yang sudah pasti akan

menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan adalah fakta yang

tidak dapat dibantah. Untuk mengambil bahan galian tertentu, dilakukan

dengan melaksanakan penggalian. Artinya akan terjadi perombakan atau

perubahan permukaan bumi, sesuai karakteristik pembentukan dan

keberadaan bahan galian, yang secara geologis dalam pembentukannya

harus memenuhi kondisi geologi tertentu.

3) Ketimpangan sosial

Kebanyakan kegiatan usaha pertambangan di daerah terpencil dimana

keberadaan masyarakatnya masih hidup dengan sangat sederhana, tingkat

pendidikan umumnya hanya tamatan SD, dan kondisi sosial ekonomi

umumnya masih berada di bawah garis kemiskinan. Di lain pihak, kegiatan

usaha pertambangan membawa pendatang dengan tingkat pendidikan cukup,

menerapkan teknologi menengah sampai tinggi, dengan budaya dan

kebiasaan yang terkadang bertolak belakang dengan masyarakat setempat.


24

Kondisi ini menyebabkan munculnya kesenjangan sosial antara lingkungan

pertambangan dengan masyarakat di sekitar usaha pertambangan

berlangsung.

Berangkat dari ketiga permasalahan pertambangan tersebut, Sudrajat (2010),

menyatakan bahwa dalam menjalankan pengelolaan dan pengusahaan bahan

galian harus dilakukan dengan cara yang baik dan benar (good mining

practice). Good mining practice meliputi :

1. Penetapan wilayah pertambangan,

2. Penghormatan terhadap pemegang hak atas tanah,

3. Aspek perizinan,

4. Teknis penambangan,

5. Keselamatan dan kesehatan kerja (K3),

6. Lingkungan,

7. Keterkaitan hulu-hilir/konservasi/nilai tambah,

8. pengembangan masyarakat/wilayah di sekitar lokasi kegiatan,

9. Rencana penutupan pasca tambang,

10. Standardisasi.

2.1.3 Konsep Guna Lahan

2.1.3.1 Pengertian Guna Lahan

Lahan merupakan sumber daya alam yang sangat. penting bagi

kehidupan manusia. Dikatakan sebagai sumber daya alam yang penting


25

karena lahan tersebut merupakan tempat nianusia melakukan segala

aktifitasnya.

Pengertian lahan dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi

fisik geografi, lahan adalah tempat dimana sebualh hunian mempunyai

kualitas fisik yang penting dalam penggunaannya. Sementara ditinjau dari

segi ekonomi lahan adalah suatu sumber daya alam yang mempunyai

peranan penting dalam produksi (Lichrield dan Drabkin, 1980).

Beberapa sifat atau karakteristik lahan yang dikemukakan oleh

Lichrield dan Drabkin (1980) adalah sebagai berikut:

1. Secara fisik, lahan merupakan aset ekonomi yang tidak dipengaruhi oleh

kemungkinan penurtman nilai dan harga, dan tidak terpengaruhi oleh

waktu, Lahan juga merupakan aset yang terbatas dan tidak bertambah

besar kecuali melalui reklamasi.

2. Perbedaan antara lahan tidak terbangun dan lahan terbangun adalah

lahan tidak terbangun tidak akan dipengarahi oleh kemungkinan

penurunan nilai, sedangkan lahan terbangun nilainya cenderung turun

karena penurunan nilai struktur bangunan yang ada di atasnya. Tetapi

penurunan nilai struktur bangunan juga dapat meningkatkan nilai

lahannya karena adanya harapan peningkatan fungsi penggunaan lahan

tersebut selanjutnya.

3. Lahan tidak dapat dipindahkan tetapi sebagai substitusinya intensitas

penggunaan lahan dapat ditingkatkan. Sehingga faktor lokasi untuk

setiap jenis penggunaan lahan tidak sama.


26

4. Lahan tidak hanya berfungsi untuk tujuan produksi tetapi juga sebagai

investasi jangka panjang (long-ferm investment) atau tabungan.

Keterbatasan lahan dan sifatnya yang secara fisik tidak terdepresiasi

membuat lahan menguntungkan ebagai tabungan. Selain itu investasi

lahan berbeda dengan investasi barang ekonomi yang lain, dimana biaya

perawatannya (maintenance cost) hanya meliputi pajak dan interest

charges. Biaya ini relatif jauh lebih kcill dibandingkan dengan

keuntiungan yang akan diperoleh dari penjualan lahan tersebut.

Penggunaan lahan adalah suatu proses yang berkelanjutan dalam

pemanfaatan lahan bagi maksud-maksud pembangunan secara optimal dan

efisien (Sugandhy, 1989), selain itu penggunaan lahan dapat diartikan pula

suatu aktivitas manusia pada lahan yang langsung berhubungan dengan

lokasi dan kondisi lahan. Penggunaan lahan dapat diartikan juga sebagai

wujud atau bentuk usaha kegiatan, pemanfaatan suatu bidang tanah pada

suatu waktu (Jayadinata, 1999).

2.1.3.2 Jenis Penggunaan lahan

Lahan kota terbagi menjadi lahan terbangun dan lahan tak

terbangun. Lahan Terbangun terdiri dari dari perumahan, industri,

perdagangan, jasa dan perkantoran. Sedangkan lahan tak terbangun terbagi

menjadi lahan tak terbangun yang digunakan untuk aktivitas kota (kuburan,

rekreasi, transportasi, ruang terbuka) dan lahan tak terbangun non aktivitas
27

kota (pertanian, perkebunan, area perairan, produksi dan penambangan

sumber daya alam).

Untuk mengetahui penggunaan lahan di suatu, wilayah, maka perlu

diketahui komponen komponen penggunaan lahannya. Berdasarkan jenis

pengguna lahan dan aktivitas yang dilakukan di atas lahan tersebut, maka

dapat diketahui komponen-komponen pembentuk guna lahan (Chapin dan

Kaiser, 1995).

Menurut Maurice Yeates & Garner (1980), komponen penggunaan

lahan suatu wilayah terdiri atas :

1.Permukiman

2. Industri

3. Komersial

4. Jalan

5. Tanah publik

6. Tanah kosong

Sedangkan menurut Hartshorne (1992), komponen penggunaan

lahan dapat dibedakan menjadi :

1. Private Uses, penggunaan lahan untuk kelompok ini adalah penggunaan

lahan permukiman, komersial, dan industri.

2. Public Uses, penggunaan lahan untuk kelompok ini adalah penggunaan

lahan rekreasi dan pendidikan.

3. Jalan
28

Sedangkan menurut Pierce (1981), komponen penggunaan lahan

dibedakan menjadi :

1. Penggunaan lahan yang menguntungkan

Penggunaan lahan yang menguntungkan tergantung pada penggunaan

lahan yang tidak menguntungkan. Hal ini disebabkan guna lahan yang

tidak menguntungkan tidak dapat bersaing secara bersamaan dengan

lahan untuk ftmgsi yang menguntungkan.

Komponen penggunaan lahan ini meliputi penggunaan lahan untuk

pertokoan, perumahan, industri, kantor dan bisnis. Tetapi keberadaan.

guna lahan ini tidak lepas dari kelengkapan penggunaan lahan lainnya

yang cenderung tidak menguntungkan, yaitu penggunaan lahan untuk

sekolah, rumah sakit, taman, tempat pembuangan sampah, dan sarana

prasarana.

Pengadaan sarana dan prasarana yang Iengkap merupakan suatu contoh

bagaimana. guna lahan yang menguntungkan dari suatu lokasi dapat

inempengaruhi guna lahan yang lain. Jika lahan digunakan untuk suatu

tujuan dengan membangun kelengkapan untuk guna.lahan disekitarnya,

maka hal ini dapat meningkatkan nilai keuntungan secara umum, dan

meningkatkan nilai-lahan. Dengan demikian akan memungkinkan

beberapa guna lahan bekerjasama meningkatkan keuntungannya dengan

berlokasi dekat pada salah satu guna lahan.


29

2. Penggunaan lahan yang tidak menguntungkan

Komponen penggunaan lahan ini meliputi penggunaan lahan untuk jalan,

taman, pendidikan dan kantor pemerintahan.

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa guna lahan yang

menguntungkan

mempunyai keterkaitan yang besar dengan guna lahan yang tidak

menguntungkan.

Guna lahan utama yang dapat dikaitkan dengan fungsi perumahan adalah

guna lahan komersial, guna lahan industri, dan guna lahan publik maupun

semi publik (Chapin dan Kaiser,1995). Adapun penjelasan masing

masing guna lahan tersebut adalah:

a. Guna lahan komersial

Fungsi komersial dapat dikombinasikan dengan perumahan melalui

percampuran secara vertikal. Guna lahan komersial yang harus dihindari

dari perumahan adalah perdagangan grosir dan perusahaan besar.

b. Guna lahan industri

Keberadaan industri tidak saja dapat inemberikan kesempatan kerja

namun juga memberikan nilai tambah melalui landscape dan bangunan

yang megah yang ditampilkannya. Jenis industri yang harus dihindari dari

perumahan adalah industry pengolahan minyak, industri kimia, pabrik

baja dan industri pengolahan hasil tambang.


30

c. Guna lahan publik maupun semi publik

Guna lahan ini meliputi guna lahan untuk pemadam kebakaran, tempat

ibadah, sekolah, area rekreasi, kuburan, rumah sakit, terminal dan lain-

lain.

2.1.3.3 Perubahan Guna Lahan

Pengertian perubahan guna lahan secara umum menyangkut

transformasi dalam pengalokasian sumber daya lahan dari satu penggunaan

ke penggunaan lainnya. Namun dalam kajian land economics, pengertiannya

difokuskan pada proses dialih gunakannya lahan dari lahan pertanian atau

perdesaan ke penggunaan non pertanian atau perkotaan. Perubahan guna

lahan ini melibatkan baik reorganisasi struktur fisik kota secara internal

maupun ekspansinya ke arah luar (Pierce, 1981).

Perubahan guna lahan ini dapat tejadi karena ada beberapa faktor

yang menjadi penyebab. Ada empat proses utama yang menyebabkan

terjadinya perubahan guna lahan yaitu (Bourne. 1982):

1. Perluasan batas kota

2. Peremajaan di pusat kota

3. Perluasan jaringan infrastruktur

4. Tumbuh dan hilangnya pernusatan aktivitas tertentu

Menurut Chapin dan Kaiser (1995), perubaban guna lahan juga dapat

terjadi karena pengaruh perencanaan guna lahan setempat yang merupakan

rencana dan kebijakan guna lahan untuk masa mendatang, proyek


31

pembangunan, program perbaikan pendapatan, dan partisipasi dalam proses

pengambilan keputusan dan pemecahan masalah dari pernerintah daerah.

Perubahan guna lahan juga terjadi karena kegagalan mempertermukan aspek

dan politis dalam suatu manajemen perubahan guna lahan.

Perubahan guna lahan adalah interaksi yang disebabkan oleh tiga

komponen pembentuk guna lahan, yaitu sistem pembangunan, sistem

aktivitas dan sistem lingkungan hidup. Didalam sistem aktivitas, konteks

perekonomian aktivitas perkotaan dapat dikelompokkan menjadi kegiatan

produksi dan konsumsi. Kegiatan produksi membutuhkan lahan untuk

berlokasi dimana akan mendukung aktivitas produksi diatas. Sedangkan

pada kegiatan konsurnsi membutuhkan lahan untuk berlokasi dalam rangka

pemenuhan kepuasan.

2.2 Penelitian Terdahulu

Mempelajari hasil penelitian terdahulu akan memberikan pemahaman

komprehensif mengenai posisi peneliti. Penegasan posisi ini sangat penting untuk

membedakan penelitian peneliti dengan peneliti-peneliti terdahulu yang sudah

dilakukan. Oleh karena itu pada tabel 2.1 berikut ini akan diketengahkan beberapa

hasil penelitian terdahulu yang sudah dilakukan. Ringkasan penelitian terdahulu

yang dijadikan sebagai acuan peneliti, yaitu sebagai berikut :


32

Tabel 2.1 Penelitian-Penelitian Terdahulu

No Peneliti/ Judul Penelitian Metodologi Hasil Penelitian


Lokasi/ Penelitian
Tahun
1 Ismail, 2007, Analisis Implementasi Analisis SWOT 1. Komitmen pemerintah dalam
Kabupaten Kebijakan dan Model mengimplementasikan kebijakan
Magelang Pertambangan Bahan Bergradasi/berti pertambangan sudah tinggi, tapi belum
Galian Golongan C di ngkat 1 s.d 4 optimal.
Kawasan Gunung 2. Komitmen para penambang untuk
Merapi Kabupaten mentaati kebijakan masih rendah
Magelang 3. Dukungan dari masyarakat dan public
terhadap kebijakan pertambangan bahan
galian golongan C masih rendah
4. Perencanaan pengelolaan kegiatan
penambangan bahan galian golongan C
di kawasan Gunung Merapi
menggunakan tujuh langkah
perencanaan.
2 Inami Nur Kajian Dampak Snowbal 1. Berdasarkan persamaan USLE diperoleh
Dyahwanti, Lingkungan Kegiatan sampling dari dugaan total erosi yang terjadi di lokasi
2007 Penambangan Pasir stakeholder dan penambangan pasir Desa Kwadungan
Kabupaten Pada Daerah Sabuk metode Gunung Kecamatan Kledung adalah
Temanggung Hijau Gunung perhitungan sebesar 9.878.54 ton/tahun
Sumbing di Kabupaten erosi USLE 2. Kegiatan penambangan pasir di Desa
Temanggung Kwadangun Gunung Kecamatan Kledung
menimbulkan dampak terhadap fisik
lingkungan maupun social ekonomi
masyarakat.
3. Model perencanaan pengelolaan
lingkungan lokasi penambangan pasir di
Desa Kwadangun Gunung Kecamatan
Kledung disusun berdasarkan metode
tujuh langkah perencanaan dengan tujuan
untuk mengatasi permasalahan.

Anda mungkin juga menyukai