Anda di halaman 1dari 2

Meninjau Pospositivisme dalam Dekonstruksi Kebenaran Ilmu Hubungan Internasional

Pospositivisme merupakan sebuah pendekatan kritis sebuah ilmu yang berlandaskan bahwa segala
pengetahuan atau kebenaran yang ada di dunia ini dihasilkan oleh pandangan pribadi dan bias semata. Ia
berkembang sebagai respon atas pendekatan positivistik yang dianggap terlalu dogmatis. Sementara itu
positivisme sendiri menganggap kebenaran dalam dunia sosial dapat didapatkan melalui metode ilmiah. Tulisan
ini lantas berupaya menjelaskan apa yang mengkonstitusikan pospositivisme dan bagaimana dinamikanya
dengan positivisme dalam diskursus Hubungan Internasional (HI).

Pospositivisme menganggap bahwa tidak ada kebenaran tunggal yang dapat menjelaskan seluruh
fenomena (yang dalam kasus ini mengenai) hubungan internasional. ‘Kebenaran’ atau ‘pengetahuan’ yang
selama ini diyakini dan diadopsi dalam analisis tidak lain merupakan andil dari pihak yang mendominasi atau
berkuasa pada masa tertentu. Pospositivisme hadir sebuah istilah yang memayungi beberapa konsep lainnya
seperti posmodernisme, yang erat kaitannya dengan konsep power-knowledge yang dikemukakan oleh Kant
dimana ‘kepemilikan kuasa tidak dapat dipungkiri akan mengintervensi kebebasan dalam menilai kebenaran’
(Devetak 2005). Pospositivisme dapat temanifestasikan, misalnya, pada konsep ‘the other’ yang melegitimasi
eksistensi sebuah negara. Untuk memperkuat identitas ‘ke-kita-an’ dan memonopoli tatanan internasional,
negara dapat menciptakan dualitas ‘us vs. them’ serta memarjinalkan negara lain demi keuntungan tertentu.

Perspektif ini merupakan kritik terbesar dari positivisme yang memfokuskan pada metode saintifik
untuk menjelaskan kehidupan sosial (Smith 1996). Teori, atau ‘kebenaran’ yang disimpulkan dari pengamatan
tidak selamanya bebas nilai karena subjek peneliti tidak bisa lepas dari biasnya terutama dalam mengamati
fenomena sosial. Berakar dari proposisi Auguste Comte yang menekankan observasi sebagai metode penelitian,
positivisme diyakini sebagai tahap akhir dari perkembangan pengetahuan yang sebelumnya bermula dari
persepsi teologis dan metafisik. Versi kedua yaitu positivisme logis yang menekankan bahwa sains merupakan
kebenaran tunggal dari segala pengetahuan dan tidak ada versi kebenaran lain selain apa yang bisa difalsifikasi
oleh sains. Sementara itu versi ketiga yang dianggap paling influensial dicirikan beberapa karakteristik yaitu
logisisme, verifikasionisme, distingsi teori dan observasi, serta teori kausasi Hume.

Menimbang definisinya, bisa diketahui bahwa pendekatan penelitian yang digunakan oleh kedua
pendekatan ini berbeda. Sementara positivisme lebih menekankan penggunaan metode ilmiah untuk
menghasilkan keluaran yang ‘saintifik’ pula, pospositivisme selalu mempertanyakan konsep-konsep status quo
yang digunakan kini, dalam konteks HI konsep tersebut misalnya mengenai anarki hingga fenomena 9/11 yang
dapat diinterpretasikan secara variatif. Salah satu metode yang digunakan adalah genealogi, yaitu cara berpikir
yang mengarusutamakan premis power-knowledge tadi (Devetak 2005). Genealogi akan berfokus pada
menelusuri sejarah dibangunnya sebuah konsep dan mengupayakan inklusi variabel yang sebelumnya tidak
diperhitungkan demi legitimasi penguasa. Seperti yang dikatakan oleh Foucault, sejarah menurut
pospositivisme bukanlah kumpulan pengetahuan dan kebenaran, melainkan wujud dan efek dari dominasi.

Meski demikian, positivisme telah berkontribusi membentuk diskursus Hubungan Internasional terutama
pasca Perang Dunia II dan telah menciptakan beberapa asumsi utama, yaitu: kesepakatan bahwa sains baik yang
berkaitan dengan alam maupun sosial dapat diintegrasikan, atau dikenal dengan istilah naturalisme. Asumsi
kedua yaitu bahwa ‘fakta’ empiris bersifat netral secara teori atau objektivis (observasi dinilai objektif
meskipun terdapat kemungkinan sebaliknya). Ketiga, adanya keyakinan atas keteraturan, yang pada umumnya
lumrah ditemukan dalam sains alam. Asumsi utama yang terakhir adalah signifikansi falsifikasi atau validasi
empiris sebagai metode pembuktian dari ‘pengetahuan’ (Smith 1996).

Sementara itu pospositivisme berkembang pesat pada periode setelah Perang Dingin dan
mendekonstruksi segala premis teori-teori tradisional positivis yang cenderung dogmatis. Pendekatan
pospositivistik dinilai lebih memberikan kesempatan bagi kelompok yang termarjinalkan dalam diskursus HI
seperti negara bekas jajahan karena selama periode waktu yang lama sejarah hanya didefinisikan oleh pihak
dominan/penguasa semata (dalam kasus ini yaitu teori yang cenderung eurosentris seperti teori realisme dan
liberalisme). Alhasil, pospositivisme mengalokasikan ruang bagi perspektif alternatif yang membuat HI menjadi
lebih beragam dan terdiversifikasi. Smith (1996) menjelaskan pula bahwa pendekatan pospositivistik sejatinya
tidak tunggal—hal ini terefleksikan dalam pengembangan teori lain semisal pengembangan feminisme.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pospositivisme merupakan pendekatan kritis yang
memandang bahwa segala kebenaran serta pengetahuan yang ada pada status quo merupakan konstruksi sosial
pihak penguasa untuk memperkuat posisinya. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan positivisme yang
menekankan bahwa kebenaran yang ada dapat digali dari pengamatan empiris dan falsifikasi serta verifikasi
untuk menghasilkan jawaban yang ‘ilmiah’ dan ‘benar’. Menurut hemat penulis, pendekatan pospositivistik
berguna dalam memberikan panggung pada teori maupun aktor dari negara Dunia Ketiga untuk dapat
mengubah dan menginklusifkan spektrum HI yang masih bersifat kebarat-baratan.

Referensi:

Devetak, Richard. 2005. “Postmodernism”, dalam Scott Burchill et. al., Theories of International Relations,
New York: Palgrave MacMillan, pp. 162-186

Smith, Steve. 1996. “Positivism and Beyond”, dalam Steve Smith, Ken Booth, and Marysia Zalewski (ed.),
International Theory Positivism and Beyond, Cambridge: Cambridge University Press, pp. 11-43

Anda mungkin juga menyukai