Anda di halaman 1dari 2

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukan bahwa primiparity merupakan faktor resiko yang


mempunyai hubungan yang kuat terhadap mortalitas asfiksia, sedangkan umur tua (> 35
tahun), secara fisik ibu mengalami kemunduran untuk menjalani kehamilan. Keadaan
tersebut memberikan predisposisi untuk terjadi perdarahan, plasenta previa, rupture uteri,
solutio plasenta yang dapat berakhir dengan terjadinya asfiksia bayi baru lahir (Manuaba,
2010).
Umur biasa secara langsung berpengaruh terhadap kejadian Asfiksia. Pertambahan
umur disertai dengan organ-organ dalam rongga pelvis.pada wanita muda (< 20 tahun )
organ-organ belum sempurna secara keseluruhan disertai dengan kejiwaan yang belum
bersedia menjadi ibu, keadaan ini akan mempengaruhi keadaan janin dan rahim.
Sedangkan pada usia di atas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami
penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal (Martaasoebrata,1992). Faktor ibu yang
dapat menyebabkan terjadinya asfiksia neonatorum adalah hipoksia,usia kurang dari 20
tahun atau lebih dari 35 tahun (Nur & Wafi, 2011). Usia ibu saat hamil sangat dipengaruhi
oleh keadaan kehamilan yang berlanjut, pada kehamilan karena dengan umur ibu < 20
tahun alat reproduksi belum dapat berproduksi dengan sempurna, akan sangat beresiko
disaat melahirkan mengalami cacat. Sedangkan ibu hamil yang berusia > 35 tahun memilki
organ reproduksi yang lebih lemah karena sudah terjadi penuan. Ibu dengan kategori umur
berisiko (< 20 tahun dan/atau >35 tahun) menyebabkan lebih banyak terjadinya asfiksia
daripada ibu dengan kategori umur tidak berisiko 20-35 tahun.
Hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir
adalah ibu hamil di sarankan untuk melakukan kontrol secara teratur ke dokter kandungan,
kontrol teratur bisa membantu memastikan kondisi kehamilan dan kesehatan janin dalam
kondisi baik. Pada proses persalinan hal yang dapat di lakukan untuk mendeteksi
kemungkinan terjadinya asfiksia dengan melihat tanda-tanda gawat janin yaitu denyut
jantung kurang dari 100x/menit atau lebih dari 160x/menit dan melihat mekonium dalam
air ketuban, pengeluaran mekonium menunjukan gawat janin.
Penanganan RJP di masa pandemi dan beberapa stategi yang wajib penolong
lakukan di masa sekarang. Penanganan CPR di masa pandemi Covid-19 ada beberapa yang
harus diperhatikan saat menolong korban henti jantung terutama pasien asfiksia yaitu harus
sesuai dengan protokol kesehatan yang berlaku. Jurnal ini membahas tindakan RJP dari 3
kondisi yaitu di luar rumah sakit, pertolongan pertama RJP di dalam kendaraan serta
pertolongan RJP di Rumah sakit adanya pembaharuian prinsip dan stategi yang bisa
dilakukan oleh penolong sebagai berikut:

a. Kenali serangan jantung, cari tanda-tanda kehidupan dan tanda pernafasan normal.
Jangan mendengarkan atau merasakan pernapasan dengan mendekatkan telinga dan pipi
Anda ke bagian mulut pasien. Jika Anda ragu untuk memastikan henti jantung, lakukan
kompresi dada sampai bantuan tiba.
b. Pastikan ambulans sedang dalam perjalanan. Jika anda curiga COVID-19 beri tahu tim
ambulan saat menelpon mereka.
c. Jika ada risiko infeksi yang dirasakan, tim penyelamat harus meletakkan kain / handuk di
atas mulut dan hidung korban dan hanya melakukan RJP dan defibrilasi awal sampai
ambulans (atau tim perawatan lanjutan) tiba.
d. Gunakan defibrillator karena terbukti meningkatkan peluang bertahan hidup dan tidak
meningkatkan risiko infeksi.
e. Jika penyelamat memiliki alat pelindung diri (APD) (misalkan masker wajah FFP3,
sarung tangan sekali pakai, pelindung mata), ini harus dipakai.
f. Setelah melakukan RJP khusus kompresi, semua penyelamat harus mencuci tangan
dengan sabun dan air, gel tangan berbasis alkohol adalah alternatif. Mereka juga harus
menghubungi tim penanganan COVID-19 untuk meminta saran.
g. Jurnal ini memiliki Penanganan RJP (resusitasi jantung paru) pada sangatlah penting
dilakukan ketika mengalami henti jantung saat mengalami asfiksia pentinglah melakukan
penyelamatan secara cepat. Semakin cepat dilakukan penanganan maka akan semakin
tinggi kembalinya sirkulasi spontan maka dari itu diperlukannyalah pedoman dan juga
penelitian yang terbaru dimasa pandemi Covid-19 dalam penanganan RJP karena tidak
hanya perawat dan tenaga medis saja yang bisa melakukan RJP ditempat kejadian tetapi
disini jurnal ini juga membahas orang awam dapat membantu sesuai dengan prosedur dan
protokol di masa pandemi Covid-19 hasil penelitian juga mengatakan RJP yang dilakukan
orang awam yang cepat dan efektif pada pasien henti jantung dapat meningkatkan
kembalinya sirkulasi spontan yang lebih cepat juga dimana hasil neurologis akan lebih
baik ketika pasien dipulangkan.

Anda mungkin juga menyukai