Anda di halaman 1dari 3

Nama : Radithya Tyaga G

Kelas : XII MIPA 4


Absen : 28

Perbedaan Antara Sistem Demokrasi dan Sistem Syuro/Musyawarah Era


Khulafaur Rasyidin Dalam Pemerintahan
Pertama, dalam Pemerintahan Islam yang menganut sistem Syuro’ bahwa kekuasaan
mutlak berada ditangan Allah SWT., dan Dasar Konstitusional yang dipakai adalah al-qur’an
dan hadits, serta ijma’ yang dilakukan melalui musyawarah lembaga. Syuro’ hanyalah sebuah
mekanisme pengambilan pendapat sebagai bagian dari proses dalam pemerintahan islam
(khalifah). Namun beberapa pendapat juga menafsirkan bahwa dalam pemerintahan Islam
terdapat pembagian kekuasaan misalnya pada masa khulafaur rasyidin kekuasaan eksekutif
memiliki istilah khalifah, kekuasaan legislatif memiliki istilah majelis syuro’ dan yudikatif
memiliki istilah qadhi atau hakim. Salah satu cara pembagian kekuasaan dalam pemerintahan
Islam adalah dengan mengangkat dan memberi kepercayaan kepada Ahli atau yang memiiki
kemampuan pada bidangnya.
Kedua, Dalam syuro’, untuk memperoleh pemimpin atau anggota parlemen,
dilakukan pemilihan, bukan penunjukan. Prosedur pemilihan itu, apakah melalui pemilu atau
pemilihan terbatas yang kita kenal denal dengan istilah Syuro’ (seperti Abu Bakar as-Shiddiq,
ketika dipilih untuk menggantikan Nabi Muhammad S.A.W. sebagai Kepala
Pemerintahan/Kepala Negara) tidak menjadi soal. Dalam tradisi Islam, pemimpin dipilih oleh
para tokoh dan ulama (pakar Islam) yang berhimpun dalam “Ahlul Halli Wal Aqdi”, atau
yang populer di abad modern sekarang disebut “Parlemen”. Jika dalam perundingan
disepakati dan ditetapkan bahwa pemimpin cukup dipilih dari anggota jawatan kuasa yang
dilantik, misalnya dari “Ahlul Halli Wal Aqdi”, maka dianggap sudah cukup, dan tidak perlu
dilakukan pemilihan umum untuk memilih pemimpin seperti yang disebutkan di atas. Dalam
konsep “syuro”, pemimpin (khalifah) dipilih untuk melaksanakan dan menjaga syariat Islam.
Dan ketiga, Dalam pemerintahan islam (Khilafah) syuro’ menjadi landasan dasar
dalam menjalankan roda pemerintahan, dalam syuro’ prinsip utama adalah kebenaran yang
didasarkan pada Al-Qur’an dan Al Hadist, hal ini bertujuan untuk memberikan perlindungan
dan keamanan kepada setiap manusia sehingga setiap masyarakat di wajibkan menjalankan
ajaran Al-Qur’an dan al-hadist demi menciptakan kesejahteraan dan kabahagiaan di dalam
kehidupan dunia dan akhirat.
Sedangkan saran atau rekomendasi yang dapat diberikan sebagai berikut:
Pertama, kedepan diharapkan bangsa Indonesia walaupun dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan pemerintahan menerapkan sistem demokrasi namun dalam pembangian
kekuasaan dapat menggunakan sistem syuro’ agar para pemangku jabatan benar-benar
keahliannya disesuaikan dengan jabatan yang diamanatkan. Sehingga perjalan pemerintahan
dapat berjalan dengan baik sesuai dengan yang diamanatkan oleh rakyat dan Undang-Undang
Dasar Negara serta menjadikan Al-qur’an dan Al-Hadist menjadi dasar hukum tertinggi.
Kedua, Perlu adanya penataan kembali tentang tatacara pemilihan dan penyeleksian
calon pemimpin yang sesuai dengan kriteria-kriteria yang diamanatkan dalam sistem syuro’
sehingga penyelenggaraan pemerintahan dapat menerapkan sistem musyawarah mufakat
sebagaimana yang dimanatkan dalam pancasila pada sila ke empat yang berbunyi
“kerakyatan yang dipimpin dalam hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan”. Yang mengisaratkan bahwa pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan
negara dan pemerintahan dilakukan dengan cara musyawarah.
Perbedaan syura dan demokrasi yang paling utama adalah syura hanya merupakan
salah satu metode pengambilan pendapat dalam sistem pemerintahan Islam. Sedangkan
demokrasi dianggap sebagai suatu pandangan hidup (the way of life) dan kumpulan ketentuan
untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem pemerintahan dalam politik barat.
Berikut perbedaan-perbedaan dari syura dan demokrasi secara umum, yaitu :
Pertama, syura merupakan metode atau cara pengambilan pendapat oleh pemimpin
dalam pemerintahan Islam sedangkan demokrasi merupakan suatu sistem politik negara.
Kedua, syura dilakukan berdasarkan Al-Quran atau hukum Tuhan, maka setiap
pandangan atau pendapat peserta syura tidak boleh berlawanan atau bertentangan dengan Al-
Quran dan Hadist Nabi Muhammad SAW. Keputusan yang dibuat harus sejalan dan tidak
bertentangan dengan nilai-nilai syariah. Intinya, keputusan rakyat harus mendapat legitimasi
syariah. Sedangkan demokrasi dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku, dimana hukum
tersebut dibuat juga berdasarkan keputusan bersama.
Ketiga, syura dilakukan untuk membahas mengenai suatu permasalahan yang terjadi
dimana tidak disebutkan dalam Al-Quran hukum atau ketentuannya, sedangkan pada
demokrasi dilakukan musyawarah mencakup segala permasalahan dalam masyarakat, karena
pada demokrasi, Pemegang otoritas tertinggi berada di tangan, parlemen atau majlis dalam
demokrasi berhak membuat dan membatalkan undang-undang, meski bertentangan dengan
normanorma susila, atau bahkan bertentangan dengan kemaslahatan kemanusiaan secara
keseluruhan. Seperti membuat hukum minuman keras, kebebasan seks dan jenis pornografi
dan lain-lain. Seperti yang diungkapkan oleh M. Natsir, yaitu: Dalam pemerintahan Islam,
yang diutamakan ialah mencari cara terbaik untuk melaksanakan undang-undang dan
bukannya mencipta undang-undang. Dalam parlemen negara Islam, tidaklah akan
dipermusyawaratkan terlebih dahulu, apakah yang harus menjadi dasar bagi pemerintahan,
dan tidaklah mesti ditunggu keputusan parlemen terlebih dahulu, apakah perlu diadakan
pembasmian terhadap arak atau tidak. Tidak ditunggu persetujuan parlemen untuk
penghapusan judi dan pencabulan, dan tidak perlu dimusyawaratkan apakah perlu diadakan
pemberantasan khurafat dan kemusyrikan atau tidak, dan sebagainya. Bukan! Ini semu bukan
hak musyawarat parlemen. Yang mungkin dibicarakan ialah cara-caranya untuk menjalankan
semua hukum itu.
Keempat, syura dalam pemerintahan Islam hanya dapat diikuti oleh ahl al-halli wa al-
aqd yang memiliki sifat-sifat tertentu dan memiliki pengetahuan kenegaraan dan juga
pengetahuan mengenai agama Islam.
Kelima, dalam syura, keputusan tidak diambil berdasarkan suara mayoritas, karena
dalam Islam jumlah suara mayoritas bukan merupakan ukuran kebenaran. Sedangkan dalam
demokrasi keputusan politik dapat diambil dengan cara musyawarah dalam suatu lembaga
(misalnya: legislatif) dimana anggotanya tidak perlu memiliki spesifikasi yang lebih khusus
kecuali pendidikan tertentu karena terpilih berdasarkan pemilihan umum dan semua rakyat
memiliki hak dan kesempatan untuk ikut serta. Juga pemimpin yang melakukan syura
memiliki hak untuk tidak mengambil pendapat dari peserta syura, karena syura terbagi atas
dua jenis, yaitu : syura jam’iyah yaitu syura yang menghasilkan ketetapan dan masyurah
fakultatif yaitu pemberian pendapat atau nasihat yang tidak memnghasilkan ketetapan, karena
hanya sebagai sarana untuk membantu seorang pemimpin untuk menemukan pendapat yang
benar. Sedangkan pada demokrasi, keputusan diambil berdasarkan suara mayoritas karena
berlaku sistem votting atau pengambilan suara terbanyak dalam mengambil suatu keputusan
politik. Seperti diungkapkan oleh Sidney Hook yaitu demokrasi sebagai bentuk pemerintahan
di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting atau arah kebijakan di balik
keputusan secara langsung didasarkan pada keputusan mayoritas yang diberikan secara bebas
dari rakyat dewasa. Maka pihak minoritas tidak mempunyai pilihan selain tunduk dan
mengikuti “pendapat mayoritas”. Maka itu dalam demokrasi dikenal dengan istilah “vox
vopuli, vox dei” yaitu suara rakyat adalah suara Tuhan. Sementara dalam Islam
permasalahannya tidak tergantung pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan pada
ketapan syari’at. Sebab yang menjadi penentu hanyalah Tuhan, bukan rakyat.

Anda mungkin juga menyukai