Perbedaan Antara Sistem Demokrasi dan Sistem Syuro/Musyawarah Era
Khulafaur Rasyidin Dalam Pemerintahan Pertama, dalam Pemerintahan Islam yang menganut sistem Syuro’ bahwa kekuasaan mutlak berada ditangan Allah SWT., dan Dasar Konstitusional yang dipakai adalah al-qur’an dan hadits, serta ijma’ yang dilakukan melalui musyawarah lembaga. Syuro’ hanyalah sebuah mekanisme pengambilan pendapat sebagai bagian dari proses dalam pemerintahan islam (khalifah). Namun beberapa pendapat juga menafsirkan bahwa dalam pemerintahan Islam terdapat pembagian kekuasaan misalnya pada masa khulafaur rasyidin kekuasaan eksekutif memiliki istilah khalifah, kekuasaan legislatif memiliki istilah majelis syuro’ dan yudikatif memiliki istilah qadhi atau hakim. Salah satu cara pembagian kekuasaan dalam pemerintahan Islam adalah dengan mengangkat dan memberi kepercayaan kepada Ahli atau yang memiiki kemampuan pada bidangnya. Kedua, Dalam syuro’, untuk memperoleh pemimpin atau anggota parlemen, dilakukan pemilihan, bukan penunjukan. Prosedur pemilihan itu, apakah melalui pemilu atau pemilihan terbatas yang kita kenal denal dengan istilah Syuro’ (seperti Abu Bakar as-Shiddiq, ketika dipilih untuk menggantikan Nabi Muhammad S.A.W. sebagai Kepala Pemerintahan/Kepala Negara) tidak menjadi soal. Dalam tradisi Islam, pemimpin dipilih oleh para tokoh dan ulama (pakar Islam) yang berhimpun dalam “Ahlul Halli Wal Aqdi”, atau yang populer di abad modern sekarang disebut “Parlemen”. Jika dalam perundingan disepakati dan ditetapkan bahwa pemimpin cukup dipilih dari anggota jawatan kuasa yang dilantik, misalnya dari “Ahlul Halli Wal Aqdi”, maka dianggap sudah cukup, dan tidak perlu dilakukan pemilihan umum untuk memilih pemimpin seperti yang disebutkan di atas. Dalam konsep “syuro”, pemimpin (khalifah) dipilih untuk melaksanakan dan menjaga syariat Islam. Dan ketiga, Dalam pemerintahan islam (Khilafah) syuro’ menjadi landasan dasar dalam menjalankan roda pemerintahan, dalam syuro’ prinsip utama adalah kebenaran yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Al Hadist, hal ini bertujuan untuk memberikan perlindungan dan keamanan kepada setiap manusia sehingga setiap masyarakat di wajibkan menjalankan ajaran Al-Qur’an dan al-hadist demi menciptakan kesejahteraan dan kabahagiaan di dalam kehidupan dunia dan akhirat. Sedangkan saran atau rekomendasi yang dapat diberikan sebagai berikut: Pertama, kedepan diharapkan bangsa Indonesia walaupun dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan menerapkan sistem demokrasi namun dalam pembangian kekuasaan dapat menggunakan sistem syuro’ agar para pemangku jabatan benar-benar keahliannya disesuaikan dengan jabatan yang diamanatkan. Sehingga perjalan pemerintahan dapat berjalan dengan baik sesuai dengan yang diamanatkan oleh rakyat dan Undang-Undang Dasar Negara serta menjadikan Al-qur’an dan Al-Hadist menjadi dasar hukum tertinggi. Kedua, Perlu adanya penataan kembali tentang tatacara pemilihan dan penyeleksian calon pemimpin yang sesuai dengan kriteria-kriteria yang diamanatkan dalam sistem syuro’ sehingga penyelenggaraan pemerintahan dapat menerapkan sistem musyawarah mufakat sebagaimana yang dimanatkan dalam pancasila pada sila ke empat yang berbunyi “kerakyatan yang dipimpin dalam hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”. Yang mengisaratkan bahwa pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan dilakukan dengan cara musyawarah. Perbedaan syura dan demokrasi yang paling utama adalah syura hanya merupakan salah satu metode pengambilan pendapat dalam sistem pemerintahan Islam. Sedangkan demokrasi dianggap sebagai suatu pandangan hidup (the way of life) dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem pemerintahan dalam politik barat. Berikut perbedaan-perbedaan dari syura dan demokrasi secara umum, yaitu : Pertama, syura merupakan metode atau cara pengambilan pendapat oleh pemimpin dalam pemerintahan Islam sedangkan demokrasi merupakan suatu sistem politik negara. Kedua, syura dilakukan berdasarkan Al-Quran atau hukum Tuhan, maka setiap pandangan atau pendapat peserta syura tidak boleh berlawanan atau bertentangan dengan Al- Quran dan Hadist Nabi Muhammad SAW. Keputusan yang dibuat harus sejalan dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariah. Intinya, keputusan rakyat harus mendapat legitimasi syariah. Sedangkan demokrasi dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku, dimana hukum tersebut dibuat juga berdasarkan keputusan bersama. Ketiga, syura dilakukan untuk membahas mengenai suatu permasalahan yang terjadi dimana tidak disebutkan dalam Al-Quran hukum atau ketentuannya, sedangkan pada demokrasi dilakukan musyawarah mencakup segala permasalahan dalam masyarakat, karena pada demokrasi, Pemegang otoritas tertinggi berada di tangan, parlemen atau majlis dalam demokrasi berhak membuat dan membatalkan undang-undang, meski bertentangan dengan normanorma susila, atau bahkan bertentangan dengan kemaslahatan kemanusiaan secara keseluruhan. Seperti membuat hukum minuman keras, kebebasan seks dan jenis pornografi dan lain-lain. Seperti yang diungkapkan oleh M. Natsir, yaitu: Dalam pemerintahan Islam, yang diutamakan ialah mencari cara terbaik untuk melaksanakan undang-undang dan bukannya mencipta undang-undang. Dalam parlemen negara Islam, tidaklah akan dipermusyawaratkan terlebih dahulu, apakah yang harus menjadi dasar bagi pemerintahan, dan tidaklah mesti ditunggu keputusan parlemen terlebih dahulu, apakah perlu diadakan pembasmian terhadap arak atau tidak. Tidak ditunggu persetujuan parlemen untuk penghapusan judi dan pencabulan, dan tidak perlu dimusyawaratkan apakah perlu diadakan pemberantasan khurafat dan kemusyrikan atau tidak, dan sebagainya. Bukan! Ini semu bukan hak musyawarat parlemen. Yang mungkin dibicarakan ialah cara-caranya untuk menjalankan semua hukum itu. Keempat, syura dalam pemerintahan Islam hanya dapat diikuti oleh ahl al-halli wa al- aqd yang memiliki sifat-sifat tertentu dan memiliki pengetahuan kenegaraan dan juga pengetahuan mengenai agama Islam. Kelima, dalam syura, keputusan tidak diambil berdasarkan suara mayoritas, karena dalam Islam jumlah suara mayoritas bukan merupakan ukuran kebenaran. Sedangkan dalam demokrasi keputusan politik dapat diambil dengan cara musyawarah dalam suatu lembaga (misalnya: legislatif) dimana anggotanya tidak perlu memiliki spesifikasi yang lebih khusus kecuali pendidikan tertentu karena terpilih berdasarkan pemilihan umum dan semua rakyat memiliki hak dan kesempatan untuk ikut serta. Juga pemimpin yang melakukan syura memiliki hak untuk tidak mengambil pendapat dari peserta syura, karena syura terbagi atas dua jenis, yaitu : syura jam’iyah yaitu syura yang menghasilkan ketetapan dan masyurah fakultatif yaitu pemberian pendapat atau nasihat yang tidak memnghasilkan ketetapan, karena hanya sebagai sarana untuk membantu seorang pemimpin untuk menemukan pendapat yang benar. Sedangkan pada demokrasi, keputusan diambil berdasarkan suara mayoritas karena berlaku sistem votting atau pengambilan suara terbanyak dalam mengambil suatu keputusan politik. Seperti diungkapkan oleh Sidney Hook yaitu demokrasi sebagai bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting atau arah kebijakan di balik keputusan secara langsung didasarkan pada keputusan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa. Maka pihak minoritas tidak mempunyai pilihan selain tunduk dan mengikuti “pendapat mayoritas”. Maka itu dalam demokrasi dikenal dengan istilah “vox vopuli, vox dei” yaitu suara rakyat adalah suara Tuhan. Sementara dalam Islam permasalahannya tidak tergantung pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan pada ketapan syari’at. Sebab yang menjadi penentu hanyalah Tuhan, bukan rakyat.