Anda di halaman 1dari 19

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Osteoartritis
2.1.1. Definisi osteoartritis
Osteoartritis (OA) adalah penyakit sendi degeneratif non inflamasi
yang ditandai dengan degenerasi tulang rawan sendi, hipertrofi
tulang pada tepinya dan perubahan pada membran sinovial serta
nyeri setelah aktivitas berkepanjangan dan kekakuan khususnya
pada pagi hari atau setelah inaktivitas (WAN, 2002).
Osteoartritis menurut American Rheumatism Association (ARA)
adalah sekelompok kondisi heterogen yang menyebabkan
timbulnya gejala dan tanda pada lutut yang berhubungan dengan
defek integrasi kartilago, dan perubahan pada tulang di bawahnya
dan pada batas sendi (Brandt KD, 2003)
2.1.2. Etiopatogenesis osteoartritis
Osteoartritis diklasifikasikan menjadi dua menurut patogenesisnya,
yaitu osteoartritis primer dan osteoartritis sekunder. Osteoartritis
primer merupakan osteoartritis yang tidak diketahui penyebabnya
(Idiopatik) yaitu OA yang penyebabnya tidak diketahui dan tidak
ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses
perubahan lokal pada sendi. OA sekunder adalah OA yang didasari
oleh adanya kelainan endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan,
herideter, jejas mikro dan makro serta immobilisasi yang terlalu
lama (Joewono Soeroso H. I., 2009)
Patogenesis osteoartritis tidak hanya melibatkan proses degeneratif
saja, namun melibatkan hasil kombinasi antara degradasi rawan
sendi, remodelling tulang dan inflamasi cairan sendi (Joewono
Soeroso H. I., 2009). Osteoartritis diperkirakan dapat diakibatkan
oleh proses biokimiawi dan biomekanis ( Ilyas E, ).

Universitas Sumatera Utara


6
 

Pada tulang rawan sendi (kartilago) dilumasi oleh cairan sendi


sehingga mampu menghilangkan gesekan antara tulang yang
terjadi ketika cairan sendi (sinovial) mengurangi gesekan antara
kartilago pada permukaan sendi sehingga mencegah terjadinya
keletihan kartilago akibat gesekan. Protein yang disebut dengan
lubricin merupakan protein pada cairan sendi yang berfungsi
sebagai pelumas. Protein ini akan berhenti disekresikan apabila
terjadi cedera dan peradangan pada sendi ( Felson DT 2008 ).
Rawan sendi dibentuk oleh sel rawan sendi (kondrosit) dan matriks
rawan sendi. Kondrosit berfungsi mensintesis dan memelihara
matriks rawan sehingga fungsi bantalan rawan sendi tetap terjaga .
Gangguan pada fungsi kondrosit akan memicu proses patogenik
osteoarthritis dengan baik ( Sumariyono, 2006 ).
Beberapa penelitian membuktikan bahawa rawan sendi ternyata
dapat melakukan perbaikan sendiri dimana kondrosit akan
mengalami replikasi dan memproduksi matriks baru. Proses
perbaikan ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan suatu
polipeptida yang mengontrol proliferasi sel dan membantu
komunikasi antara sel. Faktor ini menginduksi kondrosit untuk
mensintesis asam deoksiribonukleat (DNA) dan protein seperti
kolagen serta proteoglikan. Faktor pertumbuhan yang berperan
adalah insulin-like growth factor (IGF-1), growth hormone,
transforming growth factor β (TGF-β) dan coloni stimulating
factor ( CFFs ). Faktor pertumbuhan seperti IGF-1 memegang
peranan penting dalam proses perbaikan rawan sendi. Pada
keadaan inflamasi, sel menjadi kurang sensitif terhadap (IGF-1).
Faktor pertumbuhan TGF-β mempunyai efek multiple matriks
kartilago yaitu meransang sintesis kologen dan proteoglikan serta
menekan stromelisin, yaitu enzim yang mendegradasi proteoglikan,
meningkatkan produksi prostaglandin E₂ (PGE₂) dan melawan efek
inhibisi sintesis PGE₂ oleh interlukin-1 (IL-1). Hormone lain yang

Universitas Sumatera Utara


7
 

mempengaruhi sintesis komponen kartilago adalah testosterone. β-


estradiol, platelet derivate growth factor (PDGF), fibroblast
growth factor dan kalsitonin.
Peningkatan degredasi kolagen akan mengubah keseimbangan
metabolisme rawan sendi. Kelebihan produk hail degredasi matriks
rawan sendi ini cenderung berakumulasi di sendi menghambat
fungsi rawan sendi serta mengawali suatu respons imun yang
menyebabkan inflamasi sendi. Refarat perbandingan antara sintesis
dan pemecahan matriks rawan sendi pada pasien OA kenyataannya
lebih rendah dibanding normal yaitu 0.29 dibanding 1.
Pada rawan sendi pasien OA juga terjadi proes peningkatan
aktivitas fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinololitik. Proses
ini menyebabkan terjadinya penumpukan thrombus dan komplek
lipid pada pembuluh darah subkondral yang menyebabkan
terjadinya iskemia dan nekrois jaringan subkondral terebut. Ini
mengakibatkan dilepaskannya mediator kimiawi seperti
prostaglandin dan interleukin yang selanjunya menimbulkan bone
angina lewat subkhondral yang diketahui mengandung ujung saraf
sensible yang dapat menghantarkan rasa sakit.
Penyebab rasa sakit itu dapat juga berupa akibat dari lepasnya
mediator kimiawi seperti kinin dan prostaglandin yang
menyebabkan radang sendi, peragangan tendon atau ligementum
serta spasmus otot-otot extra artikuler akibat kerja yang berlebihan.
Sakit pada sendi juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang
menekan perioteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla
spinalis serta kenaikan tekanan vena intrameduller akibat stasis
vena intrameduller kerana proses remodeling pada trabekula dan
subkondrial.
Peran makrofag didalam cairan sendi juga penting, yaitu apabila
apabila diransang jejas mekanis, material hasil nekrosis jaringan
atau CSFs, akan memproduksi sitokin activator plasminogen (PA)

Universitas Sumatera Utara


8
 

yang disebut katabolin. Sitokin terebut adalah IL-1, IL-6, TNF α


dan β, dan interferon (INF) α dan π. Sitokin-sitokin ini akan
meransang kondrosit melalui reseptor permukaan spesifik untuk
memproduksi CSFs yang sebaliknya akan mempengaruhi monosit
dan PA untuk mengredasi rawan sendi secara lansung. Pasien OA
mempunyai kadar PA yang tinggi pada cairan sendinya. Sitokin ini
juga mempercepat resorpsi rawan sendi.
Interleukin-1 mempunyai efek multiple pada sel cairan sendi, yaitu
meningkatkan sintesis enzim yang mengredasi rawan sendi yaitu
stromelisin dan kolagenosa, maenghambat proses sintesis dan
perbaikan normal kondrosit. Kondrosit pada pasien OA
mempunyai reseptor IL-1 dua kali lipat lebih banyak dibanding
normal dan khondrosit sendiri dapat memproduksi IL-1 secara
local.
Faktor pertumbuhan dan sitokin tampaknya mempunyai pengaruh
yang berlawanan selama perkembangan OA. Sitokin cenderung
meransang degradasi komponen matriks rawan sendi, sebaliknya
faktor pertumbuhan meransang sintesis, padahal IGF-1 pasien OA
lebih rendah dibandingkan individual normal pada umur yang sama
(Joewono Soeroso 2009).
2.1.3 Faktor Resiko
Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya
osteoartrits lutut, antara lain :
1. Usia
Usia merupakan faktor risiko paling penting pada
osteoartritis. Prevalensi osteoartritis lutut akan meningkat seiring
dengan bertambahnya usia. Peningkatan osteoartritis lutut ini
terjadi pada usia lebih dari 65 tahun dengan rata-rata usia pada
laki-laki 59,7 tahun dan rata-rata usia pada perempuan 65,3 tahun (
Isbagio H, 2006 )

Universitas Sumatera Utara


9
 

2. Jenis kelamin
Osteoartritis lutut umumnya terjadi dua kali lipat pada
wanita dibanding pria. Wanita dengan umur diatas 50 tahun dapat
meningkatkan risiko terjadinya osteoartritis lutut. Pada wanita kulit
hitam lebih tinggi untuk terjadinya osteroartritis lutut dibanding
pada wanita kulit putih, sedangkan pada pria kulit hitam memiliki
risiko yang sama dengan pada kulit putih untuk terjadinya
osteoartritis lutut ( Arthritis Research UK, 2011)
3. Ras/warna kulit
Osteoartritis lutut diduga disebabkan oleh faktor ras.
Osteoartritis lebih banyak ditemukan pada ras kulit berwarna
dibandingkan kulit putih (Misnadiarly,2010)
4. Aktivitas Fisik
Aktivitas dan latihan yang normal tidak menyebabkan
osteoartritis, tetapi bila aktivitas tersebut dilakukan sangat berat,
berulang atau pekerjaan yang menuntut fisik seseorang dapat
meningkatkan risiko osteoartritis.Pekerjaan dan olahraga yang
berat dapat meningkatkan risiko osteoartritis lutut. Penelitian
HANES I menyebutkan bahwa pekerja yang sering membebani
sendi lutut mempunyai risiko lebih besar dibanding dengan pekerja
yang jarang membebani sendi lutut (Arthritis Reasearch UK,2011)
5. Trauma
Trauma dapat mengakibatkan rusaknya rawan sendi, baik
yang bersifat trauma akut maupun trauma berulang yang melebihi
kekuatan otot dan tendon periartikular untuk menahan beban
mekanik dan menyalurkannya ke rawan sendi, sendi menjadi rusak
hingga dapat menimbulkan osteoarthritis (Misnidiarly,2010)
6. Faktor Genetik
Faktor genetik berperan utama dalam timbulnya
osteoartritis lutut. Jika orang dengan salah satu anggota keluarga
memiliki osteoartritis lutut, maka orang tersebut mempunyai

Universitas Sumatera Utara


10
 

kesempatan besar untuk terjadinya osteoartritis lutut (Arthritis UK,


2011)
7. Nutrisi
Penelitian menunjukkan faktor nutrisi mempengaruhi
perjalanan penyakit osteoartritis. Asupan makanan yang
mengandung banyak mikronutrien, seperti vitamin E, vitamin C,
dan buah-buahan yang mengandung karoten dapat mencegah
timbulnya osteoartritis. Beberapa penelitian lain menunjukkan
bahwa ada dampak sebagai antioksidan dari vitamin C dan vitamin
E. Vitamin C dibutuhkan pada metabolisme kolagen dan vitamin E
mempunyai dampak pada inflamasi ringan atau sinovitis yang
terjadi pada osteoartritis.Sedangkan, delta dan gamma, yang
ditemukan dalam kedelai, sawit dan minyak lainnya, ditemukan
dua kali lipat mengalami osteoartritis lutut. Kekurangan vitamin D
juga berhubungan dengan peningkat an risiko penyempitan ruang
sendi dan progresivitas penyakit osteoarthritis (Arthritis UK,2011).
8. Penyakit Sendi Lainnya
Osteoartritis kadang kala merupakan akibat kerusakan dari
berbagai penyakit sendi yang jarang terjadi, seperti gout atau asam
urat yang terjadi selama bertahun-tahun sebelumnya
(Eustice.C,2008)
9. Obesitas
Kegemukan merupakan faktor penting untuk terjadinya
osteoartritis, terutama pada lutut. Obesitas juga dapat
meningkatkan prognosa menjadi lebih buruk.Pada Penelitian
Marks dengan metode Cohort dilaporkan bahwa terdapat
setidaknya 80% penderita osteoartritis lutut yang obesitas dengan
BMI yang lebih tinggi mengalami nyeri lebih dari individu dengan
BMI yang lebih rendah (p <0,05) dan nyeri yang terkait dengan
pengerahan tenaga fisik yang dirasakan (p <0,05).

Universitas Sumatera Utara


11
 

Risiko terjadinya osteoartritis akan meningkat sebanyak 9 -


13% pada individu dengan peningkatan 1 kg berat badan. I tu
berarti bahwa jika seseorang mengalami peningkatan berat badan
10 pound (4,54 kg) maka akan mengakibatkan peningkatan risiko
40 sampai 59 persen. Kelebihan berat badan selama masa dewasa
awal juga dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit di
kemudian hari. Sebagai contoh, sebuah studi longitudinal 1.180
orang, yang tidak memiliki osteoartritis lutut antara usia 20 sampai
29, didapatkan bahwa peserta terberat (IMT 24,7-37,6) adalah tiga
kali lebih mungkin untuk terjadinya osteoartritis lutut dengan usia
6 5 tahun dibanding mereka yang memiliki IMT 15,6-22,8 (Weight
Wather, 2011)
Berat badan lebih berhubungan dengan meningkatnya
risiko timbulnya osteoartritis baik pada wanita maupun pria.
Kegemukan tidak hanya berkaitan dengan osteoartritis pada sendi
yang menanggung beban, tapi juga dengan osteoartritis sendi lain
(tangan atas sternoklavikula). Selain faktor mekanis yang berperan
(karena meningkatnya beban mekanis), diduga terdapat faktor lain
(metabolik) yang berperan pada timbulnya kaitan tersebut. Peran
faktor metabolik dan hormonal berhubungan erat antara
osteoartritis dan kegemukan yang disokong oleh adanya kaitan
antara osteoartritis dengan penyakit jantung koroner, diabetes
mellitus dan hipertensi, (Isbagio,H, 2011)
2.1.4 Gambaran Klinis
1. Nyeri Sendi
Nyeri sendi merupakan keluhan utama yang sering dirasakan
penderita ketika berkunjung ke dokter, meskipun sebelumnya perrnah
mengalami kaku sendi dan deformitas. Nyeri ini akan bertambah berat
saat melakukan gerakan dan akan berkurang bila penderita istirahat
(Isbagio,H, 2006)
2. Kaku Sendi

Universitas Sumatera Utara


12
 

Kaku sendi pada osteoartritis dapat terjadi setelah imobilitas,


seperti duduk dalam waktu cukup lama atau bahkan setelah bangun tidur
dan berlangsung kurang dari 30 menit ( Isbagio, H, 2006)
3. Hambatan Gerak Sendi
Hambatan gerak pada osteoartritis disebabkan oleh nyeri,
inflamasi, fleksi menetap, kelainan sendi atau deformitas. Hambatan gerak
tergantung pada lokasi dan beratnya kelainan sendi yang terkena.
Perubahan ini seringkali sudah ada meskipun pada OA yang masih dini (
secara radiologis ). Biasanya bertambah berat dengan semakin beratnya
penyakit, sampai sendi hanya bia digoyangkan dan menjadi kontraktur.
Hambatan gerak dapat konsentris ( seluruh arah gerakan ) maupun
eksentris ( salah satu arah gerakan sahaja).
4. Krepitasi
Gejala ini lebih berarti untuk pemeriksaan klinis OA lutut. Pada
awalnya hanya berupa perasaan akan adanya seuatu yang patah atau remuk
oleh pasien atau dokter yang memeriksa. Dengan bertambah beratnya
penyakit, krepitasi dapat terdengar sampai jarak tertentu. Gejala ini
mungkin timbul gerakan kedua permukaan tulang sendi pada saat sendi
digerakkan atau secara pasif di manipulasi.
5. Pembengkakan Sendi
Pembengkakan sendi dapat terjadi karena efusi pada sendi yang
biasanya tak banyak (< 100 cc).Deformitas dapat terlihat pada sendi yang
terkena yang disebabkan terbentuknya osteofit. Tanda-tanda adanya
peradangan pada sendi (nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat yang
merata dan warna kemerahan) mungkin dijumpai pada osteoartritis karena
adanya sinovitis (Isbagio.H , 2006)
6. Perubahan Gaya Berjalan
Gangguan berjalan dan gangguan fungsi sendi yang lain
merupakan ancaman yang besar untuk kemandirian penderita usia lanjut.
Keadaan ini hamper selalu berhubungan dengan nyeri kerana menjadi
tumpuan berat badan. Terutama dijumpai pada OA lutut, sendi paha dan

Universitas Sumatera Utara


13
 

OA tulang belakang dengan stenosis spinal. Pada sendi-sendi lain, seperti


tangan bahu, siku dan pergelangan tangan, osteoartitis juga menimbulkan
gangguan fungsi.
2.1.5 Diagnosa
Diagnosis OA biasanya didasarkan pada gambaran klinis dan radiografis.
a. Radiografis Sendi yang Terkena.
Pada sebahagian besar kasus, radiografi pada sendi yang terkena
osteoartritis sudah cukup memberikan gambaran diagnostik yang
lebih canggih.
Gambaran radiografi sendi yang menyokong diagnose OA ialah :
 Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris ( lebih
berat pada bahagian yang menanggung beban.
 Peningkatan densitas ( sclerosis ) tulang subkondral.
 Kista tulang
 Osteofit pada pinggir sendi
 Perubahan struktur anatomi sendi
Berdasarkan perubahan-perubahan radiografi di atas, secara
radiografi OA dapat degradasi menjadi ringan sampai berat (
kriteria Kellergen dan Lawrence ). Harus diingat bahawa diawal
penyakit, radiografi sendi seringkali masih normal.
Pemeriksaan penginderaan dan radiologi sendi lain.
 Pemeriksaan radiogrfi sendi lain atau penginderaan
magnetik mungkin diperlukan pada beberapa keadaan
tertentu. Bila osteoartritis pada pasien dicurigai berkaitan
dengan penyakit metabolik atau genetik seperti
alkaptonuria, oochronosis, diplasia epifisis,
hiperparatiroidisme, penyakit paget atau hemokromatosis
(terutama pemeriksaan radiografi pada tengkorak dan
tulang belakang).

Universitas Sumatera Utara


14
 

 Radiografi sendi lain perlu dipertimbangkan juga pada


pasien yang mempunyai keluhan banyk sendi ( osteoartritis
generalista ).
 Paien-pasien yang dicurigai mempunyai penyakit-penyakit
yang meskipun jarang tetapi berat (osteonekrosis, neuropati
Charcot, pigmented sinovitis) perlu pemeriksaan yang lebih
mendalam. Untuk diagnosis pasti penyakit-penyakit terebut
seringkali diperlukan pemeriksaan lain yang lebih canggih
seperti sidikan tulang, penginderaan dengan resonansi
magnetic (MRI), atroskopi dan atrografi.
 Pemeriksaan lebih lanjut ( khususnya MRI ) dan mielografi
mungkin juga diperlukan pada pasien dengan OA tulang
belakang untuk menetapkan sebab-sebab gejala dan
keluhan-keluhan kompresi radikular atau medulla spinalis.
2.1.6 Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium pada OA biaanya tidak banyak
berguna. Darah tepi (hemoglobin, leukosit , laju endap darah)
dalam batas-batas normal, kecuali OA generalista yang harus
dibedakan dengan artritis peradangan. Pemeriksaan imunologi
(ANA, faktor rheumatoid dan komplemen) juga normal. Pada OA
yang diertai peradangan, mungkin didapatkan penurunan
viskositas, pleositosis ringan sampai sedang, peningkatan ringan
sel peradangan (<8000/m) dan peningkatan protein.
Secara radiologik didapatkan penyempitan celah sendi, pembentukan
osteofit, sklerosis subkondral dan pada keadaan yang berat akan tampak
kista subkondral. Bila dicurigai terdapat robekan meniskus atau ligamen,
dapat dilakukan pemeriksaan MRI yang akan menunjukkan gambaran
tersebut lebih jelas. Walaupun demikian, MRI bukan alat diagnostik yang
rutin, karena mahal dan seringkali tidak merubah rancangan terapi.
Gambaran laboratorium umumnya normal. Bila dilakukan analisis cairan
sendi juga didapatkan gambaran cairan sendi yang normal. Bila didapatkan

Universitas Sumatera Utara


15
 

peninggian jumlah leukosit, perlu dipikirkan kemungkinan artropati kristal


atau artritis inflamasi atau artritis septic ( Setiyohadi Bambang, 2003 )
Terdapat tiga cara utama untuk memantau progresivitas dan outcome OA:
 Pengukuran nyeri sendi dan disabilitas pada pasien ( patient-
related measure of joint pain and diability), misalnya nilai
algofungsional dari WOMAC, indeks beratnya nyeri lutut dan
panggul.
 Pengukuran perubahan struktural (anatomi) pada sendi yang
terseraang (measurement of the structural / anatomical changes in
the affected joints) misalnya radiografi polos, MRI, artroskopi dan
ultrasound frekuensi tinggi.
 Pengukuran proses penyakit yang dinyatakan dengan perubahan
metabolisme atau perubahan kemampuan fungsional dari rawan
sendi artikuler, tulang subkondral atau jaringan sendi lainnya
(measurement of the disease process exemplified by changes in
metabolism or functional properties of the articular cartilage,
subchondral bone or other joints tissues ) misalnya marker rawan
sendi dalam cairan tubuh, skintigrafi tulang, pengukuran resistensi
terhadap kompresi pada rawan sendi dengan mengukur
kemampuan identasi atau penyebaran.
Nilai algofungsional, radiologic polo dan artroskopi telah banyak
digunakan pada berbagai uji klinik OA, tetapi hanya nilai algofungsional
saja yang telah divalidasi sebagai instrument outcome.
Foto polos sendi selama ini digunakan sebagai standard emas untuk
menilai perubahan struktur sendi pada berbagai uji klinik penggunaan obat
DMOA ( Disease Modifying Osteoartritis Drugs ). Kelemahan teknik ini
terletak pada kenyataan bahawa teknik ini hanya dapat menilai secara
tidak lansung, suatu surrogate marker, perubahan yang terjadi akibat
destruksi rawan sendi dan bukan penilaian secara lansung proses yang
terjadi pada rawan sendi. Hal ini sama ditemukan pada MRI, hingga saat
ini MRI tidak dapat memantau kualitas dan komposisi rawan sendi,

Universitas Sumatera Utara


16
 

informasi yang diperoleh hanyalah pengukuran tidak lansung dari proses


penyakit. Melihat hal tersebut maka diperlukan suatu metode yang secara
cepat memberikan informasi dari dari fungsi, komposisi dan proses
metabolik pada rawan sendi yang dapat digunakan memantau hasil
pengobatan.
Kriteria diagnosis OA lutut menggunakan kriteria klasifikasi American
College of Rheumatology seperti tercantum pada tabel berikut ini

Tabel 2.1 Kriteria Klasifikasi Osteoartritis Lutut ( Setiyohadi B, 2010)


Klinik dan laboratorik Klinik dan radiologic Klinik
Nyeri lutut + minimal 5 Nyeri lutut + minimal 1 Nyeri lutut + minimal 3
dari criteria berikut: dari criteria berikut: dari 6 kriteria berikut:

- Usia > 50 tahun - Usia > 50 tahun - Usia > 50 tahun


- Kaku pagi < 30 - Kaku pagi < 30 - Kaku pagi < 30 menit
menit menit - Krepitus
- Krepitus - Krepitus - Nyeri tekan
- Nyeri tekan - Pembesaran tulang
- Pembesaran tulang + - Tidak panas pada
- Tidak panas pada perabaan.
perabaan - Osteofit
- LED < 40 menit/
jam
- RF < 1:40
- Analisa cairan sendi
normal

Universitas Sumatera Utara


17
 

Table 2.2 Skala Gambaran Radiologi Kellgren – Lawrence ( Wachjudi RG,


2006)

Derajat Status Keterangan

0 Normal Tidak terdapat gambaran OA

1 Meragukan Kemungkinan osteofit dan penyempitan celah sendi


yang belum jelas

2 Minimal Osteofit dengan atau tanpa penyempitan celah sendi

3 Sedang Osteofit sedang, penyempitan celah sendi nyata,


sedikit sklerosis, kemungkinan ada deformitas

4 Berat Deformitas yang nyata: jarak sendi sangat terganggu


dengan sklerosis tulang subkondral.

2.1.6 Penatalaksanaan dan Progresivitas


Ada 3 (tiga) modalitas penatalaksanaan pada osteoartritis :
A. Non Farmakologis
1. Edukasi (perawatan sendiri, konsep nyeri)
2. Olahraga, penguatan otot, perbaikan lebar jangkauan gerakan
3. Memodifikasi faktor risiko : penurunan berat badan, alas kaki
yang sesuai, pengaturan kegiatan, tongkat, alat -alat pembantu, spin
4. Terapi fisik dan rehabilitasi : panas, dingin, rangsangan elektrik
B. Farmakologis
1. Topikal : gel OAINS, capsaicin
2. Injeksi lokal : Kortikosteroid, Hyaluronan
3. Obat-obat per oral : Analgesik, OAINS, antidepresan, dan
disease modifying osteoartritis

Universitas Sumatera Utara


18
 

C. Operatif
1. Intervensi fisik invasif : bilas atroskopi, irigasi
2. Artroplasti : Osteotomi, penggantian sendi
Osteoartritis dapat dipantau progresivitas dan outcome dengan tiga cara utama,
yaitu :
1. Pengukuran nyeri sendi dan disabilitas pada pasien : misalnya dengan
menggunakan nilai algofungsional dari WOMAC, indeks beratnya sendi
lutut dan panggul (Indeks Lequesne).
2. Pengukuran perubahan struktural (anatomi) pada sendi yang terserang,
misalnya radiografi polos, MRI, atroskopi dan ultrasound frekuensi tinggi.
3. Pengukuran frekuensi penyakit yang dinyatakan dengan perubahan
metabolisme atau perubahan kemampuan fungsional dari rawan sendi
artrikuler, tulang subkondral atau jaringan sendi lainnya : misalnya marker
rawan sendi dalam cairan tubuh, skintigrafi tulang, pengukuran resistensi
terhadap kompresi pada rawan sendi dengan mengukur kemampuan
identasi atau penyebaran.
2.1.7 Pencegahan
Osteoartritis dapat dicegah dengan beberapa langkah, antara lain :
1. Menghindari setiap faktor risiko, misal mencegah obesitas
2. Istirahat atau proteksi terhadap sendi yang terkena
3. Olahraga yang tepat untuk membantu mempertahankan kesehatan
tulang rawan, meningkatkan daya gerak sendi dan kekuatan otot -otot
disekitarnya sehingga otot dapat menyerap benturan dengan lebih baik
4. Menjaga berat badan agar senantiasa dalam kondisi seimbang
5. Menjaga pola makan dan minum (diet) agar selalu baik dan seimbang
sehingga pertumbuhan sendi dan tulang rawan sempurna dan normal
6. Berdiri, berjalan, mengangkat barang harus pada posisi yang benar
7. Senantiasa berhati-hati agar terhindar dari berbagai kecelakaan yang
mengakibatkan sendi rusak
8. Dianjurkan menggunakan kursi dengan sandaran keras, kasur yang
tidak terlalu lembek dan tempat tidur yang dialas dengan papan

Universitas Sumatera Utara


19
 

9. Menekan lembut dengan hati-hati pada bagian yang bengkak dan kaku
sambil memberi terapi pemanasan sederhana dengan minyak oles atau
krim balsem
10. Untuk nyeri pada jari tangan, dianjurkan merendam tangan dalam
campuran parafin panas dengan minyak mineral pada suhu 45-52°C atau
mandi dengan air hangat.

2.2 Obesitas
2.2.1 Definisi
Obesitas adalah akumulasi lemak berlebihan dalam tubuh yang
mengakibatkan terjadinya peningkatan berat badan melebihi batas
kebutuhan skeletal dan fisik.
Obesitas didefinisikan sebagai indeks massa tubuh (IMT) ( berat
badan dalam kilogram dibahagi dengan kuasa dua dari tinggi badan
dalam meter) yang mencapai 30.0 atau lebih. Obesitas sering
dikaitkan dengan peningkatan resiko kematian ( NEJM 2006 ).
2.2.2 Resiko Obesitas Terhadap Kesehatan.
Tabel 2.3. Risiko Relatif (RR) terjadinya masalah kesehatan yang
berhubungan dengan obesitas ( Sagong Seto, 2009 ).
RR meningkat tajam RR meningkat sedang RR meningkat ringan
RR ≥ 3 RR 2-3 RR > 1-2
- Diabetes Mellitus - Penyakit - Kanker (kanker
- Resistensi Insulin Kardiovaskuler kolon paska
- Hipertensi - Osteoartritis menopause,
- Dislipidemia - Hiperurisemia dan kanker endometrium,
- Sleep Apnoe gout kanker prostat)
- Penyakit Kandung - Gangguan fertilitas - Abnormalitas
Empedu - Peningkatan risiko hormon reproduksi
anestetik - Sindrom polikistik
- Low back pain ovarium
- Defek pada bayi dari
ibu yang obesitas

Universitas Sumatera Utara


20
 

2.2.3 Pemeriksaan Fisik Berdasarkan IMT


A. Pengukuran Berat Badan
Pengukuran berat badan dapat menggunakan timbangan
digital atau beam balance yang diletakkan pada
permukaan datar dan keras. Sebelum pengukuran,
kosongkan kandung kemih dan belum mengkonsumsi
makanan apapun. Posisi jarum timbangan diposisikan pada
angka 0, sebelum dilakukan penimbangan. Geser anak
timbangan hingga seimbang bila menggunakan beam
balance. Subyek sebaiknya menggunakan pakaian
biasanya dan tanpa alas kaki atau kaus kaki. Selanjutnya,
subyek berdiri tegak di tengah-tengah timbangan tanpa
bantuan. Lakukan pembacaan dalam kilogram dengan
ketelitian 1 angka dibelakang koma, kemudian dicatat
(Sagung Seto, 2009).
B. Pengukuran Tinggi Badan
Alat ukur tinggi badan dapat menggunakan Microtoise.
Tinggi badan dapat diukur dengan cara berdiri tegak lurus
dan dengan cara mengukur tinggi lutut. Pengukuran dengan
cara berdiri tegak dengan menggantungkan microtoise
setinggi 2 meter dari lantai pada dinding yang datar dengan
angka 0 tepat di lantai. Sebaiknya subyek menggunakan
pakaian yang ringan dan tanpa alas kaki atau kaus kaki.
Subyek berdiri tegak, kaki merapat, dengan posisi kepala
lurus kedepan, dan tulang belikat, pinggul dan bahu
menempel di dinding serta kedua lengan tergantung
disamping badan. Kemudian turunkan bagian microtoise
yang dapat bergerak dengan hati-hati ke atas kepala hingga
menekan rambut. Lakukan pengukuran saat inspirasi
maksimal kemudian dicatat (Sagung Seto, 2009)

Universitas Sumatera Utara


21
 

Bila subyek tidak dapat berdiri tegak, maka pengukuran


tinggi badan dapat dilakukan dengan cara mengukur tinggi
lutut. Pada pengukuran tinggi lutut, subyek dapat dalam
keadaan duduk maupun terlentang dengan membentuk
sudut 90° antara tulang tibia dan tulang paha. Letakkan alat
antara tumit sampai dengan bagian proksimal dari tulang
paha. Tinggi badan kemudian dihitung dengan rumus
berikut:
Pria = 64.19 - ( 0.04 x Usia ) + ( 2.02 x TL )

Wanita = 84.88 – ( 0,24 x Usia ) + ( 1.83 x TL )

Gambar 2.1. Rumus Tinggi Badan Berdasarkan Tinggi


Lutut
Selain menggunakan rumus, pengukuran tinggi badan dapat
dilakukan dengan mengkonversikan ke dalam nomogram
untuk usia lebih dari 59 tahun (Arisman, 2007)
C. Indeks Massa Tubuh
Indeks Massa Tubuh merupakan indikator yang paling
sering digunakan dan praktis untuk menentukan berat
badan lebih atau obesitas pada orang dewasa. Indeks Massa
Tubuh juga digunakan sebagai pengganti untuk mengukur
lemak tubuh (Sugondo S., 2006).

Berat Badan (Kg)


IMT = ______________________________
Tinggi Badan (m ²)

Gambar 2.2. Rumus Indeks Massa Tubuh

Universitas Sumatera Utara


22
 

Table 2.4. Klasifikasi Berat Badan Berdasarkan IMT

Klasifikasi IMT (Kg/m²)

Underweight < 18,5

Normal 18,5 – 22,9

Overweight ≥ 23

Berisiko 23 – 24,9

Obese I 25 – 29,9

Obese II ≥ 30

Tabel 2.5. Risiko morbiditas yang berhubungan dengan IMT


dan lingkar perut pada orang dewasa Asia

Lingkar Perut
IMT (Kg/m²) < 90 cm ( laki-laki) ≥ 90 cm (laki-laki)
< 80 cm ( perempuan) ≥ 80 cm ( perempuan)

< 18,5 Rendah ( tapi resiko Rata-rata


klinis lain meningkat)
18,5 – 22,9 Rata – rata Meningkat
≥ 23
23 – 24,9 Meningkat Sedang
25 – 29,9 Sedang Berat
≥ 30 Berat Sangat berat

Universitas Sumatera Utara


23
 

Indek Massa Tubuh (IMT) tidak dapat digunakan pada seseorang


dengan peningkatan massa otot, seperti pemain sepak bola, atlet
angkat besi dan lainnya yang menggunakan angkat beban sebagai
bagian dari program olahraganya (Sugondo S, 2006)
2.2.4 Hubungan Antara Obesitas Dengan Kejadian Osteoartritis Lutut.
Seiring dengan bertambahnya usia, seseorang dapat meningkatkan
risiko terjadinya osteoartritis lutut. Maquet menjelaskan bahwa
pada keadaan normal gaya berat badan akan melalui medial sendi
lutut dan akan diimbangi oleh otot-otot paha bagian lateral
sehingga resultannya akan jatuh pada bagian sentral sendi lutut.
Sebaliknya, pada keadaan obesitas resultan tersebut akan bergeser
ke medial sehingga beban yang diterima sendi lutut akan tidak
seimbang.
Hal ini dapat menyebabkan ausnya tulang rawan karena
bergesernya titik tumpu badan. Oleh karena itu kelebihan berat
badan pada umur 36- 37 tahun membuat satu faktor risiko bagi
osteoartritis lutut pada usia lanjut ( Haq I, 2003 )

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai