Proposal Stupa Belum Fix
Proposal Stupa Belum Fix
ARSITEKTUR 5
Di susun oleh :
Latar Belakang
Bangunan multifungsi atau istilah asingnya disebut “mixed-use building” yang menjadi tren
property pada masa kini. Diciptakan bangunan miltifungsi (mixed-use building) dapat meningkatkan
kemajuan pada suatu daerah baik dalam sektor ekonomi maupun pariwisata. Bangunan multifungsi
(Mixeduse building) mengacu kepada kombinasi fungsi retail/komersial, apertemen atau pelayanan
publik digabungkan dengan fungsi hotel dalam satu bangunan atau dalam satu site
(indonesiadesign, 2004). Secara sangat sederhana memang cukup dikatakan sebagai ruang luas
yang menampung berapa fungsi seperti mall dan hotel yang dikombinasikan dalam satu bangunan
atau dua fungsi atau lebih dalam satu tapak.
Bangunan multifungsi (mixeduse building) Idealnya dikembangkan pada daerah perkotaan
maupun daerah straegis pariwisata merupakan daerah yang banyak dikunjungi wisatawan dunia.
Bangunan multi fungsi diciptakan dengan sekala luas, namun tidak merusak lingkungan sekitar
tapak. Keberadaan bangunan multifungsi pada suatu daerah, dapat meningkatkan perekonomian
daerah dan sekaligus mampu menjadi fasilitas pendukung kawasan strategis pariwisata untuk
wsatawan yang berwisata pada suatu daerah. Pada umumnya bangunan multifungsi (mixed-use
building) mengacu pada penggabungan fungsi pelayanan publik dengan fungsi akomondasi dan
fungsi perumahan dan fungsi perkantoran (wisma, karya dan suka). Sefesifiknya, bangunan multi
fungsi (mixed-use building) pada suatu kawasan strategis pariwisata mengacu pada penggabungan
fungsi suka yaitu pelayanan fublik
berupa shoping mall, kantor sewa dan fungsi wisma yang berorientasi pada fasilitas
akomondasi berupa hotel, karena sasaranya adalah wisatawan yang mengunjungi daerah wisata.
Bangunan multi fungsi (mixed-use building) di dunia sudah banyak dikembangkan di kota- kota
besar maupun di daerah strategis pariwisata contohnya di Dubai dan Amerika serikat.
Perkembangan bangunan multifungsi (mixed-use building) di dunia mulai dikembangkan sejak
tahun 1950-an. Tujuan dikembangkan bangunan multifungsi di Negara tersebut umumnya adalah
untuk kemajuan sektor ekonomi dan kepariwisataan dunia. Di Indonesia telah berkembang
bangunan multifungsi (mixed-use building)sajak tahun 1960.
Perkembangan bangunan multi fungsi di Indonesia dipengaruhi oleh kesembrawutan tata ruang
sehingga memerlukan alternatif untuk memperbaiki tata ruang yaitu dikembangkannya bangunan
yang berkonsep mixed-use development . Selain itu menunjukan suatu bentuk kemajuan ekonomi
pada suatu Negara dan meningkatkan kualitas visual lingkungan. Pada saat ini perkembangan
bangunan multifungsi (mixed-use building) di Indonesia sudah cukup banyak baik di pusat ibukota
Indonesia yaitu Jakarta maupun di kota-kota besar yang terdapat di Indonesia. Di kota-kota besar
seperti Jakarta sudah terdapat mixed-use building seperti wisma nusantara-hotel niko, plaza
Indonesia-ex, center-grand hayatt. Disediakan fasilitas tersebut mampu mempermudah jangkauan
kegiatan perekonomian pada suatu daerah.
Saat ini, Indonesia banyak mengalami perubahan yang disertai dengan kemajuan. Salah
satunya dibidang Perdagangan, Ekonomi dan Jasa. Khususnya di daerah Sulawesi Teng ah di Kota
Palu dengan adanya Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Maksud
Tujuan
Sistematika Pembahasan
Penyusunan skripsi ini didasarkan pada suatu sistematika karya tulis ilmiah
yang hasilnya akan mengarah kepada konsep perencanaan dan
perancangan. Secara umum uraian sistematika pembahasannya adalah
sebagai berikut :
BAB 1 PENDAHULUAN
Pada bab ini menguraikan pada Latar Belakang, Maksud dan Tujuan,
Perumusan Permasalahan Arsitektur, Sistematika Pembahasan.
Pada bab ini menguraikan pada Pengertian dan Definisi, Fungsi dan
Tujuan dari perencanaan yang hendak di implementasikan dalam suatu
tugas akhir ini.
Pada bab ini menguraikan pada Pengertian Tema, Kaitan tema dengan
perencanaan dan perancangan serta study banding.
BAB 4 ANALISA
Pada bab ini menguraikan terhadap kriteria pemilihan tapak, latar belakang
pemilihan tapak, menganalisa site, menganalisa non fisik, menganalisa
bangunan.
BAB 5 KONSEP PERANCANGAN
Pengertian
Mixed use building merupakan bangunan multi fungsi yang terdiri dari satu atau
beberapa massa bangunan yang terpadu dan saling berhubungan secara langsung
dengan fungsi yang berbeda. Mixed use building menggabungkan antara fasilitas
hunian, fasilitas bisnis, dan fasilitas rekreasi yang biasanya dimiliki oleh suati
pengembang. (Indonesiaapartment, Esti Savitri 2007)
Mixed use building merupakan salah satu upaya pendekatan perancangan yang
berusaha menyatukan berbagai aktivitas dan fungsi yang berada di bagian area suatu
kota yang memiliki luas area yang terbatas, harga beli tanah yang relatif mahal, lokasi
tanah yang strategis, serta nilai ekonomi tinggi menjadu sebuah struktur yang kompleks
dimana semua kegunaan dan fasilitas yang memiliki keterkaitan dalam kerangka
integrasi yang kuat. (Panduan Perancangan Bangunan Komersial, Endy Marlina 2008)
Sejarah
Pada mulanya, mixed use building ini berkembang di Amerika dengan istilah
superblock. Superblock sendiri memiliki arti proyek-proyek yang berskala besar yang
terletak di tangah kota yang mulai dibangun dan dikembangkan setelah selesainya
Perang Dunia II. Pada umumnya, pola grid menjadi pola ruang yang banyak digunakan
di kota-kota besar yang berada di Amerika. Lahan-lahan yang berbentuk petak-petak ini
kemudia disebut blok. Beberapa blok yang digunakan untuk menampung berbagai
macam aktivitas itu kemudian disebut superblock.
12
Proyek-proyek yang biasa dibangun pada superblock ini memiliki skala bangunan
yang besar dan mampu menampung berbagai fungsi yang saling terintegrasi dan saling
melengkapi antara yang satu dengan yang
13
lain. Pada umumnya, fungsi yang digabungkan adalah fungsi hunian, perkantoran,
pusat perbelanjaan, dan lain sebagainya.
Ciri-ciri
Manfaat
Tata letak dalam sebuah kawasan atau bangunan mixed use sangat
mempengaruhi bentuk dan koneksi antar fungsinya. Sebuah kawasan atau
bangunan mixed use dapat dikatakan sukses apabila mampu mengkoneksikan
beberapa fungsi dengan baik. Terdapat 4 (empat) konfigurasi tata letak bangunan
dalam sebuah kawasan mixed use, yaitu: (Sumargo, 2003; 58)
Mixed-use Tower, memiliki struktur tunggal dari segi massa atau
ketinggian bangunan dengan fungsi-fungsi yang ditempatkan pada lapisan-lapisan
tersebut. Pada umumnya, mixed use tower merupakan high rise building.
Multitowered Megastructure, merupakan bangunan mixed use dengan
tower-tower yang menyatu secara arsitekturan dengan atrium yang berada
dibawahnya. Pada umumnya atrium berfngsi sebagai pusat perbelanjaan. Pada
multitiwerde megastructure, komponen yang terdapat pada podium menjadi hal yang
utama karena merupakan tempat bertemunya antar pengguna bangunan.
Freesatnding Structure with Pedestrian Connection, merupakan
konsep penataan pada kawasan mixed use dengan kumpulan dari beberapa masa
tunggak yang saling terintegrasi oleh jalur pedestrian. Dampaknya, fungsi dari setiap
bangunan tidak akan bercampur menjadi satu.
Combination, merupakan penggabungan dari ketiga bentuk tersebut
dalam sebuah kawasan.
Jumlah pengguna dari mixed use building tentu saja memiliki jumlah yang tidak
sedikit. Pada umumnya para pengguna menggunakan alat transportasi pribadi berupa
mobil atau motor. Maka dari itu, dibutuhkan wadah yang mampu menampung
kebutuhan akan parkir dari pengguna mixed us building ini.
Menurut Departemen Jendral Perhubungan Darat (1998), satuan ruang parkir
adalah ukuran luas efektif untuk meletakkan suatu kendaraan (mobil penumpang,
bus/truk, atau sepeda motor) termasuk ruang bebas dan lebar bukaan pintu. Ada 3
(tiga) faktor yang mempengaruhi besaran ruang parkir, yaitu:
Dimensi kendaraan standar
Dari ketiga faktor diatas, maka disimpulkan bahwa terdapat 3 (tiga) golongan
satuan ruang parkir (SRP) menurut Departemen Perhubungan Darat, yaitu:
Tabel 2.1 Satuan Ruang Parkir (SRP)
Selain dimensi dari satuan ruang parkir yang telah ditentukan, jumlah kebutuhan
ruang parkir juga telah diatur Departemen Perhubungan Darat. Berikut adalah tabel
ukuran kebutuhan ruang parkir:
Tabel 2.2 Ukuran Kebutuhan Ruang Parkir (SRP)
Kajian Mal
Pengertian
Mal atau Mall merupakan sebuah pusat perbelanjaan yang memiliki bentuk
bangunan atau kumpulan bangunan yang berada pada sebuah lokasi. Pada umumnya
sebuah pusat perbelanjaan terdapat berbagai macam toko dengan beragam merek
dagang dan toko-toko tersebut dihubungkan oleh jalur sirkulasi yang terbuka atau
tertutup dengan tujuan mempermudah pengguna pusat perbelanjaan. (Shopping Center
Development Handbook, Urban Land Institute)
Sejarah
Pada awalnya, Mal merupakan evolusi dari pasar tradisional sebagai tempat untuk
berdagang. Namun, dengan seiringnya perkembangan zaman yang berbanding dengan
peningkatan permintaan dan peningkatan kualitas barang yang dijual maka ruang untuk
membeli dan menjual barang ini ditingkatkan kualitasnya dengan penerapan konsep
baru dan penambahan fasilitas penunjang. Fasilitas penunjang diantaranya bioskop,
area bermain anak, area pertunjukan, taman-taman tematik, dan
lain sebagainya. Selain karena permintaan, penambahan fasilitas ini juga didasari
pada perubahan gaya hidup manusia yang telah berubah dimana saat ini tujuan
pengunjung berkunjung ke pusat perbelanjaan bukanlah untuk berbelanja, melainkan
untuk berekreasi.
Klasifikasi
Elemen-elemen
Menurut Ruberstain Harvey M., pusat perbelanjaan memiliki 3 (tiga) elemen utama,
yaitu:
Anchor (Magnet), merupakan transformasi dari “nodes” yang dapat
berfungsi sebagai “landmark” yang perwujudannya berupa plaza dan mall
Secondary Anchor, merupakan transformasi dari “distric” yang
memiliki perwujudan berupa took pengecer, retail, supermarket, superstore, bioskop,
dan lain sebagainya.
Street Mall, merupakan transformasi dari bentuk “paths” yang
pewujudannya berupa jalur pedestrian yang menghubungkan antar magnet.
Sistem sirkulasi
Sirkulasi pada pusat perbelanjaan merupakan hal penting karena sirkulasi inilah
yang akan menghubungkan toko-toko atau “magnet” yang
terdapat pada pusat perbelanjaan. Pada pusat perbelanjaan terdapat 3 (tiga)
sistem sirkulasi yang umum digunakan pada pusat perbelanjaan, yaitu:
Sistem Banyak Koridor
Sistem Plaza
Ciri-ciri pusat perbelanjaan dengan sistem Mall dikonsentrasikan pada sebuah jalur
utama yang menghadap dua atau lebih magnet pertokoan dapat menjadi poros massa,
dan dalam ukuran besar dapat berkembang menjadi sebuah atrium. Jalur tersebut
menjadi jalur sirkulasi utama, karena menghubungkan dua titik magnet atau anchor
yang membentuk sirkulasi utama.
Kajian Hotel
Pengertian
Sejarah
Sejarah hotel sebenarnya sudah dimulai sejak adanya hostel. Awalnya, hotel
berasal dari kata hostel yang diambil dari bahasa Perancis kuno yang disebut-sebut
telah hadir sejak akhir abad ke-17. Makna dari hostel sendiri adalah “tempat
penampungan buat pendatang” atau biasa
disebut “bangunan penyedia pondok dan makanan untuk umum”. Oleh karena itu,
hotel memang didesaign untuk melayani kebutuhan publik dengan maksud sosial untuk
membantu para turis atau pendatang.
Pada saat awal kehadiran hotel, hotel memiliki misi sosial untuk menyediakan
tempat untuk tinggal dan makan serta minum secara cuma- cuma atau gratis. Namun
seiring perkembangan zaman, hotel mulai meninggalkan misi sosilanya dan mulai
beralih kearah komersial atau berorientasi uang. Saat ini, hotel mulai memungut biaya
pada tamu-tamu yang menginap dan memesan makanan serta minuman. Hal itu juga
ditambah dengan semakin banyaknya pengguna jasa hotel ini. Kesempatan itu tidak
disia-siakan oleh pihak penyedia jasa penginapan ini.
Untuk di Indonesia, istilah hotel memang selalu dikonotasikan sebagai bangunan
penginapan yang mahal dan hanya disewa oleh kalangan menengah keatas dan
umumnya disebut hotel berbintang. Tetapi saat ini sudah banyak hotel kelas melati
yang terifnya cukup murah dengan sasaran kalangan backpacker atau wisatawan kelas
menengah kebawah. Saat ini hotel berbintang maupun hotel melati banyak dikelola
oleh pihak- pihak swasta.
Karakteristik
Saat ini hotel menjadi salah satu industri yang banyak diminati oleh para investor-
investor asing maupun lokal untuk memulai bisnisnya. Para investor-investor mulai
berlomba-lomba untuk menyediakan jasa penginapan sebaik mungkin. Hal-hal yang
diutamakan pada umumya adalah fasilitas, harga sewa, dan lokasi. Untuk
membedakan hotel dengan industri lain, makan terdapat beberapa karakteristik dari
hotel, yaitu:
Hotel tergolong sebagai industri yang padat modal serta padat karya
yang artinya dalam pengelolaannya memerlukan modal usaha yang besar dengan
tenaga pekerja yang banyak pula.
Dipengaruhi oleh keadaaan dan perubahan yang terjadi pada sektor
ekonomi, politik, sosial, budaya dan keamanan dimana hotel tersebut berada.
Menghasilkan dan memasarkan produknya bersamaan dengan
tempat dimana jasa pelayanannya dihasilkan.
Beroperasi selama 24 jam sehari, tanpa adanya libur dalam pelayanan
jasa terhadap pelanggan hotel dan masyarakat pada umumnya.
Memperlakukan pelanggan seperti raja, selain itu juga
memperlakukan pelanggan sebagai partner dalam usaha karena jasa pelayanan hotel.
Klasifikasi
Minimal 15 kamar (14 kamar double dan 1 kamar single) dengan luas minimal 20
m2
Hotel Bintang 2
a. Umum
o Bebas polusi
b. Bedroom
o Tidak bising
c. Dinning Room
d. Bar
e. Lobby
a. Umum
c. Dining room
e. Ruang fungsional
f. Lobby
o Mempunyai luasan 30 m2
g. Drug Store
o Minimum terdapat drugstore, bank, money changer, biro
perjalanan, airline agent, souvenir shop, perkantoran, butik, dan salon
o Tersedia poliklinik
o Tersedia paramedis
o Tersedia PABX
carcall
Hotel bintang 4
a. Umum
b. Bedroom
c. Dining room
o Mempunyai minimum 2 buah diningroom, salah satunya berupa
coffee shop
d. Bar
e. Ruang fungsional
o Mempunyai ketentuan mnimum sama dengan hotel bintang 3
f. Lobby
i. Utilitas Penunjang
Hotel Bintang 5
a. Umum
b. Bedroom
c. Dining room
o Mempunyai minimum 3 buah dining room, salah satunya dengan
spesialisasi masakan (Japanese/Chinese/Europan food)
d. Bar
e. Ruang fungsional
g. Drug store
j. Business center
o Terdapat 1 tipe yaitu, House Used Room, yang berarti kamar yang
diperuntukan bagi staf hotel yang mempunyai otoritas dan digunakan untuk tempat
tinggal dalam jangka waktu tertentu karena dinas.
Pengertian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kantor didefinisikan sebagai balai
(gedung, rumah, ruang) tempat tulis-menulis atau mengurus suatu pekerjaan
(perusahaan). Selain itu, menurut Hunt 1980, Kantor sewa adalah suatu bangunan
yang didalamnya terjadi interaksi bisnis dengan pelayanan serta profesional.
Didalamnya terdiri dari ruangruang dengan fungsi yang sama yaitu fungsi kantor
dengan status pemakai sebagai penyewa atas ruang yang digunakan.
Fungsi
Klasifikasi
Kantor sewa saat ini sudah berkembang dengan sangat pesat, perkembangannya
mulai dari fasilitas yang disediakan, citra yang akan di timbulkan, lokasi, harga,
prosedur penyewaan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu agar mudah
membedakannya, terdapat beberapa klasifikasi kantor sewa, yaitu:
Menurut Peruntukannya
Bangunan kantor yang sengaja direncanakan dan dibangun oleh pemilik modal
atau investor yang pada umumnya tergabung dalam sebuah institusi atau yayasan
untuk digunakan oleh perusahan dibawahnya.
b. Bangunan Investasi
Bangunan kantor yang direncanakan dan dibangun oleh sebuah perusahaan untuk
disewakan secara spekulatif atau dengan jangka yang panjang (long term).
Bangunan kantor sewa yang disewakan dengan area service yang tidak termasuk
dalam hak penyewa, seperti area elevator, tangga, AC central, dan fire tower court.
b. Rentable Floor Area
Kantor yang disewakan dengan pembagian area-area menjadi dua area, yaitu:
Useable floor area, merupakan area privat yang dipergunakan
para penyewa
Common floor area, merupakan area yang disewakan sebagai
penunjang seperti elevator, hall, koridor, toilet, dan lain sebagainya.
Luas bersih perlantai yang disewakan kepada penyewa. Luas bersih didapatkan
dari hasil pengurangan antara area kotor dikurangi area fasilitas umum seperti
transportasi vertikal, utilitas, dan lain sebagainya.
c. Multy Tenancy Floor
Luas bersih per lantai disewakan kepada beberapa penyewa atau
perusahaan. Luas yang disewakan tidak termasuk area fasilitas bersama.
a. Cellular System
Menurut Kedalamannya
46
beberapa persyaratan terkait kualitas ruang kantor. Beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
a. Fleksibilitas
Kebutuhan ruang kantor yang dinamis membuat ruang dalam kantor dituntut
untuk lebih fleksibel. Dinding penyekat antar ruang harus fleksibel dan tidak
permanen agar mampu memenuhi kebutuhan penyewa. Dalam perancangan
kantor sewa, tata ruang dan kebutuhan ruang sangat bergantung dari instasi
yang menyewa kantor tersebut. Oleh karena itu, pada umumnya kantor sewa
menawaran modul-modul ruang pada konsumen sehingga konsumen dapat
memilih sesuai kebutuhannya.
b. Kebisingan
c. Akustika
47
Daerah lantai harus diberi karpet untuk menyerap bunyi dan
menghindari bising langkah kaki. Karpet harus tebal dan dipasang di lapisan
bawah (underlay) yang elastis.
Langit-langit harus dilapisis dengan bahan penyerap bunyi
dengan koefisien serap yang baik.
Luas total dari kaca jendela tidak boleh melebihi 40% luas
tembok luar, dipandang dari ruang kantor bagian dalam. Tirai penyerap bunyi
harus digunakan di sepanjang bukaan dinding.
Seluruh permukaan dinding yang mengelilingi ruang kantor harus
dilapisi karpet dengan daya serap bunyi yang tinggi.
Pembagian ruang atau peletakan partisi sebagai pemisah visual
harus dilapisi dengan bahan penyerap bunyi untuk menghindari penyebaran
gelombang bunyi berfrekuensi rendah.
Distribusi peralatan kantor yang menimbulkan kebisingan (mesik
tik, telepon, printer, dan lain-lain) harus serata mungkin di semua ruang kantor.
Perlengkapan kantor yang tidak berhubungan secara langsung
dengan pekerjaan kantor (genset, mesin photocopy, dan lain-lain) yang
menimbulkan kebisingan harus diletakan dalam ruang tertentu serta terpisah
secara visual pada bagian yang tersisa dari kantor.
Tanaman dan bunga di dalam ruang kantor dapat memberikan
pengaruh menenangkan secara psiko-akustik.
d. Pencahayaan
Indeks Silau
Sering dan Rutin 16
48
Rutin 19
Rutin untuk waktu yang 22
singkat
Tidak rutin 25
Sirkulasi 28
Sumber: Data Arsitek Jilid 1, halaman 17
Kegiatan pada ruang kantor sewa yang cenderung sering memiliki indeks
silau maksimal 19. Agar nilai maksimum itu dapat terwujud, kebutuhan
pencahayaan juga merupakan hal yang wajib untuk diperhatikan. Berikut adalah
pencahayaan yang dibutuhkan raung menurur kegiatannya:
Fungsi Kebutuhan
Pencahayaan
Lux Foot
Candle
Sirkulasi 150 13,935
Pekerjaan dalam waktu singkat 200 18,581
Pekerjaan rutin (orang muda) 300 27,871
Pekerjaan ruting lainnya (perkantoran) 500 46,451
Pekerjaan khusus (ruang gamber) 750 69,677
Pekerjaan halus (penenun kain) 1000 92,903
Pekerjaan sangat halus (pengukir) 15000 139,355
Pekerjaan lebih halus lagi (pemeriksa hasil 35000 278,709
rakitan)
Sumber: Data Arsitek Jilid 1, halaman 17
e. Penghawaan
49
penggunaan AC sangat berpengaruh pada kesehatan dari pengguna gedung.
Oleh karena itu, ruang kantor diharapkan mampu memiliki bukaan agar
memungkinkan terjadinya pertukaran udara secara berkala.
BAB 3
TINJAUAN
KHUSUS
PROYEK
Judul Proyek
50
Hubungan Tema Dengan Proyek
berikut;
51
untuk mendemonstrasikan suatu kualitas tertentu terutama dari segi
kemajuan teknologi dan juga kebebasan dalam mengekspresikan
suatu gaya arsitektur, berusaha menciptakan suatu keadaan yang
nyata-terpisah dari suatu komunitas yang tidak seragam.”
perang dunia.” 25
52
modern. Secara garis besar arsitektur kontemporer memiliki aspek
kekinian yang tidak terikat oleh beberapa konsep konvensional. Menurut
Gunawan, E. indikasi sebauh arsitektur disebut sebagai arsitektur
kontemporer meliputi 4 aspek,
yaitu:
6. Kenyamanan Hakiki
53
No Prinsip Arsitektur Kontemporer Strategi Pencapaian
1 Gubahan yang ekspresif dan Gubahan massa tidak berbentuk formal (kotak)
dinamis tetapi dapat memadukan beberapa bentuk dasar
sehingga memberikan kesan ekspresif dan
dinamis
2 Konsep ruang terkesan terbuka Penggunaan dinding dari kaca, antara ruang dan
koridor (dalam bangunan) dan optimalisasi
bukaan sehingga memberikan kesan bangunan
terbuka dan tidak masiv
3 Harmonisasi Ruang Luar dan Penerapan courtyard sehingga memberikan
dalam suasana ruang terbuka di dalam bangunan
antar lantai.
54
6 Eksplorasi Elemen Lansekap Mempertahankan vegetasi yang kiranya dapat
dipertahankan yang tidak mengganggu sirkulasi
diluar maupun dalam site.
1. Faktor penentu :
v. Fungsi bangunan
2. Pertimbangan – pertimbangan :
55
ketinggian air tanah.
ii. Beban dari struktur atas, kekakuan
dan kekuatan bangunan dari gaya
lateral.
iii. Pemeliharaan gedung serta metode
kerja pelaksanaan di lapangan.
iv. Fleksibilitas dan efisiensi ruang
yang dapat
mendukung kegiatan
didalamnya.
Sub structure / struktur bawah yang langsung
berhubungan dengan tanah yang berfungsi
menyalurkan beban mati dan beban hidup secara
merata ke atas lapisan tanah keras. Sedangkan
upper structure / struktur atas yang berfungsi
menyalurkan beban atau gaya dari plat lantai ke
balok dan disalurkan menuju kolom struktur
kemudian disalurkan menuju pondasi.
56
arsitektur tanpa arsitek. Perdebatan mengenai pengertian atau definisi
arsitektur vernakular diawali oleh Rapoport dalam bukunya “House Form
and Culture” tahun 1969. Perdebatan ini terus berlangsung hingga tahun
1990, ketika Rapoport menulis artikel berjudul “Defining Vernacular
Design” dan sampai saat ini diperkirakan perdebatan itu belum
memperoleh hasil yang memuaskan. Namun demikian, pengertian ini
masih sebatas „kategorisasi‟ dalam ranah arsitektur dan baru pada tahun
1970-an hal-hal menyangkut vernakular ini mulai dipertimbangkan sebagai
bagian dalam desain arsitektur meskipun terdapat banyak sekali sudut
pandang dalam “melihat” hakikat vernakular ini.
57
taksonomi ini, Rapoport kemudian membedakan bangunan vernakular
atas “pre-industrial vernacular” dan “modern vernacular”. Kategori yang
pertama lebih menunjuk pada buah evolusi bangunan primitif, sementara
yang kedua lebih berasosiasi pada komunitas masyarakat yang
melatarbelakangi kehadiran bangunan vernacular tersebut.
58
(Oliver,1993).
c. Arsitektur yang tanpa dirancang bangun oleh pengrajin, tanpa peran seorang
arsitek professional, dengan teknik dan material lokal, lingkungan lokal : iklim,
tradisi ekonomi (Rudofsky,1965)
d. Bentuk bangunan vernakular bersifat kasar, asli lokal, jarang menerima
inovasi dari luar, karena didasarkan pada kebutuhan manusia dan
ketersediaan material bangunan setempat. Sehingga fisik dan kualitas
estetika, bentuk dan struktur serta tipologi bangunannnya dipengaruhi oleh
kondisi geografi (Masner,1993).
e. Bangunan vernakular bersifat abadi yaitu memiliki keberlakuan yang
panjang, konstan/terus menerus yang diperoleh dari reaksi
naluriah/spontan/tidak sadar diri terhadap kondisi lingkungan alam setempat
(Jackson,1984).
f. Arsitektur vernakular adalah produk budaya pertukangan secara manual
dalam membangun yang didasarkan pada logika sederhana, diulang dalam
jumlah terbatas sebagai adaptasi terhadap iklim, bahan, dan adat istiadat
setempat.
g. Pola transfer pengetahuan dilakukan secara verbal (tidak tertulis) dari
generasi ke generasi berikutnya individu-individu dibimbing oleh suatu
rangkaian konvensi (aturan tidak tertulis), yang dibangun dalam lokalitasnya
(Oliver,1993)
Pengertian Vernakular sering juga disamakan dengan arsitektur
tradisional, namun ada sedikit perbedaan, tidak terlalu mencolok sehingga
dua pengertian tersebut serupa namun tidak sama. Pada prinsipnya
terminologi tradisional diartikan sebagai sesuatu yang dilakukan secara
turun temurun dari generasi ke generasi. Namun, arsitektur tradisional
dapat juga mencakup bangunan yang mencakup rancang bangun
kelompok elit dalam suatu masyarakat misalnya kuil dan istana, candi,
piramid, pagoda. Arsitektur vernakular merujuk pada konteks setempat
(lokal) sedangkan bangunan tradisional selain unsur lokal namun juga
terdapat unsur arsitektur elit, dicirikan oleh unsur-unsur langgam (gaya)
yang sengaja dimasukkkan oleh seorang arsitek professional untuk tujuan
estetik yang melampaui kebutuhan fungsional sebuah bangunan.
Arsitektur yang dirancang oleh arsitek profesional biasanya tidak dianggap
59
vernakular. Proses yang secara sadar dalam merancang bangunan
membuatnya tidak vernakular (Oliver,1993). Ketidaksadaran, proses tidak
sadar diri dalam kreasi bentuk bangunan adalah karakter kunci dari
vernakular.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan berbagai
paradigmanya maka dalam beberapa referensi yang ada, term vernacular
lebih dipahami untuk menyebutkan adanya hubungan dengan “lokalitas”.
Pengertian arsitektur vernakular juga dapat ditinjau dari karakteristiknya.
Menurut Salura (2010) arsitektur vernakular yang selalu ada di seluruh
belahan dunia relatif memiliki tipe yang serupa dan tema-tema lokal yang
sangat spesifik. Pendapat ini mendukung pendapat Oliver (1997) yang
menyatakan bahwa unsur-unsur kunci yang menunjukkan indikasi sebuah
Arsitektur Vernakular adalah :
a. traditional self-built and community-built buildings,
60
dipengaruhi aspek sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat setempat.
Pandangannya ini berasal dari rangkuman pandangan ahli-ahli lain yang
pernah membahasnya secara terpisah. Faktor iklim lokal (climatic factor)
terinspirasi oleh Koenigsberger dalam bukunya yang terbit tahun 1974.
Faktor teknik dan material lokal mendapat inspirasi dari Spence dan Cook
dalam bukunya (terbit tahun 1983) yang membahas pengaruh material
dan teknik lokal pada karya arsitektur vernakular. Pengaruh faktor sosial
dan budaya mendapat inspirasi dari Rapoport (terbit tahun 1969) yang
membahas secara khusus tentang faktor sosial dan budaya dalam
arsitektur vernakular.
Berdasarkan seluruh uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
secara umum arsitektur vernakular memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. Diciptakan masyarakat tanpa bantuan tenaga ahli / arsitek profesional
melainkan dengan tenaga ahli lokal / setempat.
61
a. Ranah. Ranah adalah 1) bidang disiplin, 2) elemen atau unsur yang dibatasi.
62
Gambar 1. Konsep Arsitektur Vernakular
sumber : Mentayani dan Ikaputra, 2011
63
Unsur Arsitektur Vernakular
Arsitektur umumnya dipahami sebagai artefak (fisik) yang memiliki makna berdasar nilai-nilai
masyarakat sehingga dapat “diterima” oleh masyarakat yang membangunnya. Menurut Rapoport
(1979), arsitektur merupakan bentuk konstruksi (pembangunan) yang mampu mengubah
lingkungan fisik (physical environment) berdasar tatanan yang dilandasi oleh tata nilai (yang
menjadi tujuan) yang dipilih oleh manusia, baik individu maupun kelompok/masyarakat. Pernyataan
ini mengandung pengertian bahwa tujuan atau tata nilai yang melandasi pengubahan lingkungan
fisik merupakan faktor penting dalam arsitektur. Selain itu, arsitektur juga merupakan hasil
pengolahan (terutama) faktor-faktor sosial budaya (abstrak). Berdasarkan penjelasan di atas maka
dalam konsep arsitektur vernakular yang dirumuskan, terdapat 2 ranah yang saling berkaitan dan
tidak dapat dipisahkan, yaitu: fisik dan abstrak. Ranah arsitektur vernakular adalah ranah fisik
(lingkungan, teknik bangunan, proses produksi, dll) dan ranah abstrak (budaya tanda, tata nilai,
fungsi, dll). Ranah fisik berupa area kajian yang membahas unsur dan aspek-aspek yang dapat
dilihat secara nyata atau tangible. Sedangkan ranah abstrak adalah area kajian yang membahas
unsur dan aspek-aspek yang bersifat intangible (tidak terlihat) namun dapat dirasakan, biasanya
memiliki pesan, makna atau ekspresi yang tersirat.
Dalam kehidupan sehari-hari, ranah fisik maupun abstrak terungkap melalui bentukan form)
dan makna dari sebuah arsitektur vernakular.
a. Unsur Bentuk Pada Ranah Fisik.
Dalam konsep arsitektur vernakular ini, aspek-aspek vernakularitas dapat dibagi atas 3,
yaitu: (1) teknis, (2) budaya, dan (3) lingkungan. Ketiga aspek vernakularitas ini dapat berada pada
ke-2 sisi ranah dan unsur sekaligus.
a. Aspek Teknis pada kedua ranah dan unsur
Komponen teknik merupakan komponen yang menyebabkan arsitektur dapat berdiri dan
terwujud dengan kekuatan, keawetan, dan fasilitas yang semestinya. Komponen ini
merupakan sebuah “sentuhan” akhir dalam proses perancangan dan pembangunan, namun
merupakan komponen yang penting karena tanpa adanya teknik dan teknologi, arsitektur tidak
dapat terwujud dan berfungsi (karena tidak pernah berdiri). Unsur keteknikan dalam bidang ilmu
arsitektur biasa disebut dengan ilmu tektonika. Istilah tektonik berasal dari kata Yunani yang
merujuk pelaksana pembangunan atau tukang kayu (Peschken, 1999). Dari pemikiran Karl
Freidrich Schinkel (1781-1841), tektonik merupakan ekspresi arsitektural yang muncul sebagai
konsekuensi prinsip mekanika yang teraplikasi dalam bangunan (Peschken, 1999).
Menurut Sekler (1973), tektonik merupakan sifat ekspresi yang terungkap akibat
resistansi statistika wujud konstruksi yang ada, sehingga ekspresi yang dihasilkan tidak hanya
sekadar dipahami dalam lingkup struktur dan konstruksinya saja. Dari pernyataan-pernyataan di
atas, tektonika dapat dipahami sebagai wujud keterkaitan Antara material, konstruksi, bentuk,
dan ekspresi pada obyek arsitektur. Dengan kata lain, dipahami sebagai piranti dasar untuk
menghasilkan ekspresi arsitektural (dampak rangkaian elemen konstruksi yang timbul) dan
meletakkan dasar pemahaman tersebut sebagai upaya untuk mengeksplorasi bentuk arsitektur
pada umumnya dan arsitektur vernakular pada khususnya.
Menurut Papanek (1995), keteknikan/teknis/metoda adalah menyangkut perpaduan
antara alat, proses dan bahan. Pengertian metoda/teknis meliputi teknologi dan hasil
teknologinya. Teknologi berupa ilmu gaya dan ilmu bangunan, khususnya pengetahuan
mengenai bahan bangunan dan cara penggunaannya. Sedangkan hasil teknologi berupa
bahan-bahan kayu bangunan, alat-alat untuk mengolah dan menggunakan bahan-bahan
tersebut. Teknologi ini digunakan untuk lebih mempermudah manusia memenuhi kebutuhannya
dan mewujudkan kebutuhan tadi dari bentuk abstrak menjadi bentuk nyata, yaitu arsitektur.
Masner (1993) memberikan definisi bahwa bangunan yang betul-betul vernakular ialah
bangunan yang didirikan dari material setempat yang tersedia di lokasi itu. Sedangkan
pengaruh gaya (style) atau penggunaan, apakah bangunan itu kandang kuda (stable), cottage,
atau bangunan tempat menggiling gandum menjadi tepung yang mesin gilingnya digerakkan
dengan air (watermill), tidak bisa dijadikan penentu apakah suatu bangunan vernakular atau
bukan. Masner juga mengatakan bahwa ciri bangunan vernakular ialah kebutuhan manusia
(human demand) yang menginspirasi tipe bangunan yang berpengaruh terhadap bentuk dan
strukturnya. Sedangkan ketersediaan material bangunan setempat merupakan ciri selanjutnya.
Masner juga mengatakan bahwa makna vernakular pada bangunan harus diasumsikan untuk
mendeskripsikan bangunan lokal atau setempat (indigenous, native, dan vernacular adalah
sinonimnya) pada area geografis tertentu.
Menurut Turan (1990) dalam buku Vernacular Architecture, arsitektur vernakular adalah
arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari arsitektur rakyat yang lahir dari masyarakat etnik
dan berjangkar pada tradisi etnik, serta dibangun oleh tukang berdasarkan pengalaman (trial
and error), menggunakan teknik dan material lokal serta merupakan jawaban atas setting
lingkungan tempat bangunan tersebut berada dan selalu membuka diri untuk terjadinya
transformasi. Jika dirincikan secara mendetail maka unsur teknis pada arsitektur vernakular
adalah unsur-unsur yang dapat dilihat secara fisik seperti struktur, konstruksi, material dan
bahan serta proses pengerjaannya.Unsur teknis mempengaruhi dalam pembentukan sebuah
“bentuk” bangunan.
Salah satu ciri arsitektur vernakular adalah menggunakan bahan yang alami dan teknik
konstruksi yang sederhana dengan cara menyusun tiang dan balok. Penyatuan semua bagian
bangunan dilakukan dengan cara membentuk dan menyambung bagian kayu dengan beberapa
alat khusus sederhana seperti kampak, gergaji, pahat, golok (parang). Untuk kemudahan
pemasangan, seringkali tiang dan balok disambung ditanah sebelum diletakkan di atas batu
pondasi. Penyusunan tiang dan balok pada prinsipnya tidak menggunakan paku, tapi
menggunakan sambungan lubang dengan pasak, sambungan paku dan sambungan takik.
Susunan tiang-tiang tersebut bersandardi atas batu pondasi dengan stabilitas didapat dari rel-rel
melintang yang masuk ke lubang yang dibuat didalam tiang.
b. Aspek Budaya pada kedua ranah dan unsur saat ini, sebagian besar kajian terkait hunian (vernakular)
yang ada menggunakan pendekatan keilmuan antropologi dan teori kebudayaan. Menurut Rapoport
(1969), budaya adalah keseluruhan ide, adat kebiasaan dan kegiatan yang secara konvensional
dilakukan oleh masyarakat. Bentuk rumah tidak hanya hasil dari kekuatan fisik atau satu faktor
penyebab, tetapi konsekuensi dari keseluruhan faktor sosial budaya. Selain itu juga merupakan
modifikasi dari kondisi iklim, metoda konstruksi, penggunaan material dan teknologi. Faktor utama
adalah sosial budaya sedang yang lain merupakan faktor kedua. Menurut Zevi (1957 dalam Arya
Ronald, 1992), yang terkait dengan proses analisis arsitektur adalah: faktor sosial (kondisi ekonomi
negara dan sponsor individu, pandangan hidup, dan hubungan sosial), faktor intelektual (impian, mithos,
agama/ kepercayaan dan inspirasi), faktor teknik (kemajuan ilmu pengetahuan yang diaplikasikan pada
hasil kerajinan dan industri) dan idealisme formal serta keindahan. Arsitektur yang berupa bentukan luar
merupakan hasil dari ekspresi dalam yang berupa sosial budaya, perilaku dan sistem nilai.
Dalam konteks perwujudan bentuk arsitektur vernakular diupayakan tampil sebagai
ekspresi budaya masyarakat setempat, bukan saja yang menyangkut fisik bangunannya, tetapi
juga semangat dan jiwa yang terkandung di dalamnya. Hal ini memperjelas bahwa betapa
pentingnya rumah bagi manusia, dan mereka masih mengikuti aturan-aturan yang berlaku serta
pola-pola yang telah diikuti sejak jaman dulu. Patokan tersebut karena dipakai berulang-ulang,
akhirnya menjadi sesuatu yang baku, seperti patokan terhadap tata ruang, patokan terhadap
pola massa, atau patokan terhadap bentuk, struktur bangunan, maupun ornamennya.
c. Aspek Lingkungan pada kedua ranah dan unsur.
Kajian arsitektur vernakular sangat erat kaitannya dengan lingkungan dan budaya
dimana manusia lahir, tumbuh dan berkembang. Oliver (1987; 1997) menjelaskan beragamnya
tipe hunian (dwelling) di berbagai tempat karena perbedaan budaya dan lingkungan alam
masyarakat pembangunnya. Sementara itu, Rapoport (2006) mengidentifikasi sekurangnya
terdapat 1.278 lingkungan buatan (built environment) yang berbeda karena perbedaan
lingkungan alamnya. Identifikasi yang dilakukan oleh Rapoport diperoleh dari Encyclopedia of
Vernakular Architecture of the Word (Oliver [ed], 1997) yang merupakan salah satu karya yang
menandai diakuinya keberadaan arsitektur vernakular serta perlunya kajian tentang arsitektur
vernakular yang tersebar di berbagai belahan dunia.
Menurut Papanek (1995), arsitektur vernakular merupakan pengembangan dari arsitektur
rakyat yang memiliki nilai ekologis, arsitektonis dan alami karena mengacu pada kondisi alam
budaya dan masyarakat lingkungannya (Papanek, 1995). Sementara menurut Oliver (1997),
dalam arsitektur vernakular terdapat saling pengaruh antara unsur alam/lingkungan dengan
budaya masyarakatnya. Dalam pembentukan setting lingkungan terdapat beberapa unsur yang
dapat dijadikan pendekatan, antara lain:
1) Climate : kutub and semi kutub, berkaitan dengan benua, gurun, kelautan, laut Tengah, Tropis, sub
tropis.
2) Location and Site : perladangan, pantai, padang pasir, hutan, padang rumput, dataran rendah,
kelautan, lereng, dataran tinggi, lembah.
3) Natural Disaster : gempa bumi, banjir, longsor, salju, topan tropis,
BAB 4
ANALISA
i. Aksesbilitas
Lokasi Tapak
Lokasi tapak yang hendak dijadikan untuk perancangan tugas ini berlokasi
di Jl. Mangu, Kecamatan Palu Utara, Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Analisis luas bangunan atau optimasi KDB – KLB
Informasi Tapak
Lokasi tapak yang berada dalam 2 sisi jalan utama yang dapat dilalui
oleh kendaraan mobil dan motor. Jalan ini merupakan jalan utama
dengan lebar 18 meter dan dapat dilalui dari dua arah, hal ini
mempunyai segi positif karena sirkulasi menuju ke lokasi site menjadi
jelas dan mudah dicapai.
Orientasi Tapak
Konsep Tapak
Sistem Struktur
Struktur rangka menggunakan sistem plate and slab atau plat dan balok
dari beton bertulang, serta didukung oleh dinding yang berfungsi sebagai
struktur yaitu core wall.
3. Struktur atas :
Sistem Utilitas
Pencahayaan :
Pengudaraan :
Sistem pengkondisian udara dengan sistem atrium pada hall di area pusat
perbelanjaan serta jendela, grill – grill di ruang pompa, mesin genset, ruang
panel – panel utama.
Pengudaraan buatan dengan menggunakan AC VRV ( variabel reducing
valve ) untuk ruang hunian dan pusat perbelanjaan, serta ruang lobby mal
dan hotel.
Pencegahan Kebakaran :
Salah satu sistem yang hendak diterapkan pada proyek mix use ini
dengan menggunakan sistem :
Aktif :
Pasif :
Plumbing :
Telekomunikasi :
Penangkal Petir :
Daftar Pustaka :