Anda di halaman 1dari 16

ALAM DAN MANUSIA

“SEBUAH KESATUAN YANG DIPISAHKAN WACANA”


Oleh: Banu Prasetyo1
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
bp.signora@gmail.com

ABSTRAK
Kemajuan peradaban manusia yang bertautan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan. Era revolusi industri 4.0 yang sebenarnya memiliki semangat
untuk mendorong manusia agar lebih memahami alam justru semakin
memisahkan manusia dari ekosistem sendiri. Akibatnya, hubungan manusia
dan alam seolah terpisah satu sama lain, padahal mereka hidup dalam satu
kesatuan. Di sisi lain, agama yang sering kali menjadi pandangan hidup juga
tidak memberikan pengetahuan tentang kesatuan antara manusia dan alam.
Persoalan inilah yang kemudian coba diselesaikan oleh budaya Jawa dengan
menawarkan pandangan filosofi memayu mayuning bawana yang berusaha
untuk menyatukan kembali kesatuan antara manusia dan alam.

Kata kunci: ilmu, agama, lingkungan, filosofi Jawa

ABSTRACT
Human civilization progress is linked to the development of science. The era
of revolutionary industry 4.0 has a passion to encourage people to better
understand the higher realms of humanity from the ecosystem itself, but in
reality condition, human relationships and nature as separate from each
other, when they live in one unity. On the other hand, a religion that turns
into a worldview also does not give the spirit of the unity of man and nature.
This issue can be applied by the Javanese culture by offering a philosophy of
the memayu hayuning bawana philosophy that seeks to reunite the unity
between man and nature.

Keywords: sains, religion, ecosystem, Javanese philosophy


1
Dosen Sosial Humaniora Institut Teknologi Sepuluh Nopember
PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan
Perkembangan paradigma eko- teknologi, manusia kemudian melupa-
logi dari tinjauan sosio-historis bermula kan nilai-nilai lokal. Hal ini dapat dilihat
pada penekanan pemahaman lokal, lalu dari eksploitasi alam dengan dalih
bermuara kepada modernisme industri. perkambangan iptek semata. Inilah yang
Dahulu, mungkin ekologi hanya dipa- sebenarnya menjadi tugas dari filsafat
hami sebagai masalah interaksi tentang alam maupun kajian ekologi. Menurut
alam dan manusia. Manusia hanya Schlick (2001:1) pada abad XX, filsafat
menggunakan alam sebagai alat peme- alam mendapatkan nilainya kembali,
nuhan kebutuhan. Proses pengelolaan sebagai akibat dari kemajuan ilmu alam
akan hasil alam masih sangat sederhana. yang tak terkendali.
Belum terbesit dalam pemikiran manu- Pernyataan Schlick (2001) me-
sia untuk menjaga kelangsungan pere- nyiratkan suatu paradigma bahwa ke-
majaan alam. Hanya pemahaman mitos, majuan ilmu-ilmu alam haruslah diseim-
seperti memberikan sesembahan untuk bangkan dengan keamajuan moral agar
dewa-dewa berupa hasil alam. Di Bali perkembangan ilmu dan teknologi
yang mayoritas beragama Hindu, ma- (IPTEK) tidak melulu burujung pada
syarakatnya memberikan penghargaan kerusakan lingkungan. Jadi, jurang pe-
terhadap alam sekitar dengan merawat misah yang besar terlihat jelas antara
pohon dan memberikan sarung kepada sains, kemanusiaan, dan lingkungan.
pohon yang dianggap suci. Kegiatan itu Keadaan tersebut membuat peperangan
menunjukkan bahwa masyarakat Bali global saat ini bukan lagi bermotif
telah memiliki perhatian lebih terhadap ideologi, agama, atau penguasaan teri-
kajian ekologi, jauh sebelum kekhawa- tori, namun telah bergeser menjadi tan-
tiran para ilmuwan saat ini. Kajian tangan pemenuhan food, water, dan
ekologi itu tertuang lewat paradigma energy (few). Di tengah upaya manusia
Hindu yang selalu mengedepankan ke- untuk memenuhi tantangan sumber daya
seimbangan, yakni keseimbangan terha- alam tersebut, maka pola berpikir de-
dap Sang Hyang Widhi, sesama manu- ngan menempatkan alam hanya sebagai
sia, dan alam. objek yang terpisah dari diri manusia
tidak lagi dapat diterima karena pema- atas ternak dan seluruh bumi dan atas
haman ini hanya akan membawa segala binatang yang merayap di bumi.”
manusia pada kerusakan ekosistemnya Paradigma itu kemudian membawa ma-
sendiri. nusia sebagai makhluk tunggal pengua-
sa alam. Alam seolah menjadi “pelayan”
AGAMA MENEMPATKAN manusia. Asumsi tersebut didapati keti-
MANUSIA SEBAGAI PENGUASA ka Thomas Aquinas (dalam McDaniel
ALAM dalam Tucker, 2003:84) menyatakan
Eksploitasi alam tak lepas dari bahwa tujuan semua ciptaan terutama
pemahaman agama, terutama agama hanyalah kebahagiaan manusia (dan ma-
samawi. Agama sering kali, menempat- laikat) di surga bersama dengan Allah.
kan manusia sebagai penguasa alam. Pernyataan Aquinas dan Alkitab
Tentunya, tidak semua agama akan merupakan konsep kuasa manusia atas
dikaji dalam penulisan ini. Dalam hal ini alam. Penulis mengambil arti kuasa dari
penulis akan mengambil dua perspektif terminologi Alkitab. Alkitab (McDaniel
keagamaan yang terbesar di dunia untuk dalam Tucker, 2003:84) menyebut kata
mewakili pandangan agama samawi kuasa (rada) berarti pemerintahan atau
terhadap alam semesta. Dua agama penguasa. Arti kuasa pun, banyak pihak
tersebut adalah Islam dan Kristen, yang yang mendebatkannya. Gerhard Von
pertama akan dijelaskan menurut Rad dalam (McDaniel dalam Tucker,
pandangan dari sisi perspektif agama 2003:84) percaya bahwa kuasa dalam
Kristen dan yang kedua dilanjutkan Kitab Kejadian mempunyai nada domi-
dengan menelaah pandangan Islam. nasi. Ia mencatat bahwa rada (kuasa)
Pandangan Kristen tentang alam mempunyai pengertian menginjak-injak,
disebutkan dalam Alkitab, yakni pada sebagaimana seseorang menginjak ang-
Kejadian 1:26 yang berbunyi “Berfir- gur yang diperas.
manlah Allah: baiklah Kita menjadikan Di sisi lain, James Barr (dalam
manusia menurut gambar dan rupa Kita, McDaniel dalam Tucker, 2003:84) per-
supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan caya bahwa kuasa menunjuk pada sema-
di laut dan burung-burung di udara dan cam pemerintahan yang baik, misalnya,
seperti Salomo melakukan pemerintahan sama. Dengan begitu, manusia ditem-
di kerajaannya. Lebih lanjut, menurut patkan sebagai warga biasa —tidak me-
Barr, kuasa yang dimiliki manusia atas nempatkan kuasa sebagai asumsi dasar
bumi harus analog dengan pemerintahan yang mengeksploitasi.
penguasa yang baik dan yang berusaha Pandangan lain yang menawar-
untuk melindungi serta menjaga alam- kan kekuasaan manusia terhadap alam
nya tercinta. terdapat dalam Islam, meskipun Islam
Pada zaman industri sekarang, tidak merinci penciptaan Allah hari per
manusia lebih memahami konsep kuasa hari. Jika dicari perbedaannya, maka
sebagai penguasa, bukan penjaga. Kon- pada masalah hari istirahat Allah yang
sep penjaga pun memiliki problema ditolak Islam. Perbedaan lain dari dari
tersendiri. Ketika kita memahami bahwa Alkitab adalah bahwa dalam Al-Qur’an
manusia sebagai penjaga, maka secara menolak manusia diciptakan dalam
logis manusia memberikan “jarak” gambar Allah. Seandainya begitu, ke-
kepada makhluk hidup lain. Hal itu agungan Allah akan dimerosotkan. Ini-
menciptakan ruang untuk manusia dal- lah nantinya yang akan menjadi perbe-
am mengkspoitasi alam. Seharusnya, daan prinsip pandangan Islam dan Kris-
penjagaan harus ditegaskan dengan ten. Dibandingkan dengan Kristen, kon-
pradigma bahwa penjaga sendiri meru- sep penciptaan dalam Islam sebenarnya
pakan ciptaaan di antara ciptaan, manu- telah memberi batasan “ke-kuasa-an”
sia berada dalam jaringan hidup yang manusia atas alam. Al-Bukhari (Timm
luas (McDaniel dalam Tucker, 2003: dalam Tucker, 2003: 87) menjelaskan
87). bahwa manusia diharapkan mampu un-
Dalam pemikiran yang sederha- tuk mengabdi dan tunduk kepada kehen-
na, McDaniel berusaha menjelaskan dak Allah. Salah satu cara bagi ciptaan
bahwa ada pergeseran makna mengenai Allah untuk melakukan hal ini adalah
kuasa. Ia menginginkan arti penjaga di- dengan memerangi kejahatan di dunia.
pahami sebagai ciptaan juga. Jadi, seo- Tekanan bahwa dengan mengabdi kepa-
rang penjaga juga merupakan ciptaan da Allah berarti membantu mempersiap-
Allah yang mempunyai kodrat yang kan bagi hari penghakiman menunjuk-
kan sekali lagi perspektif eskatologis iman. Dari kesemuanya manusia dihara-
dari Islam. pkan bersyukur atas kebaikan Allah. Hal
Hari penghakiman ini menunjuk- yang menarik dalam pemahaman motif
kan kedaulatan Allah atas manusia. devasional juga berlaku untuk non-
Kedaulatan Allah dianalogikan hakim manusia. Dalam beberapa kutipan Al-
dalam hari penghakiman. Di hari terse- Bukhari (Timm dalam Tucker, 2003),
but, Allah akan menguji seberapa layak “Semua yang berada di langit dan yang
—atau baik, peran manusia terhadap berada di bumi bertasbih kepada Allah.”
alam. Pada tingkatan yang lebih rendah, Ayat tersebut menegaskan bahwa semua
dunia dikatakan diciptakan untuk ber- makhluk —termasuk binatang— juga
manfaat bagi semua makhluk, bukan berkewajiban memuji Allah. Hal ini
hanya manusia (Tucker, 2003:106-108). juga dimaksudkan bahwa manusia me-
Kepercayaan mengenai penghakiman rupakan bagian dari semua itu. Ke-
kemudian memberikan motif Tuhan tegasan ayat jelas mengandung makna
pada manusia. Motif tersebut bernama ke-“kuasa”-an manusia dibatasi karena
motif devasional atau yang disebut manusia berkewajiban bergabung dan
sebagai motif religius. Motif devasional menyembah Allah.
adalah sebuah pemahaman akan maksud Gambaran penciptaan dalam
penciptaan Allah itu baik dan dengan Islam mungkin lebih bersifat tegas de-
tepat membangkitkan tanggapan dan ngan memberikan batasan kuasa manu-
pujian. Hal utama dalam motif deva- sia terhadap alam. Memang, batasan itu
sional ini, yakni menegaskan peran bersifat implisit, artinya perlu pembaca-
manusia sebagai wakil Allah. an kontekstual akan ayat-ayat Al-Qur’an
Manusia diharapkan menanggapi dalam hadis. Penegasan semacam itu
hal itu demi kehormatan Allah berupa kurang didapati dalam konten-konten
ibadah dan syukur. Anugerah sebagai Alkitab. Itulah ciri khas Islam, yakni
wakil merupakan ujian —suatu ujian detail menggambarkan aturan-aturan
untuk melihat apakah manusia menaati ketat dalam mengatur hubungan dengan
kehendak Allah di dalam sikap keren- Sang Pencipta, alam, dan manusia.
dahan hati, penyesalan, kesetiaan, dan Meski agama Islam telah menjelaskan
ide penciptaan secara tegas, namun Dengan asumsi, manusia tidak perlu
dalam beberapa bagian, terdapat ambigu repot menjaga lingkungan sekitar,
pada ranah praktis. Di satu sisi, Al- termasuk binatang, dan sebagainya jika
Qur’an berusaha “mengangkat” kuasa fokus utama dalam kehidupan religius
manusia terhadap bumi. Namun di sisi adalah firdaus. Setidaknya, kedua term
lain, alam semesta bersifat teleologis. tersebut bersifat ambigu (Timm dalam
Mungkin, inilah hal yang menguntung- Tucker 2003:109-111). Pemahaman ini
kan manusia. Kerap kali dalil ini digu- dengan jelas menunjukkan bahwa aga-
nakan manusia untuk menguasai alam ma yang dipahami hanya secara teks
—penguasaan yang dimaksudkan meru- meninggalkan masalah baru antara ma-
juk kepada eksploitasi manusia akan nusia dengan alam (konteks penciptaan).
alam. Untuk itulah, dalam hal ini diperlukan
Term tentang yang pertama ini sebuah penyegaran baru atas pema-
biasanya tertuang dalam agama-agama haman agama.
samawi, termasuk Kristen sebagaimana Pada titik tersebut, Ulil Abhsar-
dijelaskan sebelumnya. Ide akan pencip- Abdalla, dalam artikel berjudul Menye-
taan yang pertama atau term pertama ini garkan Kembali Pemahaman Islam
telah memiliki batasan terhadap kekua- yang dimuat di dalam Kompas 22
saan manusia. Pembatasan itu tertuang November 2002 menyatakan bahwa ada
dalam konsep Islam yang menempatkan bagian tertentu pada agama yang harus
manusia dan non-manusia untuk memu- disesuaikan dengan perkembangan za-
ja Allah. man. Dia menyatakan, “Saya meletak-
Seperti kebanyakan agama kan Islam pertama-tama sebagai sebuah
samawi lainnya, Islam juga mengusung ‘organisme’ yang hidup; sebuah agama
nilai-nilai religus yang bernada eskato- yang berkembang sesuai dengan denyut
logis. Nilai religius yang dimaksud nadi perkembangan manusia. Islam bu-
adalah tujuan manusia menuju surga. kan sebuah monumen mati yang dipahat
Inilah yang disebut sebagai term kedua. pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap
Agama yang mengandung nilai eskato- sebagai ’patung’ indah yang tak boleh
logis biasanya melalaikan lingkungan. disentuh tangan sejarah.”
Pemahaman tersebut membuat- ini justru mengakibatkan ilmu mengala-
nya memberikan “koreksi” terhadap Is- mi kemunduran. Inilah yang kemudian
lam dan perkembangan zaman. Peruba- menjadi koreksi cendikiawan muslim,
han tersebut misalnya bukan perkara seperti Kuntowijoyo. Kuntowijoyo ber-
menegakkan jilbab, mengurung kembali pendapat bahwa hubungan antara ilmu
perempuan, memelihara jenggot, me- dan agama (khususnya Islam) harus ber-
mendekkan ujung celana, dan tetek gerak pada ranah teks ke konteks
bengek masalah yang menurutnya amat (Thoib, 2013: 84). Artinya teks Al-
bersifat furu’iyyah. Keadilan itu tidak Qur’an dihadapkan pada realitas, bukan
bisa hanya dikhotbahkan, tetapi harus sebaliknya, dari konteks ke teks yang
diwujudkan dalam bentuk sistem dan kerap disebut islamisasi ilmu. Dengan
aturan main, undang-undang, dan seba- begitu, ilmu dan agama akan berkem-
gainya, dan diwujudkan dalam perbua- bang, seturut dengan realitas yang ada.
tan (Kompas, 2002). Dalam konteks Ia menambahkan ada dua metodologi
ekologi, sangat memungkinkan terjadi- yang dipakai dalam pendekatan ilmu
nya koreksi atas pemahaman manusia dan agama (Kuntowijoyo, 2006: 55-61).
sebagai wakil Tuhan. Penyebab tidak Metodologi tersebut antara lain sebagi
berkembangnya pemikiran agama ada- berikut.
lah dogmatisme, yakni sejenis keyakin- 1. Integrasi
Pengintegrasian kekayaan keilmuan
an yang tertutup bahwa suatu doktrin manusia dengan wahyu (Al-Qur’an
tertentu merupakan obat mujarab atas beserta pelaksanaan dalam sunnah
Nabi).
semua masalah, mengabaikan bahwa
2. Objektivitas
kehidupan manusia terus berkembang Menjadikan pengilmuan Islam sebagai
dengan perkembangan peradaban manu- rahmat untuk semua—tidak semuanya
diklaim hanya milik Islam, baik ilmu
sia dari dulu hingga sekarang. dan bidang yang lain.
Dogmatisme inilah yang perlu
Melalui pemahaman ini diharapkan,
dikoreksi agama, terutama dalam meng-
agama tidak menjadi asumsi dasar
hadapi masalah-masalah ekologis. Tidak
manusia untuk mengekspolitasi alam
melulu segala realitas pemahaman alam
(ide penciptaan). Seharusnya, pemaham-
diverifikasi pada teks-teks agama. Hal
an agama klasik ini dibenahi seturut per-
kembangan ilmu. Perlu pembacaan dan sebetulnya dasar dari ide penciptaan
pencerahaan ilmu bahwa alam bukan dalam agama, dan kerap kali manusia
lagi merupakan “pelayan” bagi manusia. salah kaprah mengartikannya, sehingga
Polemik antara agama dan pe- menempatkan manusia sebagai pengua-
mahaman ekologi sering kali terjadi, sa tunggal yang berimbas pada eksploi-
terutama dalam pemahaman agama tasi alam.
samawi, sebagaimana yang terjadi da- Alam merupakan sebuah misteri.
lam pemahaman Islam dan Kristen. Karena itu, untuk memahaminya dibu-
Berdasarkan persoalan tersebut pende- tuhkan pemahaman yang tepat. Di dunia
katan budaya ditawarkan sebagai pende- ini, setidaknya, tersedia beberapa pemi-
katan baru untuk mendamaikan persoal- kiran dalam upaya untuk memahami
an antara agama dan lingkungan. alam, di antaranya adalah perspektif
ilmu (sains) dan agama. Ilmu-ilmu
PENDEKATAN BUDAYA SEBAGAI tersebut (terutama ilmu alam) lebih
TAWARAN BARU EKOLOGI memandang dunia sebagai kenyataan
Sebagian besar agama samawi yang positif dengan didukung pembuk-
menempatkan alam sebagai sistem tian rasional-empiris. Kondisi tersebut
teleologis. Teleologis adalah studi ten- memang tidak lepas dari pengaruh
tang gejala-gejala yang memperlihatkan semangat pemikiran modern pada abad
kete-raturan, rancangan, tujuan, akhir, 16—19 yang berusaha membangkitkan
maksud, kecenderungan, sasaran, arah, subjektivitas rasio agar memisahkan
dan bagaimana hal-hal ini dicapai dalam dari totalitas pemikiran yang dibangun
suatu proses perkembangan. Studi ini oleh metafisika tradisional —kerap kali
mencapai doktrin bahwa tujuan, sebab memperbincangkan tema Allah, roh,
final, atau maksud harus dipahami seba- dan alam (Hardiman, 2004: 5-7). Meski
gai prinsip-prinsip penjelasan (Bagus, zaman modern membawa perkembang-
2000: 1085). Konsekuensi dari paham an yang signifikan terhadap ilmu
teleologis ini kerap mengantarkan pada pengetahuan, namun di sisi lain ke-
kepercayaan akan Sang Realitas utama bangkitan ilmu-ilmu tersebut ternyata
atau yang lazim disebut Tuhan. Inilah
masih menyisakan persoalan lingkungan revolusi industri 4.0 yang sedang ramai
di kemudian hari. dibicarakan membawa orientasi pendi-
Di sisi lain, pengaruh agama dikan tinggi untuk berlomba mengada-
membuat manusia memahami dunia kan inovasi teknologi dan peningkatan
sebagai sistem teleologis, yakni dunia kompetensi pendidik di dalamnya.
yang telah diatur dan memiliki suatu Langkah ini agaknya bertujuan baik,
sistem yang menuju finalitas tertentu. yakni memacu bangsa Indonesia agar
Hal ini bertolak belakang dengan ilmu. dapat bersaing pada era globalisai.
Agama tidak membutuhkan pembuktian Namun sayangnya, parameter yang di-
karena landasan epistemologisnya ada- gunakan hanyalah terbatas pada ukuran-
lah iman. Dua corak pemikiran inilah ukuran yang bersifat positivis, misalnya
yang menjadi persoalan ketika salah dorongan riset hanya didasarkan pada
satunya ini dianut secara ekstrem. Meski bidang ilmu-ilmu alam. Sementara itu,
antara agama dan ilmu memiliki landas- riset tentang sosial dan humaniora di-
an epistemologis yang berbeda, namun anggap kurang memberikan dampak
dalam hal memaknai hubungannya yang positif dalam era revolusi industri
dengan alam, keduanya sama-sama me- 4.0.
miliki kecenderungan untuk menempat- Upaya peningkatan teknologi de-
kan manusia dan alam sebagai realitas ngan standar ukuran-ukuran positivisme
yang terpisah: manusia sebagai subjek itu sayangnya tidak lagi diimbangi de-
dan alam sebagai objek. ngan semangat membangun pemahaman
Disadari atau tidak, pandangan manusia dalam kesatuannya dengan al-
semacam ini akan membawa manusia am. Hal itu didapati ketika masinya era
menempatkan alam hanya sebagai ma- industrialisasi yang sebenarnya memi-
teri yang mati. Kondisi itu dapat dilihat liki semangat untuk menyesuaikan diri
ketika pemerintah Indonesia yang dewa- dengan alam. Akan tetapi, yang terjadi
sa ini sedang gencar-gencarnya menge- adalah sebaliknya. Era industrialisasi
mbangkan ilmu pengetahuan. Kebetulan justru banyak melupakan persoalan
di saat yang bersamaan, semangat aga- lingkungan.
ma juga muncul di negara ini. Era
Padahal tema tentang lingkungan kat kedua sebagai negara pembuang
—terutama persoalan pemenuhan food, sampah plastik terbanyak ke laut setelah
water, energy, (few)— sudah menjadi Tiongkok. Lalu yang terakhir adalah
isu utama dunia pada saat ini. Pada tentang kontroversi pembangunan pa-
tahun 2007, organisasi Greenpeace brik semen di Kendeng, Rembang, Jawa
mencatat bahwa telah terjadi penggun- Tengah yang mengakibatkan kon-flik
dulan hutan seluas 51 kilometer persegi antara beberapa warga Kendeng dengan
setiap harinya, atau setara dengan luas pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
300 lapangan bola setiap jamnya. Data Beberapa fakta tentang kerusak-
Kementerian Lingkungan Hidup dan an lingkungan tersebut menunjukkan
Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa bahwa ada sesuatu yang salah dalam ca-
pada antara Juli 2016 —Juni 2017 ra berpikir manusia. Max Weber (dalam
terdapat deforestasi hutan sebesar Moehammad, 2010) menyatakan bahwa
497.000 hektar atau sebesar 64,3% dari sejak modernitas berkembang biak, ma-
jumlah hutan di Indonesia. Meskipun nusia hanya menggunakan “akal instru-
KLHK mengklaim terjadi penurunan mental” yang kemudian memperlakukan
dari tahun 2014 sebesar 73,6%, jumlah alam sebagai sesuatu yang bisa dipera-
ini masih tergolong cukup besar, lat, dengan hasil yang bisa diarahkan.
padahal Amerika yang merupakan nega- Akibatnya, dunia modern dan kerusakan
ra industri mampu menjaga deforestasi ekologi cepat bertaut. Manusia seraya
hutannya tidak lebih dari 200.000 hektar lepas dari alam dan hidup pada realitas
per tahunnya. lain. Keterasingan ini membuat hubung-
Persoalan lingkungan juga tidak an manusia dengan alam hanya menjadi
berhenti hingga di situ. Indonesia bah- subjek dan objek: manusia (subjek)
kan dikategorikan masuk ke dalam ne- yang menguasai alam (objek).
gara terkotor keempat di dunia menurut Laku kejawen yang berupa
hasil riset International Earth Science ritual-ritual mistik dirasa “menodai” ke-
Information Network. (Kompas, 2015.). sucian agama. Dalam Islam, hal itu dise-
Kondisi itu diperparah dengan kenyata- but syirik. Di Alkitab pun disebutkan,
an bahwa Indonesia menempati pering- “Janganlah ada padamu allah lain di
hadapan-Ku”. Seakan Tuhan diperso- azab, ia terjadi untuk tujuan tertentu.
nalkan sebagai pribadi yang pencem- Jika seperti ini, agama seolah menjadi
buru, tapi ada yang sebenarnya hilang sama dengan ilmu-ilmu yang menjelas-
ketika adat itu disingkirkan. Dengan kan dan menguasai alam dan membuat
demikian, agama-agama pun kehilangan manusia bersujud kepada Tuhan yang
kepekaannya kepada yang sesungguh- sebenarnya tak akrab (Moehammad,
nya mendasari iman kepekaan kepada 2010).
yang menggetarkan dari kehadiran Yang Di tengah kesalahpahaman epis-
Suci. temologis manusia dalam memahami
Hal ini terjadi karena epistemo- alam semesta itu, budaya Jawa kemu-
logi yang menjadi sumber pengetahuan dian menjadi tawaran jalan keluar.
dalam kedua bidang tersebut dicampur- Masyarakat Jawa selalu menganggap
adukan, yaitu memaknai agama mema- bahwa manusia dan alam merupakan
kai epistemologi ilmu, demikian juga satu kesatuan. Mereka yakin bahwa
sebaliknya. Oleh karenanya, meski dipa- alam semesta juga berada dalam dirinya.
hami bahwa keduanya bekerja pada Dirinya adalah gambaran alam semesta,
landasan epistemologis yang berbeda, karena apa saja terdapat dalam dirinya.
maka tujuannya pun berbeda. Ilmu Hal ini berarti manusia menjadi miniatur
bekerja pada wilayah empiris-rasional, alam semesta (Endraswara, 2003: 48).
sedangkan agama melibatkan iman dan Untuk itu, patut menyimak pendapat
kepercayaan. Ketika alam dipisahkan Schelling (dalam Hardiman, 2004:170)
dari Yang Suci (karena tak boleh di- yang menyatakan jika alam dimengerti
"sekutu"-kan), Tuhan pun berjarak. sebagai sistem teleologis, manusia tidak
Manusia hanya berhubungan dengan- melukiskannya sebagai mekanisme be-
Nya lewat hukum. Tuhan pun mudah laka, akan lebih tepat bila alam dilu-
ditebak, hukuman dan pahalanya dapat kiskan sebagai sebuah organisme yang
dikalkulasi. Maka tak heran jika ada hidup dan bergerak menuju finalitas.
bencana alam, mereka yang merasa bisa Alam sebagai sistem teleologis berarti
memperhitungkan maksud Tuhan den- membayangkan alam sebagai suatu
gan cepat bisa menjelaskan: bencana itu organisme yang lama-kelamaan mema-
hami dirinya sendiri, sebab demikianlah dari pengetahuan) maka manusia akan
yang terjadi dalam organisme dewasa jatuh ke dalam dosa. Konteks dari pe-
ini. Intinya, alam dipahami sebagai mahaman ini tentu saja bertujuan untuk
realitas yang dinamik, bukan sebagai mengingatkan agar manusia tidak serta
realitas mati. Maka konsekuensinya merta menggunakan ilmu pengetahuan
sistem pendekatan baru harus ada dan dengan tujuan merusak alam.
dibangun untuk memahami alam. Jadi, Untuk mengembalikan fungsi
pemahaman agama tentang alam pun manusia sebagai penjaga pada tempat-
seharusnya juga berubah. nya, budaya Jawa sebenarnya menawar-
Pemahaman yang dimaksud di- kan sebuah konsep tentang kedudukan
tujukan pada pemahaman bersifat sela- manusia dan lingkungan hidup. Konsep
ras, tidak hanya antroposentris, namun itu bernama memayu hayuning bawânâ.
merefleksikan alam sebagai satu sistem Dalam artian terminologi, ayu-hayu dan
kesatuan biosfer dengan manusia. Keti- rahayu menunjuk makna keselamatan
ka sebuah biosfer dipahami sebagai sis- memayu berarti membuat selamat.
tem, maka ada sebuah konsekuensi yang Sementara itu, bawânâ adalah istilah
ditimbulkan satu dengan yang lain lain untuk buana, dunia, atau jagad
(Magnis-Suseno, 1991: 229). Di sinilah (Nasruddin, 2008: 161).
sebenarnya titik vital manusia sebagai Filosofi memayu hayuning
makhluk yang berakal. Mungkin inilah. buwana, terkandung kewajiban tri satya
konsep manusia sebagai “penjaga” da- brata. Pertama, rahayuning bawana
lam kitab-kitab suci agama seharusnya kapurba waskitaning manungsa yang
dijalankan. Kenyataannya, justru manu- artinya kesejahteraan dunia tergantung
sia sebagai makhluk berakal tadi meng- manusia yang memiliki ketajaman rasa,
gunakan akalnya untuk merusak alam. menunjuk pada harmoni hubungan
Agama sebenarnya sudah mengingatkan antara manusia dengan alam, baik dalam
manusia melalui ajarannya —baik da- lingkup dunia sebagai kewajiban
lam Kristen maupun Islam— bahwa “hamengku bumi”, maupun lingkup
ketika manusia memakan “buah kuldi” yang lebih luas dalam seluruh alam
(buah pengetahuan atau sebagai analogi semesta (universe) sebagai kewajiban
“hamengku bawânâ”. Kedua, darma- wajib menjaga, merawat, dan mengem-
ning manungsa mahani rahayuning bangkan kelestariannya. Yang terakhir,
negara yang artinya tugas hidup manu- “hamengku bawânâ” merupakan kewa-
sia adalah menjaga keselamatan negara, jiban manusia yang lebih luas dalam
sebagai kewajiban manusia selama hi- mengakui, menjaga, dan memelihara
dup di dunia, yakni kehidupan merupa- seluruh isi alam semesta agar tetap
kan dinamika manusia, yaitu “hamengku memberikan sumber daya bagi kehi-
nagârâ”. Ketiga, rahayuning manungsa dupan manusia, seperti adanya bulan,
dumadi karana kamanungsane. Artinya matahari, dan planet-planet lain. Seperti
keselamatan manusia oleh keselamatan- kebanyakan dalam konsep Budaya Jawa
nya sendiri. Hal itu dapat dimengerti —yakni penekanan terhadap keseim-
jika filosofi hamemayu hayuning bangan baik itu alam, sesama manusia,
bawana merupakan sesuatu konsep dan Tuhan— maka konsep memayu
besar, dengan tiga substansi, yaitu: hayuning bawana juga diyakini bahwa
“hamengku nagârâ”, “hamengku hubungan manusia dan alam merupakan
bumi”, “hamengku buwânâ”. Kewajiban sebuah hubungan sakral, bukan sekadar
“hamengku nagârâ” itu karena Tuhan hubungan manusia dengan alam yang
menciptakan manusia yang berbeda- mati. Masyarakat Jawa pun percaya
beda, bergolong-golong, dan bersuku- bahwa alam juga hidup dan memberikan
suku, sehingga diperlukan adanya nega- respon tertentu terhadap konsekuensi
ra dan pemerintahan yang mengaturnya, atas simbiosis yang ditimbulkan.
agar tidak terjadi seling-selurup dan Alam —dalam budaya Jawa—
saling-silang antar manusia (Nasruddin, ada dua jenis pengertiaan: pertama,
2008: 162). jagad gedhe (alam yang luas) atau
Seluruh manusia wajib “ha- makrokosmos. Kedua, jagad cilik (alam
mengku bumi” karena bumi sebagai yang kecil) atau mikrokosmos. Secara
lingkungan alam telah memberikan umum, makrokosmos adalah kompleks
sumber penghidupan bagi manusia agar atau keseluruhan yang besar yang kon-
bisa melanjutkan keturunan dari gene- tras dengan bagian-bagiannnya yang
rasi ke generasi. Untuk itu, manusia kecil, yakni mikrokosmos (Bagus, 2000:
559). Dalam budaya Jawa, makrokos- sarungnya, sarung menyatu dengan
mos dan mikrokosmos dipahami secara kerisnya) yang berarti dua kesatuan
religius. Alam semesta atau jagad gedhe yang tak dapat dipisahkan: manusia
identik dengan jagading manungsa atau membutuhkan alam, atau sebaliknya.
jagad cilik yang harus diseimbangkan. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran
Keharmonisan dua alam hidup manusia Levi-Strauss (dalam Nasruddin, 2008:
ini akan menyebabkan ketentraman 262), ia meyakini bahwa manusia
hidup (Endraswara, 2003:48). bukanlah makhluk agresif terhadap alam
Makrokosmos dan mikrokosmos melainkan sebagai bagian dari alam;
di sini bukanlah sesuatu yang absurd. manusia sebenarnya bersahabat dengan
Contoh praktisnya adalah orang yang alam yang menetukan hidup dan
tinggal di lereng Gunung Merapi. pikirannya. Manusia bukanlah subjek
Merapi diposisikan sebagai makrokos- bebas, otonom, sadar Yang Maha
mos karena di dalam tubuh manusia ter- Kuasa, melainkan memainkan peranan
dapat unsur air, udara, dan api. Semen- sebagai sarana dalam proses pemekaran
tara itu, Gunung Merapi yang merupa- diri alam.
kan salah satu bagian dari lingkungan Melalui pendekatan yang diilha-
alam berlaku sebagai mikrokosmos. mi oleh budaya Jawa dengan mempo-
Terbentuklah hubungan erat antara sisikan alam semesta adalah harmoni,
manusia dengan alam. Keduanya tidak maka keseimbangan kosmis: alam, ma-
dapat dipisahkan. Manusia tidaklah nusia, dan Sang Pencipta perlahan akan
mungkin hidup tanpa alam, sebaliknya tercipta. Untuk mencapai keseimbangan
dunia tanpa manusia bukanlah dunia itu, mengutip Metzner (2003: 214-216)
manusia. Kemanunggalan alam dan se- bahwa pola-pola penyikapan manusia
mua makhluknya yang ada di dalam itu terhadap alam membawa pada “zaman
merupakan unsur pokok dalam pikiran industrial” yang selalu menempatkan
orang Jawa (Nasruddin, 2008:263). manusia sebagai penguasa alam. Seba-
Keadaan inilah yang kemudian gai imbasnya, alam dianggap sebagai
melahirkan konsep curiga manjing alat penyedia belaka. Oleh karena itu,
warangka (keris menyatu dengan paradigma pembangunan ilmu dan
agama harus diarahkan kepada zaman an ilmu dan agama tentang alam. Alam
ekologi yang menempatkan manusia da- sering kali hanya menjadi objek pemuas
lam bagian alam. Maka dari itu, manu- kebutuhan manusia melalui pembenaran
sia akan sadar bahwa alam bukan hanya agama dan ilmu. Kondisi ini dapat
tercipta sebagai mesin penyedia kebu- ditemui dalam era revolusi indsutrial-
tuhan semata. Dengan begitu, kerusakan isasi 4.0 ketika teknologi semakin maju,
lingkungan dapat dicegah karena telah namun ekosistem yang merupakan tem-
tercapai kesadaran bahwa manusia pat hidup manusia itu sendiri semakin
merupakan penjaga ekologi yang harus rusak.
bersimbiosis dengan alam. Kondisi Di tengah kondisi degradasi
inilah yang disebut dalam budaya Jawa lingkungan tersebut, maka dibutuhkan
dengan tata titi tentrem kerta raharja. kembali penyegaran pemahaman untuk
kembali merangkai kesatuan antara
PENUTUP manusia dengan alam. Salah satu jalan
Keterbatasan manusia dalam yang dapat ditempuh untuk mengusaha-
memaknai alam selalu dipengaruhi oleh kan kesatuan tersebut adalah penerapan
berbagai pandangan. Salah satu panda- kearifan lokal, yakni filosofi Jawa
ngan yang paling sering digunakan memayu hayuning bawana dengan me-
adalah ilmu dan agama. Tentu, tawaran nerapkannya pada paradigma pemba-
pemikiran yang disediakan baik ilmu ngunan ilmu pengetahuan yang dilan-
dan agama tidak akan mengubah pikiran daskan atas pengetahuan ekologis.
manusia yang selalu terbatas.
Keterbatasan itulah yang mem-
buat manusia salah memaknai pandang-

DAFTAR PUSTAKA

Abhsar-Abdalla, Ulil. 2002. “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”. Dimuat dalam


Kompas 22 November 2002.
Anshoriy-Nasrudin, H.M. 2008. “Kearifan Lingkungan dalam Perspektif Budaya
Jawa”. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.
Bagus, Lorens. 2000. “Kamus Filsafat”. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Endraswara, Suwardi. 2003. “Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme
dalam Budaya Spiritual Jawa”. Narasi: Yogyakarta.
Hardiman, Budi, F. 2004. “Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche”. PT.
Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Kompas. 6 Agustus 2018. Terkotor Keempat di Dunia, Mungkinkah Indonesia Bebas
Sampah. (Online) (https://properti.kompas.com. Diakses 5 Mei 2018 pukul
24.14 WIB)
Kuntowijoyo, 2006. “Islam Sebagai Ilmu”. Tiara Wacana: Yogyakarta.
Magnis-Suseno, Franz. 1991. “Berfilsafat dari Konteks”. PT. Gramedia Pustaka Utama:
Jakarta.
Mohamad, Goenawan. 2010. “Maridjan”. Dimuat dalam Tempo 8 November 2010.
Jakarta.
Skolomowski, Henryk. 2004. “Filsafat Lingkungan”. Diterjemahkan oleh Saut Pasaribu.
Dari judul asli: Eco-Philosophy: Desaign New Tactics for Living. Yogyakarta:
Bentang.
Thoib, Ismail dan Mukhlis. 2013. “Dari IslamisasI Ilmu Menuju Pengilmuan Islam”.
Jurnal Studi Keislaman.
Tucker, Mary Evelyn., John A Grim (ed). 2003. “Agama, Filsafat, dan Lingkungan
Hidup”. Diterjemahkan oleh P. Hardono Hadi. Dari Judul asli: Worldviews and
Ecology: Religion, Philosophy, and the Enviroment. Kanisius: Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai