Anda di halaman 1dari 9

TUGAS

WAWASAN KEMARITIMAN

NAMA : ERICHA MASITTA DEWI R

NIM : D1A120011

KELAS : B

JURUSAN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

2021
1.Review Konflik Tentang Batasan Wilayah Negara Indonesia Dengan Negara-Negara Lain
Dalam Kurun 20 Tahun Terakhir!

Jawab:

1.-Sengketa Perbatasan Antara Indonesia Dengan Vietnam Di Laut Natuna Utara.

Natuna adalah sebuah gugusan kepulauan di bagian paling utara Provinsi Kepulauan
Riau yang merupakan propinsi terluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan langsung
berbatasan dengan Singapura, Malaysia, dan Vietnam. Dengan total luas wilayah 141.901 km2
atau lebih tiga kali luas Provinsi Sumatera Barat. Tapi dari total luas kabupaten tersebut,
138.666 km2 (97,6%) merupakan lautan dan hanya 3.232,2 km (2,4%) saja berupa daratan dari
271 pulau besar dan kecil di kawasan itu. Pulau yang terbesar di Natuna adalah
Pulau,Bunguran, pulau-pulau lainnya lebih kecil di antaranya Pulau Jemaja, Pulau Serasan,
Pulau Midai, Pulau Bintang dan Pulau Sedanau di bagian Selatan, serta Pulau Laut di Utara yang
lebih dekat ke Vietnam daripada ke Batam. Sejarah Natuna tidak dapat dipisahkan dari sejarah
Kabupaten Kepulauan Riau yang pada awal kemerdekaan dulu merupakan bagian Provinsi
Sumatera Tengah yang berpusat di Bukittinggi.Wilayah Kepulauan Natuna dekat dengan zona
konflik yang kerap menimbulkan perhatian dari dunia internasional. Tak lain konflik yang
penulis maksud disini adalah sengketa Natuna Utara.

Saat ini Natuna menjadi salah satu daerah yang terkenal dengan penghasilan minyak
dan gas Indonesia. Berdasarkan laporan studi Kementrian Energi dan Sember Daya Mineral
(ESDM), cadangan minyak yang dimiliki Natuna mencapai 308,30 juta Barel. Sementara
cadangan gas buminya terbesar se-Indonesia yaitu, sebesar 54,78 triliun kaki kubik. Dana hasil
Migas menjadi sumber pendapatan utama bagi Natuna.Natuna juga memiliki sumber daya
perikanan laut yang mencapai dari 1 juta ton per tahun dengan total pemanfaatannya hanya
sekitar 36%. Sumber kekayaan dari Laut Natuna Utara menyebabkan negara Indonesia
mengalami konflik dengan beberapa negara salah satunya yaitu Vietnam.Konflik Indonesia dan
Vietnam telah berlangsung sejak tahun 1963 dengan dimulainya ketegangan di wilayah
Kalimantan Utara yang pada saat itu belum menjadi bagian dari Vietnam. Perairan Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) di kawasan Laut Natuna Utara, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan
Riau, hingga saat ini masih menjadi salah satu lokasi penangkapan ikan secara ilegal (illegal
fishing) di Indonesia. Lokasi tersebut disukai, karena posisinya yang sangat strategis dan
berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan yang berbatasan dengan sejumlah negara.
Dengan fakta tersebut, tidak heran jika Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sering kali
menangkap kapal ikan asing (KIA) yang sedang beroperasi di kawasan perairan tersebut.
Padahal, KIA sejak 2014 sudah tidak boleh lagi menangkap ikan di perairan Indonesia, atau
dengan kata lain sudah dinyatakan ilegal.

Kemudian, empat kapal asing yang berbendera Vietnam ditenggelamkan di Laut Natuna
Utara. Dari empat kapal tersebut, dua kapal Vietnam ditangkap oleh Kapal Patroli Hiu Macan
001 pada 14 Maret 2015,di perairan Natuna yang penyidikannya dilakukan oleh Pengawasan
Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Pontianak. Dua kapal Vietnam lainnya ditangkap
oleh Polisi Perairan Kepolisian Daerah Kalimantan Barat pada 27 Juni 2015 di perairan Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), sekitar perairan Natuna, yang penyidikannya dilakukan
juga oleh Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Pontianak.Di akhir bulan
April 2019, tepatnya pada tanggal 27 April 2019, Kapal Angkatan Laut Indonesia, KRI Tjiptadi-
381, terlibat insiden dengan dua Kapal Pengawas Perikanan Vietnam, KN 23 dan KN 264. Kedua
Kapal Pengawas Perikanan Vietnam itu bertugas untuk mengawal Kapal penangkap ikan
Vietnam, BD 979, yang ditengarai melakukan penangkapan ikan ilegal di wilayah ZEE di Laut
Natuna Utara. Kapal BD 979 tersebut berhasil ditangkap oleh KRI Tjiptadi381 dan kemudian
akan dibawa ke Pelabuhan Indonesia terdekat. Namun Sewaktu KRI Tjiptadi-381 menarik kapal
ikan BD 979 untuk dibawa ke pelabuhan Indonesia terdekat, kedua kapal pengawas ikan
Vietnam tersebut terekam oleh video telah melakukan provokasi termasuk dengan melakukan
manuver yang menabrak KRI Tjiptadi-381.Dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2016,
perundingan penetapan batas maritim Indonesia-Vietnam telah dilaksanakan sebanyak delapan
kali dansudah menyepakati prinsip berbasis Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS
1982).Posisi strategis Indonesia berpengaruh di kawasan Asia Tenggara, upaya Indonesia
dalam menyelesaikan masalah konflik kepemilikan Natuna Utara antara Indonesia dan Vietnam
banyak melakukan upaya mediasi terhadap sesama anggota ASEAN. Indonesia lebih gencar
untuk melakukan diplomasi kepada negara-negara yang terlibat secara langsung dalam konflik.
Indonesia harus tetap mengusahakan agar negara-negara pengklaim (claimant states)
menyelesaikan konflik dengan jalan damai dan tidak melakukan hal-hal yang memicu perang.

Salah satu upaya Indonesia yang dapat dikaitkan secara langsung dengan tindakan
antisipasi tersebut adalah upaya peningkatan fasilitas pangkalan udara yang dapat
mengakomodasi pesawat sukhoi Su-27 dan Su-30 agar dapat ditempatkan disana. Selain itu
Indonesia juga memodifikasi strategi pertahanannya dengan mengubah kawasan Natuna
sebagai salah satu kawasan pertahanan strategis ke dalam rencana Minimum Essential Forces
(MEF).

Menurut Pasal 13 Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia yang menyatakan bahwa “dalam rangka melaksanakan hak berdaulat dan
jurisdiksinya itu, aparatur penegak hukum dapat mengambil tindakan penegakan hukum sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana”. Oleh karena itu, untuk menjaga dan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam di ZEE
Indonesia itu, Indonesia harus mempunyai kekuatan armada laut yang dapat diandalkan,
sehingga kekayaan di zona itu tidak diambil oleh kapal-kapal asing.

Penyelesaian konflik sulit dicapai sebab negara mempunyai klaim mereka masing-
masing terhadap negara tersebut, dimana terjadinya perhimpitan klaim zona ekonomi ekslusif
antara Indonesia dan Vietnam, maka perlu peninjauan bagaimana semestinya wilayah Laut
Natuna Utara tersebut menurut UNCLOS 1982. Dimana menurut Pasal 74 UNCLOS mengenai
ZEE yang berhadapan atau berhimpitan yaitu Menurut Pasal 74 mengenai wilayah ZEE yang
berhadapan yaitu :

(1)Penetapan batas zona ekonomi ekslusif antara negara yang pantainya berhadapan atau
berdampingan harus diadakan dengan persetujuan dengan dasar hukum internasional,
sebagaimana ditetapkan dalam pasal 38 statuta mahkamah internasional, untuk mencapai
suatu pemecahan yang adil.

(2)Apabila tidak dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas, negara-negara yang
bersangkutan harus menggunakan prosedur yang ditentukan dalam Bab XV.

(3)Sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam ayat 1 negara negara
yang bersangkutan, dengan semangat saling pengertian dan kerjasamam harus melakukan
setiap usaha unutuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan, selama
masa peralihan ini, tidak membahayakan astasu menghalalngi dicapainya penetapan akhir
mengenai perbatasan.

(4) Dalam hal ini adnya suatu persetujuan yang berlaku antara, negara-negara yang
bersangkutan, maka maslah yang bertalian dengan penetapan batas zona ekonomi ekslusif
harus ditetapkan sesuai dengan ketentuan persetujuan itu.”13Permasalahan ini merupakan
suatu hal yang penting untuk dibahas karena masalah status wilayah dan ketidakjelasan batas-
batas Negara sering menjadi sumber persengketaan diantara negara-negara yang berbatasan
atau berdekatan. Persengketaan munculakibat penerapan prinsip yang berbeda terhadap
penetapan batasbatas Landas Kontinen di antara Negara-negara bertetangga sehingga
menimbulkan wilayah tumpang tindih yang dapat menimbulkan persengketaan antara
Indonesia dan Vietnam.

- Konflik Komunal Di Perbatasan Indonesia-Timor Leste

Pada pertengahan Oktober 2013, konflik antarwarga di perbatasan Indonesia-Timor


Leste kembali pecah. Warga kedua negara saling serang dengan melempar batu dan kayu di
perbatasan Kabupaten Timor Tengah Utara (Indonesia) dengan Distrik Oecussi (Timor Leste).
Konflik ini menimbulkan ketegangan hubungan antarwarga hingga berhari-hari berikutnya
(Tempo,15 Oktober 2013). Konflik tersebut bukan pertama kali terjadi, karena pada akhir Juli
2012 konflik serupa juga terjadi di kabupaten yang sama, tetapi melibatkan warga dari desa
yang berbeda. 

Kronologi konflik :

Pada Oktober 2013, Pemerintah Republik Demokratik Timor Leste membangun jalan di
dekat perbatasan Indonesia-Timor Leste, di mana menurut warga Timor Tengah Utara, jalan
tersebut telah melintasi wilayah NKRI sepanjang 500 m dan juga menggunakan zona bebas
sejauh 50 m. Padahal berdasarkan nota kesepahaman kedua negara pada tahun 2005, zona
bebas ini tidak boleh dikuasai secara sepihak, baik oleh Indonesia maupun Timor Leste. Selain
itu, pembangunan jalan oleh Timor Leste tersebut merusak tiang-tiang pilar perbatasan,
merusak pintu gudang genset pos penjagaan perbatasan milik Indonesia, serta merusak
sembilan kuburan orang-orang tua warga Nelu, Kecamatan Naibenu, Kabupaten Timor Tengah
Utara. 

Pembangunan jalan baru tersebut kemudian memicu terjadinya konflik antara warga
Nelu, Indonesia dengan warga Leolbatan, Timor Leste pada Senin, 14 Oktober 2013. Mereka
saling lempar batu dan kayu. Aksi ini semakin besar karena melibatkan anggota polisi
perbatasan  Timor Leste (Cipol) yang turut serta dalam aksi saling lempar batu dan kayu
tersebut. Dari aksi tersebut, enam warga Leolbatan dan satu anggota Cipol menderita luka
parah, sementara dari sisi Indonesia hanya ada satu warga Nelu yang menderita luka ringan. 

Setelah jatuhnya korban dari kedua belah pihak, aksi saling serang kemudian
dihentikan. Namun demikian, warga masih berjaga-jaga di perbatasan masing-masing. Eskalasi
konflik semakin meningkat setelah terjadi insiden penggiringan 19 ekor sapi milik warga
Indonesia yang diduga digiring oleh warga Timor Leste masuk ke wilayah mereka. Selanjutnya,
10 warga Indonesia didampingi enam anggota TNI Satgas-Pamtas masuk ke wilayah Timor
Leste untuk mencari 19 ekor sapi tersebut. Sementara itu, ratusan warga lainnya dari empat
desa di Kecamatan Naibenu berjaga-jaga di perbatasan dan siap perang melawan warga
Leolbatan, Desa Kosta, Kecamatan Kota, Distrik Oekussi, Timor Leste. Berita terakhir yang
terkumpul dari media massa, warga masih berjaga-jaga di perbatasan.

Konflik tersebut bukan pertama kali terjadi di perbatasan Indonesia-Timor Leste. Satu tahun
sebelumnya, konflik juga terjadi di perbatasan Timur Tengah Utara-Oecussi. Pada 31 Juli 2012,
warga desa Haumeni Ana, Kecamatan Bikomi Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT,
terlibat bentrok dengan warga Pasabbe, Distrik Oecussi, Timor Leste. Bentrokan ini dipicu oleh
pembangunan Kantor Pelayanan Bea Cukai, Imigrasi, dan Karantina (CIQ) Timor Leste di zona
netral yang masih disengketakan, bahkan dituduh telah melewati batas dan masuk ke wilayah
Indonesia sejauh 20 m. Tanaman dan pepohonan di tanah tersebut dibabat habis oleh pihak
Timor Leste. Setelah terlibat aksi saling ejek, warga dari kedua negara kemudian saling lempar
batu dan benda tajam sebelum akhirnya dilerai oleh aparat TNI perbatasan dan tentara Timor
Leste.

Factor penyebab konflik :

Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya konflik komunal tersebut.

Pertama, masih belum tuntasnya delimitasi perbatasan antara kedua negara. Berdasarkan
nota kesepahaman antara kedua negara pada 2005, masih terdapat 4% perbatasan darat yang
masih belum disepakati. Menurut Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), kedua negara
masih mempersengketakan tiga segmen batas yaitu:

(a) segmen di Noelbesi Citrana, Desa Netemnanu Utara, Amfoang Timur, Kabupaten Kupang,
dengan Distrik Oecussi, Timor Leste, menyangkut areal persawahan sepanjang Sungai
Noelbesi, yang status tanahnya masih sebagai zona netral.

(b) segmen di Bijaelsunan, Oben, di Kabupaten Timor Tengah Utara dengan Distrik Oecussi,
yaitu pada areal seluas 489 bidang tanah sepanjang 2,6 km atau 142,7 ha. Tanah tersebut
merupakan tanah yang disterilkan agar tidak menimbulkan masalah karena Indonesia-Timor
Leste mengklaim sebagai miliknya. (c) segmen di Delomil Memo, Kabupaten Belu yang
berbatasan dengan Distrik Bobonaro, yaitu perbedaan identifikasi terhadap Median Mota
Malibaca pada aliran sungai sepanjang 2, 2 km atau pada areal seluas 41,9 ha.

Kedua, terjadi perbedaan interpretasi mengenai zona netral yang terdapat di perbatasan
kedua negara. Dari sudut pandang Indonesia, pemerintah dan warganya menganggap bahwa
zona netral adalah zona yang masih belum ditetapkan statusnya sebagai milik negara Indonesia
atau Timor Leste, sehingga harus dikosongkan dari segala aktivitas warga. Sementara dari sudut
pandang Timor Leste, zona itu sebenarnya adalah wilayah Timor Leste yang digunakan oleh
PBB sebagai kawasan koordinasi keamanan antara TNI dan PBB, sebagai tempat fasilitasi
pembangunan pasar bagi warga di perbatasan, dan sebagai tempat rekonsiliasi antara
masyarakat eks Timtim dengan masyarakat Pasabe, Distrik Oecussi. Dengan demikian, setelah
PBB meninggalkan Timor Leste, seharusnya zona netral tersebut tetap menjadi bagian wilayah
kedaulatan Timor Leste. 

Ketiga, terkait dengan aspek sosial budaya, yaitu masih terdapat sentimen negatif
antarwarga Indonesia dengan warga Timor Leste. Sebenarnya, masyarakat Timor Tengah Utara
dan Oecussi di perbatasan berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu sama-sama orang
Timor, baik itu suku Tetun, Marae (Bunak), Kemak, dan Dawan. Hubungan kekerabatan pun
sudah lama terjalin, apalagi Timor Leste pernah menjadi bagian dari Indonesia sejak tahun
1975 hingga 1999. Namun, pascapemisahan Timor Timur sebagai hasil referendum, sentimen
negatif tersebut menguat. Di satu sisi, warga Timor Leste, terutama yang pada referendum
menjadi bagian kelompok prokemerdekaan, melihat Indonesia sebagai negara yang telah
menjajah mereka selama hampir 25 tahun. Di sisi lain, warga Indonesia melihat warga Timor
Leste sebagai orang-orang yang tidak berterima kasih, apalagi banyak anggota kelompok
prointegrasi yang memilih mengungsi ke wilayah Indonesia pascareferendum. Sentimen negatif
ini semakin menguat ketika masyarakat kedua negara sama-sama dalam kondisi miskin dan
mereka terlibat perebutan sumberdaya seperti lahan kebun dan sapi. 

Upaya penyelesaian :

Indonesia sudah melakukan berbagai tindakan untuk menyelesaikan permasalahan ini,


baik tindakan yang bersifat jangka pendek (penyelesaian konflik yang terjadi) maupun tindakan
yang bersifat jangka panjang (penyelesaian sumber konflik). Pada penyelesaian yang bersifat
jangka pendek, untuk konflik yang terjadi tahun 2012, aparat TNI dari Korem 161 Wirasakti
Kupang berhasil menghentikan pembangunan kantor QIC yang dilakukan oleh pihak Timor
Leste. Menurut Komandan Korem, pembangunan tersebut sudah melewati tapal batas
Indonesia sejauh 20 m sehingga TNI meminta Timor Leste agar segera menghentikan
pembangunan tersebut. Sambil menunggu penyelesaian lebih lanjut, TNI bersama dengan
tentara Timor Leste berhasil menghentikan konflik antarwarga perbatasan kedua negara dan
menciptakan kondisi yang kondusif kembali . Dari kasus di atas, Indonesia mendapat
pembelajaran bahwa kekuatan TNI yang ditempatkan di titik-titik perbatasan ternyata masih
kurang dalam menghentikan konflik antarwarga perbatasan, sehingga Komandan Korem di
Kupang perlu datang sendiri ke lokasi konflik. Oleh karena itu dalam jangka panjang, kekuatan
TNI di tiap titik perbatasan perlu ditambah agar di masa yang akan datang konflik-konflik
tersebut bisa diantisipasi. 

Namun dalam kasus 2013, keterlibatan aparat keamanan dari kedua negara, baik Cipol-
nya Timor Leste maupun TNI-nya Indonesia, justru membuat konflik ini semakin besar. Dengan
kekuatan senjata api yang mereka pegang, keterlibatan aparat keamanan justru semakin
meningkatkan eskalasi konflik dan dapat menimbulkan korban yang lebih besar. Padahal,
aparat keamanan ini seharusnya bisa menjadi functional actor yang bisa menenangkan warga
dari negara masing-masing untuk tidak melakukan aksi kekerasan, seperti yang terjadi pada
kasus tahun 2012. 

Dalam usaha penyelesaian yang bersifat jangka panjang, Indonesia melakukan


diplomasi dalam rangka menyelesaikan delimitasi terhadap segmen-segmen yang masih belum
disepakati. Berdasarkan perjanjian perbatasan darat 2012, kedua negara telah menyepakati
907 koordinat titik-titik batas darat atau sekitar 96% dari panjang total garis batas. Garis batas
darat tersebut ada di sektor Timur (Kabupaten Belu) yang berbatasan langsung dengan Distrik
Covalima dan Distrik Bobonaro sepanjang 149,1 km dan di sektor Barat (Kabupaten Kupang
dan Kabupaten Timor Tengah Utara) yang berbatasan langsung dengan wilayah enclave Oecussi
sepanjang 119,7 km (Ganewati Wuryandari, 2012). Upaya diplomasi ini tidak hanya berfokus
pada penyelesaian garis demarkasi terhadap tiga segmen batas yang belum disepakati, tetapi
juga pengenalan pengaturan di kawasan perbatasan yang memungkinkan warga Timor Leste
dan warga Indonesia yang berada di sisi perbatasan masing-masing untuk bisa melanjutkan
hubungan sosial dan kekeluargaannya yang selama ini telah terjalin di antara mereka.
Dalam upaya diplomasi untuk menyelesaikan sisa segmen yang belum disepakati,
hambatan yang perlu diantisipasi adalah perbedaan pola pendekatan penyelesaian yang
digunakan oleh masing-masing pihak. Pihak Timor Leste dengan dipandu oleh ahli perbatasan
dari United Nations Temporary Executive Administration (UNTEAD) menekankan bahwa
penyelesaian perbatasan hanya mengacu kepada traktat antara Belanda-Portugis tahun 1904
dan sama sekali tidak memperhitungkan dinamika adat-istiadat yang berkembang di wilayah
tersebut. Sementara itu, pihak Indonesia mengusulkan agar pendapat masyarakat adat ikut
dipertimbangkan (Harmen Batubara, 2013). Perbedaan pola pendekatan ini perlu disamakan
terlebih dahulu sebelum pembahasan tentang tiga segmen batas dilanjutkan. 

Langkah ke Depan :

Kasus penyelesaian konflik perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste di atas
menggambarkan bahwa langkah jangka pendek dan jangka panjang telah dilakukan, baik
melalui penempatan kekuatan TNI maupun melalui negosiasi bilateral yang dikawal oleh
Kementerian Luar Negeri kedua negara. Namun demikian, hal yang perlu dilakukan adalah
pelibatan unsur masyarakat dalam upaya penyelesaian tersebut. Unsur masyarakat di sini
penting karena penguasaan tanah di perbatasan terkait erat dengan adat-istiadat yang berlaku
di sana. Pada satu sisi, pemerintah melakukan perundingan di tingkat pemerintah, namun pada
sisi lain masyarakat adat membuat kesepakatan-kesepakatan terkait batas lahan dan aturan
pengelolaan kebun di wilayah mereka, yang sangat mungkin hasilnya bertentangan dengan
hasil yang disepakati pemerintah. 

Namun demikian, sebelum pelibatan unsur masyarakat tersebut dilakukan, pemerintah


Indonesia perlu membekali warganya dengan pendidikan guna meningkatkan pengetahuan
tentang perbatasan dan menguatkan jiwa nasionalisme, sehingga keterlibatan masyarakat akan
memberikan dampak positif bagi posisi Indonesia dalam perundingan. Gabungan kekuatan
militer, diplomasi, dan unsur masyarakat ini dapat menjadi senjata ampuh dalam
mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan segenap bangsa
di wilayah-wilayah perbatasan Indonesia.

2. Alasan Cina Mengakui Bahwa Pulau Natuna Itu Miliknya!

Jawab:

Laut Natuna merupakan wilayah laut Indonesia yang berbatasan langsung dengan Laut China
Selatan. Wilayah Laut Natuna, yang termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia,
merupakan wilayah perairan yang kaya akan sumber daya alam berupa gas, minyak bumi, serta
berbagai jenis ikan. China mengklaim wilayah itu sebagai wilayah perairan tradisional mereka
dalam Peta Sembilan Garis Putus-putus. Hal ini didasarkan atas fakta sejarah versi China. Dalam
perspektif hukum laut internasional, klaim China atas Laut China Selatan, berikut ZEE Indonesia
di Natuna, merupakan suatu pelanggaran hukum laut internasional yang tentu saja dapat
mengganggu stabilitas kawasan karena perairan Laut China Selatan merupakan jalur pelayaran
internasional. Dalam perspektif Indonesia, klaim China tersebut dapat mengancam stabilitas
keamanan dalam negeri dan hubungan baik antara Indonesia dengan China yang telah lama
terjalin. Menanggapi klaim China atas ZEE Indonesia itu, Indonesia menggunakan jalur
diplomasi preventif guna mencegah meluasnya konflik karena Indonesia tidak akan mampu
menghadapi China secara militer. Selain itu, Pemerintah Indonesia terus melakukan dialog
informal dengan China dalam menyikapi tumpang tindih ZEE Indonesia yang diklaim oleh
China. Sampai saat ini, Indonesia tidak melakukan dialog secara formal dengan China terkait
Laut China Selatan sebab jika Indonesia melakukannya, akan menjadikan Indonesia secara tidak
langsung mengakui adanya klaim China di Laut China Selatan. Hingga penelitian ini ditulis,
dialog tersebut masih berjalan.

 Indonesia merupakan salah satu negara yang terancam dirugikan denganaksi China
yang menggambar Sembilan Garis Putus-putus yang turut memasukkan wilayah laut di sekitar
ZEE Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Jika dilihat sekilas, perairan kaya gas itu terkesan masuk
wilayah Laut China Selatan yang oleh China diklaim sebagai wilayah kedaulatannya. Menurut
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, klaim China atas ZEEIndonesia di Natuna
tersebut melanggar ZEE Indonesia karena secara jelas Laut Natuna masuk ke dalam wilayah
kedaulatan Republik Indonesia.Dalam perspektif hubungan internasional, apa yang dilakukan
oleh China terhadap klaim di Laut China Selatan tersebut dapat mengganggu stabilitas
keamanan kawasan maupun keamanan internasional sebab perairan Laut China Selatan,
termasuk Laut Natuna, merupakan jalur pelayaran internasional di mana wilayah tersebut
menjadi rute kapal-kapal internasional dalam melakukan aktivitas pelayaran dagang yang
secara bebas dapat dilalui oleh kapal-kapal internasional.Dalam perspektif hukum laut
internasional, apa yang dilakukan oleh China terhadap klaimnya di Laut China Selatan dan ZEE
Indonesia itu merupakan suatu pelanggaran, berdasarkan kepada acuan prinsip negara
kepulauan dan sesuai UNCLOS 1982.

Dalam UNCLOS 1982, penentuan laut wilayah ditetapkan tidak lebih dari 12 mil bila
dihitung dari garis dasar (baseline). Negara kepulauan dapat menarik garis dasar berdasarkan
straight baseline yang menghubungkan titik terluar pulau dan karang-karang kering terluar dan
perairan kepulauan berupalaut dan selat yang terletak di sebelah dalam garis pangkal
merupakan wilayah negara kepulauan. Sedangkan negara yang bukan negara kepulauan seperti
Malaysia, Australia, Thailand, dan Vietnam (negara kontinental), lebar laut teritorialnya tidak
lebih dari 12 mil dari normal baseline, yaitu garis pantai saat air rendahKlaim China atas ZEE
Indonesia ke dalam Sembilan Garis Putus-putus China merupakan bentuk arogansi China yang
ingin menguasai penuh wilayah Laut China Selatan tersebut. Ini tentu saja mengganggu
kedaulatan Indonesia atas kepemilikan ZEE Indonesia di Laut Natuna. Selain itu, klaim China di
Natuna tersebut dapat mengganggu stabilitas keamanan dalam negeri Indonesia sebab akan
memicu ketegangan antara Indonesia dengan China. Selama ini Indonesia telah membina
hubungan baik dengan China. Indonesia mengajak China menanamkan modalnya di proyek-
proyek infrastruktur di sejumlah wilayah Indonesia. Selain itu, China dilibatkan dalam
proyekproyek pembangkit tenaga listrik di beberapa kota dan menjadi pemenang megaproyek
kereta cepat Jakarta-Bandung.

terdiri atas 17.508 pulau, dengan luas seluruh wilayahnya 1.905.000 km2 dan
merupakan wilayah terbesar ke-7 di dunia. Dengan wilayah yang sangat luas tersebut, ini tentu
menjadi keuntungan bagi Indonesia karena hal itu berarti Indonesia memiliki sumber daya alam
yang melimpah. Selain sumber daya alam darat, Indonesia juga kaya akan sumber daya alam
lautnya. Ini merupakan keuntungan sekaligus tantangan bagi Indonesia untuk menjaga
kedaulatan wilayah, baik wilayah darat maupun wilayah laut, terutama yang berbatasan dengan
negara tetangga. Juga menjadi tantangan bagi Indonesia untuk menjaga kekayaannya yang
melimpah sehingga tidak dicuri oleh negara lain. Selain itu, Indonesia juga disebut sebagai
negara maritim karena lautnya yang luas.

meskipun China mengakui kedaulatan Indonesia atas Natuna dan perairan ZEE
Indonesia, namun China tetap memasukkan ZEE Indonesia di Natuna ke dalam Peta Sembilan
Garis Putus-putus di Laut China Selatan. Upaya diplomasi yang dilakukan Indonesia terhadap
klaim China atas ZEE Indonesia di Natuna adalah diplomasi preventif. Indonesia mengadakan
dialog informal dengan China sebab China juga merupakan mitra dagang Indonesia dan secara
militer Indonesia belum mampu menandingi militer China. Dialog informal dilakukan terkait
tidak adanya pengakuan klaim China di Laut China Selatan.

Dalam perspektif hubungan internasional, apa yang dilakukan oleh China itu dapat
mengganggu stabilitas kawasan sebab wilayah Laut China Selatan sendiri merupakan wilayah
laut yang sangat luas yang secara geografis berdekatan dengan beberapa negara anggota
ASEAN. Jika sampai terjadi konflik bersenjata, akan dapat memicu stabilitas di kawasan sebab
Laut China Selatan diklaim pula oleh Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam. Selain
itu, Laut China Selatan merupakan jalur lautinternasional yang banyak dilintasi oleh kapal-kapal
dagang internasional.

Anda mungkin juga menyukai