Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA By Ny.

”N” DENGAN
DIAGNOSA MEDIS HIPERBILIRUBIN DI RUANG NICU RUMAH SAKIT UMUM
KOTA MATARAM

DISUSUN OLEH :

RENNY OCTAVIYANTI
123 STYJ 18

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
MATARAM
2018
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan pendahuluan dan laporan kasus ini telah disahkan dan disetujui oleh Pembimbing
Akademik dan Pembimbing Klinik pada :

Hari :
Tanggal :

NAMA : RENNY OCTAVIYANTI


NIM : 123 STYJ 18

Mengetahui :

Pembimbing pendidikan Pembimbing Klinik

(________________________) (________________________)
LAPORAN PENDAHULUAN
HIPERBILIRUBIN

A. PENGERTIAN
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam
darah melebihi batas atas nilai normal bilirubin serum.
Hiperbilirubin adalah suatu keadaan dimana konsentrasi bilirubin
dalam darah berlebihan sehingga menimbulkan joundice pada
neonatus (Dorothy R. Marlon, 1998)
Hiperbilirubin adalah kondisi dimana terjadi akumulasi bilirubin dalam
darah yang mencapai kadar tertentu dan dapat menimbulkan efek
patologis pada neonatus ditandai joudince pada sclera mata, kulit,
membrane mukosa dan cairan tubuh (Adi Smith, G, 1988).
Hiperbilirubin adalah peningkatan kadar bilirubin serum
(hiperbilirubinemia) yang disebabkan oleh kelainan bawaan, juga
dapat menimbulkan ikterus. (Suzanne C. Smeltzer, 2002).
Hiperbilirubinemia adalah kadar bilirubin yang dapat menimbulkan
efek pathologis. (Markum, 1991:314)

B. ETIOLOGI
1. Pembentukan bilirubin yang berlebihan.
2. Gangguan pengambilan (uptake) dan transportasi bilirubin dalam
hati.
3. Gangguan konjugasi bilirubin.
4. Penyakit Hemolitik, yaitu meningkatnya kecepatan pemecahan sel
darah merah. Disebut juga ikterus hemolitik. Hemolisis dapat pula
timbul karena adanya perdarahan tertutup.
5. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan,
misalnya Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obatan
tertentu.
6. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa
mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati
dan sel darah merah seperti : infeksi toxoplasma. Siphilis.

C. MANIFESTASI KLINIS
1. Kulit berwarna kuning sampe jingga
2. Pasien tampak lemah
3. Nafsu makan berkurang
4. Reflek hisap kurang
5. Urine pekat
6. Perut buncit
7. Pembesaran lien dan hati
8. Gangguan neurologic
9. Feses seperti dempul
10. Kadar bilirubin total mencapai 29 mg/dl.
11. Terdapat ikterus pada sklera, kuku/kulit dan membran mukosa.
12. Jaundice yang tampak 24 jam pertama disebabkan penyakit
hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis atau ibu dengan diabetk atau
infeksi.
13. Jaundice yang tampak pada hari ke 2 atau 3 dan mencapai puncak
pada hari ke 3-4 dan menurun hari ke 5-7 yang biasanya
merupakan jaundice fisiologi.

D. PATOFISIOLOGI
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa
keadaan.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat beban
bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila
terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia.
Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan
peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar
protein berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain
yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami
gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu bilirubin akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada bilirubin indirek
yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak.
Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak
apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan
yang terjadi di otak disebut kernikterus. Pada umumnya dianggap
bahwa kadar bilirubin indirek lebih dari 20mg/dl.
Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati sawar darah otak
ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin
indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat
keadaan berat badan lahir rendah, hipoksia, dan hipoglikemia.
(Markum, 1991)

E. KLASIFIKASI
1. Ikterus prehepatik
Disebabkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan akibat hemolisis
sel darah merah. Kemampuan hati untuk melaksanakan konjugasi
terbatas terutama pada disfungsi hati sehingga menyebabkan
kenaikan bilirubin yang tidak terkonjugasi.
2. Ikterus hepatic
Disebabkan karena adanya kerusakan sel parenkim hati. Akibat
kerusakan hati maka terjadi gangguan bilirubin tidak terkonjugasi
masuk ke dalam hati serta gangguan akibat konjugasi bilirubin yang
tidak sempurna dikeluarkan ke dalam doktus hepatikus karena
terjadi retensi dan regurgitasi.

3. Ikterus kolestatik
Disebabkan oleh bendungan dalam saluran empedu sehingga
empedu dan bilirubin terkonjugasi tidak dapat dialirkan ke dalam
usus halus. Akibatnya adalah peningkatan bilirubin terkonjugasi
dalam serum dan bilirubin dalam urin, tetapi tidak didaptkan
urobilirubin dalam tinja dan urin.
4. Ikterus neonatus fisiologi
Terjadi pada 2-4 hari setelah bayi baru lahir dan akan sembuh pada
hari ke-7. penyebabnya organ hati yang belum matang dalam
memproses bilirubin
5. Ikterus neonatus patologis
Terjadi karena factor penyakit atau infeksi. Biasanya disertai suhu
badan yang tinggi dan berat badan tidak bertambah.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan bilirubin serum
Pada bayi cukup bulan, bilirubin mencapai kurang lebih 6mg/dl
antara 2-4 hari setelah lahir. Apabila nilainya lebih dari 10mg/dl
tidak fisiologis.
Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai puncak 10-12 mg/dl
antara 5-7 hari setelah lahir. Kadar bilirubin yang lebih dari 14mg/dl
tidak fisiologis.
2. Pemeriksaan radiologi
Diperlukan untuk melihat adanya metastasis di paru atau
peningkatan diafragma kanan pada pembesaran hati, seperti abses
hati atau hepatoma
3. Ultrasonografi
Digunakan untuk membedakan antara kolestatis intra hepatic
dengan ekstra hepatic.
4. Biopsy hati
Digunakan untuk memastikan diagnosa terutama pada kasus yang
sukar seperti untuk membedakan obstruksi ekstra hepatic dengan
intra hepatic selain itu juga untuk memastikan keadaan seperti
hepatitis, serosis hati, hepatoma.
5. Peritoneoskopi
Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto
dokumentasi untuk perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada
penderita penyakit ini.
6. Laparatomi
Dilakukan untuk memastikan diagnosis dan dapat dibuat foto
dokumentasi untuk perbandingan pada pemeriksaan ulangan pada
penderita penyakit ini.
G. PENCEGAHAN
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan :
1. Pengawasan antenatal yang baik
2. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi
dan masa kehamilan dan kelahiran, contoh :sulfaforazol,
novobiosin, oksitosin.
3. Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan
neonatus.
4. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus.
5. Imunisasi yang baik pada bayi baru lahir
6. Pemberian makanan yang dini.
7. Pencegahan infeksi.

H. KOMPLIKASI
1. Retardasi mental
2. Kerusakan neurologis
3. Gangguan pendengaran dan penglihatan
4. Kematian.
5. Kernikterus.

I. PENATALAKSANAAN
1. Tindakan umum
Memeriksa golongan darah ibu (Rh, ABO) pada waktu hamil
Mencegah truma lahir, pemberian obat pada ibu hamil atau bayi
baru lahir yang dapat menimbulkan ikhterus, infeksi dan dehidrasi.
Pemberian makanan dini dengan jumlah cairan dan kalori yang
sesuai dengan kebutuhan bayi baru lahir.
Imunisasi yang cukup baik di tempat bayi dirawat.
2. Tindakan khusus
 Fototerapi
Dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbilirubin patologis dan
berfungsi untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melalui tinja
dan urine dengan oksidasi foto.
 Pemberian fenobarbital
Mempercepat konjugasi dan mempermudah ekskresi. Namun
pemberian ini tidak efektif karena dapat menyebabkan
gangguan metabolic dan pernafasan baik pada ibu dan bayi.
 Memberi substrat yang kurang untuk transportasi/ konjugasi
misalnya pemberian albumin karena akan mempercepat
keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga
bilirubin lebih mudah dikeluarkan dengan transfuse tukar.
 Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi
untuk mencegah efek cahaya berlebihan dari sinar yang
ditimbulkan dan dikhawatirkan akan merusak retina. Terapi ini
juga digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin serum pada
neonatus dengan hiperbilirubin jinak hingga moderat.
 Terapi transfuse
digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin yang tinggi.
 Terapi obat-obatan
misalnya obat phenorbarbital/luminal untuk meningkatkan
bilirubin di sel hati yang menyebabkan sifat indirect menjadi
direct, selain itu juga berguna untuk mengurangi timbulnya
bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hari.
 Menyusui bayi dengan ASI Terapi sinar matahari
3. Tindak lanjut
Tindak lanjut terhadap semua bayi yang menderita hiperbilirubin
dengan evaluasi berkala terhadap pertumbuhan, perkembangan
dan pendengaran serta fisioterapi dengan rehabilitasi terhadap
gejala sisa.
PATHWAY
ASUHAN KEPERAWATAN HIPERBILIRUBIN

A. PENGKAJIAN
 Keadaan umum lemah, TTV tidak stabil terutama suhu tubuh
(hipertermi). Reflek hisap pada bayi menurun, BB turun,
pemeriksaan tonus otot (kejang/tremor). Hidrasi bayi mengalami
penurunan. Kulit tampak kuning dan mengelupas (skin resh),
sclera mata kuning (kadang-kadang terjadi kerusakan pada
retina) perubahan warna urine dan feses. Pemeriksaan fisik
 Riwayat penyakit
Terdapat gangguan hemolisis darah (ketidaksesuaian golongan
Rh atau golongan darah A,B,O). Infeksi, hematoma, gangguan
metabolisme hepar obstruksi saluran pencernaan, ibu menderita
DM.
 Pemeriksaan bilirubin menunjukkan adanya peningkatan.
 Pengkajian psikososial
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah
orang tua merasa bersalah, perpisahan dengan anak.
 Hasil Laboratorium :
Kadar bilirubin 12mg/dl pada cukup bulan.
Pada bayi premature, kadar bilirubin mencapai 15mg/dl.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan jaundice atau
radiasi.
2. Gangguan temperature tubuh (Hipertermia) berhubungan dengan
terpapar lingkungan panas.
3. Resiko terjadi cidera berhubungan dengan fototerapi atau
peningkatan kadar bilirubin.
4. Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan

C. INTERVENSI
Dx I : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan jaundice atau
radiasi. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
proses keperawatan diharapkan integritas kulit kembali baik / normal.
NOC : Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes
Kriteria Hasil :
1. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan
2. Tidak ada luka / lesi pada kulit
3. Perfusi jaringan baik
4. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan
mencegah terjadinya cedera berulang

5. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit


dan perawatan alami
Indicator Skala :
1 : Tidak pernah menunjukkan.
2 : Jarang menunjukkan
3 : Kadang menunjukkan
4 : Sering menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
NIC : Pressure Management
Intervensi :
1. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar
2. Hindari kerutan pada tempat tidur
3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
4. Mobilisasi pasien setiap 2 jam sekali
5. Monitor kulit akan adanya kemerahan.
6. Oleskan lotion / minyak / baby oil pada daerah yang tertekan
7. Mandikan pasien dengan sabun dan air hangat

DX II : Gangguan temperature tubuh (Hipertermia) berhubungan


dengan terpapar lingkungan panas.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawtan selama proses
keperawatan diharapkan suhu dalam rentang normal.
NOC : Termoregulation
Kriteria hasil :
Suhu tubuh dalam rentang normal
Nadi dan respirasi dalam batas normal
Tidak ada perubahan warna kulit
Pusing berkurang/hilang.
Indicator skala :
1. Selalu terjadi
2. Sering terjadi
3. Kadang terjadi
4. Jarang terjadi
5. Tidak pernah terjadi
NIC : Fever treatment
1. Monitor suhu sesering mingkin
2. Monitor warna dan suhu kulit
3. Monitor tekanan darah, nadi, dan respirasi
4. Monitor intake dan output

DX III : Resiko terjadi cidera berhubungan dengan fototerapi atau


peningkatan kadar bilirubin.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawtan selama proses
keperawatan diharapkan tidak ada resiko cidera.

NOC : risk control


Kriteria hasil :
1. Klien terbebas dari cidera
2. Klien mampu menjelaskan metode untuk mencegah injuri/ cidera
3. Klien mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injuri.
Indicator
Skala :
1. tidak pernah menujukan
2. jarang menunjukan
3. kadang menunjukan
4. sering menunjukan
5.selalu menunjukan
NIC : Pencegahan jatuh
Kaji status neurologis
Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang tujuan dari metode
pengamanan
Jaga keamanan lingkungan keamanan pasien
Libatkan keluiarga untuk mencegah bahaya jatuh
Observasi tingkat kesadaran dan TTV
Dampingi pasien

Dx IV : Cemas berhubungan dengan perubahan dalam status


kesehatan. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan kepeerawatan
selama proses keperawatan diharapkan keluarga dan pasien tidak
cemas.
NOC I : Control Cemas
Kriteria Hasil :
 Monitor intensitas kecemasan.
 Menyingkirkan tanda kecemasan.
 Menggunakan teknik relaksasi untuk mengurangi kecemasan.
NOC II : Koping
Kriteria Hasil :
 Keluarga menunjukkan fleksibilitas peran para anggotanya.
 Nilai keluarga dalam mengatur masalah-masalah.
 Melibatkan anggota keluarga untuk membuat keputusan.
Indicator Skala :
1 : Tidak pernah dilakukan
2 : Jarang dilakukan
3 : Kadang dilakukan
4 : Sering dilakukan
5 : Selalu dilakukan
NIC : Penurunan Kecemasan

Intervensi :
 Tenangkan klien.
 Jelaskan seluruh prosedur pada klien/keluarga dan perasaan yang
mungkin muncul pada saat melakukan tindakan.
 Kaji tingkat kecemasan dan reaksi fisik pada tingkat kecemasan.
 Sediakan aktivitas untuk mengurangi kecemasan.
NIC II : Peningkatan Koping.
 Hargai pemahaman pasien tentang proses penyakit.
 Sediakan informasi actual tentang diagnosa, penanganan.
 Dukung keterlibatan keluarga dengan cara tepat.

Dx V : Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan


paparan Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
proses keperawatan diharapkan keluarga dapat mendapat
pengetahuan mengenai penyakit yang diderita anaknya.
NOC : Knowledge : Disease Process
Kriteria Hasil :
 Pasien dan keluarga mengatakan pemahaman tentang penyakit,
kondisi, prognosis dan program pengobatan
 Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang
dijelaskan secara benar
 Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang
dijelaskan perawat / tim kesehatan lainnya
Indicator Skala :
1 : Tidak pernah dilakukan
2 : Jarang dilakukan
3 : Kadang dilakukan
4 : Sering dilakukan
5 : Selalu dilakukan
NIC : Teaching : Disease Process
Intervensi :
 Jelaskan patofisiolagi dari penyakit
 Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit
dengan cara yang benar
 Gambarkan proses penyakit dengan cara yang tepat
 Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi dengan cara yang
tepat
 Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk
mencegah komplikasi dimasa yang akan datang dan proses
pengontrolan penyakit.

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito,L.J. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Jakarta : EGC.

Doengoes,M.E. 1999. Pedoman Untuk Perencanaan dan pendokumentasian


Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.

Http://www.medicastore.com

Http://www.google.com

Jhonson,Marion,dkk. 1997. Iowa Outcomes Project Nursing Classification


(NOC) Edisi 2. St. Louis ,Missouri ; Mosby.

Markum, H. 1991. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FKUI.

Mc Closkey, Joanner. 1996 . Iowa Intervention Project Nursing


Intervention Classification (NIC) Edisi 2. Westline
Industrial Drive, St. Louis :Mosby.

Santosa,Budi . 2005 - 2006. Diagnosa Keperawatan NANDA .


Jakarta : Prima Medika.

Staf pengajar ilmu keperawatan anak. 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta : FKUI.

Surasmi, Asrining. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta : EGC.

Separman. 1987. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 2. Jakarta : FKUI.

Anda mungkin juga menyukai