Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

Agama Menjamin Kebahagiaan


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Agama Islam

Disusun oleh :

1. Bianca Zahra Khoirun Nisa 5013211065


2. Daffa Aulia Puteri Nugroho 5013211012
3. Fathira Aulia Rahmani 5013211019
4. Firda Dwi Heriyanto 5013211033

Dosen pengampu :

Ainun Nadlif, S.Ag, M.Pd.I.

Pendidikan Agama Islam (14), Kelompok 6

Institut Teknologi Sepuluh Nopember

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana telah memberikan kami
semua kekuatan serta kelancaran dalam menyelesaikan makalah mata kuliah Agama
Islam yang berjudul “Agama menjamin kebahagiaan” dapat selesai seperti waktu yang telah
kami rencanakan. Tersusunnya makalah ini tentunya tidak lepas dari berbagai pihak yang telah
memberikan bantuan secara materil dan moril, baik secara langsung maupun tidak langsung

Selain untuk menambah wawasan dan pengetahuan penyusun, makalah ini disusun
untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Agama Islam. Makalah ini membahas
tentang Agama menjamin kebahagiaan.

Tak ada gading yang tak retak Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari
pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah-makalah selanjutnya.

Sidoarjo, 21 September 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. ii


DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 4
1.3 Tujuan .............................................................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Konsep dan Kebutuhan Manusia Terhadap Agama ......................................................... 5
2.2 Agama sebagai Jalan Menuju Kebahagiaan ................................................................... 10
2.3 Menggali Sumber Historis, Filosofis, Psikologis, Sosiologis, dan Pedagogis tentang
Pemikiran Agama sebagai Jalan Menuju Kebahagiaan ....................................................... 12
2.4 Membangun Tauhidullah sebagai Satu Satunya Model Beragama yang Benar ............ 13
2.5 Konsep Kebahagiaan dalam Perspektif Islam ................................................................ 17
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 22
3.2 Saran ............................................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Agama dalam bahasa Arab dan dalam Al-Qur’an disebut Din yang diulang sebanyak
92 kali. Menurut arti bahasa (etimilogi) berarti menguasai, ketaatan dan balasan.
Sedangkan menurut istilah (terminologi), din memiliki makna keyakinan, hukum dan
norma yang akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat. Fungsi dan kedudukan agama dalam kehidupan manusia adalah sebagai
pedoman, aturan dan undang-undang Tuhan yang harus ditaati dan mesti dijalankan
dalam kehidupan.
Menurut Al-Alusi: bahagia adalah perasaan senang dan gembira karena bisa
mencapai keinginan atau cita-cita yang dituju dan diharapkan.
Menurut Ahmad Asy-Syarbashi, kebahagiaan aalah terwujudnya pelaksanaan
kewajiban. Sebab dengan melaksanakan kewajiban kepada Tuhan, seseorang akan
merasakan dan memiliki kenikmatan rohani yang luar biasa.
Al Ghazali dalam kitab Mizanul Amal: menyebutkan bahwa as sa’adah (bahagia)
terbagi menjadi dua yaitu bahagia hakiki dan bahagia majasi.
Ibnul Qayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa kebahagiaan adalah perasaan senang
dan tentram karena hati sehat dan berfungsi dengan baik.
1.2 Rumusan Masalah

Berikut adalah rumusan masalah dalam makalah ini:

1. Apa saja konsep dan karakteristik agama?


2. Bagaimana agama menjamin kebahagiaan?
3. Apa yang dimaksud dengan bahagia yang hakiki?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep dan karakteristik agama sebagai jalan menuju
kebahagiaan.
2. Untuk mengetahui bagaimana agama menjamin kebahagiaan.
3. Untuk mengetahui dan memahami apa itu bahagia yang hakiki.
4. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama Islam.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep dan Kebutuhan Manusia Terhadap Agama


2.1.1 Pengertian Agama Islam
Agama, satu kata yang sulit untuk didefinisikan sebagaimana yang tertulis
dalam buku Universalitas dan Pembangunan karya Abdul Mukti Ali, seorang
mantan Menteri Agama Republik Indonesia pada Kabinet Pembangunan II.
Dalam bukunya dikatakan bahwa agama adalah soal batini, subjektif, dan
individualis. Sehingga bisa saja definisi agama pada setiap individu akan
berbeda. Hal ini diperkuat dengan adanya emosi setiap pembahasan tentang
definisi agama dan konsep agama yang dipengaruhi oleh tujuan dari pemberian
defisini tersebut.

Agama dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai ajaran


atau sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) kepada Tuhan Yang
Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan antar sesame
manusia dan lingkungannya. Selain kata agama, masyarakat Indonesia juga
mengenal kata Din yang berasal dari Bahasa Arab dan religi yang berasal dari
Bahasa Eropa. Din memuat arti menguasai, menundukkan, patuh, hutang,
balasan, dan kebiasaan. Sedangkan religi yang berasal dari kata latin relegere
memuat arti mengumpulkan dan membaca.

Dalam bukunya yang berjudul Gambaran Pertama Bagi Penghidupan


Keagamaan, Durkheim mendefinisikan agama sebagai alam gaib yang tidak
dapat diketahui dan tidak dapat dipikirkan oleh akal dan pikiran manusia. Asy-
syahrastani berpendapat dalam bukunya yang berjudul Al – Milal wa An – Nihal
bahwa agama didefinisikan sebagai ketaatan dan kepatuhan yang akan dibalas
dan diperhitungkan (amal perbuatan di akhirat). Kasyaf Isthilahat Al – Funun
yang ditulis oleh Ath – Thanwi mendefinisikan agama sebagai intisati Tuhan
yang mengarahkan orang – orang berakal dengan kemauan mereka sendiri untuk
memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat.

5
Harun Nasution menggabungkan inti sari yang terkandung dalam beberapa
istilah agama. Ia mendefinisikan agama sebagai ikatan yang harus dipegang dan
dipatuhi oleh setiap orang. Karena ikatan ini berasal dari suatu kekuatan yang
lebih tinggi dari manusia dan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap
kehidupan sehari – hari.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa didalam agama


terdapat tiga unsur penting, yaitu suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan, suatu
sistem penyembahan kepada Tuhan, serta suatu sistem nilai yang mengatur
hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan dan hubungan horizontal antara
sesama manusia. Selain itu, terdapat lima aspek yang terkandung di dalam
agama, yaitu aspek asal usulnya, tujuannya, ruang lungkupnya,
permasyarakatan, dan sumber dari suatu agama.

Islam berasal dari Bahasa Arab adalah agama yang disyariatkan oleh Allah
sejak nabi Adam as. Dasar dari agama Islam tidak berubah meski sudah
termakan zaman. Syariat yang dibawah oleh Nabi Muhammad saw. akan selalu
tetap sampai datangnya hari kiamat karena syariat tersebut sudah sesuai dengan
perkembangan waktu (li kulli zaman) dan perkembangan tempat (li kulli makan).
(Shaodiq : 1998 : 142)

Dalam surat Al – Baqarah ayat 208 yang berbunyi :

‫الش ْي ٰط ِۗن ِا َّن ٗه َل ُك ْم َع ُد ٌّو ُّمب ْ ِن‬


‫ي‬
َّ ُ ُ َّ َ َ ً َّ ۤ َ ْ ِّ ِ ْ ُ ُ ْ ُ َ ٰ َ ْ َّ َ ُّ َ ٰٰٓ
‫السل ِم كافة َّۖوَل تت ِب ُع ْوا خط ٰو ِت‬ ‫يايها ال ِذين امنوا ادخلوا ِف‬
ِ

“Hai orang – orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam


keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah – langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”

Maulana Muhammad Ali mendefinisikan Islam dekat artinya dengan kata


agama yang berarti tunduk, patuh, utang, balasan, dan kebiasaan. Sidang
Muktamar Islam berpendapat bahwa agama Islam adalah wahyu yang
diturunkan Allah melalui Nabi Muhammad saw. untuk disampaikan kepada
seluruh umat manusia di seluruh dunia. Sedangkan Abdul Mukti Ali mengatakan
bahwa agama Islam adalah adanya kepercayaan atas adanya Allah dan hukum –
hukum yang diwahyukan kepada para utusan-Nya yang menjamin kebahagiaan

6
hidup manusia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa agama Islam adalah suatu
keyakinan, penyembahan, dan aturan – aturan Allah yang mengatur segala
kehidupan manusia dalam berbagai aspek, baik hubungan vertical maupun
hubungan horizontal.

2.1.2 Fungsi Agama Dalam Kehidupan


1. Sebagai pembimbing dalam kehidupan
Kepribadian seseorang merupakan pengendali utama dalam kehidupan
setiap manusia. Kepribadian tersebut mencakup seluruh pengalaman yang
dialami dalam kehidupan seseorang. Apabila terbentuk kepribadian yang
harmonis dalam kehidupan seseorang, maka ketika seseorang tersebut
mengalami masalah dalam hidupnya, ia akan mampu menghadapi dengan
tenang.

2. Penolong dalam setiap cobaan


Ketika seseorang yakin akan agamanya dan teguh dengan imannya akan
menerima setiap cobaan dengan lapang dada. Ia akan merasa bahwa setiap
cobaan yang menimpanya merupakan ujian dari Allah yang harus dihadapi.
Karena Allah memberi cobaan yang sesuai dengan kemampuan seseorang
seperti dalam firman-Nya dalam surat Al – Baqarah ayat 286 yang berbunyi:

َّ ْ َ ُ ‫َ ُ َ ِّ ُ ه‬
‫اّٰلل نف ًسا ِاَل ُو ْس َع َها‬ ‫َل يكلف‬

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan


kesanggupannya…”

Selain itu, orang yang yakin dengan agamanya tidak akan menganggap
setiap cobaan berat yang menimpanya adalah suatu kemalangan untuk
dirinya. Karena Ia tau bahwa Allah yang lebih mengetahui mana yang baik
dan buruk bagi setiap individu. Allah berfirman dalam surat Al – Baqarah
ayat 216 :

ْ َ ُ َّ َ ُ َ ُ ْ َ ْ َ ُ َّ ُ ُ ُ َ ْ ُ ُ ْ َ َ َ ُ
‫ال َوه َو ك ْر نه لك ْم ۚ َو َع ٰٰٰٓس ان تك َره ْوا ش ْي ًٔـا َّوه َو خ ْ ني لك ْم ۚ َو َع ٰٰٰٓس ان‬‫ك ِتب عليكم ال ِقت‬
َ َ َ َ ُ ْ َ َ ُ ‫ُ ُّ ْ َ ْ ًٔ َّ ُ َ ََ ٌّ َّ ُ ْ َ ه‬
‫اّٰلل َي ْعل ُم َوانت ْم َل ت ْعل ُم ْون‬‫ت ِحبوا شيـا وهو ش لكم ِۗ و‬

7
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan
bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu
baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak
baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

3. Kedamaian batin
Seorang yang beriman tidak akan merasa cemas atas apa yang akan
menimpanya dikemudian hari. Ia yakin bahwa apa yang akan terjadi adalah
ketetapan yang sudah diatur Allah dan apa yang sudah Ia miliki hanya
titipan dari Allah.

4. Pengendali moral
Islam mengatur segala hal yang bersifat moral dalam kehidupan
manusia termasuk hubungan antar sesame manusia (hablum minannas).
Salah satunya adalah ayat Al – Quran yang mengatur hubungan orang tua
dan anak yang berbunyi :

َٓ ُ ُ َ ْ َ َْ َُ ِۗ ً َ ْ ٰٓ َّ ٰٓ ُ َ َّ َ َ ٰ َ
‫َوق ِض َرُّبك اَل ت ْع ُبد ْوا ِاَّل ِا َّي ُاه َو ِبال َو ِالد ْين ِا ْح ٰسنا ِا َّما َي ْبلغ َّن ِعندك ال ِك ََ َي ا َحده َما ا ْو‬
َ ً َ َّ ُ ُ ْ َ َ ٍّ ُ ٓ َ ُ َّ ْ ُ َ َ َ َ ُ ٰ
‫ف َّوَل تن َه ْره َما َوق ْل ل ُه َما ق ْوَل كر ْي ًما‬ ‫ِكلهما فَل تقل لهما ا‬

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah


selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut
dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan
kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak
keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.”
( Al – Isra’ [17] : 23 )

Islam mengajarkan untuk menghormati orang lain tetapi tidak


diperintah untuk meminta dihormati orang lain. Seperti pada ayat Al –
Quran diatas yang memerintahkan anak atau orang yang lebih muda untuk
menghormati orang tua, tetapi tidak disebutkan dalam firman Allah yang
memerintahkan orang tua untuk minta dihormati oleh orang yang lebih
muda.

8
2.1.3 Kebutuhan Manusia Pada Agama

Abuddin berkata, terdapat tiga alasan penting yang mendorong setiap


individu membutuhkan agama (Nata, 2011). Ketiga alasan tersebut
dikemukakan sebagai berikut :

1. Fitrah manusia beragama


ْ َ َ َ ِۗ َ َ َّ َ َ َ ْ َّ ‫َ َ ْ َ ْ َ َ ِّ ْ َ ْ ً ِۗ ْ َ َ ه‬
‫اس َعل ْي َها َل ت ْب ِد ْي َل ِلخل ِق‬ ‫اّٰلل ال ِ ِت فطر الن‬
ِ ‫فا ِقم وجهك ِللدين ح ِنيفا ِفطرت‬
َ َ َ َّ َ ْ َ ٰ َْ ِّ َ ‫ه‬
‫اّٰلل ِۗذ ٰ ِلك الد ْي ُن الق ِّي ُم َول ِك َّن اك َي الناس َل َي ْعل ُم ْون‬
ِ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam);


(sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut
(fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang
lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
( Ar – Rum [30] : 30 )

Pada ayat diatas, disebutkan bahwa ada potensi ditrah beragama pada
manusia sejak dilahirkan. Setiap manusia memiliki insan, dimana manusia
menerima pelajaran dari Tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya.
Manusia sendiri dilengkapi dengan kemampuan mengenal dan memahami
keberanan dan kebaikan dari Sang Pencipta.

Bukti bahwa manusia memiliki fitrah beragama terlihat pada zaman


dahulu, dimana manusia pada masa itu tidak pernah mendapat informasi
mengetahui Tuhan mereka. Tetapi pada kenyataannya, mereka
mempercayai adanya Tuhan walau hanya sebatas khayalan. Pembinaan dan
pengarahan diperlukan untuk mengenalkan agama lebih dalam kepada
mereka.

2. Manusia memiliki kekurangan dan kelebihan


Quraish Shihab berpendapat dalam pandangan kitab suci Al – Quran.
Ia berkata bahwa nafs diciptakan Allah demi mendorong manusia berbuat
kebaikan dan keburukan. Namun diperoleh bahwa pada dasarnya potensi
seorang manusia berbuat baik lebih besar dibandingkan dengan potensi
dalam berbuat keburukan. Sifat keburukan yang dimiliki manusia seperti
sombong, iri hati, dengki, dan lain sebagainya. Cara yang dapat dilakukan

9
untuk mengoptimalkan potensi dalam berbuat kebaikan adalah dengan cara
mendekatkan diri kepada Allah dengan bimbingan agama.

3. Adanya tantangan dalam kehidupan manusia

Tantangan muncul karena faktor dari dalam maupun dari luar. Faktor
dari dalam dapat berupa hawa nafsu dan bisikan setan, sedangkan faktor
dari luar berupa rekayasa dan upaya – upaya yang dilakukan dengan sengaja
untuk memalingkan diri dari Allah. Agama dapat dijadikan sebagai
pedoman setiap manusia agar mampu menghadapi tantangan yang dialami
dalam hidupnya (Nata, 2011).

2.2 Agama Sebagai Jalan Menuju Kebahagiaan


Fitrah menusia merupakan kunci dalam bergama. Fitrah sendiri adalah sesuatu yang
melekat dalam diri seseorang dan menjadi tabiat (karakter) dalam diri seseorang. Fitrah
berasal dari kata suci, artinya adalah suci dari dosa dan suci secara genetis. Dalam Islam,
setiap manusia yang lahir dalam keadaan dalam kesucian. Kesucian yang dimaksud
adalah suvi dari dosa dan beragama Islam. Manusia dituntut untuk dapat menjaga
kesucian dan keimanannya sehingga dapat meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat
Kembali kepada Allah swt. (Dirjen Belmawa, 2016).

Materi bukan penentu kebahagiaan dalam hidup seseorang. Banyak diantara orang –
orang sukses yang meraih kekayaan dan kedudukan tinggi merasa menderita. Pada
dasarnya rasa bahagia timbul dari suasana hati seseorang, namun suasana hati yang sehat
hanya tercipta melalui iman. Iman sendiri hanya bisa ditingkatkan dengan petunjuk –
petunjuk agama.

Al – Alusi berpendapat bahwa bahagia adalah perasaan senang dan gembira karena
dapat mencapai cita – cita yang diharapkan. Misalkan, seseorang yang dinyatakan lulus
memasuki universitas dengan jurusan yang dicita – citakannya, Ia mengekspresikan
kegembiraannya dengan berteriak histeris dan melakukan sujud syukur. Berbeda dengan
Al – Alusi, Ahmad Asy – Syarbashi mengatakan bahwa bahagia adalah terwujudnya
pelaksanaan kewajiban. Kewajiban yang dimaksudkan disini adalah kewajiban terhadap
Allah. Seseorang yang telah melaksanakan kewajibannya akan merasakan kenikmatan

10
rohani luar biasa yang hanya dirasakan bagi orang yang memperjuangkan
keistiqamahannya dalam menunaikan kewajiban kepada Allah.

Dalam kitab Mizamul Amal, Al Ghazali mengatakan bahwa bahagia terbagi menjadi
dua, yaitu bahagia hakiki dan bahagia majasi. Bahagia hakiki adalah kebahagiaan yang
diperoleh dengan iman, ilmu, dan amal. Kebahagiaan hakiki bersifat rohani dan abadi
yang berupa kedamaian hidup seseorang berasal dari hati. Sedangkan bahagia majasi
adalah kebahagiaan duniawi yang diperoleh oleh orang yang beriman maupun yang tidak
beriman. Berbeda dengan kebahagiaan hakiki, Bahagia majasi bersifat fana dan
sementara. Misalnya adalah jabatan tinggi, kekayaan, rumah mewah, dan lainnya.

Ibnul Qayyim al-Jauziyah berpendapat bahwa kebahagiaan adalah perasaan senang


dan tentram karena hati dalam keadaan sehat dan berfungsi dengan baik. Hati yang sehat
dan berfungsi dengan baik dapat berhubungan dengan pemilik kebahagiaan. Dapat
diartikan bahwa kebahagiaan diraih ketika seseorang dekat dengan pemilik kebahagiaan
yaitu Allah Swt. (Dirjen Belmawa, 2016).

Sebagaimana yang dijelaskan Ibnul Qayyim al-Jauziyah, hati yang sehar memiliki
karakteristik sebagai berikut :

1. Selalu beriman kepada Allah dan menjadikan Al – Quran sebagai obat untuk
hati
2. Selalu berorientasi ke masa depan dan akhirat
3. Selalu mendorong pemiliknya untuk kembali kepada Allah
4. Selalu mengingat Allah dan tidak senang kepada selain Allah
5. Selalu menyadarkan diri apabila melupakan Allah karena urusan dunia
6. Selalu mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan ketika melaksanakan shalat
7. Selalu memperhatikan waktu agar tidak terbuang dengan sia – sia
8. Selalu berorientasi kepada kualitas amal sholih selama hidup

Apabila karakteristik diatas sudah dimiliki oleh seseorang, maka dapat dipastikan
orang tersebut telah memiliki hati yang sehat. Namun, jika tidak ada karakteristik tersebut
dalam hati seseorang, dapat diartikan bahwa hati mereka sakit. Hati yang sakit tidak dapat
mencintai Allah, sehingga harus segera dicari obat agar hatinya kembali menjadi sehat.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan hati menjadi sakit, yaitu :

11
1. Banyak bergaul dengan orang – orang jahat
2. Banyak berangan – angan atau berhayal
3. Menggantung diri kepada selain Allah
4. Terlalu kenyang dalam makanan haram
5. Terlalu banyak tidur
6. Berlebihan dalam melihat hal – hal yang tidak berguna
7. Berlebihan dalam berbicara

2.3 Menggali Sumber Historis, Filosofis, Psikologis, dan Pedagogis Tentang Pemikiran
Agama Sebagai Jalan Menuju Kebahagiaan
Secara teologis, beragama merupakan fitrah manusia. Apabila manusia hidup sesuai
fitrahnya, maka manusia tersebut akan bahagia. Sebaliknya, apabila ia hidup tidak sesuai
dengan fitrahnya, maka ia tidak akan atau kurang bahagia.
1. Secara historis, pada sepanjang sejarah kehidupan manusia, beragama
merupakan kebutuhan dasar manusia yang hakiki. Dengan akalnya, manusia
mencari Tuhan dan bisa sampai kepada Tuhan. Namun, penemuannya perlu
konfirmasi Tuhan melalui wahyu, agar manusia dapat menemukan yang
hakiki dan akhirnya manusia dapat berterimakasih (bersyukur) kepada Tuhan
atas segala nikmat yang diperolehnya, terutama nikmat dapat menemukan
Tuhan dengan akalnya tersebut.
2. Dalam kajian filosofis, dikenal sebuah aliran Eudaimonisme, yaitu aliran
yang berpandangan bahwa kebahagiaan adalah segala tujuan dan tindak
tanduk manusia. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa setiap sudut pandang
meyakini bahwa kebahagiaan tidak dimaksudkan sebatas perasaan subjektif
sebagai bahagia, dalam artian senang atau gembira, dalam aspek emosional,
tetapi kebahagiaan lebih mendalam dan objektif menyangkut seluruh aspek
kemanusiaan yang meliputi aspek moral, sosial, emosional, dan rohani.
3. Secara psikologis, menusia menurut Al-Qur’an adalah makhluk rohani,
jasmani, serta sosial. Sebagai makhluk rohani, manusia membutuhkan
ketenangan jiwa, ketentraman hati, dan kebahagiaan rohani. Kebahagiaan
rohani hanya akan didapat jika dekat dengan pemilik kebahagiaan yang
hakiki, yaitu Allah SWT. Agar jiwa bisa dekat dengan Allah SWT, maka
hendaknya mensucikan hati dari kotoran dan sifat-sifat tercela. Caranya

12
adalah dengan beragama, karena hanya agama mampu memberikan
penjelasan dan hanya agama pula yang memiliki otoritas untuk
menjelaskannya. Tanpa agama, manusia akan salah jalan dalam menempuh
untuk bisa dekat dengan Allah SWT untuk memenuhi kebaahagiaan rohani.
Dalam suatu kajian psikologi yang lain, disebutkan bahwa puncak
kebahagiaan manusia adalah pada jiwanya, sedikit berbeda dengan kajian
ilmu sosial yang meletakkan asas sosial seperti harkat, martabat, dan pangkat
sebagai puncak kebahagiaan.

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup seorang diri untuk mencapai
tujuan hidupnya secara horizontal, manusia membutuhkan interaksi dengan sesamanya,
dalam artian kepada sesama makhluk yang diciptakan, baik antar sesama manusia
maupun manusia dengan lingkungannya (flora dan fauna disekitarnya). Sedangkan secara
vertikal, manusia membutuhkan interaksi dengan Dzat yang menjadi sebab ada dirinya
beserta sekelilingnya, dalam artian yang menciptakannya. Yang menjadi pencipta
manusia tentulah merupakan Dzat yang terwujud dengan sendirinya, tidak membutuhkan
Dzat lain. Dzat yang wujud (ada) dengan sendirinya disebut wujud hakiki, sedangkan
suatu perkara yang wujudnya tergaantung kepada yang lain desibut wujud idhafi. Wujud
idhafi sangat bergantung kepada wujud hakiki. Itulah sebabnya manusia merupakan
wujud idhafi yang membutuhkan wujud hakiki, yaitu Allah SWT. Allah lah yang
menghidupkan, mematikan, memuliakan, menghinakan, menjadikan kaya, memiskinkan,
Allah Yang Zahir Yang Batin, dan Allah yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu

2.4 Membangun Tauhidullah Sebagai Satu – Satunya Model Beragama yang Benar
Sebagaimana telah diketahui bahwa misi utama Rasulullah SAW diutus sebagai
Rasul, sama seperti Rasul-Rasul sebelum beliau, yaitu mengajak manusia kepada Allah
(ajaran tauhid). Kalimat tahlil (Laa ilaaha illa Allah) adalah landasan teologis aagama
yang dibawa oleh Rasulullah SAW serta seluruh Nabi dan Rasul. Makna kalimat tersebut,
yaitu :

1. Tidak ada Tuhan selain Allah


2. Tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah
3. Tidak ada yang dicintai kecuali Allah
4. Tidak ada yang berhak dimintai pertolongan kecuali Allah

13
5. Tidak ada yang harus dituju kecuali Allah
6. Tidak ada yang harus ditakuti kecuali Allah
7. Tidak ada yang harus diminta ridanya kecuali Allah

Kalimat laa ilaaha illa Allah merupakan kalimat thayyiban (kalimat yang baik) yang
digambarkan oleh Al-Qur’an laksana sebuah pohon dengan akarnya tertancap ke dalam
tanah, batangnya berdiri tegak dan kokoh, dahan dan rantingnya menghasilkan buah-
buahan yang lebat serta bermanfaat bagi manusia. Makna ayaat secara majasi bahwa jika
akarnya baik, buah yang dihasilkan akan baik dan lebat pula, dan sebaliknya. Jika
akarnya tidak baik, maka buah pun tidak akan ada. Demikian pula dengan tauhidullah,
apabila tauhidullah sudah benar dan baik, maaka segala sesuatu yang dikerjakan akan
menjadi baik dan benar pula, sebaliknya jika tauhidullahnya tidak baik, maka sesuatu
yang dikerjakan menjadi sia-sia dan mubazir.

Tauhidullah membebaskan manusia dari takhayul, khufarat, mitos, dan bid’ah.


Tauhidullah menempatkan manusia pada tempat yang bermartabat, tidak menghambakan
diri kepada makhluk yang derajatnya lebih rendah daripada manusia karena sejatinya
manusia merupakan makhluk paling mulia dan paling sempurna dibanding dengan
makhluk-makhluk Allah yang lain (ahsani taqwim). Oleh karena itu, Allah memberikan
amanah kepada manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi. Manusia adalah roh alam,
Allah menciptaakan alam karena Allah menciptakan manusia sempurna (insan kamil)
sehingga dapat disimpulkan bahwa apabila tidak ada insan kamil, maka alam tidak akan
diciptakan.

Tauhidullah merupakan barometer kebenaran agama-agama sebelum Islam. Jika


agama-agama samawi yang dibawa oleh Rasul sebelum Rasulullah Muhammad SAW
masih tauhidullah, maka agama tersebut benar, dan seandainya agama yang dibawa
Rasul-Rasul sebelum Rasulullah Muhammad SAW tersebut sudah tidak tauhidullah
yakni sudah ada syirik (unsur menyekutukan Allah) , maka sudah jelas agama tersebut
telah melenceng, salah, dan sesat-menyesatkan. Sebagian ayat yang berkaitan dengan
masalah tersebut disampaikan sebagai berikut :

1. “Barang siapa mencari agama selain Islam sebagai agama, maka tidak akan
diterima dan di akhirat termasuk orang yang merugi.” (QS Ali Imran/3: 85).
2. “Sesungguhnya agama yang diridai Allah adalah agama Islam.” (QS Ali
Imran/3: 19).

14
3. “Maka apakah mereka mencari agama selain agama Allah, padahal hanya
kepada-Nya menyerahkan diri segala yang di langit dan di bumi, baik
dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada Allah mereka
dikembalikan.” (QS Ali Imran/3: 83).

Oleh karena itu, siapapun harus berhati-hati dalam menjaga tauhidnya, karena
tauhidullah adalah satu-satunya jalan menuju kebahagiaan hidup dunia akhirat. Menurut
Said Hawa, berikut merupakan hal-hal yang dapat merusak Tauhidullah, yaitu :

1. Sifat al-Kibr (sombong)


Allah tidak ingin memperhatikan orang yang bersikap sombong
terhadap ayat-ayat Allah. Allah berfirman, “Akan Kami palingkan dari ayat-
ayat Kami orang-orang yang sombong di muka bumi tanpa hak. Seandainya
mereka melihat setiap ayat, mereka tidak memercayainya, dan jika mereka
melihat jalan petunjuk, mereka tidak mengikutinya, dan jika mereka melihat
jalan kesesatan, mereka menjadikannya sebagai jalan. Hal demikian terjadi,
sebab mereka mendustakan ayat-ayat Kami, dan mereka lupa terhadap ayat-
ayat itu.” (QS Al-Araf/7: 146).
2. Sifat az-Zhulm (kezaliman) dan al-Kizb (kebohongan)
Bebaskanlah diri dari belenggu kezaliman dan kedustaan sebab Allah
tidak akan memberi hidayah kepada kaum yang bersikap zalim (QS Ash-
Shaff/61: 7). Selain itu, Allah pun tidak akan memberi hidayah kepada
pendusta yang bersifat mengingkari (kaffar). (QS Az-Zumar/39: 3).
3. Sikap al-Ifsad (melakukan perusakan)
Allah berfirman, “Dan tidak akan tersesat kecuali orang-orang fasik,
yaitu orang-orang yang membatalkan perjanjian dengan Allah yang dulunya
telah kokoh, dan mereka memutuskan apa-apa yang diperintahkan Allah
untuk disampaikan, dan mereka melakukan perusakan di muka bumi, mereka
itulah orang-orang yang merugi.” (QS Al-Baqarah/2: 26-27).
4. Sikap al-Ghaflah (lupa)
Jika manusia menginginkan adanya keterbukaan terhadap ayat-ayat
Allah secara keseluruhan, maka perlu diketahui bahwa sebagian ayat-ayat
Allah terbuka kepada sebagian manusia dengan hanya berpikir dan berzikir
bahwa di sana tidak ada penghalang. Sebagai contoh, perhatikan ayat Allah
berikut ini, “Sesungguhnya di dalam peristiwa ini ada tanda-tanda bagi

15
kaum yang mau berpikir.” (QS Ar-Ra‟d/13: 2). “Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang menggunakan akalnya.”
(QS Ar-Ra‟d/13: 4). “Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi,
pergantian siang dan malam ada tanda-tanda bagi orang-orang yang
berakal yaitu mereka yang berzikir kepada Allah ketika berdiri, duduk, dan
berbaring dan mereka berpikir tentang penciptaan langit dan bumi” (QS Ali
Imran/3: 190-191).
Tidaklah seseorang berpaling dari Allah kecuali karena lupa, dan
tidak ada sikap lupa kecuali di belakangnya ada permainan dan perlu diingat
bahwa seluruh kehidupan dunia itu adalah permainan belaka. “Sesungguhnya
kehidupan dunia itu hanyalah permainan.” (QS Muhammad/47: 26). “Telah
dekat hari perhitungan kepada manusia padahal mereka dalam keadaan
lupa dan berpaling. Tidaklah datang kepada mereka peringatan dari Tuhan
kecuali mereka mendengar sambil bermain-main, dan hati mereka lalai.”
(QS Al-Anbiya/21: 1-2).
5. Al-Ijram (berbuat dosa)
Bebaskanlah diri dari ijrām yakni perbuaant dosa. Allah melukiskan
sikap ini dalam firman-Nya, “Sekali-kali tidak, tetapi apa yang mereka
kerjakan mengotori hati mereka.” (QS AlMuthaffifin/83: 14). “Demikian
juga kami memasukannya pada hati orang-orang berdosa, tetapi mereka
tidak mengimaninya dan telah berlalu sunnah (kebiasaan) orang-orang
terdahulu.” (QS Al-Hijr/15: 12-13).
6. Sikap ragu menerima kebenaran
Bebaskanlah diri dari sikap ragu-ragu menerima al-ḫaq (kebenaran)
jika kita melihat perkara kebenaran itu begitu jelas. Allah berfirman, “Kami
membolak-balik hati mereka dan penglihatan mereka seperti ketika mereka
tidak percaya pada yang pertama kali, dan kami peringatkan mereka, dan
mereka sedang berleha-leha dalam kesesatannya.” (QS Al-An‟am/6: 110).

16
2.5 Konsep Kebahagiaan dalam Perspektif Islam
Dalam menjalani kehidupan di dunia, manusia sudah tentu mencari kebahagiaan.
Namun, tidak semua manusia memperoleh kebahagiaan tersebut. Hidupnya senantiasa
diliputi kegelisahan dan kegundahan, selalu kebencian, prasangka buruk, amarah, dan
dendam. Penyebabnya adalah sebagian manusia tidak tahu bagaimana cara meraih
kebahagiaan dalam hidup. Ada yang meyakini bahwa kebahagiaan adalah keberhasilan
mencapai puncak karirnya, ada juga yang meyakini bahwa bahagia adalah
keberhasilannya dalam rumah tangga, dan ada pula yang meyakini adalah saat mampu
berbuat baik dimanapun dan kapanpun. Bermacam-macam orientasi kebahagiaan dalam
benak manusia, ada yang berorientasi duniawi, ukhrawi, maupun keduanya.

Jalaluddin Rahmat dalam bukunya Tafsir Kebahagiaan, menjelaskan pandangan Al-


Qur’an terhadap makna kebahagiaan dan bagaimana cara meraihnya. Dalam Al-Qur’an,
kata yang paling tepat untuk menggambarkan kebahagiaan adalah kata aflaha. Aflaha
merupakan turunan dari akar kata falaha yang berarti kemakmuran, keberhasilan,
kenyamanan, atau keadaan hidup yang senantiasa dalam kebaikan dan keberkahan.

Menurut hasil kajian yang tercakup dalam buku tersebut, di dalam Al-Qur’an banyak
terdapat redaksi la’lakum tuflihuna, hal tersebut menunjukkan bahwa semua perintah
Allah dimaaksudkan agar hidup kita bahagia dengan cara melakukan perbuatan yang
dapat mengantarkan kepada kebahagiaan. Secara lebih detail, penulis menjabarkan cara
meraih kebahagiaan dalam hidup berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai berikut :

1. Pertama, meyakini bahwa di balik kesulitan pasti ada kemudahan.


Manusia seringkali merasa bingung, frustasi, dan sedih di kala ditimpa
musibah sehingga hidup terasa tidak menyenangkan dan penuh putus asa.
Maka agar hati tetap tenang, yakinilah bahwa Allah tidak menurunkan
kesulitan kecuali disertai kemudahan.
2. Kedua, bersyukur, ridha, dan tawakkal segala musibah.
Mengeluh dan meratap menyebabkan kehidupan pada gen-gen negatif yang
menginstrunsikan aksi-aksi negatif yang mempengaruhi kondisi tubuh.
Sebaliknya, apabila tertimpa musibah kemudian menata jiwa dan pikiran
dengan rasa syukur dan ridha maka akan menghidupkan gen-gen positif
dalam tubuh, dan kebahagiaan pun dapat dirasakan.
3. Ketiga, memaafkan orang lain apabila melakukan kesalahan.

17
Memaafkan memiliki manfaat yang besar dan akan kembali kepada diri kita
sendiri, yaitu mengibati sakit hati. Menurut Al-Qur’an, obat terbaik untuk
mengibati sakit hati adalah tidak membalas sakit hati, menahan diri untuk
kemudian memaafkan. Dengan memaafkan, hidup akan selalu bahagia, sebab
memaafkan tidak lahir kecuali dari dari hati yang bahagia.
4. Keempat, menjauhi buruk prasangka.
Secara psikologis, berbuurk sangka akan menyebabkan berbagai penderitaan
jiwa, yaitu marah, cemas, dan berbagai emosi negatif lainnya.
5. Kelima, menjauhi kebiasaan mudah marah ketika menghadapi atau tertimpa
sesuatu.
Marah dapat berpengaruh pada kesehatan fisik dan pikiran, serta dapat
menyebabkan stress. Selain itu, marah berkepanjangan akan menimbulkan
kebencian dan melahirkan dendam. Dengan demikian hidup menjadi tidak
bahagia dan hanya akan melahirkan penyakit.
6. Keenam, mengurangi keinginan yang bersifat duniawi dengan zuhud dan
qana’ah.
Terkadang banyak keinginan tidak realistis yang menjadikan diri tertekan
sebab tidak semua keinginan dapat dicapai. Biasanya keinginan datang dari
luar diri, maka buanglah keinginan-keinginan yang sebenarnya tidak
dibutuhkan. Tentukan keinginan diri sendiri dan kurangi sebab tidak ada cara
paling mudah menghilangkan stress kecuali mengurangi keinginan untuk
mencapai segalanya.

Dengan melakukan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an di atas, akan banyak mendapatkan


pencerahan dan pemahaman tentang bagaimana memperoleh kebahagiaan hidup di
dunia, dan sejatinya hidup ini adalah mencari kebahagiaan dunia dan akhirat (Rakhmat,
2010).

Abdul Muhsin al-Muthairi mengungkapkan konsep kebahagiaan sebagai pedoman


hidup umat manusia yang dilansir dari Al-Qur’an Surat Al-Insyirah, yang dipaparkan
secara detail sebagai berikut :

1. Pertama, kebahagiaan merupakan pemberian Allah SWT semata.


Pada ayat pertama menjelaskan bahwa Allah SWT adalah Dzat Yang
Melapangkan dada. Bagi Allah, kebahagiaan termasuk makhluk-Nya seperti

18
ciptaan-ciptaan lainnya. Selanjutnya, Allah meletakkan kebehagiaan tersebut
dalam hati seseorang yang Dia kehendaki. Dengannya, memungkinkan orang
tersbut untuk merasakan kebahagiaan. Sabeliknya, orang tersebut dapat
meraasakan kegundahan apabila Allah berkehendak mencabut kebahagiaan
tersebut.
Ketika mengetahui hal ini, maka sebelum manusia memutuskan untuk
mengejar kebahagiaan, hendaknya ia mengejar terlebih dahulu pencipta
kebahagiaan tersebut. Baik itu melalui amall ibadah seperti shalat, maupun
melakukan ibadah yang berhubungan dengan makhluk seperti zakat.
2. Kedua, kebahagiaan terletak di hati manusia dan bukan di nalar pikiran.
Telah kita ketahui bahwa hati adalah urusan Ilahi, artinya hanya Allah
semata yang mampu mebolak-balikkan hati. Maka, tugas kita sebagai
makhluk adalah selalu meminta pertolongan kepada Allah agar hati selalu
ditetapkan pada iman. Jika hati selalu dalam jalur iman, maka tidak peduli
seberta apapun cobaannya, hati akan tetap lapang dan bahagia karena Allah.
Hati yang senantiasa bersih akan mampu melihat hal-hal yang bersifat
hakik, tidak mudah mengeluh dan gelisah. Hati akan dipenuhi oleh rasa
bahagia meski saat tertimpa musibah karena masih dapat melihat hikmah
dibalik musibah. Begitu pula sebaliknya, saat hati kotor, sebanyak apapun
nikmat yang diberikan akan tetap merasa kurang dan hampa.
3. Ketiga, pengampunan dosa.
Pada ayat kedua dijelaskan bahwa semakin ringan beban yang dipikul
oleh seorng hamba menandakan bahwa hamba tersebut semakin dekat
dengan kebahagiaan. Dalam Al-Qur’an, Allah menyamakan dosadengan
sebuah beban berat yang dipikul manusia.
Patut diingat bahwa dosa dapat diampuni dengan taubat, meminta
ampun, dan melakukan amalan-amalan kebaikan yang dapat menggugurkan
dosa. Oleh karena itu, semakin ringan dosa seseorang, maka akan semakin
abanyak kemudahan yang mendekat.
4. Keempat, sebutan yang baik.
Ayat ketiga menjelaskan bahwa sebutan yang baik niscaya mengundang
doa kebaikan dan menjadikan lisan senantiasa memujinya. Pada ayat tersebut
juga menyiratkan pesan, sebutan yang baik adalah suatu pemberian bukan

19
perkara yang diminta-minta. Oleh karenanya, pujian yang dibuat-buat tidak
ada manfaatnyasebab tak didasari keikhlasan kepada Allah SWT.
Manusia mendambakan ebuah pujian atau penghargaan atas dirinya
merupakan salah satu ciri manusia memiliki sifat eksistensi. Tidak dapat
dipungkiri bahwa salah satu sumber kebahagiaan adalah saat manusia merasa
puas atas pencapaiannya. Dalam Islam, penghargaan tertinggi diberikan oleh
Allah SWT berupa derajat ketaqwaan, bukan sekadar pujian yang
disanjungkan sesama makhluk.
5. Kelima, tidaklah Allah menghadirkan kesusahan kecuali dibarengi dengan
kemudahan.
Pada ayat 4 dijelaskan ketika seorang muslim menyadari bahwa tidak
persoalan kecuali tidak dibarengi dengan jalan keluar, tidak ada kegundahan
kecuali terdapat solusi, tidak ada kesempitan melainkan terdapat kelapangan,
maka hal tersebut sudah cukup menguir kesedihan sebab orang yang
meyakini adanya jalan keluar sudah pasti akan selalu mencari solusinya.
6. Keenam, kemudahan diturunkan tepat bersamaan dengan kesulitan.
Musibah yang meinpa seseorang akan disebut musibah namun dapat
juga disebut sebagai penggugur dosa. Terkadang musibah disangka
mendatangkan kesedihan semata padahal di saat yang sama Allah berkenan
memberi kebaikan dan pahala.
Ayat keempat dan kelima memiiki esensi yang sama, yaitu setelah ada
kesusahan akan ada kemudahan. Artinya kemudahan akan selalu Allah
turunkan sekaligus saat seseorang mengalami kesulitan. Tidak perlu ada
penyesalan, kegundahan, karena semua memiliki jalan keluar.
7. Setiap satu kesulitan diiringi dengan dua kemudahan sekaligus.
Masih pada ayat yang sama, sebagian salaf berkata, demi Allah tidak
mungkin satu kesempitan mengalahkan dua kelapangan sekaligus.
8. Kedelapan, memanfaatkan waktu kosong.
Pada ayat keenam mengisyaratkan tak sepantasnya seorang muslim
terlena dengan kekosongan waktu. Seringkali saat diberi kebahagiaan,
manusia menjadi leha-leha. Ayat ini menjadi teguran sekaligus
mengingatkan manusia saat telah selesai menyelesaikan satu urusan maka
bergegaslah kepada urusan lainnya.

20
9. Kesembilan, ibadah.
Ayat ketujuh menjelaskan untuk menyambut ketaatan dan ibadah
selanjutnya. Ibadah adalah pintu utama dalam mencapai kebahagiaan sejati.
Setiap perkara yang mengantarkan kepada suatu ibadah berarti juga
mengantar kepada kebahagiaan
10. Kesepuluh, ikhlas dalam mencari ridha Allah.
Ayat kedelapan merupakan puncak kebahagiaan yaitu ketika seorang
hamba benar-benar hanya mengikhlaskan seluruh amal perbuatannya kepada
Allah semata. Itulah konsep kebahagiaan dalam Islam, semuanya kembali
kepada Allah.

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tujuan hidup manusia adalah sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat, untuk
menggapai kebahagiaan yang dimaksud sangat mustahil tanpa landasan agama. Agama
yang dimaksud adalah agama tauhidullah. Kebahagiaan dalam Islam adalah kebahagiaan
autentik yang lahir dan tumbuh dari nilai-nilai hakiki ajaran Islam dan yang perlu
digarisbawahi bahwa kebahagiaan itu tidak lengkap jika tidak terwujud dalam kehidupan
konkrit dengan jalan membahagiakan orang lain. Artinya jika ingin hidupnya bahagia di
dunia dan di akhirat maka kuncinya harus bisa memberikan kebermanfaatan kepada alam
semesta dan isinya.

Kebahagiaan tidak diukur oleh banyaknya harta dan tingginya jabatan, tetapi
kebahagiaan itu ada dalam hati. Kebahagiaan adalah kearifan. bahwasannya kehidupan
semewah apapun yang kita rasakan di dunia ini hanya kebahagiaan sementara saja, jika
manusia terus-menerus memfokuskan dirinya dalam mencari kebahagiaan dunia maka
tertutuplah kebahagiaan yang sebenarnya yang lebih baik dan lebih utama daripada
kehidupan dunia.

Pada hakekatnya tujuan akhir yang sebenarnya adalah surga yang indah yang penuh
dengan kebahagiaan dan kenikmatan yang abadi dan tidak terbatas, dan bisa menatap
wajah Tuhan. dalam hal ini Allah SWT memberikan pilihan kepada manusia apakah akan
memilih kebahagiaan di dunia atau kebahagiaan di akhirat, karena Pahala yang lebih
besar ada di sisi Allah SWT.

3.2 Saran
Setelah mendapat kesimpulan dari makalah ini, kami selaku penyusun makalah
berharap pembaca untuk membaca dan memahami secara seksama materi yang
dituangkan dalam makalah ini dengan baik. Setelah membaca makalah ini, pembaca
diharapkan mengerti dan dapat mengamalkan dikehidupan sehari hari mengenai agama
menjamin kebahagiaan.
Kami menyadari bahwasannya makalah yang telah kami susun ini masih jauh dari
kata sempurna dan perlu banyak perbaikan. Oleh karena itu, kami menerima segala
bentuk kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.

22
DAFTAR PUSTAKA

Wahyuddin, dkk., 2019. Pendidikan Agama Islam : Membangun Karakter Mahasiswa


Perguruan Tinggi. Surabaya: Litera Jannata Perkasa.

Muhammaddin, M., 2013. Kebutuhan Manusia Terhadap Agama. Jurnal Ilmu Agama:
Mengkaji Doktrin, Pemikiran, dan Fenomena Agama, 14(1), pp.99-114.

Liswi, H., 2018. Kebutuhan Manusia Terhadap Agama. PENCERAHAN, 12(2), pp.201-223.

Asir, A., 2014. Agama dan fungsinya dalam kehidupan umat manusia. Al-Ulum Jurnal
Pemikiran dan Penelitian ke Islaman, 1(1), pp.50-58.

dindaa99, 2018. slideshare. [Online]


Available at: https://www.slideshare.net/dindaa99/bagaimana-agama-menjamin-kebahagiaan-
120654270
[Accessed 27 September 2021].

Universitas Sebelas Maret, -. PORTAL SPADA UNS. [Online]


Available at: https://spada.uns.ac.id/mod/resource/view.php?id=32863&forceview=1
[Accessed 27 September 2021].

Anonymous, -. KBBI online. [Online]


Available at: https://kbbi.web.id/agama
[Accessed 1 October 2021].

Anda mungkin juga menyukai