Anda di halaman 1dari 7

REFLEKSI KASUS

Identitas Pasien

Nama : Tn. KR
Jenis kelamin : Pria
Usia : 27 tahun
Alamat : Jl. Anoa Lrg. Saheti
Status pernikahan : Belum Menikah
Pendidikan terakhir : Mahasiswa S1
Pekerjaan : Tidak Ada
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 13 Oktober 2014

I. Deskripsi Kasus

Tn. KR, berusia 27 tahun datang ke poli jiwa RSU Anutapura


dengan keluhan nyeri perut dan sakit pada tulang belakang. Keluhan ini
muncul dengan sejak 1 minggu lalu. Nyeri perut dirasakan diatas umbilikus
dan terasa seperti luka tusuk. Nyeri di tulang belakang dirasakan tiba-tiba.
Pasien datang ke poliklinik jiwa RSU Anutapura untuk yang kedua kalinya.

Sebelumnya pasien masuk RSU Anutapura dengan keluhan sesak


napas, cemas, takut, kepala terasa ringan, nyeri pada mata dan telinga serta
susah tidur selama 3 bulan. Setelah dirawat selama 3 hari, pasien mengeluh
susah tidur dan akhirnya dikonsulkan ke poli jiwa. Pasien juga mengeluh
merasakan cemas, gelisah, dan kadang-kadang sedih namun tidak lagi ia
rasakan setelah diberikan terapi oleh dokter spesialis kedokteran jiwa.

Sekitar beberapa tahun yang lalu ayah pasien meninggal dunia. Ibu
kandungnya berada di luar kota dan sedang menderita gangguan jiwa. Ia
memiliki 4 saudara kandung dan 2 saudara tiri. Ia merupakan anak pertama.
Pasien juga mengeluh memiliki masalah dengan teman di kampusnya.
Namun menurut pasien masalah tersebut sudah terselesaikan.

II. Emosi yang terlibat


Kasus ini menarik untuk dibahas karena pasien sulit diwawancara
karena gejala yang dirasa sudah hilang dan pasien hanya menjawab
seadanya.

III. Analisis
a. Diagnosis

Pasien datang ke poli jiwa untuk kontrol yang kedua kalinya.


Pasien kini merasa nyeri perut dan kadang-kadang sakit pada tulang
belakang. Sebelumnya pasien konsul ke poli jiwa karena keluhan susah
tidur, cemas, gelisah. Pasien masuk RSU Anutapura dengan keluhan
sesak napas, kepala terasa ringan, cemas, takut, nyeri pada mata dan
telinga. Namun pasien sudah mendapatkan terapi untuk keluhannya ini
dan sudah mengalami perbaikan yang signifikan.

Diagnosis multiaksial

Aksis I: berdasarkan PPDGJ-III pasien ini dapat didiagnosis F41.2


Gangguan Anxietas Campuran Lainnya

Aksis II: Ciri kepribadian: pasien mengaku suka bergaul seperti teman-
teman lainnya.

Aksis III: tidak ada

Aksis IV: tidak ada

Aksis V: 70-61 beberapa kesulitan dalam okupasional dan bersekolah


(pasien belum bisa bekerja dan kuliah lagi) namun secara umum dapat
berfungsi cukup baik, memiliki sejumlah hubungan interpersonal yang
berarti.

b. Tinjauan pustaka

Dalam praktek sehari-hari, baik pada praktek umum maupun


praktek spesialis, sebagian besar pasien datang dengan keluhan fisik.
Pasien yang datang ke tempat praktek, seringkali tidak didapatkan
kelainan organik yang bermakna, sehingga dokter membuat diagnosis
sesuai dengan keluhan pasien. Dokter biasanya baru menyadari adanya
gangguan psikiatri setelah dilakukan berbagai macam pemeriksaan dan
pengobatan tanpa hasil yang memuaskan. Bila sejak awal sudah
dilakukan pendekatan psikosomatik pada setiap pasien yang datang
berobat, baik dengan penyakit organik atau tanpa adanya penyakit
organik, hal ini tidak akan terjadi.(2)

Gangguan psikiatri terutama cemas dan depresi banyak


dilaporkan terjadi pada gangguan gastrointestinal fungsional, paling
sering pada kasus dispepsia dan Irritable Bowel Syndrome (IBS).
Peranan faktor psikologis cukup besar pada perjalanan penyakit ini,
walaupun sulit untuk dikatakan sebagai hubungan kausatif.(3)

Gangguan ansietas memiliki dua komponen: kesadaran akan


sensasi fisiologis (seperti palpitasi dan berkeringat) serta kesadaran
bahwa ia gugup atau ketakutan. Selain pengaruh viseral dan motorik,
ansietas memengaruhi pikiran, persepsi, dan pembelajaran. Aspek
penting emosi adalah efeknya pada selektivitas perhatian. Orang yang
mengalami ansietas cenderung memperhatikan hal tertentu di dalam
lingkarannya dan mengabaikan hal lain dalam upaya untuk
membuktikan bahwa mereka dibenarkan untuk menganggap situasi
tersebut menakutkan. Jika keliru dalam membenarkan rasa takutnya,
mereka akan meningkatkan ansietas dengan respons yang selektif dan
membentuk lingkaran setan ansietas, persepsi yang mengalami distorsi,
dan ansietas yang meningkat.(5)

Secara ilmu psikologis terdapat tiga teori psikologis utama yaitu


teori psikoanalitik, teori kognitif perilaku, dan teori eksistensial. Teori
psikoanalitik berdasarkan Sigmund Freud yang menyimpulkan bahwa
ansietas dipandang sebagai akibat konflik psikik antara keinginan tidak
disadari yang bersifat seksual atau agresif dan ancaman terhadap hal
tersebut dari superego atau realitas eksternal. Sebagai respon terhadap
sinyal ini, ego memobilisasi mekanisme pertahanan untuk mencegah
pikiran dan perasaan yang tidak dapat diterima agar tidak muncul ke
kesadaran.(5)

Menurut teori perilaku-kognitif, ansietas adalah respon yang


dipelajari terhadap stimulus lingkungan spesifik. Pasien dengan
gangguan ansietas cenderung memperkirakan secara berlebihan derajat
bahaya dan kemungkinan kerusakan pada situasi tertentu serta
cenderung meremehkan kemampuan mereka dalam menghadapi
ancaman yang dirasakan pada kesejahteraan fisik atau psikologis
mereka.(5)

Teori eksistensial ansietas memberikan model untuk gangguan


ansietas menyeluruh, tanpa adanya stimulus spesifik yang dapat
diidentifikasi untuk perasaan cemas kronisnya. Konsep pusat teori
eksistensial adalah bahwa orang menyadari rasa kosong yang mendalam
di dalam hidup mereka, perasaan yang mungkin bahkan lebih membuat
tidak nyaman daripada penerimaan terhadap kematian yang tidak dapat
dielakkan.(5)

Menurut ilmu biologis, satu kutub pemikiran meyakini bahwa


perubahan biologis yang dapat diukur pada pasien dengan gangguan
ansietas mencerminkan hasil konflik psikologi; sedangkan kutub yang
lain meyakini bahwa peristiwa biologis mendahului konflik psikologis.
Misalnya stimulasi sistem saraf otonom menimbulkan gejala tertentu
seperti takikardi (kardiovaskular), sakit kepala (muskular), diare dan
nyeri ulu hati (gastrointestinal), dll. Selain itu, terdapat tiga
neurotransmiter utama yang mengalami disregulasi yang terkait dengan
ansietas yaitu peningkatan norepineprin, peningkatan serotonin, dan
penurunan aktivitas GABA.(6)

c. Terapi

Gangguan ansietas menyeluruh, gangguan penyesuaian dengan


ansietas dan keadaan ansietas lainnya merupakan penerapan klinis
utama untuk benzodiazepin di dalam psikiatri dan praktik medis umum.
Sebagian besa pasien sebaiknya diterapi untuk suatu periode yang
relatif singkat, spesifik, dan sebelumnya telah ditentukan. Klinisi
mungkin lebih cenderung memberikan terapi berdasarkan gejala yang
timbul, keparahannya, dan tingkat pengalaman klinisi tersebut dengan
berbagai modalitas terapi.(2)

Benzodiazepin pada penggunaan klinis memiliki kapasitas untuk


menguatkan ikatan neurotransmiter inhibitori utama asam gamma-
aminobutirat (GABA) pada reseptor GABAA, sehingga mempercepat
arus ionik terinduksi-GABA melalui saluran ini. Semua efek
benzodiazepin dihasilkan oleh kerjanya pada sistem saraf pusat (SSP).
Efek-efek ini yang paling dominan adalah sedasi, hipnosis, penurunan
ansietas; relaksasi otot, amnesia anterograde, dan aktivitas
antikonvulsan.(3)

Selain itu, serotonin selective reuptake inhibitor (SSRI) adalah


agen antiansietas yang efektif dan tidak memiliki potensi
penyalahgunaan, meskipun efek ansietasnya memerlukan waktu 2
hingga 4 minggu untuk timbul.(3)

Pengobatan untuk pasien ini bisa ditambahkan dengan


memberikan obat yang menurunkan gejala nyeri perut atau nyeri ulu
hati seperti obat golongan PPI (omeprazol, lazoprazol) atau
antihistamin H2 (ranitidin, simetidin).

IV. Kesimpulan

Berdasarkan kasus ini, hal yang bisa dijadikan sebagai pembelajaran


adalah bagaimana berkomunikasi yang baik dengan pasien sehingga
masalah utama yang dirasakan pasien dapat kita ketahui dan rasakan.
Kesulitan dalam melakukan wawancara sebaiknya direfleksikan pada diri
bahwa mungkin pasien masih belum percaya pada kita untuk menceritakan
masalahnya. Hal ini penting karena menjadi dasar pada pengobatan
psikologis pasien.
Daftar Pustaka

1. Maslim R (ed). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III.


Jakarta: Bagian Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, PT Nuh Jaya; 2001.
2. Noerhidajati E, Izzudin, Djagat H. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Amplifikasi Somatosensori Pada Penderita dengan Keluhan Nyeri Ulu Hati.
Sains Medika Jurnal Kesehatan, 2010: 2 (2); 178-192.
3. Utama H (ed). Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2013
4. Sadock B J, Sadock V A. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi
2. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta; 2010.

Anda mungkin juga menyukai