Anda di halaman 1dari 25

Peran kepemimpinan kepala sekolah dalam

mengembangkan mutu sumberdaya guru


pada lembaga pendidikan Islam: Studi multi
kasus di Sekolah Dasar Islam Surya Buana
dan Sekolah Dasar Anak Saleh Malang
Husnayain, Muhammad Faizul (2015) Peran kepemimpinan kepala sekolah dalam
mengembangkan mutu sumberdaya guru pada lembaga pendidikan Islam: Studi multi kasus di
Sekolah Dasar Islam Surya Buana dan Sekolah Dasar Anak Saleh Malang. Masters thesis,
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

Text (Fulltext)
13710010.pdf - Accepted Version
Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No
Derivatives.
Download (10MB) | Preview

Abstract
INDONESIA:

Banyak masalah mutu yang dihadapi dalam dunia pendidikan, seperti mutu lulusan, mutu
pengajaran, bimbingan dan latihan dari guru, serta mutu sumberdaya guru. Mutu-mutu tersebut
terkait dengan mutu manajerial para pemimpin pendidikan, keterbatasan dana, sarana dan
prasarana, fasilitas pendidikan, media sumber belajar, alat dan bahan latihan, iklim sekolah,
lingkungan pendidikan, serta dukungan dari pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan. Semua
kelemahan mutu dari komponen-komponen pendidikan tersebut berujung pada rendahnya mutu
akademik guru. Oleh karena itu kepala sekolah harus mempunyai strategi untuk kemajuan
lembaganya dengan cara mengembangkan mutu sumberdaya guru dengan harapan setiap guru
memiliki kompetensi akademik yang baik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan perilaku kepemimpinan kepala sekolah dalam
mengembangkan mutu sumberdaya guru yang diterapkan di SDI Surya Buana dan SD Anak
Saleh Malang, dengan sub fokus yang mencakup: (1) Program Kepala Sekolah dalam
Mengembangkan Mutu Sumberdaya Guru, (2) Bentuk-bentuk strategi Kepala Sekolah dalam
Mengembangkan Mutu Sumberdaya Guru, (3) Peran Kepala Sekolah dalam Mengembangkan
Mutu Sumberdaya Guru.

Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologic naturalistic.


Pengumpulan data melalui: wawancara, observasi dan dokumentasi. Tehnik analisis datanya
dengan tiga jalur yaitu, penyajian data, reduksi data dan penarikan kesimpulan.
Simpulan penelitian ini adalah: 1). Program kepala sekolah dalam mengembangkan mutu
sumberdaya guru meliputi: a. membentuk lesson studi, b. adanya penugasan-penugasan, c.
mendatangkan nara sumber, d. melaksanakan studi lanjut, e. melaksanakan studi banding 2)
Bentuk-bentuk strategi pengembangkan mutu sumberdaya guru meliputi: a. adanya penghargaan
(reward), b. adanya supervisi, c. mengikutsertakan pelatihan, seminar, workshop, diklat dan
pengembangan kegiatan lainya. 3) Peran kepala sekolah dalam mengembangkan mutu
sumberdaya guru dengan melaksanakan, a. sebagai educator, b. sebagai manajer, c. sebagai
supervisor, d. sebagai administrator, e. sebagai leader, f. sebagai innovator, g. sebagai motivator.
Kepala sekolah memiliki peranan yang strategis dalam rangka mengembangkan dan
meningkatkan kompetensi guru, baik sebagai educator (pendidik), manajer, administrator,
supervisor, leader (pemimpin), innovator, maupun motivator.

ENGLISH:

Many of the problems encountered in the quality of education, such as the quality of graduates,
the quality of teaching, guidance and training of teachers, as well as the quality of teacher
resources. Quality-the quality associated with quality managerial education leaders, limited
funds, facilities, educational facilities, media learning resources, tools and training materials,
school climate, environmental education, as well as the support of the parties related to
education. All of the weakness of the quality of the educational components leads to poor
academic quality of teachers. Therefore, principals should have a strategy to progress the
institution by developing quality teacher resources in the hope of every teacher has a good
academic competence.

This study aims to reveal the behavior of the principal's leadership in developing quality teacher
resources are applied in SDI and SD Child Surya Buana Malang Saleh, with sub focus that
includes: (1) Program Principal in Developing Quality Resource Teacher, (2) Forms Principal in
Developing a strategy Quality Resource Teacher, (3) Role of the Principal in Developing Quality
Resource Teacher.

This type of research is qualitative fenomenologic naturalistic approach. Data collection through:
interviews, observation and documentation. Technical analysis of the data with three channels,
namely, the presentation of data, data reduction and conclusion.

The conclusions of this study are: 1). The program principals in developing quality teacher
resources include: a. forming lesson study, b. their assignments, c. bring a resource, d. carry out
further studies, e. carry out a comparative study 2) forms of teacher resource quality
pengembangkan strategy include: a. the awards (reward), b. supervision, c. include training,
seminars, workshops, training and development of other activities. 3) The role of principals in
developing quality teacher resources to carry out, a. as an educator, b. as a manager, c. as
supervisor, d. as an administrator, e. as a leader, f. as an innovator, g. as a motivator. The school
principal has a strategic role in order to develop and improve the competence of teachers, both as
educator (educator), manager, administrator, supervisor, leader (leaders), innovator, and
motivator.

Item Type: Thesis (Masters)


Supervisor: Prabowo, Sugeng Listyo and Al-Idrus, Salim
Peran Kepemimpinan Kepala Sekolah; Pengembangan Mutu Sumberdaya
Keywords: Guru; Role of Headmaster Leadership; Teachers Resource Quality
Development
Depositing User: Zulaikha Zulaikha
Date Deposited: 30 Jun 2016 06:04
Last Modified: 30 Jun 2016 06:04
URI: http://etheses.uin-malang.ac.id/id/eprint/3283
PENGARUH MOTIVASI KERJA,
KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH
DAN LINGKUNGAN KERJA TERHADAP
KINERJA GURU (Suatu Studi Berdasarkan
Persepsi Guru SMK Negeri Kota Tegal)
SUNARNO , AGUS (2005) PENGARUH MOTIVASI KERJA, KEPEMIMPINAN KEPALA
SEKOLAH DAN LINGKUNGAN KERJA TERHADAP KINERJA GURU (Suatu Studi
Berdasarkan Persepsi Guru SMK Negeri Kota Tegal). Thesis thesis, Universitas Muhammadiyah
Surakarta .

BACA FULLTEXT

PDF
Q100030087.pdf
Download (122kB)
PDF
Q100030087.pdf
Restricted to Repository staff only

Download (443kB)

Abstract
This research has a purpose to know how big is it to have effect on work motivation, leadership
of head master, and work surroundings toward teacher work of Tegal Vocational High School in
Academic year 2005/2006. It so happens that the hypothesis in this research is to be found effect
among work motivations, leadership of headmaster, and work surroundings toward teacher work.
The population of the research consist of all teachers of Tegal state Vocational High School they
are state Vocational High School 1,2 and 3. The number of teacher work of Tegal Vocational
High School both partial and collective. It means that independent variabel can be used to clarify
a dependent variable. It so happens the value of determination is 64,5%, it means that 64,5% an
independent variable can be used to predict dependent variable. In other word teacher work can
be explained or an be predicted with the value of work motivation, leadership of headmaster, and
work surroundings while its remains 35,5% is explained by another variable in this research.

Item Type: Thesis (Thesis)


Uncontrolled PENGARUH MOTIVASI KERJA, KEPEMIMPINAN KEPALA
Keywords: SEKOLAH DAN LINGKUNGAN KERJA TERHADAP KINERJA GURU

Subjects: L Education > L Education (General)

Divisions: Fakultas Pasca Sarjana > Magister Administrasi Pendidikan

Depositing User: Gatiningsih Gatiningsih

Date Deposited: 15 May 2010 04:42

Last Modified: 15 Nov 2010 07:11

URI: http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/7006
Hubungan Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Profesionalisme guru
Abstrak

Tesis mengambil judul : HUBUNGAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN PROFESIONALISME GURU
DENGAN PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR SISWA (Kajian Manajemen Pendidikan di Sekolah Dasar
Kecamatan Cimaragas Kabupaten Ciamis)
Tujuan Penelitian ini adalah ; 1). Untuk mengetahui Efektifitas Kepemimpinan Kepala Sekolah Dasar
dengan Prestasi Belajar Siswa di Kecamatan Cimaragas Kabupaten Ciamis, 2). Untuk mengetahui
Profesionalismen Guru Sekolah Dasar dengan Prestasi Belajar Siswa di Kecamatan Cimaragsa Kabupaten
Ciamis, dan 3). Untuk mengetahui Hubungan Kepala Sekolah dan Profesionalisme Guru degan Prestasi
belajar siswa Sekolah Dasar di Kecamatan Cimaragas Kabupaten Ciamis.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif yaitu penelitian yang
menggambarkan keadaan sebenarnya dari fenomena objek yang diteliti dikomparasikan dengan teori
yang ada. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Dalam menganalisis data menggunakan model
strategi analisis deskriptif analitik.
Kepemimpinan adalah bagian penting manjemen, tetapi tidak sama dengan manajemen. Kepemimpinan
merupakan kemampuan yang dipunyai seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar bekerja
mencapai tujuan dan sasaran. Manajemen mencakup kepemimpinan tetapi juga mencakup fungsi-fungsi
lainnya seperti perencanaan, pengorganisasian, pengawasan dan evaluasi. Guru profesional adalah guru
yang menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan dan ahli mengajarnya. Prestasi adalah penilaian
pendidikan tentang perkembangan dan kemajuan siswa berkenaan dengan penguasaan bahan pelajaran
yang disajikan kepada siswa. Belajar ialah Suatu usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh
suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam
interaksi dengan lingkungannya.
Hasil analisis dan pembahasan Hubungan Kepemimpinan Kepala Sekolah Dan Profesionalisme Guru
Dengan Peningkatan Prestasi Belajar Siswa, yaitu; mengenai kepemimipinan Kepala Sekolah Dasar di
Kecamatan Cimaragas Kabupaten Ciamis dalam tipe kepemimipinan transformasional dengan ciri-ciri
antara lain kepala sekolah dalam berbagai hal membangun komitmen bersama terhadap sasaran
organisasi dam memberikan kewenangan berupa kepercayaan kepada para pengikutnya yaitu guru, staf
dan karyawan untuk mencapai sasaran, jalannya organisasi bukan digerakan oleh borikrasi tetapi oleh
kesadaran bersama dimana kewenangan sekolah dalam pengelolaan sangat luas, juga adanya partisipasi
aktif dari stakeholder. Mengenai profesionalisme guru Sekolah Dasar di Kecamatan Cimaragas
Kabupaten Ciamis, sesuai dengan data yang ada, profesionalisme guru Sekolah Dasar di Kecamatan
Cimaragas Kabupaten Ciamis adalah berada pada rata-rata sedang atau cukup baik. Nilai rata-rata
prestasi hasil belajar siswa kelas V Sekolah Dasar di Kecamatan Cimaragas Kabupaten Ciamis cukup baik
atau sedang.
Terdapat korelasi positif yang signifikan antara Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Profesionalisme guru
dengan prestasi hasil belajar siswa kelas V Sekolah Dasar di Kecamatan Cimaragas Kabupaten Ciamis.
Profesionalisme guru tersebutdapat mempengaruhi prestasi hasil belajar siswa 50%. Adapun 50%
lainnya dipengaruhi oleh faktor lain.

Abstraction

Thesis take the title : [RELATION/LINK] of LEADERSHIP of HEADMASTER AND PROFESSIONALISM LEARN
BY the MAKE-UP OF ACHIEVEMENT LEARN THE STUDENT ( Study of Education Management at school
Base of Subdistrict of Cimaragas of Regency Ciamis)
this Research Target [is] ; 1). To know the Elementary Efektifitas Headmaster Leadership with the
Achievement Learn Student [in] Subdistrict of Cimaragas of Regency Ciamis, 2). To know the Elementary
Profesionalismen Schoolteacher with the Achievement Learn Student [in] Subdistrict of Cimaragsa of
Regency Ciamis, and 3). To know the [Relation/Link] of Headmaster and Professionalism Learn the degan
Achievement learn the student [of] Elementary School [in] Subdistrict of Cimaragas of Regency Ciamis.
Research Method used [by] [is] descriptive research method that is research depicting circumstance in
fact from accurate [by] object phenomenon [of] dikomparasikan with the existing theory. This research
represent the research qualitative. In analysing data use the analytic descriptive analysis strategy model.
Leadership [is] important shares [of] manjemen, but unlike management. Leadership represent the
ability had [by] the somebody to influence the others [of] [so that/ to be] goal-striving and target.
Management include;cover the leadership [of] but also include;cover the other function like planning,
organization, observation and evaluate the. Professional teacher [is] teacher mastering science taught
and expert teach [it]. Achievement [is] education assessment [of] about growth and student progress
with reference to domination of Iesson substance presented to student. Learning [is] A[N effort
[done/conducted] [by] a somebody to obtain;get a[n new behaviour change as a whole, as its own
experience result in interaction environmentally [his/its]
Result of analysis and solution of [Relation/Link] of Leadership of Headmaster And Professionalism Learn
By the Make-Up Of Achievement Learn the Student, that is; concerning Elementary kepemimipinan
Headmaster [in] Subdistrict of Cimaragas of Regency Ciamis in type of kepemimipinan transformasional
with the marking for example headmaster in so many matter develop;build the komitmen with to
organizational target [of] draught give the kewenangan in the form of belief to all its follower that is
teacher, staff and employees to reach the target, the way organization [of] non movement by borikrasi
[of] but by awareness with where kewenangan school in management very wide, also the existence of
active participation from stakeholder. Concerning Elementary schoolteacher professionalism [in]
Subdistrict of Cimaragas of Regency Ciamis, as according to existing data, Elementary schoolteacher
professionalism [in] Subdistrict of Cimaragas of Regency Ciamis [is] be at the mean [is] or good enough.
average value [of] Achievement [of] result of learning student of class of V [of] Elementary School [in]
Subdistrict of good enough Cimaragas Regency Ciamis or [is].
There are positive correlation [is] which signifikan [of] [among/between] Leadership of Headmaster and
Professionalism learn with the achievement [of] result of learning student of class of V [of] Elementary
School [in] Subdistrict of Cimaragas of Regency Ciamis. Professionalism learn the tersebutdapat
influence the achievement [of] result of learning student 50%. As for 50% influenced by other;dissimilar
factor.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Salah satu persoalan pendidikan yang sedang dihadapi bangsa kita adalah persoalan mutu pendidikan
pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu
pendidikan nasional, antara lain melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kompetensi guru,
pengadaan buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, guna tercapainya mutu
pendidikan yaitu prestasi belajar peserta didik. Namun demikian, Indikator mutu pendidikan belum
menunjukkan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukkan
peningkatan mutu pendidikan yang mencakup menggembirakan, namun sebagian besar lainnya masih
memprihatinkan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 19 tahun 2007 tentang Standar pengelolaan Pendidikan,
menjelaskan tentang peran Kepemimpinan Kepala Sekolah yaitu; merumuskan tujuan dan target mutu
yang akan dicapai, menjaga dan meningkatkan motivasi kerja pendidik dan tenaga kependidikan,
menciptakan lingkungan pembelajaran yang efektif bagi peserta didik, melaksanakan dan merumuskan
program supervisi, serta memanfaatkan hasil supervisi untuk meningkatkan kinerja sekolah,
meningkatkan mutu pendidikan, Kepala Sekolah menjamin manajemen organisasi dan pengoperasian
sumber daya sekolah untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, sehat, efisien, dan efektif.
Dari berbagai pengamat dan analisis, ada berbagai faktor yang menyebabkan mutu pendidikan kita
mengelami peningkatan secara merata. Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional
menggunakan pendekatan educational production function atau input-output analisis yang tidak
dilaksanakan secara konsekwen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai
pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut,
maka lembaga akan menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap input
pendidikan seperti pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana prasarana
perbaikan lainnya dipenuhi, maka mutu pendidikan (output) secara otomatis akan terjadi.
Kedua, penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratis sentralistik, sehingga peran
sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat bergantung pada keputusan-keputusan birokrasi.
Kadang-kadang birokrasi itu sangat panjang dan kebijakannya tidak sesuai dengan kondisi sekolah
setempat. Sehingga sekolah menjadi tidak mandiri, kurang kreatifitas dan motivasi untuk meningkatkan
mutu pendidikannya.
Ketiga, minimnya peran masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan,
partisipasi orang tua selama ini sebatas sebagai pendukung dana, akan tapi tidak dilibatkan dalam
proses pendidikan seperti mengambil keputusan, melakukan monitoring, evaluasi dan akuntabilitas,
sehingga menyebabkan sekolah tidak memiliki beban dan tanggung jawab terhadap pertanggung
jawaban hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat/orang tua sebagai stake holder yang
berkepentingan dengan pendidikan.
Keempat, krisis kepemimpinan, dimana Kepala Sekolah yang cenderung tidak demokratis, sistem
manajemen topdown policy baik dari Kepala Sekolah terhadap guru dan atau birokrasi diatas Kepala
Sekolah terhadap sekolah (Depdiknas. 2001:3).
Kepemimpinan adalah cara seorang pemimpin mempengaruhi perilaku bawahan agar mau bekerja sama
dan bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan yang kurang melibatkan
bawahan dalam mengambil kepurusan maka akan mengakibatkan adanya disharmonisasi hubungan
anatara pemimpin dan yang dipimpin.
Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang menentukan kesuksesan manajemen sekolah.
Sebagaimana dikemukakan oleh Nurkolis setidaknya ada empat alasan kenapa diperlukan figur
pemimpin, yaitu ; 1) banyak orang memerlukan figur pemimpin, 2) dalam beberapa situasi seorang
pemimpin perlu tampil mewakili kelompoknya, 3) sebagai tempat pengambilalihan resiko bila terjadi
tekanan terhadap kelomponya, dan 4) sebagai tempat untuk meletakkan kekuasaan (Nurkolis.2005:
152).
Kepemimpinan yang baik tentunya sangat berdampak pada tercapai atau tidaknya tujuan organisasi
karena pemimpin memiliki pengaruh terhadap kinerja organisasi yang dipimpinnya. Kemampuan untuk
mempengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan merupakan bagian dari kepemimpinan. Konsep
kepemimpinan erat sekali hubungannya dengan konsep kekuasaan, dengan kekuasaan pemimpin
memperoleh alat untuk mempengaruhi perilaku para pengikutnya.
Kepemimpinan dalam kaitannya dengan upaya peningkatan mutu pendidikan, dimana para Kepala
Sekolah mampu mempengaruhi dan memotivasi para guru dan atau warga sekolah dalam upanya
mencapai tujuan dari Visi dan misi sekolahnya, dan atau untuk mencapai tujuan yaitu mengingkatkan
profesionalisme guru dan prestasi belajar siswanya.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, aspek
utama yang ditentukan adalah kualitas guru. Untuk itu, upaya awal yang dilakukan dalam peningkatan
mutu pendidikan adalah kualitas guru dan Pretasi belajar siswa. Kualifikasi pendidikan guru sesuai
dengan prasyarat minimal yang ditentukan oleh syarat-syarat seorang guru yang profesional.
Guru profesional yang dimaksud adalah guru yang berkualitas, berkompetensi, dan guru yang
dikehendaki untuk mendatangkan prestasi belajar serta mampu mempengaruhi proses belajar mengajar
siswa yang nantinya akan menghasilkan prastasi belajar siswa yang baik.
Kamal Muhammad Isa mengemukakan: bahwa guru atau pendidik adalah pemimpin sejati, pembimbing
dan pengarah yang bijaksana, pencetak para tokoh dan pemimpin ummat (Kamal Muhammad .Isa,
1994: 64). Adapun pengertian guru menurut Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, yakni sebagaimana tercantum dalam Bab I Ketentuan Umum pasal 1 ayat (1) sebagai berikut:
guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan dasar dan menengah.
Selanjutnya Moh. Uzer Usman dalam bukunya menjadi Guru Profesional mendefinisikan bahwa: guru
profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan
sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. (M.
Uzer Usman, 2006:15).
Pendapat lain dikemukakan oleh Asrorun Ni’am Sholeh dalam buku yang berjudul; Membangun
Profesionalitas Guru, mengungkapkan bahwa: dalam proses pendidikan, guru tidak hanya menjalankan
fungsi alih ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tapi juga berfungsi untuk menanamkan nilai
(values) serta membangun karakter (character building) peserta didik secara berkelanjutan. Dalam
terminologi Islam, guru diistilahkan dengan murabby, satu akar kata dengan rabb yang berarti Tuhan.
Jadi, fungsi dan peran guru dalam sistem pendidikan merupakan salah satu manifestasi dari sifat
ketuhanan. Demikian mulianya posisi guru, sampai-sampai Tuhan, dalam pengertian sebagai rabb
mengidentifikasi diri-Nya sebagai rabbul.alamin. Untuk itu, kewajiban pertama yang dibebankan setiap
hamba sebagai murid Sang Maha Guru adalah belajar, mencari ilmu pengetahuan. Setelah itu, setiap
orang yang telah mempunyai ilmu pengetahuan memiliki kewajiban untuk mengajarkannya kepada
orang lain. Dengan demikian, profesi mengajar adalah sebuah kewajiban yang merupakan manifestasi
dari ibadah. Sebagai konsekuensinya, barang siapa yang menyembunyikan sebuah pengetahuan maka ia
telah melangkahkan kaki menuju jurang api neraka (Asrorun Ni.am Sholeh, 2006:3).
Menanggapi apa yang telah dikemukakan oleh Asrorun Ni’am Shaleh, penulis memahami bahwa profesi
mengajar adalah suatu pekerjaan yang memiliki nilai kemuliaan dan ibadah. Mengajar adalah suatu
kewajiban bagi setiap orang yang memiliki pengetahuan. Dengan kata lain, profesi mengajar harus
didasarkan pada adanya kompetensi dengan kualifikasi akademik tertentu.
Profesi mengajar merupakan kewajiban yang hanya dibebankan kepada orang yang berpengetahuan.
Dengan demikian, profesi mengajar harus didasarkan pada adanya kompetensi dan kualifikasi tertentu
bagi setiap orang yang hendak mengajar. Menurut Asrorun, secara konseptual, deskripsi dua kondisi di
atas memberikan dua hal prinsip dalam konteks membicarakan mengenai profesi guru dan dosen.
Pertama, adanya semangat keterpanggilan jiwa, pengabdian dan ibadah. Profesi pendidik merupakan
profesi yang mempunyai kekhususan dalam membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dan memerlukan keahlian, idealisme, kearifan dan keteladanan melalui waktu yang
panjang.
Kedua, adanya prinsip profesionalitas, keharusan adanya kompetensi dan kualifikasi akademik yang
dibutuhkan, serta adanya penghargaan terhadap profesi yang diemban. Maka prinsip idealisme dan
keterpanggilan jiwa serta prinsip profesionalitas harus mendasari setiap perjuangan untuk mengangkat
harkat dan martabat guru dan dosen. Dengan demikian profesi guru dan dosen merupakan profesi
tertutup yang harus sejalan dengan prinsip-prinsip “idealism” dan “profesionalitas” secara berimbang.
Jangan sampai akibat pada perjuangan dan penonjolan aspek profesionalisme berakibat penciptaan
gaya hidup materialisme dan pragmatisme yang menafikan idealisme dan keterpanggilan jiwa (Asrorun
Ni.am Sholeh, 2006:4-5).
Secara konseptual, kerja guru sebagaimana yang dikutip oleh Martinis Yamin mencakup tiga aspek,
yaitu; (a) kemampuan profesional, (b) kemampuan sosial, dan (c) kemampuan personal (pribadi).
(Martinis Yamin, 2007:4). Menyadari akan pentingnya profesionalisme dalam pendidikan, maka Ahmad
Tafsir mendefinisikan bahwa profesionalisme adalah paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan
harus dilakukan oleh orang yang professional (Ahmad Tafsir, 2007:107).
Akan tetapi melihat realita yang ada, keberadaan guru professional sangat jauh dari apa yang dicita-
citakan. Menjamurnya sekolah-sekolah yang rendah mutunya memberikan suatu isyarat bahwa guru
profesional hanyalah sebuah wacana yang belum ter-realisasi secara merata dalam seluruh pendidikan
yang ada di Indonesia. Hal itu menimbulkan suatu keprihatinan yang tidak hanya datang dari kalangan
akademisi, akan tetapi orang awam sekalipun ikut mengomentari ketidakberesan pendidikan dan tenaga
pengajar yang ada.
Tidak kompetennya seorang guru dalam penyampaian bahan ajar secara tidak langsung akan
berpengaruh terhadap hasil dari pembelajaran. Karena proses pembelajaran tidak hanya dapat tercapai
dengan keberanian, melainkan faktor utamanya adalah kompetensi yang ada dalam pribadi seorang
guru. Keterbatasan pengetahuan guru dalam penyampaian materi baik dalam hal metode ataupun
penunjang pokok pembelajaran lainnya akan berpengaruh terhadap pembelajaran.
Profesi guru merupakan profesi yang amat mulia, karena ia menentukan masa depan anak didik,
generasi penerus bangsa di masa yang akan datang. Di tangan guru, keberhasilan pencerdasan perserta
didik dipertaruhkan. Untuk mencapai keberhasilan tersebut dibutuhkan kinerja guru yang professional,
sesuai dengan keahlian dan kecakapan serta mampu mengorganisasi dan memanajemen perubahan
secara progresif.
Dalam masyarakat tradisional, guru dipandang seseorang yang memberikan “tauladan” dan bisa segala
hal. Guru benar-benar menjadi orang yang “digugu” dan “ditiru”. Seorang guru adalah seseorang yang
berilmu dan memiliki akhlak dan budi pekerti yang patut diteladani. Kualitas akhlak lebih diutamakan
daripada kecakapan keilmuan (Azra,2004:353)
Guru dalam pandangan masyarakat modern, dipandang sebagai sosok yang memiliki kecakapan
keilmuan yang terlatih atau ahli dan dapat melakukan transfer keilmuan kepada orang lain. Guru tak
ubahnya sebagai penjual jasa yang dibayar oleh negara atau satuan pendidikan tempat guru
mengabdikan diri. Asumsi yang menempatkan guru sebagai tenaga pengajar, melakukan transfer
keilmuan belaka. Suatu kondisi yang menempatkan relasi guru dengan murid sebagai penyedia dan
pengguna jasa. Selesai transaksi, berakhir pula relasi di antara keduanya.
Perubahan-perubahan pola hubungan yang dilatarbelakangi oleh berbagai perubahan di dalam
masyarakat, berimplikasi terhadap hubungan guru dengan murid. Sosok guru dituntut untuk mampu
menempat diri sebagai teman, sebagai orang tua, akan menciptakan hubungan terbuka yang
memungkinkan berkembangnya potensi murid secara optimal. Tuntutan yang kadang melepaskan sendi-
sendi hubungan etika antara yang tua dengan yang lebih muda. Sebagian keluhan dari mereka
berpegang pada etika hubungan atau pergaulan antara sesama. Kerapkali kesalahan yang dilakukan oleh
seorang siswa diangggap sebagai kegagalan guru dalam melakukan pendidikan. Pada hal bila dikalkulasi
anak lebih banyak berada di rumah dari pada di sekolah. Hal tersebut menandakan kesalahan anak
merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua dan sekolah, karenanya tanggungjawab
keberhasilan anak bukan hanya tanggungjawab guru, tetapi utamanya menjadi tanggungjawab orang
tua.
Terbukanya kran reformasi, mengalirnya issu demokratisasi, Hak Asasi Manusia, komponen yang turut
memberikan pengaruh terhadap kinerja guru dan pola hubungan antara guru dengan murid (Sidi,2001).
Reformasi telah memberikan kontribusi dalam dunia pendidikan untuk kembali melakukan reorientasi
terhadap tujuan pendidikan dalam sistem pendidikan yang dibangun oleh negara. Perubahan yang
berimplikasi terhadap perombakan terhadap profesi guru untuk kembali menempatkan guru sebagai
profesi yang bernilai strategis untuk membangun peradaban bangsa seiring dengan bangsa-bangsa lain
yang lebih maju dan beradab.
Namun di sisi lain perubahan dalam tatanan politik memberikan ekses negatif dalam dunia pendidikan,
karena pada tataran tertentu reformasi dimaknai sebagai kebebasan berpendapat tanpa bisa
menghargai hak-hak orang lain. Anak-anak kita belajar berdemonstrasi dari layar televisi dan berbagai
media cetak yang bisa diakses dengan mudah. Guru-guru tidak tabu lagi untuk melakukan aksi mogok
ataupun melakukan tuntutan perubahan terhadap sistem aturan yang mengungkungnya. Suatu realitas
dalam kehidupan yang meminta semua pihak untuk berbenah, utamanya pada sistem pendidikan dan
yang lebih sempit lagi dunia persekolahan untuk melakukan rekonstruksi terhadap apa yang telah
dikerjakan.
Rekonstruksi untuk memajukan pendidikan yang berimplikasi terhadap peningkatan kualitas sumber
daya manusia yang akan menentukan peradabannya. Tuntutan perubahan berimplikasi pula terhadap
kinerja guru secara professional dalam menjalankan tugasnya sehingga apa yang telah dilakukan
merupakan apa yang telah direncanakan. Hasil yang telah dilakukan dapat dievaluasi dan terbuka untuk
melakukan revisi demi perbaikan kualitas produk dan tau prestasi belajar anak didik dalam satuan
pendidikan.
Prestasi belajar merupakan hasil belajar yang dicapai setelah melalui proses kegiatan belajar mengajar.
Prestasi belajar dapat ditunjukkan melalui nilai yang diberikan oleh seorang guru dari jumlah bidang
studi yang telah dipelajari oleh peserta didik. Setiap kegiatan pembelajaran tentunya selalu
mengharapkan akan mengahasilkan pembelajaran yang maksimal. Dalam proses pencapaiannya,
prestasi belajar sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor utama yang sangat
berpengaruh dalam keberhasilan pembelajaran adalah keberadaan guru. Mengingat keberadaan guru
dalam proses kegiatan belajar mengajar sangat berpengaruh, maka sudah semestinya kualitas guru
harus diperhatikan.
Melihat wacana di atas, sangat terlihat bahwa kepemimpinan Kepala Sekolah dan profesionalisme guru
dapat berpengaruh terhadap prestasi belajar. Atas dasar wacana yang ada di lapangan, maka penulis
ingin membuktikan apakah persepsi yang ada di kalangan masyarakat mengenai masalah Kepemimpinan
Kepala Sekolah dan profesionalisme guru itu benar atau sebaliknya, dengan melakukan suatu penelitian.
Dugaan penulis, pada umumnya kondisi sekolah di Kecamatan Cimaragas Kabupaten Ciamis yang ada
masih terdapat guru yang belum profesional. Kompetensi guru yang ada di sekolah tersebut belum
sepenuhnya memenuhi kriteria sebagaimana yang diinginkan oleh persyaratan guru profesional. Oleh
karena itu, pemerintah mengadakan program sertifikasi keguruan dengan mensyaratkan pengajar
memiliki kualifikasi pendidikan minimal Strata satu (S-1) sesuai dengan bidangnya masing-masing, guna
meningkatkan prestasi belajar.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang dituangkan dalam bentuk
tesis dengan judul : HUBUNGAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN PROFESIONALISME GURU
DENGAN PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR SISWA (Kajian Manajemen Pendidikan di Sekolah Dasar
Kecamatan Cimaragas Kabupaten Ciamis)

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Efektifitas Kepemimpinan Kepala Sekolah Dasar dengan Prestasi Belajar Siswa di
Kecamatan Cimaragas Kabupaten Ciamis.
2. Bagaimana Profesionalisme Guru Sekolah Dasar dengan Prestasi Belajar Siswa di Kecamatan
Cimaragas Kabupaten Ciamis
3. Bagaimana Hubungan Kepala Sekolah dan Profesionalisme Guru dengan Prestasi belajar siswa Sekolah
Dasar di Kecamatan Cimaragas Kabupaten Ciamis.

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Bagaimana Efektifitas Kepemimpinan Kepala Sekolah Dasar dengan Prestasi Belajar
Siswa di Kecamatan Cimaragas Kabupaten Ciamis.
2. Untuk mengetahui Profesionalisme Guru Sekolah Dasar dengan Prestasi Belajar Siswa di Kecamatan
Cimaragas Kabupaten Ciamis
3. Untuk mengetahui Hubungan Kepala Sekolah dan Profesionalisme Guru dengan Prestasi belajar siswa
Sekolah Dasar di Kecamatan Cimaragas Kabupaten Ciamis.

D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak diantaranya sebagai berikut :
1. Kegunaan teoretis
Untuk mengembangkan ilmu manajemen pendidikan yaitu mengenai kepemimpinan Kepala Sekolah dan
profesionalisme guru serta prestasi belajar siswa Sekolah Dasar di Kecamatan Cimaragas Kabupaten
Ciamis Tahun Pelajaran 2009/2010.
2. Kegunaan Praktis
a. Sebagai bahan masukan atau input bagi Dinas Pendidikan Kabupaten Ciamis, agar mampu mengambil
langkah-langkah yang tepat dalam upaya meningkatkan kinerja kepemimpinan Kepala Sekolah dan
profesionalisme guru yang baik guna meningkatkan kualitas dan prestasi belajar siswa Sekolah Dasar di
wilayah Kabupaten Ciamis.
b. Memberi dorongan kepada para Kepala Sekolah dan Guru untuk bekerja lebih baik dan ikut serta
menjaga atau meningkatkan kwalitas dan Profesionalismeya yang nantinya berguna bagi peningkatan
prestasi belajar siswa / peserta didik di Sekolah Dasar se-Kecamatan Cimaragas Kabupaten Ciamis.

E. Ruanglingkup Penelitian
Adapun ruanglingkup dalam penulisan Tesis ini terbagi dalam 3 variabel yaitu; Hubungan Kepemimpinan
Kepala Sekolah dengan Prestasi Belajar Siswa (X1), Hubungan Profesionalisme Guru dan Prestasi Belajar
Siswa (X2) dan Prestasi Belajar Siswa sebagai Variable Independen (Y), dan Variabel Dependennya
adalah Hubungan Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Profesionalisme Guru dengan Prestasi Belajar
Siswa (X1.2-Y)

F. Waktu penelitian
Penelitian ini diperkirakan menghabiskan waktu selama 5 bulan, secara umum meliputi fase-fase, sepert
tabel berikut ini.

No.
Uraian Tahun
2009/2010
Keterangan
Nop. 09 Des.09 Jan.10 Feb.10 Mrt.10
1. Persiapan Usulan Penelitian V Awal Bulan
2. Bimbingan Usulan Penelitian V 1 Bulan Penuh
3. Seminar Usulan Penelitian Tesis V Awal Bulan
4. Persiapan Penelitian V V 2 Bulan Penuh
5. Pengumpulan Data V Awal Bulan
6. Pengolahan dan Interpretasi Data V Tengah Bulan
7. Penulisan Hasil dan Sidang Tesis V Akhir Bulan
8. Perbaikan Tesis dan Penjilidan V Awal Bulan

BAB II
KERANGKA TEORITIS DAN HIPOTESIS

A. Teori-teori yang Relevan


1. Kepemimpinan Kepala Sekolah
1) Pengertian

Pemimpin memiliki peranan yang dominan dalam sebuah organisasi. Peranan yang dominan tersebut
dapat mempengaruhi moral kepuasan kerja keamanan, kualitas kehidupan kerja dan terutama tingkat
prestasi suatu organisasi. Sebagaimana dikatakan Hani Handoko bahwa pemimpin juga memainkan
peranan kritis dalam membantu kelompok organisasi, atau masyarakat untuk mencapai tujuan mereka.
(Hani Handoko. 1999;293)
Bagaimanapun juga kemampuan dan keterampilan kepemimpinan dalam pengarahan adalah faktor
penting efektifitas manajer. Bila organisasi dapat mengidentifikasikan kualitas yang berhubungan
dengan kepemimpinan kemampuan mengidentifikasikan perilaku dan tehnik-tehnik kepemimpinan
efektif. Kepemimpinan dalam bahasa inggris tersebut leadership berarti being a leader power of leading.
atau the qualities of leader. (AS. Hornby. 1990)
Secara bahasa, makna kepemimpinan itu adalah kekuatan atau kualitas seseorang pemimpin dalam
mengarahkan apa yang dipimpinnya untuk mencapai tujuan. Seperti halnya manajemen, kepemimpinan
atau leadership telah didefinisikan oleh banyak para ahli antaranya adalah Stoner mengemukakan
bahwa kepemimpinan manajerial dapat didefinisikan sebagai suatu proses mengarahkan pemberian
pengaruh pada kegiatan-kegiatan dari sekelompok anggota yang salain berhubungan dengan tugasnya.
Kepemimpinan adalah bagian penting manjemen, tetapi tidak sama dengan manajemen. Kepemimpinan
merupakan kemampuan yang dipunyai seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar bekerja
mencapai tujuan dan sasaran. Manajemen mencakup kepemimpinan tetapi juga mencakup fungsi-fungsi
lainnya seperti perencanaan, pengorganisasian, pengawasan dan evaluasi. (AS. Hornby. 1990)
Kepemimpinan atau leadership dalam pengertian umum menunjukkan suatu proses kegiatan dalam hal
memimpin, membimbing, mengontrol perilaku, perasaan serta tingkah laku terhadap orang lain yang
ada dibawah pengawasannya (AS. Hornby. 1990). Disinilah peranan kepemimpinan berpengaruh besar
dalam pembentukan perilaku bawahan. menurut Handoko, kepemimpinan merupakan kemampuan
seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar mencapai tujuan dan sasaran (T.Hani Handoko).

2) Pendekatan Kepemimpinan
Menurut Handoko, ada beberapa pendekatan kepemimpinan yang diklasifikasikan sebagai pendekatan-
pendekatan kesifatan, perilaku, dan situasional (T.Hani Handoko). Pendekatan pertama, memandang
kepemimpinan sebagai suatu kombinasi sifat-sifat yang tampak. Pendekatan kedua, bermaksud
mengidentifikasikan perilaku-perilaku (behaviours) pribadi yang berhubungan dengan kepemimpinan
yang efektif. Kedua pendekatan ini mempunyai anggapan bahwa seorang individu yang memiliki sifat-
sifat tertentu atau memperagakan perilaku-perilaku tertentu akan muncul sebagai pemimpin dalam
situasi kelompok apapun dimana ia berada. Pendekatan ketiga, yaitu pandangan situasional tentang
kepemimpinan. Pandangan ini menganggap bahwa kondisi yang menentukan efektifitas kepempimpinan
bervariasi dengan situasi yakni tugas-tugas yang dilakukan, keterampilan dan pengharapan bawahan,
lingkungan organisasi, pengalaman masa lalu pemimpin dan bawahan dan sebagainya. Pandangan ini
telah menimbulkan pendekatan contingency pada kepemimpinan yang bermaksud untuk menetapkan
faktor-faktor situasional yang menentukan seberapa besar efektifitas situasi gaya kepemimpinan
tertentu.
3) Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan yang dimaksud adalah teori kepemimpinan dari pendekatan perilaku pemimpin.
Dari satu segi pendekatan ini masih difokuskan lagi pada gaya kepemimpinan (leadership style), sebab
gaya kepemimpinan bagian dari pendekatan perilaku pemimpin yang memusatkan perhatian pada
proses dinamika kepemimpinan dalam usaha mempengaruhi aktivitas individu untuk mencapai suatu
tujuan dalam suatu situasi tertentu.
Gaya kepemimpinan ialah pola-pola perilaku pemimpin yang digunakan untuk mempengaruhi aktivitas
orang-orang yang dipimpin untuk mencapai tujuan dalam suatu situasi organisasinya dapat berubah
bagaimana pemimpin mengembangkan program organisasinya, menegakkan disiplin yang sejalan
dengan tata tertib yang telah dibuat, memperhatikan bawahannya dengan meningkatkan
kesejahteraanya serta bagaimana pimpinan berkomunikasi dengan bawahannya.
Para peneliti telah mengidentifikasi dua gaya kepemimpinan yaitu gaya dengan orientasi tugas (Task
Oriented) dan gaya dengan orientasi karyawan (Employee Oriented). (T.Hani Handoko). Manajer
berorientasi tugas mengarahkan dan mengawasi bawahan secara tertutup untuk menjamin bahwa tugas
dilaksanakan sesuai yang diinginkannya. Manajer dengan gaya kepemimpinan ini lebih memperhatikan.
sifat-sifat Perilaku Situasional Contingency pelaksanaan pekerjaan daripada pengembangan dan
pertumbuhan karyawan. Sedangkan manajer berorientasi karyawan mencoba untuk lebih memotivasi
bawahan dibanding mengawasi mereka. Mereka mendorong para anggota kelompok untuk
melaksanakan tugas-tugas dengan memberikan kesempatan bawahan untuk berpartisipasi dalam
pembuatan keputusan, menciptakan suasana persahabatan serta hubungan-hubungan saling
mempercayai dan menghormati dengan para anggota kelompok.
Kepemimpinan yang kurang melibatkan bawahan dalam mengambil keputusan, akan mengakibatkan
bawahan merasa tidak diperlukan, karena pengambilan keputusan tersebut terkait dengan tugas
bawahan sehari-hari. Pemaksaan kehendak oleh atasan mestinya tidak dilakukan. Namun pemimpin
dalam menerapkan gaya kepemimpinan yang tepat merupakan tindakan yang bijaksana kepada
bawahan, maka akan terjadi kegagalan dalam pencapaian tujuan organisasi.
Selanjutnya gaya kepemimpinan digunakan dalam berinteraksi dengan bawahannya, melalui
berinteraksi ini antara atasan dan bawahan masing-masing memiliki status yang berbeda.
Berinteraksinya dua status yang berbeda, terjadi apabila status pemimpin dapat mengerti keadaan
bawahannya. Pada umumnya bawahan merasa dilindungi oleh pimpinan apabila pimpinan dapat
menyejukkan hati bawahan terhadap tugas yang dibebankan kepadanya. Cara berinteraksi oleh
pimpinan akan mempengaruhi tujuan organisasi. Bawahan umumnya lebih senang menerima atasan
yang mengayomi bawahan sehingga perasaan senang akan tugas timbul, yang pada akhirnya
meningkatkan kinerja karyawan.
Pemimpin yang bijaksana umumnya lebih memperhatikan kondisi bawahan guna pencapaian tujuan
organisasi. Mode yang akan digunakan mendapat sambutan hangat oleh bawahan sehingga proses
mempengaruhi bawahan berjalan baik dan disatu sisi timbul kesadaran untuk bekerja sama dan bekerja
produktif. Bermacam-macam cara mempengaruhi bawahan tersebut guna kepentingan pemimpin yaitu
tujuan organisasi.
Pimpinan dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan pada tugas dan fungsinya, melalui proses
komunikasi dengan bawahannya sebagai dimensi dalam kepemimpinan dan teknik-teknik untuk
memaksimalkan pengambilan keputusan. Pola dasar terhadap gaya kepemimpinan yang lebih
mementingkan pelaksanaan tugas oleh para bawahannya, menuntut penyelesaian tugas yang
dibebankan padanya sesuai dengan keinginan pimpinan. Pemimpin menuntut agar setiap anggota
seperti dirinya, menaruh perhatian yang besar dan keinginan yang kuat dalam melaksanakn tugas-
tugasnya. Pemimpin beranggapan bahwa bila setiap anggota melaksanakan tugasnya secara efektif dan
efisien, pasti akan dicapai hasil yang diharapkan sebagai penggabungan hasil yang dicapai masing-
masing anggota.
Kepemimpinan yang berpola untuk mementingkan pelaksanaan kerjasama, pemimpin berkeyakinan
bahwa dengan kerjasama yang intensif, efektif, dan efisien, semua tugas dapat dilaksanakan secara
optimal. Pelaksanaan dan bagaimana tugas dilaksanakan berada diluar perhatian pemimpin, karena
yang penting adalah hasilnya bukan prosesnya. Namun jika hasilnya tidak seperti yang diharapkan, tidak
ada pilihan lain, selain mengganti pelaksananya tanpa menghiraukan siapa orangnya. Pola dasar ini
menggambarkan kecenderungan, jika dalam organisasi tidak ada yang mampu, mencari pengganti dari
luar meskipun harus menyewa serta membayar tinggi.
Pemimpin hanya membuat beberapa keputusan penting pada tingkat tertinggi dengan pemahaman
yang konseptual. Pemimpin yang efektif dalam organisasi menggunakan desentralisasi dalam membuat
keputusannya. Hal tersebut memberikan kewenangan pada bawahan serta melaksanakan sharing dalam
memutuskan suatu keputusan.
a. Pendekatan Perilaku Kepemimpinan

Prilaku kepemimpinan cenderung diekspresikan dalam dua gaya kepemimpinan yang berbeda. Gaya
kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada karyawan
(Stoner dan Freeman). Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas menekankan pada
pengawasan yang ketat. Dengan pengawasan yang ketat dapat dipastikan bahwa tugas yang diberikan
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Gaya kepemimpinan ini lebih menekankan pada tugas dan kurang
dalam pembinaan karyawan. Sedangakan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada karyawan,
mengutamakan untuk memotivasi dan mengontrol bawahan, dan bahkan dalam beberapa hal bawahan
ikut berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan bawahan.
Kedua gaya kepemimpinan tersebut, dapat dirasakan oleh bawahan secara langsung ketika pimpinan
berinteraksi dengan bawahannya. Setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda, karena
banyak factor yang mempengaruhinya. Bawahan pada umumnya cenderung lebih menyukai gaya
kepemimpinan yang berorientasi pada karyawan atau bawahan, karena merasa lebih dihargai dan
diperlakukan secara manusiawi, memanusiakan manusia sehingga akan mempengaruhi tingkat
produktivitas kerja dan kepuasan kerja karyawan. Gaya kepemimpinan yang berorintasi pada tugas,
lebih menekankan pada penyelesaian tugas-tugas yang dibebankan pada karyawan. Pimpinan pada
umunya lebih memperhatikan hasil daripada proses. Keadaan tersebut membentuk kondisi tempat kerja
menjadi kurang kondusif, karena masing-masing karyawan berkonsentrasi pada tugas yang harus
diselesaikan karena terikat waktu dan tanggung jawab.
b. Gaya Managerial Grid

Menurut Blake dan Mountoun, ada empat gaya kepemimpinan yang dikelompokkan sebagai gaya yang
ekstreem (Robert R Black dan Jane S. Mouton; Houston, 1978), sedangkan lainnya hanya satu gaya yang
ditengah-tengah gaya ekstreem tersebut. Gaya kepemimpinan dalam managerial grid yaitu: (1) Manajer
tim yang nyata (the real team manager), (2) Manajemen club (the country club management), (3) Tugas
secara otokratis (authocratic task managers), dan (4) Manajemen perantara (organizational man
management).
2. Tugas dan Peranan Kepala Sekolah Dasar
Sekolah dasar merupakan salah satu organisasi pendidikan yang utama dalam jenjang pendidikan dasar.
Dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 28 tahun 1990 telah disebutkan bahwa
pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk
mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara, dan anggota umat
manusia, serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah.
Berdasarkan rumusan tersebut, dapat digaris bawahi bahwa Sekolah dasar sebagai lembaga pendidikan
dasar diharapkan bisa berfungsi sebagai: (1) peletak dasar perkembangan pribadi anak untuk menjadi
warga negara yang baik, (2) peletak dasar kemampuan dasar anak, dan (3) penyelenggara pendidikan
awal untuk persiapan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu pendidikan menengah.
Kemampuan dasar utama yang diberikan kepada anak Sekolah dasar adalah kemampuan dasar yang
membuat bisa berpikir kritis dan imajinatif yang tercermin dalam modus kemampuan menulis, berhitung
dan membaca. Ketiga aspek kemampuan dasar tersebut merupakan kemampuan utama yang
dibutuhkan dalam abad informasi.
Ditinjau dari komponennya, ada beberapa unsur atau elemen utama dalam organisasi Sekolah dasar.
Unsur-unsur tersebut meliputi: (1) sumber daya manusia, yang mencakup kepala sekolah , guru,
pegawai administrasi, dan siswa, (2) sumber daya material, yang mencakup peralatan, bahan, dana, dan
sarana prasarana lainnya, (3) atribut organisasi, yang mencakup tujuan, ukuran, struktur tugas, jenjang
jabatan, formalisasi, dan peraturan organisasi, (4) iklim internal organisasi, yakni situasi organisasi yang
dirasakan personel dalam proses interaksi, dan (5) lingkungan organisasi sekolah.
Ditinjau dari karakteristiknya, Sekolah dasar merupakan suatu sistem organisasi. Sebagai suatu sistem
organisasi, Sekolah dasar bisa ditinjau dari dua sisi, yaitu sisi struktur organisasi dan perilaku organisasi.
Struktur organisasi mengacu pada framework organisasi, yaitu tata pembagian tugas dan hubungan baik
secara vertikal, horizontal dan diagonal. Hal ini bisa mencakup spesifikasi jabatan, pembagian tugas,
garis perintah, peraturan organisasi, serta hierarki kewenangan dan tanggung jawab. Perilaku organisasi
mengacu pada aspek-aspek tingkah laku manusia dalam organisasi. Organisasi sekolah dipandang
sebagai suatu sistem sosial, yang di dalamnya terjadi interaksi antar individu untuk mencapai tujuan
organisasi. Salah satu atribut yang banyak berkaitan dengan interaksi perilaku individu dalam organisasi
adalah budaya organisasi.
Budaya organisasi adalah ikatan sosial yang mengikat anggota suatu organisasi secara bersama dalam
memberikan nilai-nilai, alat simbolis dan ide-ide sosial. Greenberg & Baron (1995) menekankan budaya
organisasi sebagai suatu kerangka kognitif yang berisi sikap, nilai, norma, perilaku, dan harapan yang
dimiliki anggota organisasi. Dengan menggunakan pendekatan sosiologis dan psikologis, Getzel dan
Guba mengemukakan bahwa perilaku individu dalam organisasi dipengaruhi oleh dua dimensi, yaitu
dimensi institusi yang dikenal dengan istilah nomothetic dimension, dan dimensi individu yang dikenal
dengan istilah idiographic dimension (Lunenburg & Orstein, 2000). Ditinjau dari sisi institusi, setiap
anggota dituntut untuk bertindak sesuai dengan peranan dan harapan untuk mencapai tujuan
organisasi. Ditinjau dari sudut individu, setiap anggota dituntut untuk bertindak sesuai dengan pribadi
dan kebutuhannya, maupun norma-norma institusi.
Bila diterapkan dalam organisasi Sekolah dasar, ada tiga komponen yang berkaitan dengan budaya
organisasi Sekolah dasar, yaitu: (1) institusi atau lembaga yang perannya dilakukan oleh kepala sekolah
sebagai pemimpin organisasi sekolah, (2) guru-guru Sekolah dasar sebagai individu yang memiliki
kepribadian dan kebutuhan, baik kebutuhan profesional maupun kebutuhan sosial, dan (3) interaksi dari
kedua komponen tersebut. Untuk itu, kepala sekolah harus mampu mengintegrasikan kedua komponen
tersebut, yakni peranan, tuntutan dan harapan lembaga, dengan kepribadian, dan kebutuhan guru, agar
bisa mencapai tujuan organisasi secara optimal.
Keberhasilan organisasi sekolah banyak ditentukan keberhasilan kepala sekolah dalam menjalankan
peranan dan tugasnya. Peranan adalah seperangkat sikap dan perilaku yang harus dilakukan sesuai
dengan posisinya dalam organisasi. Peranan tidak hanya menunjukkan tugas dan hak, tapi juga
mencerminkan tanggung jawab dan wewenang dalam organisasi.
Ada banyak pandangan yang mengkaji tentang peranan kepala Sekolah . Campbell, Corbally & Nyshand
(1983) mengemukakan tiga klasifikasi peranan kepala sekolah , yaitu: (1) peranan yang berkaitan dengan
hubungan personal, mencakup kepala sekolah sebagai figurehead atau simbol organisasi, leader atau
pemimpin, dan liaison atau penghubung, (2) peranan yang berkaitan dengan informasi, mencakup
kepala sekolah sebagai pemonitor, disseminator, dan spokesman yang menyebarkan informasi ke semua
lingkungan organisasi, dan (3) peranan yang berkaitan dengan pengambilan keputusan, yang mencakup
kepala sekolah sebagai entrepreneur, disturbance handler, penyedia segala sumber, dan negosiator.
Di sisi lain, Stoop & Johnson (1967) mengemukakan empat belas peranan kepala Sekolah , yaitu: (1)
kepala sekolah sebagai business manager, (2) kepala sekolah sebagai pengelola kantor, (3) kepala
sekolah sebagai administrator, (4) kepala sekolah sebagai pemimpin profesional, (5) kepala sekolah
sebagai organisator, (6) kepala sekolah sebagai sekolah motivator atau penggerak staf, (7) kepala
sekolah sebagai supervisor, (8) kepala sekolah sebagai konsultan kurikulum, (9) kepala sekolah sebagai
pendidik, (10) kepala sekolah sebagai psikolog, (11) kepala sekolah sebagai penguasa sekolah, (12)
kepala sekolah sebagai eksekutif yang baik, (13) kepala sekolah sebagai petugas hubungan sekolah
dengan masyarakat, dan (14) kepala sekolah sebagai pemimpin masyarakat.
Dari keempat belas peranan tersebut, dapat diklasifikasi menjadi dua, yaitu kepala sekolah sebagai
administrator pendidikan dan sebagai supervisor pendidikan. Business manager, pengelola kantor,
penguasa sekolah, organisator, pemimpin profesional, eksekutif yang baik, penggerak staf, petugas
hubungan sekolah masyarakat, dan pemimpin masyarakat termasuk tugas kepala sekolah sebagai
administrator sekolah. Konsultan kurikulum, pendidik, psikolog dan supervisor merupakan tugas kepala
sekolah sebagai supervisor pendidikan di sekolah.
Sergiovanni (1991) membedakan tugas kepala sekolah menjadi dua, yaitu tugas dari sisi administrative
process atau proses administrasi, dan tugas dari sisi task areas bidang garapan pendidikan. Tugas
merencanakan, mengorganisir, meng-koordinir, melakukan komunikasi, mempengaruhi, dan
mengadakan evaluasi merupakan komponen-komponen tugas proses. Program sekolah , siswa,
personel, dana, fasilitas fisik, dan hubungan dengan masyarakat merupakan komponen bidang garapan
kepala Sekolah dasar.
Di sisi lain, sesuai dengan konsep dasar pengelolaan sekolah , Kimbrough & Burkett (1990)
mengemukakan enam bidang tugas kepala sekolah dasar, yaitu mengelola pengajaran dan kurikulum,
mengelola siswa, mengelola personalia, mengelola fasilitas dan lingkungan sekolah, mengelola
hubungan sekolah dan masyarakat, serta organisasi dan struktur sekolah.
Berdasarkan landasan teori tersebut, dapat digarisbawahi bahwa tugas-tugas kepala sekolah dasar
dapat diklasifikasi menjadi dua, yaitu tugas-tugas di bidang administrasi dan tugas-tugas di bidang
supervisi.
Tugas di bidang administrasi adalah tugas-tugas kepala sekolah yang berkaitan dengan pengelolaan
bidang garapan pendidikan di sekolah, yang meliputi pengelolaan pengajaran, kesiswaan, kepegawaian,
keuangan, sarana-prasarana, dan hubungan sekolah masyarakat. Dari keenam bidang tersebut, bisa
diklasifikasi menjadi dua, yaitu mengelola komponen organisasi sekolah yang berupa manusia, dan
komponen organisasi sekolah yang berupa benda.
Tugas di bidang supervisi adalah tugas-tugas kepala sekolah yang berkaitan dengan pembinaan guru
untuk perbaikan pengajaran. Supervisi merupakan suatu usaha memberikan bantuan kepada guru untuk
memperbaiki atau meningkatkan proses dan situasi belajar mengajar. Sasaran akhir dari kegiatan
supervisi adalah meningkatkan hasil atau prestasi belajar siswa.
Keberhasilan kepala sekolah dalam melaksanakan tugasnya banyak ditentukan oleh kepemimpinan
kepala sekolah . Kepemimpinan merupakan aktor yang paling penting dalam menunjang tercapainya
tujuan organisasi sekolah. Keberhasilan kepala sekolah dalam mengelola kantor, mengelola sarana
prasarana sekolah, membina guru, atau mengelola kegiatan sekolah lainnya banyak ditentukan oleh
kepemimpinan kepala sekolah. Apabila kepala sekolah mampu menggerakkan, membimbing, dan
mengarahkan anggota secara tepat, segala kegiatan yang ada dalam organisasi sekolah akan bisa
terlaksana secara efektif. Sebaliknya, bila tidak bisa menggerakkan anggota secara efektif, tidak akan
bisa mencapai tujuan secara optimal. Untuk memperoleh gambaran yang jelas, bagaimana peranan
kepemimpinan dalam pengelolaan sekolah , maka perlu diuraikan tentang konsep dasar kepemimpinan
kepala Sekolah dasar.
a. Kepemimpinan Kepala Sekolah Dasar
Istilah kepemimpinan bukan merupakan istilah baru bagi masyarakat. Di setiap organisasi, selalu
ditemukan seorang pemimpin yang menjalankan organisasi. Pemimpin berasal dari kata “leader” yang
merupakan bentuk benda dari “to lead” yang berarti memimpin. Untuk memahami pengertian
kepemimpinan secara jelas, maka perlu dikaji beberapa definisi yang dikemukakan para ahli
kepemimpinan.
Banyak ahli yang mengemukakan pengertian kemimpinan. Feldmon (1983) mengemukakan bahwa
kepemimpinan adalah usaha sadar yang dilakukan pimpinan untuk mempengaruhi anggotanya
melaksanakan tugas sesuai dengan harapannya. Di sisi lain, Newell (1978) mengemukakan bahwa
kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi orang lain untuk mencapai pengembangan atau
tujuan organisasi. Kedua pendapat tersebut sesuai dengan pendapat Stogdil yang mengemukakan
bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktifitas kelompok untuk mencapai tujuan
organisasi (Wahyosumidjo, 1984).
Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan para ahli kepemimpinan tersebut, dapat
digarisbawahi bahwa kepemimpinan pada dasarnya adalah suatu proses menggerakkan, mempengaruhi
dan membimbing orang lain dalam rangka untuk mencapai tujuan organisasi. Ada empat unsur yang
terkandung dalam pengertian kepemimpinan, yaitu unsur orang yang menggerakkan yang dikenal
dengan pemimpin, unsur orang yang digerakkan yang disebut kelompok atau anggota, unsur situasi
dimana aktifitas penggerakan berlangsung yang dikenal dengan organisasi, dan unsur sasaran kegiatan
yang dilakukan.
Sekolah merupakan salah satu bentuk organisasi pendidikan. Kepala sekolah merupakan pemimpin
pendidikan di sekolah. Jika pengertian kepemimpinan tersebut diterapkan dalam organisasi pendidikan,
maka kepemimpinan pendidikan bisa diartikan sebagai suatu usaha untuk menggerakkan orang-orang
yang ada dalam organisasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. Hal ini sesuai dengan
pendapat Nawawi (1985) yang mengemukakan bahwa kepemimpinan pendidikan adalah proses
mempengaruhi, menggerakkan, memberikan motivasi, dan mengarahkan orang-orang yang ada dalam
organisasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Dalam organisasi pendidikan yang menjadi pemimpin pendidikan adalah kepala sekolah. Sebagai
pemimpin pendidikan, kepala sekolah memiliki sejumlah tugas dan tanggung jawab yang cukup berat.
Untuk bisa menjalankan fungsinya secara optimal, kepala sekolah perlu menerapkan gaya
kepemimpinan yang tepat.
Peranan utama kepemimpinan kepala sekolah tersebut, nampak pada pernyataan-pernyataan yang
dikemukakan para ahli kepemimpinan. Knezevich yang dikutip Indrafachrudi (1983) mengemukakan
bahwa kepemimpinan adalah sumber energi utama ketercapaian tujuan suatu organisasi. Di sisi lain,
Owens (1991) juga menegaskan bahwa kualitas kepemimpinan merupakan sarana utama untuk
mencapai tujuan organisasi. Untuk itu, agar kepala sekolah bisa melaksanakan tugasnya secara efektif,
mutlak harus bisa menerapkan kepemimpinan yang baik.
Ada banyak teori gaya kepemimpinan yang bisa diterapkan kepala sekolah. Bila ditelaah dari
perkembangan teori, ada banyak teori kepemimpinan yang bisa ditelaah untuk mengkaji masalah
kepemimpinan. Teori kepemimpinan yang pertama-tama dikembangkan adalah teori sifat atau trait
theory. Pada dasarnya teori sifat memandang bahwa keefektifan kepemimpinan itu bertolak dari sifat-
sifat atau karakter yang dimiliki seseorang. Keberhasilan kepe-mimpinan itu sebagian besar ditentukan
oleh sifat-sifat kepribadian tertentu, misalnya harga diri, prakarsa, kecerdasan, kelancaran berbahasa,
kreatifitas termasuk ciri-ciri fisik yang dimiliki seseorang. Pemimpin dikatakan efektif bila memiliki sifat-
sifat kepribadian yang baik. Sebaliknya, pemimpin dikatakan tidak efektif bila tidak menunjukkan sifat-
sifat kepribadian yang baik
Penelitian tentang kepemimpinan berdasarkan trait theory ini telah banyak dilakukan. Stogdil
membedakan tiga karakteristik yang menunjukkan pemimpin yang efektif, yaitu (1) kepribadian, (2)
kemampuan, dan (3) ketrampilan sosial (Feldmon & Arnold, 1983). Pada perkembangan selanjutnya,
oleh Bass dan Stogdil, diklasifikasi menjadi dua, yaitu traits yang antara lain mencakup karakter tegas,
bekerja sama, berpengaruh, memiliki keyakinan diri, energik, dan bertanggung jawab, dan skill yang
antara lain mencakup pandai, kreatif, lancar berbicara, memiliki kemampuan konseptual dan
ketrampilan sosial. Dari sejumlah traits tersebut, selanjutnya diklasifikasi menjadi lima dimensi besar,
yaitu surgence, agreeableness, conscientiousness, emotional stability, dan intellectance. (Lunenburg &
Ornstein, 2000).
Berdasarkan beberapa hasil studi, ditemukan keterbatasan trait theory yakni terlalu menekankan pada
karakter personal pemimpin. Keberhasilan kepemimpinan tidak semata-mata ditentukan oleh karakter
personal, tetapi justru banyak ditentukan dari apa yang dilakukan pemimpin. Keefektifan kepemimpinan
banyak tergantung pada perilaku yang diterapkan pemimpin dalam situasi organisasi. Untuk itu, muncul
teori-teori yang bertolak dari pendekatan perilaku yang dikenal dengan istilah behavior theory.
Teori kepemimpinan berdasarkan pendekatan perilaku tersebut tidak didasarkan pada sifat atau ciri-ciri
kepribadian seseorang, tapi lebih cenderung berdasarkan perilaku atau proses kepemimpinan yang
ditunjukkan dalam organisasi yang dipimpin. Kualitas kepemimpinan tidak dinilai dari karakter personal,
tapi lebih ditekankan pada fungsi, peranan, atau perilaku yang ditampilkan dalam kelompok. Salah satu
teori kepemimpinan yang dikembangkan berdasarkan perilaku adalah teori kepemimpinan dua dimensi
(two dimensional theory).
Berdasarkan teori kepemimpinan dua dimensi, gaya kepemimpinan itu mengacu pada dua sisi, yaitu sisi
tugas atau hasil, dan sisi hubungan manusia atau proses. Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada
tugas (task oriented) adalah gaya kepemimpinan yang lebih menekankan pada tugas atau pencapaian
hasil. Gaya kepemimpinan ini ditandai dengan penekanan pada penyusunan rencana kerja, penetapan
pola, penetapan metode dan prosedur pencapaian tujuan. Sedangkan gaya kepemimpinan yang
berorientasi pada hubungan manusia (people oriented) adalah gaya kepemimpinan yang meneknakan
pada hubungan kemanusiaan dengan bawahan. Gaya kepemimpinan ini ditandai dengan penekanan
pada hubungan kesejawatan, saling mempercayai, saling menghargai, dan kehangatan hubungan antar
anggota (Owens, 1991).
Banyak ahli yang mengkaji teori kepemimpinan dua dimensi dengan istilah yang berbeda-beda.
Cartwright dan Zander menggunakan istilah pencapaian tujuan (goal achievement), dan pertahanan
kelompok (group maintenance). Halpin dan Winner mengemukakan dengan istilah struktur inisiasi
(initiating structure) dan konsiderasi (consideration). Danil Cartz menyebut dengan istilah orientasi pada
produksi (production oriented) dan orientasi pada pekerja (employee oriented). Likert menyebut
dengan istilah berpusat pada tugas (job centered) dan berpusat pada pekerja (employee centered).
Blake dan Mouton menggunakan istilah perhatian pada aspek hasil (concern for production) dan
perhatian pada aspek manusia (concern for people) (Owens, 1991).
Semua istilah dimensi kepemimpinan tersebut, oleh Hoy dan Miskel (1987) diklasifikasi menjadi dua,
yaitu perhatian pada organisasi (concern for organization) dan perhatian pada hubungan individual
(concern for individual relationship).
Ada beberapa ciri perilaku yang menunjukkan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan
hubungan manusia. David dan Sheasor mengemukakan empat ciri, yaitu memberikan dukungan,
menjalin interaksi, merancang tugas-tugas dan menetapkan tujuan (Hoy dan Miskel, 1987). Dua
komponen menunjukkan perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada tugas, yaitu merancang tugas-
tugas dan menetapkan tujuan. Dua komponen menunjukkan perilaku kepemimpinan yang berorientasi
pada hubungan manusia, yaitu memberikan dukungan dan menjalin interaksi.
Di sisi lain, Halpin mengemukakan delapan komponen. Empat komponen menunjukkan perilaku
kepemimpinan yang berorientasi pada tugas, yaitu menetapkan peranan, menetapkan prosedur kerja,
melakukan komunikasi satu arah, dan mencapai tujuan organisasi. Empat komponen menunjukkan
perilaku yang berorientasi pada hubungan manusia, yaitu menjalin hubungan akrab, menghargai
anggota, bersikap hangat dan menaruh kepercayaan kepada anggota (Hoy dan Miskel, 1987).
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat digarisbawahi karakteristik perilaku gaya
kepemimpinan yang berorientasi pada tugas adalah melakukan komunikasi satu arah, menyusun
rencana kerja, merancang tugas-tugas, menetapkan prosedur kerja, dan menekankan pencapaian tujuan
organisasi. Sedangkan karakteristik perilaku gaya kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan
manusia adalah menjalin hubungan yang akrap, menghargai anggota, bersikap hangat, dan menaruh
kepercayaan kepada anggota.
Berdasarkan dua orientasi kepemimpinan tersebut, selanjutnya gaya kepemimpinan bisa diklasifikasi
menjadi empat, yaitu: (1) task oriented leadership, yakni gaya kepemimpinan yang berorientasi tinggi
pada tugas, dan rendah pada hubungan manusia, (2) relationship oriented leadership, yakni gaya
kepemimpinan yang berorientasi tinggi pada hubungan manusia, tetapi rendah pada tugas, (3)
integrated leadership, yakni gaya kepemimpinan yang beroirientasi tinggi pada tugas dan hubungan
manusia, dan (4) impoverished leadership, yakni gaya kepemimpinan yang berorientasi rendah pada
tugas dan hubungan manusia (Rossow, 1990).
Pada perkembangan selanjutnya, diketahui bahwa tidak setiap organisasi bisa digunakan pendekatan
kepemimpinan yang sama. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa orientasi kepemimpinan yang
menekankan pada orang cenderung lebih efektif. Beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa
orientasi kepemimpinan yang menekankan pada tugas justru lebih efektif (Feldmon & Arnold, 1983; Hoy
& Miskel, 1987; Gorton, 1991). Hal ini disebabkan oleh karakteristik organisasi yang berbeda.
Berdasarkan landasan tersebut, lalu dikembangkan pendekatan kepemimpinan baru yang dikenal
dengan pendekatan kepemimpinan “situasional”. Kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan
yang bisa menyesuaikan dengan kondisi dan situasi organisasi. Beberapa komponen yang perlu
dipertimbangkan adalah keadaan bawahan, tuntutan pekerjaan, dan lingkungan organisasi itu sendiri
(Newell, 1978).
Selanjutnya ada banyak teori kepemimpinan yang mempertimbangkan faktor situasi organisasi.
Beberapa teori yang cukup dominan, antara lain sistem manajemen yang dikembangkan Likert, teori
kepemimpinan tiga dimensi yang dikembangkan Reddin, teori kepemimpinan “kontingensi” yang
dikembangkan Fiedler, teori “kontingensi normative” yang dikembangkan oleh Vroom dan Yetton, teori
“substitutes” yang dikembangkan oleh Kerr dan Jermier, teori “path goal” yang dikembangkan House,
dan teori kepemimpinan “situasional” yang dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard (Owens, 1981;
Hoy & Miskel, 2005).
Berdasarkan teori kepemimpinan situasional, yang menekankan bahwa keberhasilan kepemimpinan
ditentukan oleh perilaku pemimpin dan faktor-faktor situasional organisasi, seperti jenis pekerjaan,
lingkungan organisasi, dan karakteristik individu yang terlibat dalam organisasi. Tidak ada satu gaya
kepemimpinan yang paling efektif untuk semua organisasi. Kepemimpinan yang efektif adalah perilaku
kepemimpinan yang sesuai dengan karakteristik organisasi, terutama kondisi kematangan bawahan.
Pada perkembangan selanjutnya, diketahui bahwa keberhasilan kepemimpinan tidak hanya ditekankan
pada perilaku yang ditampilkan pimpinan dalam kelompok, tetapi perlu ditelaah dari sisi perilaku yang
ditampilkan anggota dalam organisasi. Untuk itu, pimpinan harus bisa mentransformasi nilai kepada
bawahan untuk mencapai tujuan organisasi. Salah satu pendekatan kepemimpinan yang dikembangkan
adalah kepemimpinan “transformasional”.
Dalam mengelola sekolah, kepala sekolah dasar bisa memilih teori dan menerapkan gaya kepemimpinan
yang tepat dari beberapa gaya kepemimpinan yang ada sesuai dengan karakter pribadi, dan kondisi
organisasi sekolah yang dipimpin. Yang penting kepala sekolah dasar, harus bisa menampilkan peranan
kepemimpinan yang baik. Berkaitan dengan peranan kepemimpinan kepala sekolah tersebut,
Sergiovanni (1991) mengemukakan enam peranan kepemimpinan kepala sekolah, yaitu kepemimpinan
formal, kepemimpinan administratif, kepemimpinan supervisi, kepemimpinan organisasi, dan
kepemimpinan tim. Kepemimpinan formal mengacu pada tugas kepala sekolah untuk merumuskan visi,
misi dan tujuan organisasi sesuai dengan dasar dan peraturan yang berlaku. Kepemimpinan
administratif, mengacu pada tugas kepala sekolah untuk membina administrasi seluruh staf dan anggota
organisasi sekolah. Kepemimpinan supervisi mengacu pada tugas kepala sekolah untuk membantu dan
membimbing anggota agar bisa melaksanakan tugas dengan baik. Kepemimpinan organisasi mengacu
pada tugas kepala sekolah untuk menciptakan iklim kerja yang kondusif, sehingga anggota bisa bekerja
dengan penuh semangat dan produktif. Kepemimpinan tim mengacu pada tugas kepala sekolah untuk
membangun kerja sama yang baik diantara semua anggota agar bisa mewujudkan tujuan organisasi
sekolah secara optimal.
b. Kepemimpinan Kepala Sekolah Dasar Di Era Desentralisasi
Dewasa ini terjadi perubahan dalam sistem pengelolaan sekolah, termasuk sekolah dasar. Sejak
diberlakukannya otonomi daerah, terjadi desentralisasi pendidikan, yaitu adanya pelimpahan sebagian
kewenangan pemerintah pusat ke daerah, termasuk kewenangan dalam pengelolaan pendidikan. Salah
satu pendekatan pengelolaan pendidikan yang diterapkan adalah pendekatan pengelolaan pendidikan
berdasarkan sekolah, yang dikenal dengan istilah school based management atau manajemen berbasis
sekolah.
Manajemen berbasis sekolah merupakan salah satu pendekatan yang digunakan dalam manajemen
sekolah. Manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari istilah school based management,
yang pada dasarnya merupakan pemberian kesempatan yang lebih luas kepada sekolah dalam
pengelolaan sekolah. Sekolah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengelola sekolah secara
mandiri sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengelolaan pendidikan, mulai dari perencanaan,
pelaksanaan sampai dengan evaluasi banyak ditentukan oleh sekolah. Dengan demikian diharapkan
sekolah bisa mampu mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki sekolah dan tuntutan
lingkungan masyarakat.
Berdasarkan pedoman pengelolaan sekolah yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah (2002), manajemen berbasis sekolah diartikan sebagai bentuk alternatif pengelolaan sekolah
dalam rangka “desentralisasi pendidikan”, yang ditandai dengan adanya kewenangan pengambilan
keputusan yang lebih luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang relatif tinggi, dalam kerangka
kebijakan pendidikan nasional. Keleluasaan pengambilan keputusan di tingkat sekolah dimaksudkan agar
sekolah dapat mengoptimalkan pengelolaan sumber daya dengan mengalokasikan sesuai dengan
prioritas program serta lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakat setempat yang ditunjang dengan
sistem pengelolaan yang baik.
Di beberapa negara, manajemen berbasis sekolah (school based management) dikemukakan dengan
beberapa istilah, antara lain site based management, delegated management, community based
management, school otonomy atau local management of school. Meskipun sebutannya berbeda, tetapi
sasarannya sama, yaitu memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk mengelola sekolah secara
mandiri. Pada prinsipnya, sekolah memperoleh kewenangan (authority), kewajiban (responsibility) dan
tanggung jawab (accountability) dalam pengelolaan sekolah. Melalui manajemen berbasis sekolah
tersebut diharapkan bisa memberikan layanan pendidikan yang menyeluruh dan tanggap terhadap
kebutuhan masyarakat.
Secara umum, tujuan manajemen berbasis sekolah (school based management) ditujukan untuk
meningkatkan efisiensi, kualitas dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui
beberapa cara, antara lain melalui keleluasaan mengelola sumber daya atau penyederhanaan birokrasi.
Peningkatan kualitas dilakukan melalui peningkatan partisipasi orang tua siswa terhadap sekolah,
fleksibilitas pengelolaan sekolah dan peningkatan profesionalisme personil sekolah. Sedangkan
peningkatan pemerataan pendidikan diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Secara khusus, manajemen berbasis sekolah diarahkan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dalam
panduan pengelolaan sekolah, manajemen berbasis sekolah ditekankan pada manajemen peningkatan
mutu berbasis sekolah (school based quality improvement). Manajemen peningkatan mutu berbasis
sekolah pada dasarnya merupakan proses manajemen sekolah yang diarahkan untuk peningkatan mutu
pendidikan melalui pelaksanaan otonomi sekolah mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan
evaluasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sekolah dengan melibatkan semua stakeholder sekolah.
Dengan kata lain, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah adalah keseluruhan proses
pendayagunaan keseluruhan komponen pendidikan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan yang
diupayakan sendiri oleh kepala sekolah bersama semua pihak yang terkait atau yang berkepentingan
dengan mutu pendidikan. Istilah komponen mengacu pada bidang garapan pendidikan di sekolah,
antara lain kurikulum dan pembelajaran, kesiswaan, kepegawaian, sarana dan prasarana, dan keuangan.
Sedangkan istilah dikelola sendiri mengacu pada diatur sendiri (self managing), dirancang sendiri (self
design) atau direncanakan sendiri (self planning), diorganisasi sendiri (self organizing), diarahkan sendiri
(self direction) atau dikontrol/ dievaluasi sendiri (self control).
Ada beberapa karakteristik manajemen berbasis sekolah. Secara garis besar, karakteristik umum
manajemen berbasis sekolah tersebut meliputi: (a) adanya akses terbuka bagi sekolah untuk tumbuh
mandiri, (b) adanya kemi-traan yang erat antara sekolah dengan masyarakat sekitar, (c) adanya sistem
disentralisasi, (d) pengelolaan sekolah secara partisipatif, (e) pemberdayaan guru secara optimal, (f)
diterapkannya otonomi manajemen sekolah, (g) orientasi pada peningkatan mutu, dan (i) menekankan
pada pengambilan keputusan partisipatif (Depdiknas, 2003).
Di sisi lain, Levacic mengemukakan tiga karakteristik kunci manajemen berbasis sekolah, yaitu: (1)
kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan peningkatan mutu pendidikan
didesentralisasikan ke stakeholder sekolah, (2) domain manajemen peningkatan mutu pendidikan yang
didesentralisasikan mencakup keseluruhan aspek peningkatan mutu pendidikan, baik keuangan,
kepegawaian, sarana prasarana, penerimaan siswa baru, dan kurikulum, dan (3) walaupun domain
peningkatan mutu pendidikan di desentralisasikan ke sekolah, namun diperlukan adanya sejumlah
regulasi yang mengatur fungsi kontrol pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan kewenangan dan
tanggung jawab sekolah (Bafadal dan Imron, 2004).
Secara lebih khusus, Levacic juga mengidentifikasi bahwa ada tiga tujuan khusus manajemen berbasis
sekolah, yaitu mencapai efisiensi, keefektifan dan tanggung jawab pendidikan. Melalui manajemen
berbasis sekolah, proses peningkatan mutu akan berlangsung secara efisien, terutama dalam
penggunaan sumber daya manusia. Dengan manajemen berbasis sekolah, keefektifan peningkatan mutu
pendidikan dasar juga meningkat, melalui peningkatan kualitas pembelajaran. Dengan manajemen
berbasis sekolah, respon sekolah juga bertambah besar terhadap siswa.
Secara singkat, dapat dikemukakan bahwa manajemen berbasis sekolah diarahkan untuk memandirikan
atau memberdayakan sekolah melalui pemberian wewenang dan keluwesan untuk peningkatan mutu
pendidikan. Dengan kemandirian diharapkan: (1) sekolah bisa lebih mengetahui kekuatan, kelemahan,
peluang dan ancaman bagi dirinya, serta mampu mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk
memajukan sekolah, (2) sekolah dapat mengembangkan sendiri program-programnya sesuai dengan
kebutuhannya, (3) sekolah dapat bertanggungjawab tentang mutu pendidikan kepada orang tua,
masyarakat maupun pemerintah, serta (4) sekolah dapat melakukan persaingan secara sehat dengan
sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Ada beberapa prinsip yang perlu dipegang dalam melaksanakan manajemen berbasis sekolah. Prinsip-
prinsip tersebut adalah: (1) Keterbukaan, artinya manajemen berbasis sekolah dilakukan secara terbuka
dengan semua sumber daya yang ada, baik kepala sekolah, guru, siswa, orang tua siswa, maupun
masyarakat, (2) Kebersamaan, artinya manajemen berbasis sekolah dilakukan bersama oleh sekolah dan
masyarakat, (3) Berkelanjutan, artinya manajemen berbasis sekolah dilakukan secara berkelanjutan
tanpa dipengaruhi pergantian pimpinan sekolah, (4) Menyeluruh, artinya manajemen berbasis sekolah
yang disusun hendaknya mencakup semua komponen yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian
tujuan, (5) Pertanggungjawaban, artinya pelaksanaan manajemen berbasis sekolah dapat di
pertanggung jawabkan ke masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan, (6) Demokratis, artinya
keputusan yang diambil dalam manajemen berbasis sekolah hendaknya dilaksanakan atas dasar
musyawarah antara komponen sekolah dan masyarakat, (7) Kemandirian sekolah, artinya sekolah
memiliki prakarsa, inisiatif, dan inovatif dalam kerangka pencapaian tujuan pendidikan, (8) Berorientasi
pada mutu, artinya berbagai upaya yang dilakukan selalu didasarkan pada peningkatan mutu, (9)
Pencapaian standar pelayanan minimal, artinya layanan pendidikan minimal harus bisa dilaksanakan
sesuai dengan standar minimal secara total, bertahap dan berkelanjutan, dan (10) Pendidikan untuk
semua, artinya semua anak memperoleh pendidikan yang sama. Dalam mengelola sekolah, kepala
sekolah dasar harus melaksanakan prinsip-prinsip tersebut dengan baik.
Berdasarkan landasan tersebut, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa terdapat pergeseran
peranan dalam pengelolaan pendidikan, dari asas “sentralisasi” ke “desentralisasi”. Adanya
kemandirian, keterbukaan, partisipatif, dan pertanggung-jawaban menunjukkan pengelolaan sekolah
secara mandiri berdasarkan kemampuan yang dimiliki sekolah. Adapun bidang yang menjadi wewenang
sekolah mencakup proses belajar mengajar, perencanaan, evaluasi program sekolah, pengelolaan
kurikulum, pengelolaan ketenagaan, pengelolaan peralatan dan perlengkapan sekolah, pengelolaan
keuangan, pelayanan siswa, hubungan sekolah dengan masyarakat, dan pengelolaan iklim sekolah
(Depdiknas, 2003).
Konsekuensi dari adanya school based management tersebut, tugas dan tanggung jawab kepala sekolah
menjadi semakin besar. Kepala sekolah harus bisa memimpin dan memberdayakan semua sumber daya
sekolah. Kepala sekolah merupakan motor penggerak dan penentu arah kebijakan sekolah. Untuk itu,
kepemimpinan kepala sekolah dasar harus mampu memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan
proses pembelajaran yang baik, lancar dan produktif, menyelesaikan tugas sesuai dengan waktu yang
ditetapkan, menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat agar bisa terlibat aktif dalam
mewujudkan tujuan sekolah, bekerja sama dengan tim secara kooperatif, dan berhasil mewujudkan
tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan

Anda mungkin juga menyukai