Anda di halaman 1dari 17

Keragu-raguan Menjadi Keyakinan

Metode Filsafat Rene Descartes

Dr. Industri Ginting Suka

I. Pendahuluan.

Bagi kebanyakan orang seperti juga penulis, maka belajar filsafat merupakan sesuatu hal

yang menantang, di dalamnya penuh liku-liku persoalan kehidupan umat manusia. Namun

semakin banyak membaca buku filsafat maka semakin mengkerucutlah pengetahuan kita,

bahkan sampai tidak mengerti sudah sampai di mana posisi pengetahuan kita saat ini dalam

belajar filsafat. Apakah pengetahuan tentang problematika filsafat, intisari pemikiran

filsufnya, sudah dapat difahami atau malah sebaliknya tidak ada akumulasi penambahan

pengetahuan apapun diperoleh dari bahan literatur yang telah dibaca. Apalagi menulis

tentang buah pikiran seorang filsuf besar, penuh kontraversi, dan pemikirannya sangat

idealis, tentu memerlukan refrensi yang berkualitas dan relevan. Mungkin dalam hal

memperoleh literature yang relevan dan bersumber dari penulis buku terkenal tentang Rene

Descartes tidak penulis dapatkan, sehingga mungkin inilah letak kelemahan dari tulisan ini.

Apabila dilihat dari periode perjalanan sejarah filsafat Barat, maka jaman modern juga

mewariskan filsafat renesanse, di mana manusia menjadi pusat perhatian (antroposentrisme).

Dalam refleksi filosofisnya, filsuf berdialog dengan teman sejamannya, tetapi juga dengan

seluruh tradisi filsafat sebelumnya. Inilah yang istimewa dari filsafat, yang tentu berbeda dari

ilmu fisika, misalnya ahli fisika tidak perlu melihat ke belakang bagaimana pendapat ahli

lain. Periode jaman modern para filsuf tidak lagi berbicara tentang substansi di luar manusia,

namun beralih kepada manusia sebagai subyek. Seperti yang dikatakan pada ahli sejarah

1
filsafat bahwa di jaman modern dan kontemporer, yang diselidiki adalah yang terletak di

bawah, seluruh kenyataan kita, yang memikul kenyataan bukan prinsip di luar kita,

melainkan kita sendiri.

Akhirnya penulis berharap agar karya tulis, yang dibuat oleh seorang karya siswa ini

dapat bermanfaat bagi peminat filsafat Rene Descartes, tentu apabila tulisan ini dangkal

mohon diperdalam pada literature yang relevan dan otentik.

1.1. Gambaran Filsafat

Untuk memberikan batasan secara memuaskan terhadap filsafat sangatlah sukar.

Kesukaran itu timbul dini hari semenjak pertama filsafat lahir. Begitu orang hendak

mendifinisikan filsafat maka segera pulalah ia terperangkap pada hal-hal yang bersifat definitif.

Pada hal filsafat tidak terbatas, dalam arti tidak berhenti pada satu persoalan saja tetapi filsafat

mencakup pada seluruh persoalan tanpa ada batasan yang konkrit. We repeat the best way to

discover what philosophy is, by studying it, and by philosophyzing ( jalan terbaik untuk

memahami apakah filsafat itu, dengan mempelajarinya, dan dengan berfilsafat ( Richard, H

Popkin and Avrum Stroll Ph,D: 1975,p.28). Bahwa sesungguhnya perkataan filsafat bukan kata

benda akan tetapi kata kerja. Hal ini berarti makna yang dikandungnya membutuhkan perlakuan

yang tercermin dari perilaku berfikir manusia. Tanpa hal tersebut, filsafat akan terapung di langit

kebenaran yang tidak dapat disingkap oleh akal fikir manusia.

Sepanjang perjalanan sejarah kehidupan manusia telah menanyakan bermacam-macam

persoalan, tentang mikrokosmos (badan dan jiwa) manusia, makrokosmos (jagad raya) yang

nyata maupun dibaliknya (metafisika), dan bahkan eksistensi Tuhan. Manusia harus mengajukan

pertanyaan, karena ia bukan binatang dan apalagi Tuhan. Semuanya dapat ditanyakan dan

bertanya tidak ada limitnya. Kesemuanya ini adalah sifat-sifat yang memungkinkan munculnya

2
filsafat kepermukaan bumi ini. Salah seorang tokok filsafat abad modern J.P. Sartre mengatakan

bahwa kesadaran pada manusia adalah bersifat bertanya yang sebenar-benarnya. Pertanyaan

harus berpusat pada tiga hal pokok yaitu: 1. Yang menanyakan subyek, 2. Sesuatu yang

ditanyakan, dan 3. Sesuatu yang menjadi pokok pertanyaan (R.F. Berling: 1951,p.9.). Maka dari

itu, hanya manusialah yang dapat bertanya, atau dengan kata lain filsafat adalah otoritas manusia.

Ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa filsafat bermula dari takjub

(Inggris:wonder; Yunani:Thauma). Ketakjuban ini membuat manusia mulai berfikir,. Misalnya

manusia takjub dengan keteraturan sistem astronogi. Bilamana ia mulai berfikir secara

sistematis, reflektif, radikal, dan universal, maka tersusunlah suatu pandangan dunia (world

view). Adapun persoalan yang hendak diteliti haruslah secara intelektual bersifat sehat, yaitu

mengemukakan pengertian baru dan jalur baru guna penyelidikan lebih lanjut. Sampai saat ini

masih ada 6 problema filsafat yang masih relevan yaitu:

1. Persoalan metafisis

2. Persoalan epistemologis

3. Persoalan metodologis

4. Persoalan logis

5. Persoalan etis

6. Persoalan estetis

Semua persoalan tersebut di atas sampai sekarang masih relevan dalam wawasan filsafat, dan

persoalan tersebut tidak termasuk ke dalam ilmu khusus (The Liang Gie:1976, hal..9-10).

Dengan demikian terasa sangatlah sukar untuk memberi definisi filsafat secara tuntas apalagi

memuaskan semua ahli. Namun dari seluruh uraian di atas dapat dikatakan bahwa filsafat adalah

3
kreasi akal fikir manusia. Landasan utamanya adalah akal fikir manusia. Manusia yang selalu

berolah fikir secara filsafat adalah manusia yang berjiwa sehat.

Sekilas Gambaran Filsafat Modern

Perjalanan sejarah filsafat tidak pernah berhenti karena kehabisan buah pemikiran, hal ini

karena pelbagai macam persoalan misteri kehidupan manusia sejak awal munculnya di Yunani

sampai periode modern dan kontemporer, bahkan fikiran filsuf post modern. Namun apabila kita

bertanya kapan periodesasi itu muncul dan di mana batasnya, maka sangat sulit memberikan

jawaban yang memuaskan, bahkan para ahli sejarah filsafat masih berdebat tidak kunjung

selesai.

Menurut (Bertens 1990, hal. 2.), bahwa lazimnya para akhli membagi sejarah filsafat menjadi 4

periode, yaitu:

1) Filsafat Yunani dan Romawi di jaman purba yang mulai dengan pemikiran filsafat

yang pertama abad ke-6 Sebelum Masehi (SM), dan berakhir secara definitif pada

tahun 529 Masehi, ketika kaisar Yustianus dari Byzantium, terdorong oleh

kerajinannya untuk agama Kristen, menutup semua sekolah filsafat yang

dianggapnya kafir di Athena.

2) Filsafat abad pertengahan yang meliputipemikiran Boethius (abad ke.6) sampai

dengan Nicolaus Cusanus (abad ke- 15), dengan puncaknya abad ke- 13 dan

permulaan abad ke- 14.

3) Filsafat modern yang didahului oleh pemikiran tokoh-tokoh Renaissance tetapi

menemukan puncaknya dengan filsafat Rene Descartes (1596-1650) dan biasanya

dianggap tertutup dengan pemikiran Friedrich Nietsche (1844-1900).

4) Filsafat kontemporer yang meliputi seluruh abad ke- 20.

4
Masih dalam pendapat (Bertens 1990, hal. 1.), jika hendak membahas pemikiran

filsafat dari masa silam, tidak cukup kita membatasi diri pada penguraian pikiran-pikiran

beberapa filsuf tetapi kita harus melihat juga kaitan antara satu pemikiran dengan pemikiran

yang lain. Sebab, menurut hakekatnya filsafat adalah dialog, dan dalam refleksi fiolosofisnya

para filsuf berdialog dengan teman-teman sejaman tetapi juga dengan seluruh tradisi filsafat

sebelumnya.

Jembatan antara abad pertengahan dan jaman modern disebut jaman renesance (

kelahiran kembali), dalam bahasa Prancis, yang terjemahannya dalam bahsa Italia

rinascimento. Dalam jaman renesance, periode antara sekitar 1400 – 1600,manusia Barat

seakan-akan lahir kembali dari tidur abad pertengahan. Seluruh kebudayaan Barat

dibangunkan dari suatu keadaan statis yang berlangsung seribu tahun.Pertama-tama di Italia

kemudian menjalar ke seluruh Eropa, ilmu-ilmu, sastra, seni dan kehidupan social tiba-tiba

memperlihatkan suatu perkembangan baru. Manusia mulai berfikir baru, antara lain

mengenai eksistensi dirinya. Manusia tidak lagi menganggap dirinya sebagai orang berziarah

di dunia ini, malainkan sebagai orang yang menciptakan dunianya. Manusia sendiri mulai

dianggap sebagai pusat kenyataan, hal itu terlihat dari indahnya karya-karya seniman jaman

renesanse,seperti Donatello, Botticelli, Migelagelo, Raphael dan Loenardo da Vinci, serta

kelihatan karya gemilang sastrawan Petrarca dan Boccaccio.

Ada tiga faktor yang mempercepat perkembangan baru jaman renesanse, yaitu

adanya tiga penemuan baru: pertama, pemakaian mesiu; kedua, seni cetak; dan terakhir

penemuan kompas. Penemuan mesiu berarti titik akhir kekuasan feudal yang dipusatkan

dalam benteng-benteng feodalisme, yang mulai saat itu tidak aman lagi. Penemuan seni cetak

berarti bahwa pengetahuan tidak lagi milik ekskusif suatu elite intelektual kecil dan terbatas,

5
melainkan sekarang terbuka untk banyak orang. Penemuan kompas berarti bahwa navigasi

mulai aman, sehingga dimungkinkan perjalanan jauh, yang membuka suatu hubungan dunia

baru. Dapat ditambahkan bahwa diantara perkembangan ilmiah baru yang ada ialah teori gas

Boyle, hukum listrik dan magnet, hukum optik (diciptakan oleh Descartes dan Snell), teori

sirkulasi darah oleh Harvey, penemuan geometric analitik Descartes. Pertanyaannya ialah apa

yang menjadi sifat ilmu pengetahuan baru dan metodenya?

Dua elemen dalam metode ilmiah diindentifikasikan sebagai berikut: (1) elemen

empiris, menggunakan pengamatan dan percobaan indra; (2) elemen rasional, menggunakan

metematika dan pemikiran deduktif, seperti halnya Copernicus dan Galileo menjelaskan

pergerakan benda-benda di langit. Tidak kalah pentingnya, pertentangan teori metode ilmiah

yang muncul, bergantung pada elemen yang sama, empiris atau rasional. Francis Bacon di

Inggris memandang metode ilmiah dan menganggapnya termasuk alam empirisme,

keberhasilan metode pengamatan dan penelitian melebihi pemikiran, teori, dan system.

Meskipun demikian, Descartes memandang metode ilmiah dan menganggap termasuk dalam

rasionalisme, keberhasilan metematika, geometri, dan pemikiran menggunakan aksioma dan

deduksi, dengan ini bisa menjadikan ilmu alam sebagai pengetahuan yang pasti.

Era baru abad XVII, ketika semua keyakinan berada pada masa transisi dan

metode ilmiah dan penelitian ilmiah yang baru maju dengan pesatnya, merupakan

kemuraman senja filsafat skolastik. Filsafat abad pertengahan ini tidak disulai, dan filsafat

baru dan memberikan arah baru lebih disenangi. Rene Descartes adalah filsif modern

pertama dan mengemikakan teori metafisika pertama dalam merspon pandangan ilmiah yang

baru mengenai semesta, serta hubungannya dengan pembalikan tuntutan gereja (T.Z. Lavine,

hal. 32-33).

6
Sebagai ahli waris jaman renesanse, filsafat jaman modern bercorak

antroposentrisme, artinya manusia menjadi titik pusat perhatian. Dalam jaman Yunani dan

abad pertengahan filsafat selalu mencari substansi, prinsip utama yang ada di bawah seluruh

kenyataan. Sementara filsuf Yunani menemukan unsur-unsur kosmologis sebagai prinsip

induk, dan bagi filsuf abad pertengahan Tuhan sendirilah prinsip itu. Berbeda dengan abad

modern, maka peranan substansi diambil alih oleh manusia sebagai subyek, yang terletak di

bawah seluruh kenyataan manusia, yang memikul kenyataan itu bukan sesuatu prinsip di luar

manusia melainkan diri manusia sendiri.

Demikianlah spirit jaman filsafat Barat modern sering juga disebut jaman

pembentukan subyektivitas. Seluruh pemikiran filsafat modern mengagung-agungkan

manusia sebagai subyek yang otonom tidak terikat pada kehendak institusi di luar manusia (

Harry Hamersma, tahun 1983, hal. 3-4).

Periode antara sekitar tahun 1660- 1700, pemikiran filsafat yang menyelidiki

tentang subyektivitas manusia lebih banyak menekankan pada rasio atau akal budi. Di jaman

ini hampir sebagian besar pemikir besar (filsuf) merupakan ahli metematika, seperti

Descartes, Spinoza dan Leibniz, di mana mereka mencoba menyusun suatu system filsafat

yang berpusat pada manusia, yang mengutamakan akal budi atau rasio, yang kini terbebas

dari penjara pemikiran institusi yakni gereja dengan otoritasnya.

II. Riwayat Hidup dan Karya-karya Rene Descartes

Bapa filsafat modern adalah julukan yang tepat diberikan kepada Rene Descartes atau nama

lain Cartesius (1596 – 1650). Descartes adalah seorang putra pengacara di Brittany, juga

anggota salah satu keluarga tertua dan terhormat di daerah itu. Sebagai keluarga terhormat

maka ini hidup dalam eksklusifisme, serba mewah dan istimewa kehidupan sehari-harinya. Dia

7
bersekolah di kolese Yesuit di Anjou (La Fleche). Di universitas ia belajar hukum dan

kedokteran dan ilmu fisika. Baru pada thun 1619 ia memperoleh jurusan yang pasti dalam

studinya. Menurut pendapatnya pada waktu itu ia mendapat wahyu ilahi, yang isinya

memberitakan kepadanya bahwa ilmu pengetahuan haruslah satu, tanpa bandingnya, dan harus

disusun oleh satu oatng sebagai satu bangunan yang seluruhnya berdiri sendiri menurut satu

metode yang umum. Adapun yang harus dipandang sebagai yang benar adalah apa yang jelas

dan terpilah-pilah (clear and distinctly).

Antara tahun 1629 dan 1649 Descartes hidup di negeri Belanda, di mana semua

tulisannya diterbitkan. Pada tahun 1622, dia menyelesaikan buku astronomi yang berjudul

Treatise of the World, yang menerapkan metode metematisnya dan mendukung hipotesis

Copernicus. Tiga tuhun setelah ketakutan Descartes atas terhukumnya Galileo, dia

mempublikasikan penggunaan metode metatematika atas fisika, didahului dengan Discourse

on Method, yang tetap menjadi karya klasik dalam bidang filsafat sampai saat ini. Sepuluh

tahun kemudian pada tahun 1647 dia mempublikasikan Meditation on Frist Philosophy, dua

puluh dua tahun kemudian, tahun 1669, Meditation dijadikan salah satu buku yang dilarang

oleh institusi gereja untuk dibaca. Ia meninggal pada tanggal 1 November 1965 terkena

penyakit Pneumonia. Seorang filsuf Prancis abad ke. XX mengatakan: dia hidup dengan

pemikiran sendiri, untuk pemikiran sendiri.., tak satu pun keberadaan yang lebih mulia dari

ini. Ada tiga tulisannya yang terpenting dan harus diketahui oleh orang yang hendak

mendalami pemikiran Descartes, yaitu: Discours de la method (Uraian tentang metode) tahun

1637; dan Meditationes de prima philosophia( Renungan-renungan tentang metafisika) tahun

1641; dan terakhir yaitu Principia philosophiae (Prinsip-prinsip filsafat) tahun 1644 (T.Z.

Lavine, hal. 39).

8
III. Metode Keraguan-raguan

Teori Pengetahuan: Rasionalisme

Rasionalisme menyatakan dalam dukungannya terhadap pemikiran bahwa akal itu

universal dalam semua manusia, dan bahwa pemikiran merupakan elemen terpenting

dalam sifat alami manusia, dan juga bahwa pemikiran merupakan alat satu-satunya jalan

untuk menentukan apa yang secara moral benar dan baik serta yang membentuk

masyarakat baik.

Descartes menyatakan : barang siapa yang telah melakukan pencarian akan kebenaran

dalam ilmu pengetahuan, hanya ahli metematika yang mampu menghasilkan pemikiran

yang terbukti dan pasti. Hal ini dikatakannya untuk menjawab pertanyaan bagaimana

biasa aku menggunakan akalku sendiri untuk menetapkan kebenaran hakiki. Hanya

metode metematika, satu-satunya yang menggunakan pemikiran yang terbukti pasti.

Ilmu pengetahuan harus mengikuti jejak metematika, dan menjadi contoh bagi cara

mengenal atau mengetahui yang lebih maju. Metematika dapat dipandang sebagai

penerapan paling umum dari metode ilmiah, sementara metode ilmiah itu sendiri sifatnya

lebih umum. Kebenaran memang ada, demikian pendapat Descartes, namun itu dapat

dikenal apabila jiwa kita bebas dari pemikiran masa lalu, dan baru bernilai apabila secara

metodis diperkembangkan seperti dalam metematika (Harun Hadiwijono, 1980, hal. 19).

Apa yang dimaksud dengan metode metematika oleh Descartes? Ia mengatakan

bahwa metematika terletak pada penggunaan dua pengoperasian mental di mana

pengetahuan sejati dapat dicapai lewat intuisi dan deduksi.

Pengertian intuisi yaitu pemahaman kita atas prinsip bukti diri. Misalnya, aksioma

geometri bahwa garis lurus merupakan jarak terdekat antara dua titik, atau sesuatu yang

9
sama dengan benda yang sama pastilah juga sama antara satu dengan yang lainnya, atau

misalnya persamaan aritmatika (3 + 2 = 5). Pernyataan ini merupakan bukti diri bahwa

mereka membuktikan diri menggunakan akal, artinya memahami adalah mengetahui

bahwa itu semua benar secara absolut, dan tidak ada pikiran rasional yang meragukannya.

Sementara yang dimaksudkannya dengan deduksi ialah pemikiran atau

kesimpulan logis dari dalil bukti diri, seperti halnya semua geometri dipikirkan dalam

urutan pasti dengan menggunakan deduksi dari aksioma dan kesimpulan bukti dirinya.

Menurut Descartes, rahasia metode yang utama adalah menyusun semua fakta menjadi

sebuah sistem deduktif dan logis. Descartes mengatakan ada tiga syarat untuk

membuktikan prinsip bukti diri, yang akan menjadi aksioma atau prinsip awal, dan akan

menjadi landasan filsafat yang benar yaitu:

1. Kepastiannya haruslah semacam kemustahilan untuk diragukan, dapat

dibuktikan sendiri melalui akal, jelas dan berbeda dari keyakinan lain.

2. Kepastiannya haruslah yang akhir dan tidak tergantung pada kepastian

dari keyaninan lainnya.

3. Haruslah mengenai sesuatu yang ada, sehingga keyaninan atas keberadaan

benda lainnya dapat disimpulkan.

Skeptisisme

Pertanyan selanjutnya atas pendapat tersebut di atas yaitu bagaimana dapat menemukan

keyakinan semacam itu? Descartes menjawab dengan metode keraguan. Latar belakang

pendapat ini tidak terlepas dari situasi sejarah pada masa hidupnya. Pemikiran skolatik,

seperti yang telah ia terima, ternyata tidak tahu bagaimana menangani hasil-hasil ilmu

pengetahuan positif yang dihadapinya. Ternyata bahwa wibawa pemikiran Aristoteles

10
yang terdapat pada skolastik itu menghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Ditambah

bentuk yang bermacam-macam dari filsafat Renesanse, yang acapkali bertentangan, tidak

berhasil memberi tempat kepada ilmu pengetahuan. Pada masa itu pikiran masih

dipengaruhi oleh khayalan-khayalan, maka dari itu Descartes merasa terdorong untuk

membebaskan diri dari segala pola pemikiran tradisional dan sistem pemikiran filsafat

masa lalu. Agar dapat memulai era pemikiran baru, maka kita harus mempunyai landasan

pemikiran yang pasti, yang menurut Descartes tidak lain yaitu keraguan (Harun

Hadiwijono, 1980, hal. 20).

Tipe skeptisme Descartes dinamakan skeptisme metodikal atau metodologikal,

yang artinya menggunakan keraguan secara metodologis untuk mencapai pengetahuan sejati.

Metode ini dilakukan untuk melempar jauh-jauh segala keyakinannya. Meditation I diberi

judul: Dari Benda yang Bisa Kita Ragukan. Namun untuk meragukan segala keyakinannya

maka pasti tidak berujung, tidak habis-habisnya. Aku akan menguji semua itu, kata

Descartes, sebagai pencinta keteraturan metematis, dengan cara menjelaskan dan

mengelompokkannya untuk mengetahui apakah ada satu keyekinan yang tidak bias

diragukan dengan memenuhi tiga kreteria yaitu: pertama, bahwa dalilnya mustahil

diragukan, kedua, keyakinan itu merupakan kebenaran akhir; dan terakhir keyakinan itu

merupakan sesuatu yang ada, dan juga, kelas demi kelas, kelompok demi kelompok, ia tidak

melewatkan satupun keyakinannya (T.Z. Lavine, hal. 49).

Ada 4 langkah yang dilakukan dalam menguji keyakinan kita yaitu:

1) Pertama kali yang harus diuji ialah keyakinan dari persepsi panca indra.

Ini yang paling mudah diyakini dari pada semuanya, nemun sering kali

menipu. Seperti apa realias obyek di kejauhan menurut mata telanjang.

11
Sebagai contoh, saat ini berbeda dengan yang ditampilkan teleskop

(Galileo menemukan teleskop tahun pada1609). Seperti apa obyek yang

kecil sekali menurut mata telanjang kini tampak berbeda dengan yang

ditampilkan mikroskop yang dirancang Kapler pada tahun 1611. Juga

bagaimana dengan ilusi optik yang kelihatannya bengkok (bias) di dalam

air, dan halusinasi yang mempengaruhi indra kita? Maka jelaslah panca

indra tidak bisa dipercaya sebagai sumber kepastian. Katanya, apa yang

telah menipuku sekali, kini menipuku lagi, tetapi menurutnya, aku tidak

bias meragukan apa yang dikatakan indraku bahwa: aku di sini, duduk di

samping perapian, mengenakan jubah… dan bahwa tangan dan tubuhku

ini milikku? Sebelumnya bukankah ada tidak pernah bermimpi duduk di

sini? Dia bertanya. Tidakkah aku sedang bermimpi sekarang (Descartes

memang seorang yang senang tidur). Apa yang persepsikan indraku bias

saja merupakan penipuan dari mimpi.

2) Kemudian tibalah pada kelas keyakinan yang lain. Bagaimana dengan

keyakinan atas benda material atau keyakinan bahwa alam fisik itu ada?

Hal ini pasti diragukan karena keyakinan ini didasarkan atas persepsi

indra, yang terbukti menipu sehingga kurang pasti.

3) Selanjutnya ia bertanya: apa yang ada di dalam keyakinan dari ilmu alam?

Keyakinan ini juga pasti meragukan karena didasarkan pada obyek yang

dikenali oleh persep indra, yang kemudian ditetapkan sebagai hal yang

tidak dapat dipercaya.

12
4) Descartes melanjutkan pada keyakinan metematis. Bagaimana dengan

keyakinan atas metematika? Mengapa ia meragukannya? Dia selalu

menghargai metematika sebagai model kepastian, karena sangat pasti

dalilnya. Apalagi keyakinan metematis tidak diragukan karena dihasilkan

dari persepsi indra. Katanya, aku baru bangun dari tidur, namun dua

ditambah tiga pasti sama dengan lima dan persegi empat pasti tidak

memiliki lebih dari empat sisi, dan kelihatannya tidak mungkin bahwa

kebenaran yang begitu jelas dianggap keliru. Keyakinan ini diketahui oleh

pikiranku, bukan oleh indraku, namun apakah mustahil untuk

meragukannya, walaupun ahli metematika sering juga melakukan

kesalahan.

Dalam usahanya memaksakan skeptisisme metodologisnya atas ketegasan itu, dan karena

tidak ada alasan untuk meragukan metematika, maka Descartes menemukan suatu hal, di mana

ada kejahatan dan godaan iblis sangat kuat dan menipuku. Pada saat itu, katanya, aku tertipu,

berbuat kesalahan, bahkan metematika sekalipun dan salah pada saat seperti itu. Descartes

mengatakan sebagai sesuatu yang dilebih-lebihkan (hiperbola). Katanya lebih lanjut, dapatkah

suatu keyakinan mempertahankan keraguan-raguanku ini, karena ada godaan iblis dalam semua

keyakinanku, bahkan keyakinan yang kuanggap pasti secara absolut?

Kemudian dia sampai pada jawaban keberhasilannya yang terkenal yaitu: bahkan jika aku

tertipu oleh semua keyakinanku, aku harus tetap ada untuk ditipu. Jika aku meragukan segala hal

yang aku yakini, termasuk metematika, ada suatu keyakinan yang tidak bias diragukan : tiap kali

aku ragu, aku harus tetap ragu. Dalam meragukan kebenaran semua keyakinan lainnya, aku tidak

bisa meragukan keyakinan bahwa aku ragu. Dalam meragukan kebenaran semua keyakinan yang

13
lainnya, aku tidak bisa meragukan keyakinan bahwa aku ragu, karenanya aku ada. Bahkan jika

segala keyakinan yang kuketahui keliru, satu keyakinan tetap benar, pada saat apa pun, di mana

aku melakukan aktivitas pemikiran, atau tindakan mental apa pun seperti melakukan merasa ragu

atau berkeinginan, aku berada dalam keadaan memikirkan sesuatu.

Di sinilah Descartes menemukan kepastian absolutnya, bukti dirinya, dan prinsip

pertama yang benar-benar pasti, di rumuskannya dengan bahasa Latin: Cogito ergo sum (Aku

berfikir, maka aku ada). Bagi Descartes, pemikiran meliputi berbagai tindakan kesadaran yang

segera membuat kita jadi faham, dapat dikatakan pemikiran aku memahami segala sesuatu yang

kita sadari berlaku dalam diri kita. Pemikiran meliputi peraguan, pemahaman, pembenaran,

negasi, kemauan, penolakan, perasaan. Sebagai tindakan kesadaran, semua hal tersebut di atas

membutuhkan keberadaanku. Karenanya, aku rasa aku ada. Aku ragu bahwa aku berfikir, hal ini

hanya menegaskan bahwa aku harus ada untuk menyangkal dan ragu (T.Z. Lavine, hal. 53).

Inilah suatu pengetahuan langsung yang disebut kebenaran filsafat yang pertama (primum

philosophicum). Dapat dijelaskan lebih lanjut maksud dari Cogito ergo sum, Aku berada karena

aku berfikir, jadi aku adalah sesuatu yang berfikir, suatu substansi yang seluruh tabiat dan

hakekatnya terdiri dari pikiran dan yang untuk berada tidak memerlukan suatu tempat atau

sesuatu yang bersifat bendawi. Cogito atau aku berfikir adalah pasti, sebab Cogito adalah jelas

dan terpilah-pilah (Harun Hadiwijono, 1980, hal. 20).

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana aku tahu akan keyakinan ini (Cogito ergo sum).

Melalui pemahaman sebagai bukti diri bahwa berfikir (ragu atau menyangkal atau berkemauan)

aku harus ada dan bahwa pemikiranku tanpa adanya aku merupakan hal yang mustahil. Cogito

ergo sum selalu benar setiap kali aku memikirkannya, selalu benar tiap kali aku menyangkalnya.

Tetapi apalah artinya aku yang berfikir dan karenanya ada?

14
Cogito hanya membuktikan bahwa aku ada sebagai benda yang berfikir, dan hanya bila aku

sadar berfikir. Cogito hanya membuktikan bahwa aku adalah hanya benda pemikir, substansi

yang ada, dan merupakan sifat alamiku untuk memiliki pemikiran, ide dan keyakinan. Namun

tidak ada yang dapat dibuktikan oleh Cogito mengenai tubuhku atau gerakannya, caraku makan

atau caraku berjalan. Aku tidak dapat menyatakan kebenaran bukti diri atas: aku bergerak maka

aku ada. Gerakanku hanya dapat keketahui melalui persepsi indra, dengan mengamati diriku

yang bergerak. Cogito hanya membuktikan bahwa ketika aku sadar berfikir, aku ada sebagai

benda pemikir.

Tetapi apakah Cogito memenuhi tiga persyaratan yang dikemukakan Descartes untuk

prinsip pertama landasan filsafatnya? Menurutnya, Cogito dapat terbukti dengan pemikiran yang

pasti, dan tiap kali aku meragukannya maka aku membenarkannya. Cogito juga terikat dengan

kebenaran akhir lainnya, namun ia tidak disimpulkan dari kebenaran yang lebih akhir, artinya

semua yang berfikir ada, aku berfikir maka aku ada. Sebaliknya, aku sendiri merasa sebagai

kebenaran bukti diri di mana aku berada saat aku berfikir. Ia juga merujuk pada dunia yang ada,

yang ada sebagai benda berfikir. Sum, aku. Aku ada. Cogito bergantung pada dua kebenaran,

yaitu: pertama, bahwa benda atau substansi itu ada dan kedua, bahwa pemikiran atau tindakan

atau keadaan lain bias ada hanya sebagai tindakan atau keadaan suatu substansi. Dua kebenaran

ini diperlukan untk pembuktian Cogito, yakni tiap kali aku sadar aku berfikir bahwa aku ada, dan

berfikir adalah suatu tindakan yang bias ada hanya sebagai tindakan atau keadaan atau substansi.

Descartes mengatakan bahwa seluruh filsafatnya atas kebenaran absolut, yakni ketika aku sadar

bahwa berfikir, maka aku tahu aku ada (T.Z. Lavine, hal. 54).

Bila ditinjau dari sudut teori pengetahuan maka Descartes memiliki suatu kebenaran yang

tidak tergoyahkan, aman dan terlindung dari keraguan, yakni kebenaran dari keberadaan diriku

15
sebagai subyek yang sadar. Dengan demikian Cogito Cartesian memperkenalkan subyektivisme

kepada filsafat modern. Seperti yang yang disinggung pada awal penulisan ini bahwa corak

filsafat modern menunjukkan ciri-ciri yang khas yaitu antroposentrisme, yang lazim juga disebut

subyektivisme, di mana manusia sebagai pusat dari semua bentuk pemikiran. Pada jaman modern

manusia dianggap sebagai substansi yang berdiri sendiri, keberadaannya sangat mutlak

dibandingkan dengan peng-ada lainnya. Pada jaman ini yang dipandang sebagai sumber

pengetahuan hanya apa yang secara alamiah dapat dipakai manusia, yaitu akal (rasio) dan empiri

(pengalaman), padahal ada kecenderungan orang memakai salah satu dari keduanya, maka dari

itu di abad modern timbul pertentangan diantara kedua aliran ini.

IV. Kesimpulan

Secara umum pemikiran Descartes dapat dipandang sebagai titik awal mulainya filsafat

modern, atau dapat dikatakan sebagai Bapa filsafat modern, yang mencoba mengetengahkan

corak filsafat baru untuk mendapatkan kebenaran. Ia mulai dari metode skeptisisme, metode

metematika, subyektivisme sampai pada pencarian kebenaran tentang eksistensi Tuhan.

Pengaruh pikirannya bukan hanya dalam bidang filsafat, tetapi juga metematika, fisika,

kedokteran. Ia telah memberi suatu epistemologi baru dan membuat filsafat sebagai ilmu

yang berdiri sendiri.

Daftar Pustaka

1. Bertens, K., 1990, Filsafat Barat Komtemporer; Inggris-Jerman, P.T. Gramedia, Jakarta.

2. Gie, The Liang., 1986, Garis Besar Estetika ( Filsafat Keindahan), Penerbit Karya, Yogyakarta.

16
3. Delfgaauw, Bernard (Transleted: Soejono Soemargono).,2001, Filsafat Abad 20, Penerbit Tiara

Wacana, Yogyakarta

. 4. Hadiwijono, Harun., 1980, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Penerbit Yayasan Kanisius,

Yogyakarta.

5. Hamersma, Harry., 1983, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, P.T. Gramedia, Jakarta.

6. Lavine, T.Z., 1984, From Socrates to Sartre: the Philosophic Quest, New York: Bantam

book,Inc.

7. Leksono, Karlina S., 1994, Aku Dalam Semesta: Suatu Kajian Filsafat Atas Hubungan Subyek-

Obyek Di Dalam Kosmologi, Tesis Studi Ilmu Filsafat, Program Pascasarjana Universitas

Indonesia, Jakarta.

8. Popkin Richard H and Avrum Stroll., 1975, Philosophy Made Simple, W.H. Allen and Company

Ltd, London.

17

Anda mungkin juga menyukai