2 Desember 2016
ISSN Print : 2460-3848 ISSN Online : 2527-5887
Email: jurnalkritis@unhas.ac.id, jurnalkritis2015@gmail.com
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Journal home page: http://journal.unhas.ac.id/index.php/kritis
Universitas Hasanuddin
Dosen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin
Email : Alridh13@gmail.com
Abstrak
Tulisan ini, membahas kebangkitan politik identitas Islam pada arena pemilihan gubernur Jakarta.
Perspektif konstruktivisme yang digunakan oleh peneliti adalah pandangan Pierre Van Den Bergh
(1991) yang berpendapat bahwa politik identitas baik etnik maupun agama sengaja dikonstruksi oleh
elit politik untuk mendapatkan kuasa. Jenis penelitian yang digunakan adalah Fenomenologi dengan
memakai pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebangkitan politik identitas
Islam terjadi melalui upaya pembangunan citra diri dan menegakkan harga diri sebagai Muslim yang
terhina sehingga sesama Muslim harus memilih mereka yang seagama dan seiman. Kondisi ini
dihadirkan untuk membangun psikologis sebagai mayoritas yang terluka sekaligus ruang untuk
membangun batas kuasa mayoritas kepada mereka yang dipandang minoritas demi mempertahankan
demarkasi kekuasaan dan kepentingan elit politik dengan mengatasnamakan agama
Abstract
This paper, discussed the rise of Islamic identity politics in the Jakarta governor's election arena. The
constructivism perspective used by the researcher is Pierre Van Den Bergh (1991) who argues that
ethnic and religious identity politics are deliberately constructed by the political elite to gain power.
The type of research used is Phenomenology by using qualitative approach. The results show that the
rise of Islamic identity politics takes place through the efforts of building self-image and upholding self-
esteem as a humiliated Muslim so that fellow Muslims must choose those who are inhabitants and
faithful. This condition is presented to build psychologically as the wounded majority as well as the
space to build the limit of majority power to those who are considered minority in order to maintain the
demarcation of power and the interests of the political elite in the name of religion
145
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin
KRITIS: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin – Volume 2 No.1 Juni 2016
(http://journal.unhas.ac.id/index.php/kritis)
146
Gustiana – Kekuatan Partai Golkar ….
147
KRITIS: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin – Volume 2 No.1 Juni 2016
(http://journal.unhas.ac.id/index.php/kritis)
Gambar. Pembagian
paradigma melihat Politik
Identitas
Sumber; Pierre Van Den
Bergh Ethnicity and
Nationalism: Theory and
Comparison. New Delhi:
Sage Publication; 1991
148
Gustiana – Kekuatan Partai Golkar ….
149
KRITIS: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin – Volume 2 No.1 Juni 2016
(http://journal.unhas.ac.id/index.php/kritis)
situasi, kondisi dan tujuan yang ingin Demikian halnya setiap identitas
dicapai. ditandai dengan sistem komunikasi dan
pola interaksi. Ciri kelompok etnik dan
Demikian pula budaya yang
agama tersebut dapat diterima dan dapat
dominan atau budaya pribumi yang biasa
dibedakan dengan kelompok lain yang
mempengaruhi budaya minoritas atau
berlangsung secara sosial dalam interaksi
budaya pendatang. Selanjutnya budaya
mereka.
minoritas terpengaruh oleh budaya yang
dominan akibat dari tekanan-tekanan Pendekatan konstruktivisme
lingkungan budaya itu sendiri. Barth, meyakini pembentukan batas-batas
dan ciri khas tersebut ditentukan oleh
Barth (1988:10) kemudian
kelompok itu sendiri yang kemudian
menjelaskan dua pandangan soal ini:
membentuk polanya sendiri. Adanya
Pertama, batas-batas budaya dapat
perbedaan etnik dan agama dalam
bertahan walaupun suku-suku tersebut
masyarakat lebih disebabkan oleh proses
saling berbaur. Dengan kata lain adanya
mempertahankan status etnik dan agama
perbedaan etnik dan agama tidak
di dalam masyarakat multicultural.
ditentukan oleh terjadinya pembauran,
kontak dan pertukaran informasi, namun Dalam konteks hubungan tersebut,
lebih disebabkan oleh adanya proses- Frederik Barth meyakini bahwa kelompok
proses sosial berupa pemisahan dan minoritas menjadi subordinat kelompok
penyatuan. mayoritas yang mendominasi sosialitas
hubungan ini. Pada kondisi ini, yang
Pandangan Barth ini melihat
minoritas inilah yang menjadi etnik dan
bahwa perbedaan kategori tetap
agama, menjadi unik, atau bahkan terasing
dipertahankan walaupun terjadi
dan aneh.
pertukaran peran serta keanggotaan di
antara unit-unit etnik dan agama dalam Sementara pandangan ketiga,
perjalanan hidup seseorang. Semuanya dalam kacamata teoretis, kalangan
dijadikan relasi penting untuk instrumentalisme lebih menaruh perhatian
mempertahankan kekuasan etnik. pada proses manipulasi dan mobilisasi
politik. Menurut pandangan ini, manakala
Kedua, dapat ditemukan hubungan
kelompok-kelompok sosial tersebut
sosial yang kuat, bertahan lama, dan
tersusun atas dasar atribut awal etnisitas
penting di antara dua kelompok etnik dan
seperti kebangsaan, agama, ras dan
agama yang berbeda. Kondisi ini biasanya
bahasa, maka pada saat tersebut,
terjadi karena adanya status etnik dan
kelompok itu sedang melakukan
agama yang berbeda tidak ditentukan oleh
mobilisasi kepentingan mereka.
tidak adanya interaksi dan penerimaan
sosial. Kalangan Intrumentalisme
menjelaskan bahwa identitas etnik dan
Tetapi menurut Barth, status
agama senantiasa dijadikan sebagai sarana
sosial etnik dan agama terbentuk oleh
elit etnik dan agama memanipulasi
sistem sosial tertentu. Setiap etnik dan
identitas tersebut demi keuntungan
agama dapat berkembang dan bertahan
mereka sendiri. Pandangan ini
serta mempunyai nilai-nilai budaya dan
mengasumsikan bahwa mereka yang
moral sehingga menjadi ciri khas identitas
minoritas akan cenderung dijadikan
itu sendiri dalam berinteraksi.
sebagai alat untuk menguntungkan
kelompok mayoritas.
150
Gustiana – Kekuatan Partai Golkar ….
151
KRITIS: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin – Volume 2 No.1 Juni 2016
(http://journal.unhas.ac.id/index.php/kritis)
kesimpulan sebagai jawaban atas terkait dengan citra diri (self image) dan
permasalahan yang ada. harga diri (self esteem) baik sebagai
individu maupun kelompok.
Meskipun pada dasarnya
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
seseorang memiliki banyak sisi dalam hal
Pesulap kawakan Limbad yang pengungkapan identitasnya, namun
identik dengan 'aksi diam', akhirnya menurut Barth identitas ke-etnikan dan
angkat bicara terkait dukungan di putaran agama seseorang selalu menjadi hal utama
kedua Pilgub DKI Jakarta 2017. Pria untuk membangun kategori pembeda.
berambut panjang itu, menyatakan
1. “Saya Muslim Saya Memilih Anies-
dukungannya kepada Anies-Sandi,
Sandi” sebagai Citra Diri dan Harga Diri
‘Karena saya seorang muslim. Otomatis
saya akan dukung (Anies-Sandi). Di antara sekian banyak identitas
seseorang yang akan ditampilkan,
Limbat tidak sendiri,
sesungguhnya identitas etnik dan agama
mengungkapkan alasan akhirnya memilih
akan selalu mendapat ruang atau tempat
Anies- Sandi. Hasil kajian tempo.co yang
dalam diri seseorang. Konsep identitas
diambil dari berbagai survei menunjukan
situasional menjelaskan bahwa setiap
hal yang sama, dimana faktor kesamaan
individu akan melakukan proses
agama menjadi alasan utama memilih
komunikasi politik, melalui pertukaran
pasangan Anies- Sandi.
simbol, pembentukan makna, dan setting
Lembaga Survei Indometrik bertujuan dalam keseharian mereka sesuai
menyampaikan kesimpulan sebesar 60 % situasi, kondisi dan tujuan yang ingin
pemilih menjadikan faktor agama sebagai dicapai.
alasan dalam memilih gubernur. Tidak
Demikian pula identitas budaya
jauh berbeda dengan laporan Survei
yang dominan atau budaya pribumi yang
Indometrik, ulasan Tempo tersebut juga
biasa mempengaruhi budaya minoritas
menguraikan kesimpulan Survei Polmark
atau budaya pendatang, serta mayoritas
Indonesia yang dipimpin oleh Eep
dan minoritas. Selanjutnya kelompok
Saifulah Fatah yang memberikan
minoritas terpengaruh oleh budaya yang
penjelasan bahwa sebesar 67,7 % pemilih
dominan akibat dari tekanan-tekanan
Jakarta menyetujui memilih pemimpin
lingkungan sendiri.
Muslim.
Jika menelaah pilkada Jakarta,
Besarnya peran alasan agama
sentimen atas citra diri dan harga diri
dibalik kemenangan Anies-Sandi,
kelompok inilah yang terbangun mengapa
mengigatkan kita pada thesis lama Cliford
politik identitas agama menjadi begitu
Geertz (1960) dan Afan Gaffar (1992),
berpengaruh pada arena pemilihan
memberi ilustrasi adanya keterkaitan
gubernur Jakarta. Sentimen yang
antara aliran dan perilaku politik
terbangun dari dua hal. Pertama, cintra diri
seseorang.
(self image) yang merasa terhina oleh
Menariknya, mengapa Jakarta ucapan Ahok dikepulauan seribu yang
yang dinilai sebagai lambang rasionalitas berujung aksi 411 dan 212.
publik juga tidak berdaya menghadapi
Sentimen citra diri sebagai muslim
gaya berpikir politik aliran tersebut?
yang terluka inilah yang dimunculkan dan
Berangkat pada pandangan Barth, bahwa
dijadikan sebagai sarana untuk menyerang
identitas dianggap penting sebab sangat
152
Gustiana – Kekuatan Partai Golkar ….
ahok. Apalagi, kasus penistaan agama ini berhasil dikapitalisasi dalam jumlah
tersebut mendapatkan legitimasi dari dukungan aksi demonstrasi, sesuatu yang
lembaga ke-agamaan seperti Majelis menjadi alasan utama yang menjadikan
Ulama Indonesia (MUI). isue agama semakin menguat.
Demikian pula pada akhirnya,
ketika kasus Ahok dibawa ke lembaga 2. Garis Kuasa Mayoritas atas Minoritas
peradilan yang mendakwa Ahok sebagai berwajah Tirani Spiritualisme
tersangka penista agama. Dua kondisi
inilah yang kemudian membentuk citra Howertz mengasumsikan bahwa
diri dan identitas sebagai sesama muslim mereka yang minoritas akan cenderung
menguat. dijadikan sebagai alat menguntungkan
kelompok mayoritas dan kategori tersebut
Perasaan solidaritas sebagai disusun berdasarkan kepentingan
sesama muslim dibangun dan membangun kategorik para elit politik. Kemunculan
dalam bingkai propaganda identitas yang sejumlah wacana politik ‘Jakarta harus
sama. Sesuatu yang menyulut kesadaran dipimpin oleh Gubernur mayoritas’ .
kolektiv untuk memperjuangkan korps
kebersamaan sebagai sesama muslim yang Dalam penjelasan Muhtar
harus bersatu menjadi mengguat. Haboddin, menyangkut relasi dibalik
munculnya politik identitas, bahwa politik
Kedua, harga diri (self esteem) identitas sengaja dibangun oleh oleh para
yang membentuk solidaritas kelompok elit lokal untuk mempertahankan
akibat tajamnya polarisasi pilkada Jakarta kekuasaan dan pengaruh mereka dalam
dalam dua pilihan muslim atau non arena politik lokal, sekaligus wujud dari
muslim. Dua kondisi ini menjadi alasan powersharing kekuasaan yang dibangun
utama mengapa slogan ‘Saya Muslim, berdasarkan latar belakang identitas.
Saya Memilih Anies-Sandi’ menjadi
mengemuka. Politik identitas biasanya
digunakan oleh para pemimpin sebagai
Sesuatu yang berhasil dibangun retorika politik dengan sebutan bagi
oleh kelompok penekan yang menolak “orang asli” yang menghendaki kekuasaan
Ahok sejak awal. Dengan menggunakan
dan bagi mereka “orang pendatang” harus
pandangan konstruktivis yang melepaskan kekuasan. Konstruksi batas
dikemukakan oleh Fredric Barth kita bisa mayoritas dan minoritas ini dibangun
melihat bahwa hal ini merupakan bagian secara tajam dalam polarisasi pilkada
dari konstruksi elit politik yang digunakan
DKI.
sebagai senjata untuk melawan mereka
yang berbeda. Ilmuwan politik Rousseau
melakukan pembacaan yang tajam, bahwa
Harga diri sebagai muslim yang terbentuknya korps politik ini, dibangun
terluka telah dibangkitkan apalagi dengan dengan semangat integrasi yang dibawa
posisi Basuki Tjahaya Purnama yang ke dalam suatu komunitas politik yang
terjebak oleh kasus penistaan agama yang terorganisir dengan menggunakan
mendorong kebangkitan harga diri muslim prosedur demokrasi.
menjadi meluas dan melintasi batas
daerah dan wilayah. Pemanfaatan demokrasi sebagai
sarana mempertegas batas segregasi
Solidaritas atas nama kebersamaan antara mayoritas dan minoritas inilah yang
sebagai sesama muslim yang terlecehkan dimanfaatkan oleh kelompok politik yang
153
KRITIS: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin – Volume 2 No.1 Juni 2016
(http://journal.unhas.ac.id/index.php/kritis)
Citra Diri
Konstruksi Identitas
Politik Identitas Agama Saya Muslim Saya Anies
Sandi
Harga diri
154
Gustiana – Kekuatan Partai Golkar ….
155
KRITIS: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin – Volume 2 No.1 Juni 2016
(http://journal.unhas.ac.id/index.php/kritis)
YA 3, Malang
Foucault, Michel. . 1995. Dicipline and
Punish : The Birth of Prison. New
York : Vintage,.
Foucault, M. 2007.Seks dan Kekuasaan.
Terj. S. H. Rahayu. Jakarta:
Gramedia
——-.2000. Arkeologi Ilmu-ilmu
Kemanusiaan, Terj. B. Priambodo
dan Pradana Boy. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,.
Foucault, . 1978. a. Governmentality. In
The Essential Foucault. The New
Press. New York.
Giorgio Agamben. 1995. Homo Sacer:
Sovereign Power and Bare Life,
Stanford University Press, California.
H. Asyari, Dkk. 2005. Pengantar Study
Islam. IAIN Sunan Ampel Press
Huntington, Samuel P. 1996.The Clash of
Civilizations?, Foreign Affairs.
Summer, tk,.
Horowitz J & James DL . 2006.
Democratic Survival in Multi-etnik
Countries. Working
Paper.Department of Political
Science, University of California,
California.
INCIS . 2002. Hubungan Antar Etnik dan
Masalah Kebangsaan di Jakarta,
Laporan Penelitian INCIS Jakarta.
R. Sukma & C. Joewono (ed.). 2007.
Islamic Thought and Movements in
Contemporary Indonesia, Centre for
Strategic and International Studies.
https://majalah.tempo.co/konten/2017/04/
24/LU/153011/Faktor-Agama-dan-
Blunder- Sembako/09/46
http://seleb.fajar.co.id/2017/03/09/limbad
-saya-seorang-muslim-otomatis-
saya-akan-dukung-anies-sandi/
156