Anda di halaman 1dari 12

Volume 2 No.

2 Desember 2016
ISSN Print : 2460-3848 ISSN Online : 2527-5887
Email: jurnalkritis@unhas.ac.id, jurnalkritis2015@gmail.com
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Journal home page: http://journal.unhas.ac.id/index.php/kritis
Universitas Hasanuddin

Kebangkitan Politik Identitas Islam Pada Arena Pemilihan


Gubernur Jakarta
Endang Sari

Dosen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin
Email : Alridh13@gmail.com

Abstrak
Tulisan ini, membahas kebangkitan politik identitas Islam pada arena pemilihan gubernur Jakarta.
Perspektif konstruktivisme yang digunakan oleh peneliti adalah pandangan Pierre Van Den Bergh
(1991) yang berpendapat bahwa politik identitas baik etnik maupun agama sengaja dikonstruksi oleh
elit politik untuk mendapatkan kuasa. Jenis penelitian yang digunakan adalah Fenomenologi dengan
memakai pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebangkitan politik identitas
Islam terjadi melalui upaya pembangunan citra diri dan menegakkan harga diri sebagai Muslim yang
terhina sehingga sesama Muslim harus memilih mereka yang seagama dan seiman. Kondisi ini
dihadirkan untuk membangun psikologis sebagai mayoritas yang terluka sekaligus ruang untuk
membangun batas kuasa mayoritas kepada mereka yang dipandang minoritas demi mempertahankan
demarkasi kekuasaan dan kepentingan elit politik dengan mengatasnamakan agama

Kata Kunci: Politik, Identitas, Islam, Pilkada, Jakarta.

Abstract
This paper, discussed the rise of Islamic identity politics in the Jakarta governor's election arena. The
constructivism perspective used by the researcher is Pierre Van Den Bergh (1991) who argues that
ethnic and religious identity politics are deliberately constructed by the political elite to gain power.
The type of research used is Phenomenology by using qualitative approach. The results show that the
rise of Islamic identity politics takes place through the efforts of building self-image and upholding self-
esteem as a humiliated Muslim so that fellow Muslims must choose those who are inhabitants and
faithful. This condition is presented to build psychologically as the wounded majority as well as the
space to build the limit of majority power to those who are considered minority in order to maintain the
demarcation of power and the interests of the political elite in the name of religion

Keywords: Politics, Identity, Islam, Pilkada, Jakarta.

I. PENDAHULUAN bukan cuma publik Jakarta tapi juga


masyarakat Indonesia, antara lain kasus
Politik identitas khususnya agama
Surah Al Maidah ayat 51 yang berujung
memang tidak pernah mati dalam arena
pada mobilisasi massa dari berbagai
politik di negeri ini. Momentum pemilihan
daerah di tanah air untuk datang berunjuk
Gubernur Jakarta yang baru saja usai,
rasa di Jakarta, sampai beredarnya opini
adalah contoh nyata bagi pembenaran
publik ‘Saya Muslim, saya pilih pemimpin
argumentasi tersebut. Ketika Identitas
Muslim’.
Agama, muncul menjadi sebuah kekuatan
politik. Penonjolan orang Muslim harus
memilih pemimpin Muslim ini bahkan
Momentum pilkada Jakarta juga
menjadi sebuah tema panjang yang
telah mempertontonkan sejumlah issu
menjadi pembicaraan publik, sepanjang
kampanye yang menyita energi bangsa

145
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin
KRITIS: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin – Volume 2 No.1 Juni 2016
(http://journal.unhas.ac.id/index.php/kritis)

pemilihan gubernur Jakarta yang agama hanya dibutuhkan untuk urusan


disuarakan pada mimbar Jumat sampai ritual dan bukan pada kebijakan.
pada berbagai momen acara keagamaan. Sementara kalangan nasionalis islami
meyakini bahwa agama dan negara tidak
Banyak kalangan kemudian
bisa dipisahkan karena urusan-urusan
menarik kesimpulan, bahwa Indonesia
agama sangat terkait dengan persoalan
sedang mengalami potensi konflik baru
negara. Kalangan ini percaya bahwa
yakni antara negara dan agama, utamanya
agama tidak hanya mengurusi hubungan
jika berkaca pada tingginya tensi politik
antara manusia dengan Tuhan tetapi juga
pada pemilihan gubernur Jakarta yang
hubungan manusia dan manusia dalam
baru saja selesai.
sebuah struktur politik bernama negara.
Relasi kuasa politik identitas
Sampai akhirnya, perdebatan
agama dan negara di Indonesia
tersebut berlanjut pada sidang tim 9 Badan
sebenarnya bukanlah tema yang baru.
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Sejarah telah mencatat ketegangan ini
Indonesia (BPUPKI) yang beranggotakan
sudah mulai terasa pada empat babakan
Mohammad Hatta, Muhammad Yamin,
era kenegaraan kita. Mulai dari masa
Ahmad Soebarjo, AA Maramis, Abdul
sebelum kemerdekaan, orde baru dan
Kahar Muzakkir, KHA Wahid Hasyim,
pasca reformasi yang ditunjukan hadirnya
Soekarno, Abikoesno Tjokrosoejoso, dan
gerakan yang berbasis Islam dan upaya
Haji Agus Salim, tentang perlu atau
penegakan politik aliran sebagai hukum
tidaknya Islam dijadikan dasar negara.
formal negara.
Sejarah kemudian mencatat bahwa
Pertama, perdebatan mengenai Perdebatan tersebut yang menghadirkan
relasi agama dan negara yang terjadi saat ‘Piagam Jakarta’ di tanggal 22 Juni 1945
ini merupakan imbas dari polemik yang telah menjadi inspirasi bagi Undang-
pernah diperdebatkan Muhammad Natsir Undang Dasar 1945 dan Pancasila sebagai
dan Soekarno di awal kemerdekaan. Pada dasar negara, tetapi dengan menghapus
saat itu keduanya berdebat tentang negara butir pertama yang memuat kewajiban
Republik Turki tahun 1923, Serta pelaksanaan syariat bagi pemeluknya
kemunculan, Mustafa Kemal Ataturk setelah melalui perdebatan yang sangat
yang dipuja Soekarno sebagai lambang alot.
dari modernisasi islam, karena berhasil
Kedua, ketegangan dan konflik
memisahkan antara agama dan negara
antara negara dan agama dengan
yang bagi Natsir adalah sebuah kesalahan.
kehadiran Negara Islam Indonesia (NII)
Setelah itu keduanya kembali berdebat
pada tahun 1949 yang diprakarsai oleh
lewat tulisan di majalah Panji Islam pada
teman indekos Soekarno, Kartosuwiryo.
tahun 1940.
NII juga dikenal dengan nama Darul Islam
Soekarno dianggap mewakili atau DI yang berarti Rumah Islam.
golongan nasionalis sekuler dan Natsir Gerakan ini bertujuan menjadikan
dianggap mewakili golongan nasionalis Indonesia sebagai negara teokrasi dangan
islami. Golongan nasionalis sekuler Islam sebagai dasar negara. Dalam
diyakini mewakili pandangan bahwa proklamasinya ditegaskan bahwa “
agama mesti dipisahkan dari agama Hukum yang berlaku dalam Negara Islam
karena ajaran-ajaran agama tidak bisa Indonesia adalah Hukum Islam”, dalam
menyelesaikan masalah negara yang undang-undangnya dinyatakan pula
rumit. Golongan ini meyakini bahwa bahwa “Negara berdasarkan Islam” dan

146
Gustiana – Kekuatan Partai Golkar ….

“Hukum yang tertinggi adalah Al Qur’an (MNLF) di Philipina kemudian MMI


dan Hadist”. Proklamasi Negara Islam (Majelis Mujahidin Indonesia),
Indonesia dengan tegas menyatakan munculnya transformasi gerakan politik
bahwa kewajiban negara untuk kepartaian dari kelompok tarbiyah Partai
memproduk undang-undang yang Keadilan yang terinspirasi oleh gerakan
berlandaskan syari’at Islam dan penolakan iikhwanul muslimin dan Hizbut Tahrir
yang keras terhadap ideologi selain Al- atau Liberation Party (Partai Pembebasan)
Qur’an dan Hadits Sahih yang mereka yang didirikan oleh Taqiyuddin al-
sebut dengan “hukum kafir”, sesuai dalam Nabhani, serta Forum Komunikasi Islam
Al-Qur’an Surah Al Maidah, ayat 145. Ahlussunnah wal Jamaah dengan Laskar
Lalu dilanjutkan oleh Daud Beureueh dan Jihadnya, dan lain-lain. Masing-masing
Kahar Muzakar yang berujung pada organisasi Islam ini lahir dengan
berbagai peristiwa pemberontakan dan karakternya masing-masing. Yang
catatan kelam negara ini. menarik, gerakan organisasi ini mampu
menyedot perhatian media massa dengan
Ketiga, momentum pasca orde
seluas-luasnya di media dalam dan luar
baru tahun 1998 ditandai dengan
negeri.
bermunculannya partai-partai Islam yaitu
PPP, PBB, Partai Keadilan, Partai Selain sangat kental dengan
Persatuan, Masyumi, Partai Kebangkitan simbol, gerakannya yang lebih
Umat (PKU), Partai Abud Yatama (PAY), mengandalkan unjuk kekuatan dalam
PSII-1905, PNU dan Partai Cinta Damai melawan sesuatu di mana hal ini tidak
(PCD), PKB, PAN, Partai Solidaritas Uni dijumpai sebelumnya banyak orang
Nasional Indonesia (SUNI). Meskipun dirugikan atas pembenaran tindakannya
partai-partai Islam ini tidak meraih suara yang mengatasnamakan agama dengan
terbesar, namun koalisi mereka melalui kata lain jihad. Fenomena munculnya
kaukus Poros Tengah dapat menghalangi gerakan baru Islam ini juga didukung oleh
tampilnya aliran dan kelompok Politikus menguatnya wacana penerapan syariat
nasionalis dan koalisinya serta Islam yang dibarengi oleh kebijakan
memunculkan beberapa tokoh utama pada pemerintah dengan otonomi daerah masa
posisi-posisi strategis di lembaga presiden Abdurrahman Wahid.
eksekutif dan legistatif. Seperti Amin Rais Pemerintah memberikan keleluasaan
sebagai ketua DPR-RI dan Gus Dur daerah untuk mengatur pemerintahnnya
sebagai Presiden. sendiri. Sejak inilah Islam Indonesia
banyak dikenal lebih pada gerakannya,
Era reformasi juga merupakan era
beberapa gerakan yang anarki dengan
keterbukaan yang memungkinkan orang
mengatasnamakan amar ma’ruf lebih
untuk mengekspresikan pikiran termasuk
sering didengar masyarakat daripada
cara keberagaamaan. Ditandai dengan
kegiatan-kegiatan ilmiah dan kajian-
lahirnya sejumlah ormas islam yang
kajian untuk mengeksplorasi Islam.
berupaya melakukan penegakan syariah
dan gerakan nahi munkar seperti FPI yang Selain itu jatuhnya pemerintahan
dalam berbagai catatan penelitian Orde Baru yang otoriter dan korup
disebutkan sangat terinspirasi oleh membawa harapan munculnya
gerakan-gerakan Timur Tengah seperti pemerintahan pasca orde baru yang
Jabhat al-Tahrir al-Falistini di Palestina, demokratis. Hal itu tercermin dari
Palestini Libration Front (PLF) di kebebasan mendirikan partai politik.
Palestina, Moro National Libratiaon Front Tercatat ada 48 partai baru yang

147
KRITIS: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin – Volume 2 No.1 Juni 2016
(http://journal.unhas.ac.id/index.php/kritis)

mengikuti pemilu 1999. Termasuk di Pada babakan ke-empat,


dalamnya partai Islam. Tercatat sejumlah momentum pilkada Jakarta yang
partai politik Islam yang saat ini (atau dikhawatirkan sebahagian kalangan,
pernah) berada pada peringkat 10 besar menjadi simbolisasi dari kebangkitan
partai politik di Indonesia memiliki politik identitas agama dan ketegangan
sejarah kelahiran pada kurun waktu 1998- antara gerakan Islam Indonesia dan negara
1999. Beberapa contoh diantaranya adalah yang pada akhirnya memenangkan
PBB, PPP, PKS, PAN, dan PKB. pilkada Jakarta.
Secara umum, parta-partai politik II. RUMUSAN MASALAH
Islam pasca reformasi memiliki dua aliran Penelitian ini berfokus pada usaha
berbeda yang saling bertentangan. Aliran
untuk mengkaji fenomena di balik
yang pertama menganut bahwa syariah kebangkitan politik identitas agama yang
Islam harus diterapkan dalam sistem muncul pada arena pilkada Jakarta.
pemerintahan. Partai-partai besar yang
menganut aliran ini adalah Partai Bulan
Bintang (PBB), Partai Keadilan Sejahtera III. TINJAUAN PUSTAKA
(PKS), dan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). Sedangkan aliran Terdapat beragam sudut pandang
kedua menolak pengimplementasian yang melihat fenomena politik identitas.
syariah Islam dalam sistem pemerintahan. Pierre Van Den Bergh (1991) maupun
Aliran ini dianut oleh dua partai Islam Ubed Abdilah (2002) menjelaskan tiga
yang cukup besar yaitu Partai Amanat perspektif teoritis dalam mengkaji politik
Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan identitas yaitu: primordialisme,
Bangsa (PKB). konstruktivisme, dan instrumentalisme.

Gambar. Pembagian
paradigma melihat Politik
Identitas
Sumber; Pierre Van Den
Bergh Ethnicity and
Nationalism: Theory and
Comparison. New Delhi:
Sage Publication; 1991

148
Gustiana – Kekuatan Partai Golkar ….

Pedekatan pertama, argumentasi berlangsung melalui bahasa maupun


primordialisme yang melihat fenomena pengalaman masa lampau.
agama dalam kategori sosio-biologis. Frederik Barth (1988) lebih jauh
Pandangan ini berpandangan bahwa berargumentasi bahwa agama dan
kelompok sosial dikarakteristikkan oleh etnisitas mengalami perubahan terus-
gambaran wilayah, agama, kebudayaan, menerus dan bahwa batas keanggotaan
bahasa dan organisasi sosial sebagai hal suatu kelompok etnik sering
yang ‘given’dan tidak bisa dibantah. dinegosiasikan dan dinegosiasikan
Secara konseptual, pandangan ini kembali. Tergantung pada perjuangan
menekankan kehadiran identitas etnik dan politik di antara kelompok-kelompok
agama primordial memiliki fungsi sebagai yang ada.
perekat sebuah komunitas. Secara Frederik Barth menyebut
definitif, para penganut paham fenomena negosiasi identitas ini sebagai
primordialisme menekankan pada upaya situational. Pada batas ini, para aktor
pencapaian kepentingan kolektif dan berupaya mengeksploitasi simbol-simbol
kemampuan identitas kolektif untuk budaya dan menampilkan perilaku etnik
mendefinisikan dan mengartikulasi tertentu yang berubah-ubah dari waktu-
pandangan umum masa lalu dan saat ini. kewaktu, sesuai situasi tertentu, atau
Sekaligus juga membentuk visi untuk sesuai dengan kepentingan pribadi atau
masa depan. sosial.
Pendekatan primordial mengemu- Hal ini dianggap penting sebab
kakan bahwa kepentingan individual
sangat terkait dengan citra diri (self
anggota agama dibuat untuk menunjang image) dan harga diri (self esteem) baik
kepentingan kelompok dan pimpinannya sebagai individu maupun kelompok.
untuk memperkuat basis agama sebagai Identitas-identitas inilah yang akan selalu
sumber kekuatan sosial. dialami, dikomunikasikan, diolah,
Namun, pendapat ini tidak bisa ataupun dikonstruksi setiap individu
dipertahankan secara metodologis karena dalam berinteraksi.
membatasi ruang tafsir dan penerangan Meskipun pada dasarnya
akan perubahan dari fenomena sosial yang seseorang memiliki banyak sisi dalam hal
terjadi secara waktu ke waktu. Seperti pengungkapan identitasnya, namun
yang dilakukan oleh Max Waber yang menurut Barth identitas ke-etnikan dan
menjelaskan etnisitas sebagai kumpulan agama seseorang selalu menjadi hal utama
orang yang menghibur kepercayaan untuk membangun kategori pembeda.
subjektif dalam nyanyian mereka karena
kesamaan-kesamaan fisik, agama, atau Di antara sekian banyak identitas
karena kenangan koloni dan migrasi . seseorang yang akan ditampilkan,
sesungguhnya identitas etnik dan agama
Pendekatan kedua adalah akan selalu mendapat ruang atau tempat
konstruktifis yang dikembangkan oleh dalam diri seseorang. Konsep identitas
Frederik Barth . Teori ini memandang situasional menjelaskan bahwa setiap
identitas agama dan budaya, sebagai hasil individu akan melakukan proses
dari proses yang kompleks, manakala komunikasi, melalui pertukaran simbol,
batas-batas simbolik terus dibangun dan pembentukan makna, dan setting
membangun, oleh manfaat mitologi yang bertujuan dalam keseharian mereka sesuai

149
KRITIS: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin – Volume 2 No.1 Juni 2016
(http://journal.unhas.ac.id/index.php/kritis)

situasi, kondisi dan tujuan yang ingin Demikian halnya setiap identitas
dicapai. ditandai dengan sistem komunikasi dan
pola interaksi. Ciri kelompok etnik dan
Demikian pula budaya yang
agama tersebut dapat diterima dan dapat
dominan atau budaya pribumi yang biasa
dibedakan dengan kelompok lain yang
mempengaruhi budaya minoritas atau
berlangsung secara sosial dalam interaksi
budaya pendatang. Selanjutnya budaya
mereka.
minoritas terpengaruh oleh budaya yang
dominan akibat dari tekanan-tekanan Pendekatan konstruktivisme
lingkungan budaya itu sendiri. Barth, meyakini pembentukan batas-batas
dan ciri khas tersebut ditentukan oleh
Barth (1988:10) kemudian
kelompok itu sendiri yang kemudian
menjelaskan dua pandangan soal ini:
membentuk polanya sendiri. Adanya
Pertama, batas-batas budaya dapat
perbedaan etnik dan agama dalam
bertahan walaupun suku-suku tersebut
masyarakat lebih disebabkan oleh proses
saling berbaur. Dengan kata lain adanya
mempertahankan status etnik dan agama
perbedaan etnik dan agama tidak
di dalam masyarakat multicultural.
ditentukan oleh terjadinya pembauran,
kontak dan pertukaran informasi, namun Dalam konteks hubungan tersebut,
lebih disebabkan oleh adanya proses- Frederik Barth meyakini bahwa kelompok
proses sosial berupa pemisahan dan minoritas menjadi subordinat kelompok
penyatuan. mayoritas yang mendominasi sosialitas
hubungan ini. Pada kondisi ini, yang
Pandangan Barth ini melihat
minoritas inilah yang menjadi etnik dan
bahwa perbedaan kategori tetap
agama, menjadi unik, atau bahkan terasing
dipertahankan walaupun terjadi
dan aneh.
pertukaran peran serta keanggotaan di
antara unit-unit etnik dan agama dalam Sementara pandangan ketiga,
perjalanan hidup seseorang. Semuanya dalam kacamata teoretis, kalangan
dijadikan relasi penting untuk instrumentalisme lebih menaruh perhatian
mempertahankan kekuasan etnik. pada proses manipulasi dan mobilisasi
politik. Menurut pandangan ini, manakala
Kedua, dapat ditemukan hubungan
kelompok-kelompok sosial tersebut
sosial yang kuat, bertahan lama, dan
tersusun atas dasar atribut awal etnisitas
penting di antara dua kelompok etnik dan
seperti kebangsaan, agama, ras dan
agama yang berbeda. Kondisi ini biasanya
bahasa, maka pada saat tersebut,
terjadi karena adanya status etnik dan
kelompok itu sedang melakukan
agama yang berbeda tidak ditentukan oleh
mobilisasi kepentingan mereka.
tidak adanya interaksi dan penerimaan
sosial. Kalangan Intrumentalisme
menjelaskan bahwa identitas etnik dan
Tetapi menurut Barth, status
agama senantiasa dijadikan sebagai sarana
sosial etnik dan agama terbentuk oleh
elit etnik dan agama memanipulasi
sistem sosial tertentu. Setiap etnik dan
identitas tersebut demi keuntungan
agama dapat berkembang dan bertahan
mereka sendiri. Pandangan ini
serta mempunyai nilai-nilai budaya dan
mengasumsikan bahwa mereka yang
moral sehingga menjadi ciri khas identitas
minoritas akan cenderung dijadikan
itu sendiri dalam berinteraksi.
sebagai alat untuk menguntungkan
kelompok mayoritas.

150
Gustiana – Kekuatan Partai Golkar ….

David Brown (1989) menjelaskan sebagai alat kekuasaan seperti penjelasan


dalam Ethnic Revival: Perspectives on yang dikemukakan oleh David Brown
State and Society, sebagai berikut: maupun pendapat Donal Horowitz.
“Ketakutan dan intimidasi
seringkali terjadi dalam kondisi di mana
IV. METODE
kekerasan etnis/agama terjadi, tidak dapat
digunakan untuk menjelaskan analisis Jenis penelitian yang penulis
identitas dalam situasi kompetisi tanpa gunakan adalah Fenomenologi. Secara
kekerasan, seperti pemilihan umum”. ringkas pendekatan fenomenologi
bertujuan memperoleh interpretasi
Pandangan David Brown tersebut terhadap pemahaman manusia (subyek)
sejalan dengan pendapat Donal Horowitz atas fenomena yang tampak dan makna
yang memberikan penjelasan etnisitas dibalik yang tampak, yang mencul dalam
(agama) memang dapat dimanipulasi kesadaran manusia (subyek).
(instrumentalisme), namun juga secara
luas etnisitas dalam hal ini agama diterima Penelitian ini menggunakan
secara bawaan (primordial). pendekatan kualitatif yang merupakan
penelitian yang bersifat kontekstual yang
Dalam berbagai sisi, pendekatan berusaha menekankan pada pemaknaan
instrumentalis banyak mendapatkan kritik suatu fenomena interaksi tingkah laku
karena dianggap terlalu materialis dan manusia dalam situasi tertentu.
tidak memperhitungkan hubungan positif
keterkaitan primordial dari seseorang Penelitian ini berlokasi di Kota
terhadap etnis/agamanya. Jakarta, dengan mengambil data dari
berbagai sumber baik kepustakaan, media
Namun, berbagai bukti empiris massa dan kutipan dari sejumlah
bahwa identitas primordial seringkali narasumber.
digunakan sebagai instrumen politik
adalah sesuatu yang tidak bisa diabaikan Dengan menggunakan penelitian
begitu saja, karena hal ini terjadi dalam kualitatif, penulis telah membuat sebuah
berbagai arena dan situasi politik. gambaran kompleks, meneliti kata-kata,
laporan terinci dari pandangan responden,
Berangkat dari hal tersebut, sudut dan melakukan studi pada situasi yang
pandang peneliti melihat bahwa politik alami.
identitas agama adalah proses konstruksi
seperti pandangan Frederick Barth. Barth Metode analisis yang penulis
memandang bahwa identitas agama gunakan adalah analisis kualitatif, yaitu
sebagai hasil dari proses yang kompleks metode analisis yang pada dasarnya
manakala batas-batas simbolik terus mempergunakan pemikiran logis, analisis
dibangun dan membangun oleh manfaat dengan logika, dengan induksi, analogi/
mitologi suatu hitungan sejarah untuk interpretasi, komparasi dan sejenis itu.
kepentingan situasional para elit politik. Metode berfikir yang dipergunakan adalah
metode induktif, yaitu dari data / fakta
Pada tahap selanjutnya, konstruksi menuju ke tingkat abstraksi yang lebih
identitas agama ini kemudian digunakan tinggi, termasuk juga melakukan sintesis
sebagai proses instrumentalisme. dan mengembangkan teori (bila
Tujuannya adalah sebagai alat untuk diperlukan dan datanya menunjang) . Dari
manipulasi dan mobilisasi sosial demi analisis tersebut kemudian akan ditarik
mengukuhkan atribut-atribut agama

151
KRITIS: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin – Volume 2 No.1 Juni 2016
(http://journal.unhas.ac.id/index.php/kritis)

kesimpulan sebagai jawaban atas terkait dengan citra diri (self image) dan
permasalahan yang ada. harga diri (self esteem) baik sebagai
individu maupun kelompok.
Meskipun pada dasarnya
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
seseorang memiliki banyak sisi dalam hal
Pesulap kawakan Limbad yang pengungkapan identitasnya, namun
identik dengan 'aksi diam', akhirnya menurut Barth identitas ke-etnikan dan
angkat bicara terkait dukungan di putaran agama seseorang selalu menjadi hal utama
kedua Pilgub DKI Jakarta 2017. Pria untuk membangun kategori pembeda.
berambut panjang itu, menyatakan
1. “Saya Muslim Saya Memilih Anies-
dukungannya kepada Anies-Sandi,
Sandi” sebagai Citra Diri dan Harga Diri
‘Karena saya seorang muslim. Otomatis
saya akan dukung (Anies-Sandi). Di antara sekian banyak identitas
seseorang yang akan ditampilkan,
Limbat tidak sendiri,
sesungguhnya identitas etnik dan agama
mengungkapkan alasan akhirnya memilih
akan selalu mendapat ruang atau tempat
Anies- Sandi. Hasil kajian tempo.co yang
dalam diri seseorang. Konsep identitas
diambil dari berbagai survei menunjukan
situasional menjelaskan bahwa setiap
hal yang sama, dimana faktor kesamaan
individu akan melakukan proses
agama menjadi alasan utama memilih
komunikasi politik, melalui pertukaran
pasangan Anies- Sandi.
simbol, pembentukan makna, dan setting
Lembaga Survei Indometrik bertujuan dalam keseharian mereka sesuai
menyampaikan kesimpulan sebesar 60 % situasi, kondisi dan tujuan yang ingin
pemilih menjadikan faktor agama sebagai dicapai.
alasan dalam memilih gubernur. Tidak
Demikian pula identitas budaya
jauh berbeda dengan laporan Survei
yang dominan atau budaya pribumi yang
Indometrik, ulasan Tempo tersebut juga
biasa mempengaruhi budaya minoritas
menguraikan kesimpulan Survei Polmark
atau budaya pendatang, serta mayoritas
Indonesia yang dipimpin oleh Eep
dan minoritas. Selanjutnya kelompok
Saifulah Fatah yang memberikan
minoritas terpengaruh oleh budaya yang
penjelasan bahwa sebesar 67,7 % pemilih
dominan akibat dari tekanan-tekanan
Jakarta menyetujui memilih pemimpin
lingkungan sendiri.
Muslim.
Jika menelaah pilkada Jakarta,
Besarnya peran alasan agama
sentimen atas citra diri dan harga diri
dibalik kemenangan Anies-Sandi,
kelompok inilah yang terbangun mengapa
mengigatkan kita pada thesis lama Cliford
politik identitas agama menjadi begitu
Geertz (1960) dan Afan Gaffar (1992),
berpengaruh pada arena pemilihan
memberi ilustrasi adanya keterkaitan
gubernur Jakarta. Sentimen yang
antara aliran dan perilaku politik
terbangun dari dua hal. Pertama, cintra diri
seseorang.
(self image) yang merasa terhina oleh
Menariknya, mengapa Jakarta ucapan Ahok dikepulauan seribu yang
yang dinilai sebagai lambang rasionalitas berujung aksi 411 dan 212.
publik juga tidak berdaya menghadapi
Sentimen citra diri sebagai muslim
gaya berpikir politik aliran tersebut?
yang terluka inilah yang dimunculkan dan
Berangkat pada pandangan Barth, bahwa
dijadikan sebagai sarana untuk menyerang
identitas dianggap penting sebab sangat

152
Gustiana – Kekuatan Partai Golkar ….

ahok. Apalagi, kasus penistaan agama ini berhasil dikapitalisasi dalam jumlah
tersebut mendapatkan legitimasi dari dukungan aksi demonstrasi, sesuatu yang
lembaga ke-agamaan seperti Majelis menjadi alasan utama yang menjadikan
Ulama Indonesia (MUI). isue agama semakin menguat.
Demikian pula pada akhirnya,
ketika kasus Ahok dibawa ke lembaga 2. Garis Kuasa Mayoritas atas Minoritas
peradilan yang mendakwa Ahok sebagai berwajah Tirani Spiritualisme
tersangka penista agama. Dua kondisi
inilah yang kemudian membentuk citra Howertz mengasumsikan bahwa
diri dan identitas sebagai sesama muslim mereka yang minoritas akan cenderung
menguat. dijadikan sebagai alat menguntungkan
kelompok mayoritas dan kategori tersebut
Perasaan solidaritas sebagai disusun berdasarkan kepentingan
sesama muslim dibangun dan membangun kategorik para elit politik. Kemunculan
dalam bingkai propaganda identitas yang sejumlah wacana politik ‘Jakarta harus
sama. Sesuatu yang menyulut kesadaran dipimpin oleh Gubernur mayoritas’ .
kolektiv untuk memperjuangkan korps
kebersamaan sebagai sesama muslim yang Dalam penjelasan Muhtar
harus bersatu menjadi mengguat. Haboddin, menyangkut relasi dibalik
munculnya politik identitas, bahwa politik
Kedua, harga diri (self esteem) identitas sengaja dibangun oleh oleh para
yang membentuk solidaritas kelompok elit lokal untuk mempertahankan
akibat tajamnya polarisasi pilkada Jakarta kekuasaan dan pengaruh mereka dalam
dalam dua pilihan muslim atau non arena politik lokal, sekaligus wujud dari
muslim. Dua kondisi ini menjadi alasan powersharing kekuasaan yang dibangun
utama mengapa slogan ‘Saya Muslim, berdasarkan latar belakang identitas.
Saya Memilih Anies-Sandi’ menjadi
mengemuka. Politik identitas biasanya
digunakan oleh para pemimpin sebagai
Sesuatu yang berhasil dibangun retorika politik dengan sebutan bagi
oleh kelompok penekan yang menolak “orang asli” yang menghendaki kekuasaan
Ahok sejak awal. Dengan menggunakan
dan bagi mereka “orang pendatang” harus
pandangan konstruktivis yang melepaskan kekuasan. Konstruksi batas
dikemukakan oleh Fredric Barth kita bisa mayoritas dan minoritas ini dibangun
melihat bahwa hal ini merupakan bagian secara tajam dalam polarisasi pilkada
dari konstruksi elit politik yang digunakan
DKI.
sebagai senjata untuk melawan mereka
yang berbeda. Ilmuwan politik Rousseau
melakukan pembacaan yang tajam, bahwa
Harga diri sebagai muslim yang terbentuknya korps politik ini, dibangun
terluka telah dibangkitkan apalagi dengan dengan semangat integrasi yang dibawa
posisi Basuki Tjahaya Purnama yang ke dalam suatu komunitas politik yang
terjebak oleh kasus penistaan agama yang terorganisir dengan menggunakan
mendorong kebangkitan harga diri muslim prosedur demokrasi.
menjadi meluas dan melintasi batas
daerah dan wilayah. Pemanfaatan demokrasi sebagai
sarana mempertegas batas segregasi
Solidaritas atas nama kebersamaan antara mayoritas dan minoritas inilah yang
sebagai sesama muslim yang terlecehkan dimanfaatkan oleh kelompok politik yang

153
KRITIS: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin – Volume 2 No.1 Juni 2016
(http://journal.unhas.ac.id/index.php/kritis)

menolak Ahok. Hal yang juga disadari dibungkuskan ke pelbagai dimensi


oleh Rousseau bahwa akses keadilan yang kehidupan politik tak lain sekadar sebuah
dijangkau oleh minoritas semakin sulit. upaya akumulasi kepentingan jika
mengunakan pandangan konstruktivisme.
Jika kita lihat pada Pilkada Jakarta,
kelas minoritas terpaksa menjadi objek Kelompok-kelompok yang
ideologi dari mayoritas. Sebutlah menjadikan semangat agama sebagai garis
kelompok Front Pembela Islam (FPI), demarkasi dalam aktivitas politik
subjek dominasi yang berdiri paling depan sebenarnya telah terjebak pada bentuk
untuk memaksa agar minoritas Kristen tirani spiritualisme dengan cara mengubah
Jakarta tunduk pada kehendak mayoritas. spiritualisme sebagai sebuah komoditas di
Dengan dasar bahwa definisi mayoritas dalam politik.
merujuk pada statistik agama. Muaranya masih sama yakni
Situasi ini dapat kita pahami power oriented, bukan mengejar politik
sebagai upaya dari kuasa mayoritas untuk berkemanusiaan di dalam negara ini. Elit
menghegemoni struktur, pikiran dan agama Indonesia di dalam politik,
perilaku politik masyarakat. Ruang publik meminjam logika Michel Foucault,
bahkan terdeterminasi oleh sistem sekedar melakukan reproduksi kekuasaan.
simbolik dan doktrin agama yang Sesungguhnya yang terjadi pada pilkada
berusaha membangun propaganda Jakarta adalah agama sedang menjaga
berbasis solidaritas mayoritas. eksistensi kekuasannya demi
mempertahankan dominasi mayoritas atas
Sementara kita tentu sadar bahwa
minoritas.
Jakarta merupakan kota dengan penduduk
yang beragam sehingga model strategi
ideologi yang memakai power agama
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
tertentu bisa diterjemahkan sebagai
sebuah tindakan pelegitimasian kekerasan 1. Kesimpulan
atau pemaksaan. Kesimpulan peneliti atas wujud
Pertengkaran mayoritas dan kuasa agama dalam dalam pilkada Jakarta
minoritas ini memang tidak dapat kita dengan menggunakan pendekatan
lepaskan dari permainan kepentingan konstruktivisme Barth dapat dijelaskan
politik. Spirit religius yang coba dalam model berikut :

Citra Diri

Konstruksi Identitas
Politik Identitas Agama Saya Muslim Saya Anies
Sandi

Harga diri

154
Gustiana – Kekuatan Partai Golkar ….

Kebangkitan politik identitas 2. Saran


Islam digunakan dengan melalui upaya Penggunaan politik identitas
pembangunan citra diri sebagai sesama agama dalam arena demokrasi pilkada
Muslim harus memilih mereka yang langsung hanya bisa dihadapi dengan
seagama dan seiman. Upaya ini dijalankan membangun semangat asimilasi identitas
melalui berbagai konvensi gubernur yang lebih besar yakni pembangunan sprit
Muslim untuk Jakarta dan Saya Muslim identitas yang lebih luas, seperti semangat
harus memilih Anies-Sandi pada putaran kebinekaan dan persatuan sebagai negara
kedua. bangsa.
Representasi ayat Al-Qur’an, Setiap calon harus menghindari
fatwa ulama digunakan sebagai cara persingungan indentitas dalam arena
mengalang dukungan pemilih untuk pilkada sebagai jalan menghindari
memilih gubernur Muslim, hal ini kebangkitan dan sentimen indentitas yang
merupakan upaya membangun solidaritas terjadi di Indonesia. Hal ini harus
identitas bersama sebagai sesama Muslim dilakukan dalam upaya pembangunan
yang harus bersatu. demokrasi yang esensil di Indonesia dan
Kedua, perasaan harga diri sebagai menghindari terjadinya perpecahan
muslim yang terhina oleh kasus sesama anak bangsa dan menghindari
penisataan agama yang dilakukan oleh hadirnya kekuasaan politik identitas
Ahok menjadi senjata politik yang terus agama dalam arena politik.
direplikasi untuk menghadapi Ahok yang
dipandang sebagai penista agama. Kondisi
ini dipertahankan untuk membangun DAFTAR PUSTAKA
psikologis sebagai mayoritas yang terluka Abdillah, Ubed S . 2002. Politik Identitas
sekaligus sebagai jalan membangun batas Etnis Pergulatan Tanpa Tanda
kuasa kepada mereka yang dipandang Identitas. Magelang, Indonesiatera
sebagai minoritas untuk mempertahankan
demarkasi kekuasaan dan kepentingan elit Barth, Fredick . 1988. Kelompok Etnis
politik dan Batasanya. Terjemahan Oleh
Nining. LS. Jakarta : UI Press
Fenomena kebangkitan politik
identitas agama di pemilihan gubernur Best, Steven dan Kellner, Douglas. . 2003.
Jakarta berlangsung dengan dua tahap : Teori Postmodern, Interogasi Kritis.
Terj. Indah Rohmani. Malang: Boyan
Penonjolan citra diri sebagai Publishing,.
sesama muslim yang dibangun lewat
solidaritas “Saya Muslim Saya Memilih Cornell, S. & Hartmann, D. 1998.
Anies-Sandi”. Ethnicity and Race: Making
Identities in a Changing World.
Menampilkan harga diri sebagai California: Pine Forge Press
muslim yang selama ini terzalimi oleh
penistaan agama yang dilakukan oleh Eriksen TH (1993) Ethnicity and
Ahok/Basuki Tjahya purnama dengan Nationalism (anthropological
dalih pembenaran fatwa MUI dan perspective). London: Pluto Press.
dakwaan hukum yang diberikan oleh Faisal, Sanapiah . 1990. Penelitian
aparat kepolisian. Kualitatif : Dasar-Dasar dan Aplikasi,

155
KRITIS: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin – Volume 2 No.1 Juni 2016
(http://journal.unhas.ac.id/index.php/kritis)

YA 3, Malang
Foucault, Michel. . 1995. Dicipline and
Punish : The Birth of Prison. New
York : Vintage,.
Foucault, M. 2007.Seks dan Kekuasaan.
Terj. S. H. Rahayu. Jakarta:
Gramedia
——-.2000. Arkeologi Ilmu-ilmu
Kemanusiaan, Terj. B. Priambodo
dan Pradana Boy. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,.
Foucault, . 1978. a. Governmentality. In
The Essential Foucault. The New
Press. New York.
Giorgio Agamben. 1995. Homo Sacer:
Sovereign Power and Bare Life,
Stanford University Press, California.
H. Asyari, Dkk. 2005. Pengantar Study
Islam. IAIN Sunan Ampel Press
Huntington, Samuel P. 1996.The Clash of
Civilizations?, Foreign Affairs.
Summer, tk,.
Horowitz J & James DL . 2006.
Democratic Survival in Multi-etnik
Countries. Working
Paper.Department of Political
Science, University of California,
California.
INCIS . 2002. Hubungan Antar Etnik dan
Masalah Kebangsaan di Jakarta,
Laporan Penelitian INCIS Jakarta.
R. Sukma & C. Joewono (ed.). 2007.
Islamic Thought and Movements in
Contemporary Indonesia, Centre for
Strategic and International Studies.
https://majalah.tempo.co/konten/2017/04/
24/LU/153011/Faktor-Agama-dan-
Blunder- Sembako/09/46
http://seleb.fajar.co.id/2017/03/09/limbad
-saya-seorang-muslim-otomatis-
saya-akan-dukung-anies-sandi/

156

Anda mungkin juga menyukai