Sebagian besar terumbu karang masuk dalam kelas Anthozoa. Hanya dua familinya yang berkaitan
dengan kelas lain dari coelenterate Hydrozoa: Milleporidae dan Stylasteridae. Kelas Anthozoa
meliputi dua subkelas Hexacoralia (atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang berbeda asalnya,
demikian pula dalam morfologi dan fisiologinya. Fungsi bangunan terumbu sebagian besar dibentuk
8 oleh karang pembangun terumbu (hermatypic), yang membentuk endapan kapur (aragonit)
massif. Kelompok karang hermatypic diwakili sebagian besar oleh ordo Scleractinia (Subklas
Hexacorallia). Dua spesies dalam kelompok ini termasuk dalam ordo Octocorallia (Tubipora musica
dan Heliopora coerulea), dan beberapa spesies kedalam kelas Hydrozoa (hydrocoral Millepora sp.
dan Stylaster roseus). Karang hermatypik mengandung alga simbion zooxanthellae yang sangat
mempercepat proses calsifikasi, dengan demikian memungkinkan karang inangnya membangun
koloni massif. Hexacoral dari ordo-ordo lain dari subklas Hexacorallia: Corallimorpharia,
Anthipatharia, dan Ceriantharia, termasuk beberapa spesies dari ordo zoanthidea seperti sebagian
besar octocoral dari subklas octocorallia, menjadi hewan-hewan yang berkoloni, juga memproduksi
skeleton keras atau ellemen keras dari skeleton yang lembutnya dari materi cacareus dan dengan
demikian berperan dalam memproduksi materi kapur remah. Menurut Anonimus (2003a) ada 12
family dan 47 genera karang. Menurut Ongkosongo (1988) terdapat enam bentuk pertumbuhan
karang batu yaitu (1) Tipe bercabang (branching), (2) tipe padat (massive), (3) tipe kerak
(encrusting), tipe meja (tabulate), (5) tipe daun (foliose), dan (6) tipe jamur (mushroom).
Kondisi karang di Indonesia pada saat ini adalah empat persen dalam kondisi kritis, 46 persen telah
mengalami kerusakan, 33 persen kondisinya masih bagus dan sekitar tujuh persen kondisinya bagus
sekali. Berdasarkan penyebabnya, kerusakan terumbu karang diakibatkan oleh beberapa faktor :
4.1 Faktor Biologis, seperti :
4.1.1 Predasi
Predasi merupakan adanya jenis-jenis karang/biota karang lain tertentu yang bersifat aktif dan
agresif untuk mendapatkan makanan sehingga dapat menghambat/mematikan pertumbuhan karang
yang lainnya. Beberapa contoh kasus predasi antara lain :
a. Beberapa jenis karang Famili Musidae, Meandrinidae dan Favidae mempunyai pertumbuhan
yang dapat menghambat pertumbuhan jenis karang lain khususnya dari suku Acroporidae.
b. Beberapa jenis karang yang menghasilkan zat antibiotik yang dapat mencegah pertumbuhan
organisme lain disekitarnya (misalnya jenis Montipora sp.).
c. Beberapa hewan pemakan polyp karang seperti Copepoda, Barnacle, kepiting, beberapa
Gastropoda, Asteroid, ikan Chaetodon trifasciatus, C. trifasialis, Acanthaster plancii, dll.
Beberapa hewan seperti Polychaeta dan Moluska merusak karang dengan cara membuat
rumah pada koloni karang.
4.1.2 Penyakit
Karang secara alami mempunyai penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Serangan penyakit ini
biasanya dipicu oleh adanya kondisi perairan yang tidak normal, misalnya danya pencemaran dan
kenaikan suhu permukaan air laut. Penyakit yang biasa menyerang karang antara lain :
a. White band disesase atau biasa disebut dengan penyakit gelang putih yang ditandai dengan
adanya warna putih pada sebagian koloni karang sedangkan sebagian lainnya berwarna
normal.
b. Black band disease, penyakit ini hampir sama dengan white band disease namun hasil
akhirnya berbeda oleh karena karang yang diserang ada yang menjadi hitam atau dapat pula
mengalami bleaching (memutih). Warna putih menunjukkan bahwa jaringan karang telah
mati sedangkan warna hitam menunjukan jaringan yang sedang mengalami serangan
penyakit.
c. Vibrio AK-1, bakteri ini menyerang pada bagian kondisi dimana suhu lingkungan naik di
atas normal. Kerusakan akibat bakteri ini ditandai dengan memutihnya jaringan karang
akan tetapi warna putihnya berupa bercak-bercak yang tidak merata.
4.1.3 Bioerosi
Bio erosi merupakan kerusakan karang baik secara kimiawi maupun mekanis karena
terdegradasinya kapur kerangka tubuh karang (CaCO3) yang disebabkan aktifitas organisme lain.
Beberapa contoh bio erosi antara lain :
Ikan kakatua dan ikan Buntel mengerat atau mengkais-kais karang massive untuk menajamkan
giginya.
a. Polychaeta, moluska, krustacea membuat lubang untuk rumahnya dengan cara mengebor
kerangka karang.
b. Echinodermata menggerogoti karang untuk memperoleh makanan yang berupa detritus atau
algae yang melekat di kerangka kapur.
c. Sponge, algae, cyanobacteria melekat di cangkang karang dan mengeluarkan zat kimia
tertentu yang dapat menurunkan keasaman disekitarnya sehingga dapat melarutkan kapur
kerangka tubuh karang.
Respirasi dari turf algae pada malam hari menghasilkan asam organik yang dapat menurunkan
keasaman disekitarnya.
4.2 Faktor Fisik, seperti :
4.2.1 Kenaikan Suhu Air Laut
Kenaikan suhu air laut sekitar 3 – 4 ° C dari suhu normal akibat peristiwa El Nino dapat
menyebabkan karang menjadi Bleaching yang kadang-kadang diikuti dengan kematian karang.
Karang di daerah tropis lebih sensitive terhadap perubahan suhu air laut dibanding dengan di daerah
sub tropis.
4.2.2 Pasang Surut
Kematian karang akibat pasang surut dapat terjadi apabila terjadi pasang surut yang sangat rendah
sehingga terumbu karang muncul di atas permukaan air laut dan terjadinya pada siang hari
(matahari terik) atau pada saat hujan sehingga air hujan langsung mengenai terumbu karang.
Kematian karang akibat pasang surut biasanya terjadi satu atau dua kali dalam setahun dan meliputi
area yang cukup luas.
4.2.3 Radiasi Sinar Ultra Violet
Sinar matahari yang memancar setiap hari mengandung sinar ultra vuolet A,B,C yang mempunyai
panjang gelombang yang berbeda-beda. Sinar UV A dan B merupakan sinar yang mempunyai daya
rusak terhadap sel-sel hidup. Sinar UV akan mempunyai dampak buruk terhadap karang jika
karang terkena radiasi sinar UV di atas normal (atau di atas kemampuan karang beradaptasi).
Biasanya terjadi pada saat cuaca sangat cerah, laut tenang dan jernih serta terjadi pada waktu yang
cukup lama. Ciri-ciri kematian karang akibat sinar UV yaitu terjadi bleaching meliputi daerah yang
cukup luas, umumnya seragan dan mencapai tempay yang cukup dalam.
4.2.4 Penurunan Salinitas
Secara fisik kematian karang karena penurunan salinitas dimulai dengan kontraksi dari polip karang
untuk lebih mempersempit kontak dengan air laut bersalinitas rendah. Kontraksi polip akan
mengurangi kecepatan fotosintesa sehingga akan mengurangi kecepatan respirasi. Karena karang
tidak mempunyai mekanisme untuk mengatus tekanan osmose di dalam tubuhnya maka sel-sel akan
pecah dan zooxanthellae keluar dari jaringan karang yang akibatnya karang memutih. Jika
penurunan ini berlangsung cukup lama akhirnya semua jaringan karang akan lysis dan mati.
4.2.5 Gunung Berapi, Gempa Bumi dan Tsunami
Aktifitas gunung berapi, gempa bumi dan tsunami mempunyai potensi untuk merusak terumbu
karang dengan akibat sangat berat. Gunung berapi di Indonesia yang berpotensi menyebabkan
kerusakan terumbu karang antara lain Gunung Krakatau di Selat Sunda, Gunung Api Banda di
Banda, Gunung Siau di Pulau Sangihe, Gunung Lewotolo di Pulau Lembata dan Gunung Pinang di
Sulawesi.
4.2.6 Topan atau Badai
Kerusakan karang yang disebabkan oleh topan biasanya sangat parah dan pada area yang cukup luas
tergantung dari kekuatan topan tersebut.
f. Jangkar Perahu
Aktifitas lempar jangkar di daerah terumbu karang juga memberikan kontribusi cukup besar dalam
kerusakan karang karena jangkar yang di lepas dilaut akan merusak karang.
g. Kegiatan Pariwisata
Pengelolaan wisata bahari yang tidak memperhatikan lingkungan seperti membuang sampah,
snorkling/diving dengan menginjak karang dan mengoleksi biota laut/karang.
a. Sedimentasi
Sumber utama sedimentasi yaitu dari kegiatan penambangan di laut dan berasal dari daratan yang
dibawa oleh air sungai ke laut. Sedimentasi tersebut akan menyebabkan kekeruhan sehingga
menghambat penetrasi sinar matahari dalam air yang sangat dibutuhkan oleh karang untuk proses
biologisnya.
c. Minyak Bumi
Tumpahan minyak bumi ke laut dalam jumlah cukup besar dapat menghambat reproduksi dan
perkembangan larwa karang, menghambat pertumbuhan karang, bleaching samapai menyebabkan
kematian.
d. Perdagangan Karang
Perdagangan karang hias yang diambil langsung dari alam merupakan sumber pendapatan ekonomi
bagi Indonesia tetapi di sisi lainnya juga menjadi ancaman untuk kelestarian terumbu karang bila
penanganannya tidak terkontrol dengan baik.
Menurut penelitian Green & Shirley (1999), ada beberapa jenis karang hias yang menjadi target
utama dalam perdagangan. Diantaranya Cynarina lacrymalis, Tracyphyllia geoffroyi,
Nemenzophyllia turbida, Physogyra lichtensteini, Plerogyra spp, Euphyllia spp, Blastomussa spp,
Acanthastrea spp, dan Scolymia spp. Masing-masing spesies itu telah memiliki batasan kuota
pengambilan tiap tahunnya oleh pemerintah, yang diatur oleh otoritas manajemen dan otoritas
keilmuan
III. PEMBUATAN MEDIA TRANSPLANTASI KARANG
Rehabilitasi atau Transplantasi karang adalah pencangkokan atau pemotongan karang hidup untuk
ditanamkan di tempat lain atau di tempat yang karangnya telah mengalami kerusakan, bertujuan
untuk pemulihan atau pembentukan terumbu karang alami. Transplantasi karang berperan untuk
mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah rusak, dan dapat pula dipakai untuk
membangun daerah terumbu karang baru yang sebelumnya tidak ada (Harriott dan Fisk, dalam
Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, 2002).
Transplantasi karang telah dipelajari dan dikembangkan sebagai teknologi pilihan dalam
pengelolaan ekosistem terumbu karang terutama pada daerah-daerah yang memiliki nilai ekonomi
tinggi (Harriot dan Fisk, dalam Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, 2002). Dimasa
mendatang transplantasi karang akan memiliki banyak kegunaan antara lain untuk melapisi
bangunan-bangunan bawah laut sehingga lebih kokoh dan kuat, untuk menambah populasi spesies
karang yang jarang atau terancam punah, dan untuk kebutuhan pengambilan karang hidup bagi
hiasan akuarium.
Dalam rangka menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang di alam, maka kegiatan transplantasi
karang pengambilan bibit di alam direkomendasikan 1 (satu) kali saja dan selanjutnya bibit dapat
diperoleh dengan cara melaksanakan pembibitan dengan membuat kebun induk khusus untuk bibit
transplantasi. Pengambilan bibit karang yang akan ditransplantasi diambil dari lokasi tempat lain
atau yang berdekatan dengan lokasi tempat penempatan media transplantasi, tetapi harus
mempunyai kedalaman yang sama dengan tempat yang ditransplantasikan. Bibit koloni karang yang
dipilih dari karang keras yang bercabang dan karang lunak dengan memotong induk koloni karang
dengan menggunakan alat pemotong karang. Sedangkan bibit karang massive menggunakan bibit
karang minimal berukuran kurang lebih 7 cm, dikumpulkan pada suatu wadah untuk diangkut ke
lokasi pelaksanaan transplantasi.
Gambar Alur Kerja Transplantasi Karang
(Direktorat Konservasi Dan Taman Nasional Laut, 2006)
Substrat merupakan media bagi fragmen karang yang akan ditransplantasikan. Hal utama yang
menjadi petimbangan dalam pemilihan bahan substrat adalah tahan dalam air laut sehingga dapat
menjadi karang yang baik. Substrat yang digunakan untuk kegiatan transplantasi dapat terdiri dari
(KKP, 2010; Harianto etal., 2013): Substrat berbentuk lingkaran dengan diameter antara 10-15cm
atau kotak dengan ukuran panjang/lebar antara 10-15cm dengan ketebalan 3cm. Substrat sebaiknya
terbuat dari campuran semen atau bahan lain yang ramah lingkungan. Pada bagian substrat dipasang
patok atau pipa dengan diameter 2cm dan panjang 10cm (Gambar 10). Substrat dengan ukuran,
bentuk dan bahan bebas sesuai dengan improvisasi masing-masing pelaku, dengan bahan yang ramah
lingkungan.
Indukan dapat bersumber dari pengambilan koloni karang di habitat alam (F0) ataupun dari anakan
(F1) hasil transplantasi sebelumnya. Umtuk sumber bibit karang yang masih hidup di terumbu, selalu
ada efek samping yang akan timbul seperti kerusakan koloni karang. Berikut merupakan panduan
dalam mengambil bibit (Edwards&Gomez, 2007; KKP, 2010):
1. Periksa terlebih dahulu apakah lokasi pengambilan bibit memerlukan izin dari pemerintah
atau tidak. Lebih baik pilih lokasi indukan yang telah ditentukan Management Authority
sesuai dengan kuota lokasi pengambilan dari habitat alam.
2. Bibit transplantasi diambil dari kawasan dengan kondisi yang semirip mungkin dengan
lokasi transplantasi (kedalaman, paparan, salinitas, substrat, sedimentasi dan suhu).
3. menemukan patahan karang yang masih hidup, maka gunakan patahan tersebut sebagai
sumber bibit trasplan
4. Apabila menggunakan koloni karang utuh sebagai sumber bibit transplan, gunakan karang
dari 10% dari seluruh bagian koloni guna mengurangi tingkat stress pada karang
5. Pada karang masif, ambil fragmen karang dari bagian tepi.
6. Pengambilan bibit dilakukan oleh tenaga terampil untuk mengurangi kerusakan karang.
7. Pilih bibit transplan yang dalam keadaan sehat.
8. Pilih bibit yang bebas dari organisme lain yang menempel (seperti sponges). Hal tersebut
untuk mencegah agar biota lain tidak ikut terambil.
9. Untuk lokasi lebih dari 20 m atau yang memakan waktu 1 jam perjalanan menggunakan perahu, bibit
dimasukkan ke dalam ember yang berisi air laut sebanyak 2 (dua) lapis tumpukan. Selama dalam
perjalanan menuju lokasi penempatan, ember tersebut harus dijaga agar terhindar dari sinar matahari
langsung dan tetesan air hujan/air tawar, yang dapat mematikan polyp karang.
Ketika jaringan karang melakukan kontak dengan permukaan substrat yang bersih (tidak ditumbuhi
oleh alga atau sedimen tebal) karang akan menempel secara alami dan tumbuh di permukaan.
Proses penempelan alami dapat terjadi setelah beberapa minggu hingga beberapa bulan
(Edwards&Gomez, 2007). Salah satu cara agar transplantasi berhasil adalah dengan mencari lubang
alami dengan diameter yang sama dengan fragmen, atau melubangi meja/rak sesuai ukuran
transplan dengan pahat atau obeng. Area sekitar lubang dikikis hingga bersih, kemudian fragmen
dimasukkan dan distabilkan dengan perekat epoxy di satu sisi dan sisi lainnya ditekan hingga
menyentuh substrat. Cara ini mempercepat penempelan alami transplan pada permukaan substrat
(Edwards&Gomez, 2007).
Penandaan pada karang transplan berjutuan untuk membedakan karang transplan yang berasal dari
alam dengan karang hasil transplantasi sebelumnya serta memudahkan dalam pemeliharan dan
pemantauan. Tanda yang digunakan dapat berupa label permanen yang pemasangannya dilakukan
bersamaan dengan peletakkan karang pada substrat dengan kondisi tidak mudah lepas dan tahan
lama. Label dapat terbuat dari bahan plastik yang keras dan kuat atau dari bahan lain yang tahan air
dengan tulisan yang terlihat jelas
Keterangan :
17 : Kode balai/loka
16 : Kode pelaku/perusahaan
07 : Tahun transplantasi
Acef : Kode spesies karang
3 : Transplantasi ke
0005 : Nomor urut
1-12 : Bulan transplantasi
BAB. V PENUTUP
Ruang lingkup dari bahan ajar pembuatan media transplantasi karang berhubungan dengan
pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang dibutuhkan dalam melakukan kegiatan Teknik
transplantasi terumbu karang.
Bahan ajar disusun sebagai acuan dalam proses pelatihan pembuatan media transplantasi terumbu
karang. Dengan mempelajari modul pelatihan secara berurutan diharapkan kompetensi peserta dapat
tercapai secara sempurna.
Segala petunjuk penggunaan modul ini hendaknya dapat dilakukan untuk tercapainya tujuan dan
sasaran pelatihan. Hal-hal yang tidak termuat dalam modul ini namun relevan dengan materi dapat
diberikan sebagai pengkayaan. Semoga modul ini dapat memberikan manfaat bagi penggunanya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Davies,D (1998), “Diver location device”. Journal of the South Pacific Underwater Medicine
Society,28.(3).Retrieved 2009-04-02.
2. “Orienteering Rules Edition 2009/01”.www.cmas.org. Confederation Mondiale des Activites
Subaquatiques,p. 13. Retrieved 2016-06-13
3. http.//prezi.com; wherxqaw-541,”Kesehatan Penyelaman”
4. Konsep dan Pemakaian Dive Table (Dive Table, Consept and Application),
rizalchristian.blogspot.com, 24 Des 2010.
5. “U.S. Navy Diving Manual and orther US Navy diving-related manual”.Classic Dive
Book.Retried 19 May 2019.