Anda di halaman 1dari 18

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum Islam dan era globalisasi sering dipersepsikan dua hal yang sangat
berbeda dan bahkan dikatakan saling bertentangan. Dalam satu sudut pandang, Hukum
Islam merupakan sesuatu yang tidak akan mungkin mengalami perubahan, karena
berdasarkan wahyu Allah. Organisasi seringkali timbul akibat adanya tekanan.
Ketidakadilan dan perlakuan diskriminasi dari pihak lain. Gerakan ini menyusun
kekuatan untuk merekrut semua potensi dan menandingi kekuatan luar, sehingga
eksistensinya diperhitungkan. Terlebih pada pengaruhnya pada perkembangan Hukum
Islam di Indonesia pada khususnya. Hukum selain berfungsi sebagai pengatur
kehidupan masyarakat atau social control, juga berfungsi sebagai pembentuk
masyarakat atau social engineering. Kedua fungsi itu diharapkan berjalan serempak,
dapat menjaga dan mengatur masyarakat agar tidak terpengaruh dan menjadi korban
globalisasi.1
Hukum Islam bukan suatu yang statis, tetapi mempunyai daya lentur yang dapat
sejalan dengan arus globalisasi yang bergerak cepat. Fleksibilitas yang dimiliki hukum
Islam menyebabkan hukum Islam mampu mengikuti dan menghadapi era globalisasi
karena ia telah mengalami pengembangan pemikiran melalui hasil ijtihad. Hukum
Islam tanpa pengembangan akan tetap stabil dan tidak dapat menghadapi sesuatu yang
bergerak. Maka diperlakukan usaha untuk mengembangkan hukum Islam sehingga
mampu menjawab perkembangan zaman.2 Sebagaimana diyakini bahwa Islam adalah
agama universal yang mengatur semua aspek kehidupan manusia, sehingga lahirlah
beberapa organisasi Islam di Indonesia seperti SI (syarikat Islam) yang berorientasi
politik dengan cikal bakal dari syarikat Dagang Islam yang berorientasi bisnis yang
tidak lepas dari motivasi kuat untuk mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam dalam
berbagai aspeknya, kemudian Muhammadiyah yang bergerak pada sosial keagamaan

1
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Meretas kebekuan Ijtihad, Isu-isu penting Hukum Islam Kontemporer di
Indonesia, (Cet. II; Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005), h. 3.
2
Ibid., h. 3-4.

2
dan dakwah, dan Nahdatul Ulama (NU) yang sering dikatakan sebagai organisasi masa
Islam tradisional yang mengembangkan ajaran empat mazhab.
Dari beberapa ormas Islam yang ada di Indonesia, penulis mengambil ormas
Islam yang sangat kuat pengaruhnya yaitu : NU (Nahdatul Ulama dan
Muhammadiyah), dalam pengembangan Hukum Islam di Indonesia. Dari latar belakang
masalah yang disebutkan di atas penulis mencoba merumuskan pokok masalah
mengenai sejarah berdirinya Ormas Islam NU dan Muhammadiyah serta Pengaruhnya
dalam Pengembangan Hukum Islam di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah kelahiran NU dan Studi keislaman NU ?
2. Bagaimana sejarah kelahiran Muhammadiyah dan studi keislaman Muhammadiyah?
3. Bagaimana Pengaruh Organisasi Islam (NU & Muhammadiyah) dalam Pembentukan
dan Pengembangan Hukum Islam di Indonesia

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengenal Sejarah kelahiran NU dan Studi keislaman NU
2. Untuk memahami sejarah kelahiran Muhammadiyah dan studi keislaman
Muhammadiyah
3. Untuk memahami Pengaruh Organisasi Islam (NU & Muhammadiyah) dalam
Pembentukan dan Pengembangan Hukum Islam di Indonesia

3
PEMBAHASAN

A. Sejarah Kelahiran NU Dan Studi Keislaman NU


1. Sejarah kelahiran NU
Nahdlatul Ulama atau NU berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 M/16
Rajab 1344 H, di kampung Kuto Paten, Surabaya. Secara harfiah Nahdlatul
Ulama bermakna “ kebangkitan para ulama “, yang merupakan sebuah organisasi
masyarakat atau ormas Islam yang penting di tanah air. 3 Selain Sarekat Islam atau
SI, yang merupakan “reinkarnasi “ dari Sarekat Dagang Islam atau SDI yang lahir
pada tahun 1911 M. Muhammadiyah ( 1912 ) Di Yogyakarta, Persatuan Islam
atau Persis ( lahir tahun 1923 ), di Bandung, Al-Irsyad ( 1914 ) di Jakarta dan
masih banyak lagi, termasuk didalamnya NU. Berdirinya NU sebagai ormas
Islam yang berbasis massa tradisional ini memiliki sejarah yang panjang dan
kompleks. Ia lahir sebagai wadah penegasan formal dari mekanisme informal
para ulama sefaham, pemegang teguh salah satu dari empat madzhab fikih:
Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali, yang sudah berjalan jauh sebelum
organisasi NU lahir4 .
Terbentuknya NU sebagai upaya pengorganisasian dan peran ulama
pesantren yang sudah ada sebelumnya. Berdirinya NU sebagai wadah bagi usaha
mempersatukan dan menyatukan langkah para ulama atau kiai pesantren untuk
pengabdian kepada kepesantrenan dan ritual keagamaan maupun kepekaan
terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi, politik dan urusan kemasyarakatan
pada umumnya. Setidaknya ada tiga faktor yang mendorong berdirinya NU,
pertama : motivasi keagamaan, yaitu untuk mempersatukan agama Islam dari
serbuan kristenisasi, yang dilancarkan pada masa penjajah Belanda di Indonesia..
3
KH. Mas Alwi bin Abdul Aziz adalah orang yang mengusulkan nama Nahdlatul Ulama, beliau sepupu KH.
Mas Mansur, tokoh NU yang kemudian menyeberang ke Muhammadiyah karena berbeda haluan dalam
pandangan keagamaan tahun 1932. Adapun lambang Nahdlatul Ulama atau NU, berupa bola dunia, merupakan
prakarsa KH Ridwan Abdullah dari Surabaya ( Lihat Panitia Harlah NU ke 40, sejarah ringkas Nahdlatul Ulama,
1996, dalam Nalar Islam Nusantara, Op-Cit, hlm.277
4
Ulama terkemuka dimaksud antara lain : KH. Hasyim Asy’ari ( Tebuireng ) Jombang ), KH. Bisri Syamsuri
( Denanyar Jombang ), KH Asnawi ( Kudus ), KH Nawawi ( Pasuruan ), KH.Ridwan ( Semarang ), KH
Maksum ( Lasem, Rembang ), KH Nahrawi ( Malang ), H.Ndoro Muntaha ( menantu KH Kholil Bangkalan,
Madura ), KH Abdul Hamid ( Sedayu Gresik ), KH. Abdul Halim ( Cirebon 0, KH. Ridwan Abdullah, KH. Mas
Alwi, KH.Abdullah Ubaid ( Surabaya ), Syeikh Ahmad Ghanaim ( Mesir ) dan KH Wahab Chasbullah sebagai
tuan rumah. ( Lihat Syaifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Bandung
tahun 1979 )

4
Kedua : membangun semangat nasionalisme untuk mencapai kemerdekaan,
ketiga: mempertahankan faham ahlussunnah wal jama’ah dari serangan kaum
modernis Islam yang mengusung jargon purifikasi ajaran keislaman.
Kemenengan rezim Sa’ud yang Wahabi yang anti tradisi sejak Muhammad bin
Abdul Wahhab sukses mempelopori gerakan Wahabi di Najed, pada abad ke-18,
dipandang membahayakan eksistensi faham sunni ( ahlussunnah ) yang protradisi.
Faham keislaman wahabisme tidak hanya mengancam cara berdakwah, tetapi
juga mendobrak tradisi keilmuwan dan praktik keagamaan yang dianut para
ulama di pesantren.
Sejak dulu hingga kini NU menempatkan posisi Al Qur’an sangat
terhormat dalam wacana keislaman. Karena status dan kedudukan Al Qur’an
sangat istimewa dan diyakini sebagai “ kalam Allah “. Keyakinan terhadap Al
Qur’an sebagai “ firman Tuhan “ tidak hanya diyakini oleh faksi Islam
fundamentalis, tetapi juga oleh kalangan liberal dan sekuler Islam. Meskipun NU
yang mewarisi mentalitas kemapanan sunni, yang mengalami eksistensi akal
( rasionalisme ) dalam berijtihad, tetapi NU tetap bertumpu kepada teks-teks Al
Qur’an dan Hadis, terutama yang sahih dan mutawatir dalam menilai produksi
wacana pemikiran Islam. Demikian pula peran hadis yang berfungsi sebagai
penjelas ide dan pelengkap informasi yang disampaikan Al Qur’an dan dianggap
paling otoritatif dalam menafsirkan dan menjelaskan Al Qur’an. Sehingga baik Al
Qur’an maupun hadis sama-sama menempati posisi terhormat dalam wacana
keislaman. Dengan demikian “ teori istinbath hukum NU “ialah menempatkan Al
Qur’an pada urutan pertama sebagai sumber hukum Islam kemudian hadis dan
selanjutnya kitab kuning, terutama kitab yang ditulis para ulama klasik-skolastik
dan yang masuk dalam kategori “mu’tabar “ ( al-kutub al-mu’tabaroh ) 5.
Dalam kajian keislaman pada tradisi NU, kedudukan kitab kuning
memainkan peranan penting termasuk dalam penggalian hukum Islam. Karena
untuk memahami Al Qur’an dan Hadis dibutuhkan ulama yang otoritatif yang
diakui integritas spiritual dan kedalaman intelektualnya. Pada tahap ini kitab
kuning menjadi penting, karena ditulis oleh para ulama klasik-skolastik yang
tidak diragukan lagi kredibilitasnya. Ulama dalam pandangan NU memiliki
kedudukan yang sangat terhormat lantaran status mereka sebagai pewaris nabi “

5
Kitab-kitab yang dianggap Mu’tabar ( al-Kutub al-Mu’tabaroh ) oleh ulama NU antara lain kitab-kitab yang
masih dalam bingkai madzhab empat : Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali

5
alulama ‘ waratsatul anbiya’. Para ulama klasik penyusun kitab kuning tidak
semata-mata memperoleh transfer of knowledge semata, tapi lebih penting dari
itu supaya mendapat ‘berkah’ dari ulama tersebut.
2. Studi keislaman NU

Pembahasan fikih ( hukum Islam ) dikalangan NU, mempunyai posisi


yang sangat sentral, krusial dan dominan ketimbang aspek Islam lainnya, seperti
teologi ( akidah ), tasawuf ( mistisme ), atau akhlak ( morality ethic ). Dengan
alasan pertama fikih adalah dimensi keislaman yang berkaitan dengan dunia
ekstrinsik yang sifatnya praktis, pragmatis dan formal sehingga mudah diukur dan
dikerjakan. Kedua, fikih sebagai cabang keislaman yang mampu membukukan
dalam bentuk madzhab yang sangat rapi, sistematis dan memiliki banyak tokoh
ulama. Tetapi dalam tradisi NU pula bahwa pelaksanaan hukum fikih tidak bisa
dilepaskan dari tasawuf, karena keduanya merupakan perpaduan dari dimensi
akal ( ratio ) dan hati, rasionalitas dan spiritualitas, dhahir dan bathin. Dimana
fikih menjelaskan ketentuan status hukum halal, haram, wajib, makruh, sunnah
dan sebagainya, maka tasawuf menjadi pelita hati.
Dengan demikian, NU memandang praktek tasawuf, seperti zuhud dan
tarekat sebagai upaya pemenuhan bathin ( intuisi ) manusia untuk membentuk
kesolehan moral secara substantif. Dengan begitu, formula dzikir dan
persaudaraan sufi yang terwujud dalam tarekat masih dalam bingkai Islam,
sepanjang praktek tarekat sufi masih berbasis syari’at. Adapun dalam kajian
politik, pemikiran ( faham )politik NU banyak dipengaruhi oleh tokoh, seperti :
Al Mawardi, dengan karyanya : Al Ahkam Al Sulthaniyyah dan Adab alDunya wa
al-din – Al Baqillani, Al Ghazali dan Ibnu Taimiyyah.
Bagi Mawardi, pendirian negara hukumnya fardhu kifayah, yang
dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan antara pemenuhan “ kebutuhan
politik “ manusia ( siyasah al dunya ) dan pemelihara agama Allah ( harasat al din
). Pemikiran tersebut dirumuskan NU dalam ketetapan jami’iyyah tentang
wawasan kebangsaan dan kenegaraan sebagai berikut : pertama, NU menyadari
bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan realitas kehidupan,
menjadi bagian dari kecenderungan manusia dan menjadi kebutuhan fitrah
manusia, kehidupan berbangsa dan bernegara adalah realisasi universalitas Islam
yang menjadi sarana bagi upaya memakmurkan bumi Allah dan melaksanakan

6
amanat-Nya sesuai dengan tabi’at atau budaya yang dimiliki bangsa/wilayah itu.
Kehidupan berbangsa dan bernegara hendaknya merupakan langkah menuju
pengembangan tanggung jawab kekhalifahan yang lebih besar, yang menyangkut
kehidupan bersama seluruh manusia dalam rangka melaksanakan amanat Allah,
mengupayakan keadilan dan kesejahteraan manusia, lahir bathin dunia dan
akhirat.
B. Sejarah Kelahiran Muhammadiyah Dan Studi Keislaman Muhammadiyah
1. Sejarah Kelahiran Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan oleh KH.Ahmad Dahlan pada tanggal 8
Dzulhijjah 1330 bertepatan dengan 18 November 1912 di Yogyakarta.
Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang menghembuskan jiwa
pembaharu pemikiran Islam di Indonesia. Sejarah berdirinya Muhammadiyah
sampai terkait dengan lingkungan sosial keagamaan yang melatarbelakangi
tumbuhnya perserikatan ini.
Muhammad Darwisy ( nama Ahmad Dahlan sebelum pergi ke Mekkah
untuk menunaikan haji )6 . Dilahirkan di kampung Kauman, Yogyakarta. Dia anak
keempat dari KH Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar Kauman,
yang berada di lingkungan Keraton Yogyakarta Hadiningrat dan Ibu Siti Aminah,
putri dari KH.Ibrahim penghulu besar di Yogyakarta. Menurut para penulis
biografi Ahmad Dahlan, salah seorang nenek moyangnya adalah wali pertama
dari Wali Songo ( sembilan wali yang memprakarsai penyebaran Islam di daerah
pantura pulau Jawa) yaitu Maulana Malik Ibrahim7.
Dibawah bimbingan sang ayah ia menghabiskan waktunya untuk
mempelajari ajaran Islam tradisionalis. Ia belajar membaca Alqur’an dan
pengetahuan agama Islam. Selanjutnya belajar ilmu fikih, pada Kiyai Shaleh
Darat ( Semarang ), belajar ilmu nahwu kepada KH. Muhsin, belajar ilmu falaq
dari KH. R.Dahlan, belajar ilmu hhadits dari KH. Mahfudz Termas dan Syaikh
Khayat, belajar ilmu Qiraat pada Syaikh Amin dan Sayyid Bakri Syatha, serta
belajar ilmu agama Islam pada KH. Abdul Hamid di Lempuyangan.8

6
Musthafa Kemal Pasha, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam ( Perspektif Historis dan Ideologis ).
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, tahun 2000, hlm.9
7
Abdul Munir Mulkhan, Warisan Intelektual KH.Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah, Yogyakarta : Persatuan
tahun 1990, hlm.61
8
Yunus Salam, Riwayat Hidoep KH.Ahmad Dahlan, Amal dan Perjuangannya, Djakarta: Depot Pengadjaran
Moehammadijah, thn.1968,hlm 7.

7
Pada tahun 1890,KH.Ahmad Dahlan pergi ke Mekkah, untuk menunaikan
ibadah haji. Selama di Mekkah ia bertemu dan berdiskusi dengan beberapa ulama
terkemuka dari Indonesia, seperti Syeikh Akhmad Khatib Minangkabau 9 dan
Syeikh Jamail Jambek ( Minangkabau ), Syeikh Muhammad Nawawi ( Banten ),
Kiyai Nahrowi ( Banyumas ) maupun ulama –ulama timur tengah. Interaksi
pemikiran yang dialaminya di Mekkah telah membuka cakrawala baru dalam
dirinya. Gagasan modernisasi Islam yang terjadi lewat interaksinya dengan kaum
modernis atas masalah masalah sosial keagamaan. Pada tahun 1902 ,Dahlan
kembali ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji yang kedua, disamping
melaksanakan ibadah haji, ia juga mendalami beberapa kitab keagamaan sambil
bertukar fikiran dengan beberapa ulama dari berbagai penjuru dunia. Disini ia
mulai bersentuhan dengan gagasan dan gerakan pembaharuan Islam. Terutama
gerakan pembaharuan yang dibawa oleh al-Afghani dan Abduh pada pertengahan
akhir abad 19 di timur tengah. Yang melanjutkan gerakan pembaharuan yang
dibawa oleh Wahabi. Dari sini Ahmad Dahlan menerima gagasan Abduh tentang
keharusan kembali kepada ortodoksi dan konsentrasinya kearah upaya
memajukan kualitas pendidikan kaum muslimin lewat lahirnya Muhammadiyah.10
Pengalaman Dahlan dalam berinteraksi dengan dunia organisasi, seperti
organisasi Budi Utomo tahun 1909, organisasi Jami’at Khair yang merupakan
gerakan pembaharu pertama di Indonesia, tahun 1910. Ia juga menjalin hubungan
erat dengan Sarekat Islam. Kapasitasnya pada organisasi ini adalah sebagai
penasehat dalam masalah keagamaan. Interaksi beliau dalam tiga organisasi
tersebut, banyak hal yang ia dapat terutama yang berhubungan dengan pendirian
dan pengelolaan lembaga pendidikan model sekolah Jami’at Khair. Prilaku politik
Sarekat Islam dan kebudayaan hingga pengetahuannya tentang cara berorganisasi
9
Syeikh Akhmad Khatib Minangkabau ( 1855 – 1916 ) adalah ulama kelahiran Minangkabau Sumatra Barat
Indonesia yang waktu itu menempati posisi tertinggi dalam penguasaan ilmu-ilmu agama di Mekkah. Buku-
buku ( karya ) nya banyak ditulis dalam bahasa Melayu, tetapi menurut Abdurrahman Mas’ud, intensitas dirinya
terhadap ilmu agama masih kalah dengan keilmuan Muhammad Nawawi ( ulama kenamaan kelahiran
Banten ).pulau Jawa yang menetap di Mekkah. Baik Akhmad Khatib maupun Dahlan sangat menentang tarekat.
Ide-ide Dahlan tentang pembaharuan Islam yang membuat dia berseberangan dengan kelompok tradisional, juga
terinspirasi dari gurunya. Murid Khatib yang lainnya adalah Hasim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama ( Lihat
Abdurrahman Mas’ud, intelektual Pesantren), 2004,hlm.215
10
Kendatipun demikian, perubahan pengaruh pemikiran keagamaan di timur tengah bukan satu-satunya faktor
yang dominan yang melatarbelakangi lahirnya Muhammadiyah. Yang demikian itu oleh karena perbedaan latar
belakang keduanya : Abduh lebih mengembangkan etika transformatif yang mengadopsi motif-motif eropa
secara intelektual untuk mereaktualisasikan semangat keislaman. Sedangkan Dahlan lebih kepada
pengembangan nilai amaliyah yang menjadi etos Al Qur’an terhadap manusia dalam membangkitkan semangat
amal sholeh, ( MT.Arifin, Muhammadiyah : potret yang berubah, Surakarta : Institut Gelanggang Pemikiran
Filsafat Sosial Budaya dan Kependidikan Surakarta), tahun 1990, hlm.3

8
secara modern dari Budi Utomo. Dari sini Dahlan menyadari bahwa keberhasilan
dalam mengemukakan gagasan-gagasan pembaharuan akan efektif bila dilakukan
bersama orang lain dalam sebuah organisasi. Dalam hal ini Dahlan menelaah
surat Ali Imran 13 : 104, “ Dan hendaklah ada diantara kamu sekalian golongan
umat yang menyeru kepada kebaikan menyuruh yang ma’ruf dan mencegah dari
yang munkar.merekalah orang-orang yang beruntung.” Berdasarkan ayat diatas,
timbul kesadaran Dahlan untuk membangun sebuah perkumpulan yang rapi yang
berkhidmat kepada pelaksanaan misi dakwah Islam, amar ma’ruf nahi munkar.
Sehingga melalui ayat ini Dahlan terinspirasi untuk mendirikan perserikatan
Muhammadiyah. Secara etimologis, nama Muhammadiyah berasal dari kata “
Muhammad “ yaitu nama Rasulullah Saw, dan diberi tambahan Ya’ nisbah dan Ta’
marbuthah, yang berarti pengikut nabi Muhammad Saw, Muhammadiyah sendiri
diartikan Dahlan sebagai identifikasi dari orang-orang yang berusaha
membangundiri sebagai pengikut, penerus dan pelanjut perjuangan dakwah Nabi
Muhammad, serta membina kehidupan manusia yang Islami.11
2. Studi Keislaman Muhammadiyah
Gerakan keagamaan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharu ( Tajdid
), sedari awal telah mengumandangkan konsep “ kembali kepada Al Qur’an dan
Hadis “, disamping itu, Muhammadiyah juga menyerukan perlunya reinterpretasi
atas kedua sumber ajaran tersebut sesuai dengan tuntutan perubahan ruang dan
waktu. Gerakan semacam ini, tidak terlepas kaitannya dengan gerakan
pembaharuan di timur tengah, wilayah perkembangan Islam. Akar pemikiran
semacam ini dapat ditelusuri ke belakang.hingga pembaharuan yang dipelopori
oleh Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah ( 661-728 H / 1263-1328 M). Yang menentang
praktik-praktik keagamaan yang menurutnya tidak memiliki landasan Al Qur’an
dan sunnah, seperti menziarahi kuburan yang dianggap suci. Ia juga menolak
otoritas mazhabmazhab abad pertengahan, yang dianggapnya membelenggu
sistem nalar umat Islam12 , gerakan pembaharu yang dibawa oleh Ibnu Taimiyyah
ini kemudian melahirkan gerakan pembaharuan selanjutnya. Seperti Syaikh
Ahmad Sirhindi ( 975-1034 H/1563- 1624 M ), yang menyerang praktik sufisme
heterodoks dan menyerukan pentingnya mengamalkan syari’ah dan mengkritik

11
Depag RI, Nalar Islam Nusantara, Studi Islam ala Muhammadiyah, al-Irsyad
12
Persit dan NU, tahun 2007, hlm.28 . Ibid, hlm.55

9
praktek-praktek keagamaan yang dianggap menyimpang dari tuntunan Al Qur’an
dan sunnah.13
Di Arabia juga muncul gerakan yang dipelopori oleh Muhammad bin
Abdul Wahab ( 1115-1206 H/1703-1792 M ), yang dikenal dengan gerakan
wahabi. Dasar-dasar gerakan pembaharuannya berpijak pada delapan prinsip.
Pertama, yang boleh dan harus disembah adalah Allah, dan orang yang
menyembah selain Allah menjadi syirik dan harus dibunuh. Kedua, mayoritas
umat Islam (menurut-nya),tidak lagi menganut ajaran tauhid yang benar, karena
mereka meminta petolongan selain Allah, melainkan kepada Syaikh, wali dan dari
kekuatan gaib, sehingga mereka menjadi musyrik. Ketiga, menyebut nama
Syaikh, nabi dan malaikat sebagai pengantar do’a juga merupakan syirik.
Keempat, meminta syafaat kepada selain Allah juga syirik, kelima, bernadzar
kepada selain Allah, juga syirik. Keenam, memperoleh pengetahuan selain dari Al
Qur’an, sunnah dan analogis ( qiyas ) merupakan kekufuran. Kedelapan,
menafsirkan Al Qur’an dan ta’wil ( interpretasi bebas ) merupakan kekufuran.14
Demikian pula gerakan ini tidak mengenal kompromi terhadap praktek-
praktek keagamaan yang dipandang bertentangan dengan ajaran islam seperti
tahayul, ritual-ritual keagamaan yang bersifat sufisme yang berkembang ketika
itu. Sementara di Mesir, juga muncul tokoh pembaharu yang dikenal dengan
Jamaluddin al-Afghani, gerakan pembaharuan yang dimotorinya lebih bernuansa
politis. Al-Afghani dikenal sebagai sosok rasionalis murni, politisi dan ulama
revolusioner. Ia mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah Turki Usmani yang
dianggapnya menjadi faktor kemunduran umat Islam ketika itu. Kemudian
pemikiran-pemikiran Al-Afghani ini dikembangkan oleh murid-murid beliau
antara lain ialah Muhammad Abduh .15
Berbeda dengan gurunya, Abduh lebih memilih perjuangannya dengan
memfokuskan perhatiannya pada upaya pembaharuan pemahaman Islam secara
rasional dan memilih jalur pendidikan dalam mengembangkan gagasan-
gagasannya, lewat al-Manar, media yang diterbitkannya. Gagasan Abduh banyak
13
Achmad Djainuri, Muhammadiyah : Gerakan Referensi Islam di Jawa Pada awal abad ke-20, Surabaya, Bulan
Bintang, tahun 1981, hlm.15
14
Harun Nasution, pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan.Jakarta, Bulan Bintang,
tahun1975,hlm.25
15
Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 M, di Mesir. Ia bertemu dengan Al-Afghani pada tahun 1866
disebuah penginapan dekat kota Al Azhar. Ketika Al Afghani hendak melakukan perjalanan ke Istanbul bersama
rombongannya ( lihat Rasyid Ridho, Tarikh al-Ustadz al-Imam Muhammad Abduh, Kairo, Al-Manar, tahun
1931, hlm. 78

10
dikembangkan oleh salah seorang muridnya bernama Rasyid Ridho ( 1865-1935
M ). Ide dan gagasan pembaharuan Rasyid Ridho juga berbeda dengan gurunya.
Tetapi ide pembaharuan yang dibawanya telah menjadi inspirasi bagi munculnya
gerakan-gerakan pembaharu modern seperti halnya pembaharuan yang di bawa
oleh Muhammadiyah di Indonesia. Hubungan antara gerakan pembaharuan yang
berkembang di timur tengah dengan gerakan pembaharuan di Indonesia, dapat
dilacak dari perjalanan studi dan pergumulan intelektual pendiri perserikatan
tersebut
C. Pengaruh Organisasi Islam (Nu & Muhammadiyah) Dalam Pembentukan Dan
Pengembangan Hukum Islam Di Indonesia

Sesuai karakter dasarnya, hukum Islam adalah hukum yang otonom, mandiri,
dan bebas dari politik. Ia diturunkan ke bumi bukan sebagai alat rekayasa dan
ketertiban, tetapi lebih pada sarana legalitas dan legitimasi yang didasarkan pada
ajaran-ajaran agama dalam bentuk praktis pragmatis. Aturan-aturannya mengikat
kepada setiap umat Islam. Baik yang berkuasa, maupun yang dikuasai. Secara moral
ia adalah wahyu Allah swt., karenanya di samping berdimensi horizontal (mempunyai
efek sosial) sekaligus berdimensi vertikal-transendental, yakni mempunyai
pertanggungjawaban moral-spriritual kepada Tuhan. Dalam kedudukannya yang
demikian, materi dari nilai nilai hukum Islam tidak dapat dipolitisasi dan dimanipulasi
oleh kekuasaan manapun.16
Di Indonesia, penerapan hukum Islam berdasarkan pemahaman hukum
masyarakatnya memberikan tantangan khusus bagi umat Islam Indonesia. Karenanya,
kita melihat perjuangan untuk “menciptakan” hukum Islam yang khas Indonesia
selalu menjadi bagian dari sejarah Islam di negeri ini. Persoalannya adalah:
bagaimana idiologi ketaatan kepada Tuhan itu didamaikan dengan kebutuhan untuk
menciptakan hukum Islam yang memberi ruang bagi tradisi hukum lain agar bisa
hidup berdampingan dengan hukum Islam di dalam masyarakat Muslim? Persoalan
yang sangat rumit dan tidak mudah diselesaikan. Meskipun banyak orang yang
mungkin percaya hukum Islam datang ke Indonesia ketika hukum itu telah mencapai
tahap kematangannya (sehingga peran ijtihad dalam proses pembuatan hukum
mungkin sudah dianggap tidak diperlukan lagi karena secara teoritis semua persoalan
hukum sudah diselesaikan), tapi realitas kebutuhan hukum dalam kehidupan sehari-

Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Mazhab Negara; Kritis atas Politik Hukum Islam di Indonesia (Cet. I;
16

Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 2001), h. 197

11
hari umat Muslim disatu sisi, dan kenyataan bahwa tidak semua kasus hukum bisa
diselesaikan melalui aturan fikih klasik, di lain pihak, telah memunculkan kebutuhan
yang sangat besar terhadap hukum Islam Indonesia.17
Gagasan untuk memasukkan hukum Islam ke dalam realitas kehidupan
masyarakat Indonesia adalah sejalan dengan seruan untuk melakukan reformasi
hukum Islam yang mengemuka dikebanyakan negara Muslim semenjak awal dekade
abad ke-20.18 Dengan kata lain bahwa masa ini merupakan masa kebangkitan hukum
Islam di negaranegara Muslim, tak terkecuali Indonesia. Perkembangan hukum Islam
semakin jelas setelah ulama-ulama Indonesia kembali dari pusat-pusat fikih di Timur
Tengah, sehingga pemahaman fikih mereka semakin mendalam. Fenomena lain abad
20 ini yang tidak ada pada abad-abad sebelumnya adalah terjadinya pembaruan di
tingkat kelembagaan organisasi-organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah,19
Nahdlatul ulama (NU),20 dan Persatuan Islam (Persis)21 yang sering disebut sebagai
gerakan modern Islam Indonesia.22
Sebagai organisasi pembaru yang berusaha menghidupkan kembali ijtihad, ia
banyak memberikan andil yang cukup besar dalam perkembangan hukum Islam di
Indonesia melalui lembaga-lembaga hukumnya. Hal ini bertujuan agar fikih yang
17
Ratno Lukito, Sacred and Seculer Laws; A Study of Conflict and Resolution in Indonesia, Diterjemahkan oleh
Inyiak Ridwan Muzir Dengan Judul Hukum Saklar dan Hukum sekuler; Studi Tentang Konflik dan Resolusi
dalam Sistem Hukum Indnesia (Cet. I; Jakarta: Pustaka Alvabet, 2008), h. 106
18
Di Indonesia, sebelum abad ke-19 dinamika intelektual umat Islam Indonesia memiliki intensitas yang sangat
tinggi. Namun sayangnya, hal itu tidakatau belum-mendapat perhatian dari para pengkaji fikih Indonesia secara
memadai. Padahal tokoh-tokoh pada masa inilah yang merupakan perintis gerakan pembaruan di Nusantara,
termasuk dalam bidang hukum Islam. Dinamika fikih sebelum abad 19 dalam wacana Syafi’iyah, karena secara
kebetulan para “aktivis” yang melancarkan proses Islamisasi di Indonesia, sebagaimana disinyalir oleh para
sejarawan, adalah mereka yang bermazhab Syafi’i. Terutama pada awal abad ke-20 ketika gerakan pembaruan
menemukan momentumnya. Lebih lanjut lihat Marzuki Wahid dan Rumadi, Op.Cit, h.112 dan 114.
19
Dalam berijtihad, Muhammadiyah menggunakan tiga jalur, sebagai berikut: Pertama, Al-Ijtihad al-Bayani,
yaitu menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam nash al-Qur’an dan Hadits. Kedua, al-Ijtihad al-
Qiyasi, yaitu menyelesaikan kasus baru dengan cara menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah
diatur dalam al-Qur’an dan Hadits. Ketiga, Al-Ijtihad al-Istishlahi, yaitu menyelesaikan beberapa kasus baru
yang tidak terdapat dalam kedua sumber hukum di atas dengan cara menggunakan penalaran yang didasarkan
atas kemaslahatan. Lihat M. Yunan Yusuf (et.al), loc. cit., lihat pula Rifyal Ka’bah, Op.Cit., h. 196-197
20
Dalam memutuskan masalah baru, Munas NU menetapkan untuk menggunakan istinbâth jamâ’i, yaitu
memutuskan permasalahan secara bersamasama dengan metode-metode yang sudah baku dalam ushul fikih atau
kaidah-kaidah fikih menurut mazhab-mazhab yang ada, terutama Mazhab Syafi’i. NU dalam memecahkan
persoalan keagamaan yang dihadapinya merasa harus berkonsultasi dengan kitab-kitab yang dianggap
mu’tabarah yang ditulis oleh para ulama mazhab empat. Lihat Rifyal Ka’bah, Op.Cit., h. 207
21
Keputusan diambil berdasarkan juhûd jamâ’iyyah (upaya bersama) dalam sidang-sidang khusus yang
membahas topik-topik permasalahan kontemporer yang menyentuh kehidupan keagamaan individu Muslim. Ciri
utama lembaga ini adalah penggabungan antara ilmu pengetahuan modern dan kajian Islam klasik. Adapun
metode yang digunakan adalah metode istidlâl (al-Qur’an dan hadits), apabila tidak ditemukan maka digunakan
ijtihâd jamâ’i (ijtihad kolektif), dengan langkah-langkah yaitu: Pertama, Ta’arudh (mempertemukan nushush
yang kelihatan kontradiktif), Kedua, Tarjîh (pendapat yang terkuat), dan Ketiga, Nasakh, bila diketahui mana
nash yang terdahulu dan mana yang kemudian. Lihat Rifyal Ka’bah, Op.Cit., h. 214- 215.
22
Ibid., h. 127-128.

12
diterapkan di Indonesia berkepribadian Indonesia atau berwawasan ke Indonesiaan.
Pemikiran semacam ini jelas berbeda dengan para pembaru sebelumnya yang masih
“berkepribadian Arab”.23
Pembaruan dalam hukum Islam di Indonesia ini tidak hanya dalam bidang
peribadatan/keagamaan (diyâni) melalui fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga
hukum Islam masing-masing organisasi, namun yang tidak kalah penting untuk
dicermati adalah perkembangan hukum Islam dalam bidang qadhâ’i (yudisial).
Bagaimana para pakar hukum dan syari’at merumuskan fikih lama dan fikih baru
sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dengan cara mentransformasikan kaidah-
kaidah hukum Islam ke dalam hukum positif. Karena pada dasarnya hukum Islam
eksis dalam hukum Nasional Indonesia dan mempunyai wibawa hukum sebagai
hukum Nasional. Hal ini dapat dilihat dari berbagai nuansa hukum Islam yang telah
ditetapkan sebagai hukum Nasional. Keberadaan hukum Islam dalam tatanan hukum
Nasional dapat pula ditandai dengan terbentuknya berbagai lembaga. Di samping itu,
dapat pula dibuktikan dengan lahirnya berbagai aturan-aturan dan
perundangundangan tertulis maupun yang tidak tertulis. Namun pembaruan ini tidak
serta merta terjadi, tetapi bertahap dalam penerapannya.
Menjelang dan sesudah Indonesia merdeka, gerakan pembaruan dalam hukum
Islam cenderung lamban, seirama dengan ketradisionalan. Hal ini disebabkan karena
Indonesia belum merdeka. Di samping itu sebagian sarjana Belanda gencar
melontarkan konsepnya tentang hukum agama, bahwa hukum agama merupakan
hukum adat setempat dan kedudukanya sebagai penunjang saja dan dapat dirombak
jika tidak sesuai dengan zaman. Dengan hadirnya para tokoh yang notabene dari
pesantren yang sebagai konseptor merombak tata nilai berdasarkan hukum Islam, dan
juga berdasarkan pengetahuan modern agar sesuai dengan zaman. Olehnya itu,
langkah awal pembaruan adalah memurnikan kembali ajaran-ajaran Islam ditempuh
melalui organisasi baik yang sifatnya masa atau non-masa, prinsip dari organisasi
disamping mempunyai misi penyebaran agama juga mencerdaskan taraf berfikir serta
meningkatkan kehidupan sosial ekonomi, secara politis hal ini juga dijadikan basis
kuat untuk melahirkan kemerdekaan dengan menanamkan rasa nasionalisme yang
didasarkan kepada agama, bahwa kemerdekaan bukan hanya kemerdekaan Indonesia

23
Ibid., h. 126.

13
melainkan kemerdekaan kaum muslimin Indonesia dan kemerdekaan Islam, sehingga
organisasi itu diterima baik oleh masyarakat.24
Pada masa orde baru dan sampai saat ini, terjadi pembaruan yang cukup
signifikan. Secara praktis-empiris hukum Islam mempunyai tempat dalam tata hukum
nasional, bahkan secara formal posisinya lebih baik dari masa sebelumnya.
Pemberlakuan hukum Islam pertama kali tercantum dalam Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974.29 Pembaharuan hukum Islam di Indonesia dapat
dilihat dalam Undang-Undang tersebut. Undang-Undang perkawinan ini adalah
peraturan yang berlaku di kalangan warga Indonesia, terutama untuk umat Islam yang
selam ini terikat pada fikih munakahat. UndangUndang perkawinan ini berbeda
dengan fikih munakahat menurut paham Madzhab Syafi’i yang selama ini dijalankan
oleh umat Islam di Indonesia, bahkan juga berbeda dengan kitab-kitab fikih yang
selama ini dipelajari di luar Madzhab Syafi’i, seperti penentuan batas usia perkawinan
19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Hal ini tidak sesuai dengan
fikih yang membolehkan perkawinan anak-anak.25
Selanjutnya Majelis Ulama Indonesia, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama dan
kalangan Islam lainnya ikut terlibat dalam perdebatan seputar pembahasan RUU
peradilan agama. Menurut mereka peradilan agama di Indonesia bukanlah hal yang
baru, karena ia telah ada sejak zaman penjajahan Belanda, serta tidak bertentangan
dengan Pancasila, UUD 1945 dan Wawasan Nusantara, malah sebaliknya merupakan
pengejauantahan sila 1 dari Pancasila dan pasal 29 ayat 1 UUD 1945. UU ini
mengatur kedudukan dan kekuasaan Pengadilan Agama di Indonesia, melengkapi
Undang-Undang Mahkamah Agung RI No. 14 Tahun 1985 UU RI Peradilan Umum
No. 2 Tahun 1986 dan UU RI Peradilan Tata Usaha Negara Tahun 1986.26
Keberlakuan hukum Islam selanjutnya adalah mengarahkan kepada kodifikasi
dan kompilasi. Dalam proses penyusunan Kom pilasi Hukum Islam (KHI) ulama
dilibatkan, baik secara personal maupun kolektif. Ulama tersebut biasanya berada
dalam naungan organisasi sosial keagamaan seperti MUI, NU, Muhammadiyah,
Persis, dan sebagainya, atau diluar organisasi formal tetapi mereka memiliki integritas
keilmuan dan integritas moral yang diakui oleh masyarakat. Dari pihak ulama yang

24
http:/one,indoskripsi.com, Di Akses pada Tanggal 28 November 2008.
25
Marzuki Wahid dan Rumadi, Op.Cit., h. 86.
26
Abdul Azis Dahlan [et al.], Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid III (Cet. I; Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), h 1949

14
masuk dalam Tim Pelaksana Proyek yaitu KH. Ibrahim Husein (MUI). 27 Di samping
itu, informasi juga didapatkan dari organisasi NU dan Muhammadiyah, Tiga kali
sidang Bahtsul Masâ’il NU di tiga pesantren NU di Jawa Timur yaitu PP. Tambak
Beras, PP. Lumajang, dan PP. Sidoarjo, serta seminar Kompilasi Hukum Islam yang
diadakan oleh Majelis tarjih Muhammadiyah Yogyakarta pada tanggal 8-9 April
1986.28
MUI khususnya, sebagai sebuah lembaga yang melibatkan seluruh organisasi
Islam, telah berperan aktif dalam bidang hukum dan sosial kemasyarakatan. Hal ini
dapat dilihat dari kompetensi lembaga ini untuk memberikan fatwa dan terlibat secara
langsung dalam perumusan produk perundang-undangan. Kalau pada awal tahun
1975, MUI cenderung menjadi badan yang memberi nasehat dan bertindak sebagai
koordinator bagi organisasi yang ingin menjalankan sebuah program kerja. Namun
sejak tahun 1990, MUI secara perlahan-lahan merubah diri dan meluncurkan
program-program kerja, diantararanya dalam bidang ekonomi Islam, pembentukan
Bank Muamalah Indonesia, pendirian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI),29 dan pendirian Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, Minuman, dan
Kosmetik (LPPOM-MUI). Menjelang tahun 2000, institusi tersebut telah
mengeluarkan 500 sertifikat halal yang telah mengangkat otoritas MUI ke jenjang
internasional. Permintaan sertifikasi halal tersebut datang dari dalam dan luar negeri,
seperti New Zaeland, USA, Jepang, dan Thailand. 30 Pada tahun 2002, MUI
menfatwakan tentang wakaf uang dan kekayaan intelektual. Fatwa tersebut kemudian
masuk dalam materi Undang-Undang RI No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf, yakni
pada pasal 16. Hal ini menunjukkan bahwa hasil fatwa yaitu fikih tetap menjadi bahan
untuk pen-taqnin-an, di samping bahan-bahan yang sudah ada di dalam kitab-kitab
fikih.31

27
Marzuki Wahid dan Rumadi, Op.Cit., h. 151
28
Ibid., h. 159-160. Lihat pula Rifyal Ka’bah, op.cit., h. 85
29
Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) didirikan pada tanggal 21 Oktober 1993 (sebagai yayasan).
Kemudian dengan terbitnya SK No. 09/MUI/ XII/2003 tanggal 30 Syawal 1424 H/24 Desember 2003 M telah
menetapkan: Pertama, Mengubah nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjadi Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BAYARNAS). Kedua, Mengubah bentuk badan hukum BAMUI dari yayasan
menjadi badan yang berada di bawah MUI dan merupakan perangkat Organisasi MUI. Ketiga, Dalam
melaksankan tugas dan fungsinya sebagai lembaga hukum Badan Arbitrase Syariah Nasional bersifat otonom
dan independen. Lebih lanjut lihat A. Djazuli, Ilmu Fikih; Penggalian, perkembangan dan Penerapan Hukum
Islam (Cet. IV; Jakarta: Kencana, 2005), h. 191.
30
Mohamad Atho Mudzhar, The Ulama, The Government, and Society in Modern Indonesia; The Indonesian
Councilof Ulama Revisited dalam Johan Meuleman (ed), Islam in The Era Glabalization; Muslim Attitudes
Towards Modernity and Identity (Jakarta: INIS, 2001), h. 319-320.
31
A. Djazuli, Op.Cit., h. 174-175.

15
Menurut Rifyal Ka’bah, MUI dan organisasi-organisasi besar semacam NU
dan Muhammadiyah, dalam menetapkan hukum tidak melepaskan diri dari pandangan
mazhab serta fikih di Indonesia baru dipahami dalam konteks hukum Islam yang
bersifat diyâni. Para ulama secara personal atau kolektif dari waktu ke waktu selalu
menerbitkan fatwa-fatwa yang dibutuhkan masyarakat, tetapi belum menyadari
perlunya keterlibatan mereka untuk menerbitkan fatwafatwa yang dapat digunakan
oleh para hakim negara dalam memutuskan perkara-perkara perdata atau pidana yang
ditemukan di Pengadilan. Juga tidak terdapat perhatian yang cukup terhadap berbagai
RUU dari kalangan ulama dan ahli hukum Islam secara khusus yang menyangkut
reformasi hukum nasional bertolak dari pandangan Islam.32
Pengaturan pelaksanaan syariat hukum Islam di Indonesia, tentu harus melalui
perjuangan parlementer yang tentu berkaitan dengan partai-partai dan anggotanya,33
khususnya dari kalangan Muslim yang akan menelorkan perundang-undangan itu.
Dan masih banyak masalah hukum lainnya yang perlu diadopsi dalam
perundangundangan kita. Persoalan yang masih disimpan adalah berkaitan dengan
pidana Islam yang tentunya memerlukan keputusan-keputusan politik yang lebih
besar berkaitan dengan ketatanegaraan secara menyeluruh. Setelah era reformasi,
kran-kran demokrasi terbuka lebar. Hal ini memberikan kesempatan yang besar bagi
perkembangan hukum Islam. Peluang reformasi hukum ini tentunya harus
dimanfaatkan oleh umat Islam, khusunya organisasi-organisasi Islam dengan tetap
mencerminkan karakter hukum Islam itu sendiri yang bersifat elastis dan universal
yang bermuara pada tercapainya Maqâshid Syari’ah yaitu kemaslahatan umat.

32
Rifyal Ka’bah, Op.Cit., h. 175.
33
Partai-partai yang berbasis organisasi Islam yaitu Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB). Dikatakan partai Islam, karena menempatkan Islam sebagai asasnya, sementara ada beberapa
yang berbasis masyarakat Islam dan menetapkan asas partainya pancasila seperti Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Bintang Reformasi (PBR), dan sebagainya. Dilihat dari sudut asas ini
diharapkan partai Islam tersebut berkeinginan memperjuangkan formalisasi atau institusionalisasi syariat Islam,
yaitu dengan menyusun peraturan perundang-undangan berdasarkan syariat. Lihat Maman Abdurrahman,
Syariat Islam Untuk Indonesia Baru; Suara Orang Persis, dalam Masykuri Abdullah (et.al), Formalisasi Syariat
Islam di Indonesia; Sebuah Pergulatan yang Tak Pernah Tuntas (Cet. Jakarta; Renaisan: 2005), h. 249

16
KESIMPULAN
Studi keislaman perspektif organisasi keagamaan, menunjukkan adanya berbagai
model studi keislaman di Indonesia. Dinamika pemikiran dan pergerakan Islam di Indonesia
tidak bisa di batasi dalam kerangka konseptual tunggal. Kerangka pemahaman, seperti,
tradisionalisme, modernisme, libralisme Islam merupakan kerangka yang bisa di gunakan
dalam seluruh pemahaman atas fakta-fakta yang di temukan dalam mengkaji studi keislaman
di Indonesia. Pergeseran dan persilangan yang terjadi pada gerakan Islam mengakibatkan
munculnya banyak cabang dan sayap dalam gerakan Islam Indonesia kontemporer, yang
ditandai dengan munculnya organisasi dan gerakan Islam baru. Nahdlatul Ulama yang
tradisional misalnya, sayapnya membentang dari ujung pemikiran yang konservatif hingga
yang libral. Langkah dan gerakannya tampak terekspresi ke dalam gerakan kultural maupun
politik. Organisasi ini mengurusi persoalan sosial keagamaan dengan memantapkan diri
sebagai jama’iyyah diniyyah ijtima’iyyah dan juga mendirikan partai politik.
Demikian pula Muhammadiyah. Organisasi ini, kini, bukan semata representasi satu
sayap Muslim Indonesia: Islam modernis. Dalam hal ini Abdul Munir Mulkhan menunjukkan
adanya empat varian dalam sosiologi Muhammadiyah : Muhammadiyah puritan,
Muhammadiyah toleran, Muhammadiyah NU, dan Muhammadiyah abangan. Sayap politik
organisasi ini juga membentang mulai dari yang fundamentalis-radikal hingga yang moderat
dan akomodatif.

17
DAFTAR PUSTAKA
A. Djazuli, Ilmu Fikih; Penggalian, perkembangan dan Penerapan Hukum Islam (Cet. IV;
Jakarta: Kencana, 2005)
Abdul Azis Dahlan [et al.], Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid III (Cet. I; Jakarta: PT Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1996)
Abdul Munir Mulkhan, Warisan Intelektual KH.Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah,
Yogyakarta : Persatuan tahun 1990
Abdurrahman Mas’ud, intelektual Pesantren), 2004
Achmad Djainuri, Muhammadiyah : Gerakan Referensi Islam di Jawa Pada awal abad ke-20,
Surabaya, Bulan Bintang, tahun 1981
Depag RI, Nalar Islam Nusantara, Studi Islam ala Muhammadiyah, al-Irsyad Persis dan NU,
tahun 2007
Harun Nasution, pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan.Jakarta, Bulan
Bintang, tahun1975
http:/one,indoskripsi.com, Di Akses pada Tanggal 28 November 2008.
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Mazhab Negara; Kritis atas Politik Hukum Islam di
Indonesia (Cet. I; Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 2001)
Masykuri Abdullah (et.al), Formalisasi Syariat Islam di Indonesia; Sebuah Pergulatan yang
Tak Pernah Tuntas (Cet. Jakarta; Renaisan: 2005)
Mohamad Atho Mudzhar, The Ulama, The Government, and Society in Modern Indonesia;
The Indonesian Councilof Ulama Revisited dalam Johan Meuleman (ed), Islam in The Era
Glabalization; Muslim Attitudes Towards Modernity and Identity (Jakarta: INIS, 2001)
MT.Arifin, Muhammadiyah : potret yang berubah, Surakarta : Institut Gelanggang Pemikiran
Filsafat Sosial Budaya dan Kependidikan Surakarta), tahun 1990
Musthafa Kemal Pasha, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam ( Perspektif Historis dan
Ideologis ). Yogyakarta : Pustaka Pelajar, tahun 2000
Panitia Harlah NU ke 40, sejarah ringkas Nahdlatul Ulama, 1996, dalam Nalar Islam
Nusantara
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Meretas kebekuan Ijtihad, Isu-isu penting Hukum Islam
Kontemporer di Indonesia, (Cet. II; Jakarta: PT. Ciputat Press, 2005)
Rasyid Ridho, Tarikh al-Ustadz al-Imam Muhammad Abduh, Kairo, Al-Manar, tahun 1931
Ratno Lukito, Sacred and Seculer Laws; A Study of Conflict and Resolution in Indonesia,
Diterjemahkan oleh Inyiak Ridwan Muzir Dengan Judul Hukum Saklar dan Hukum sekuler;
Studi Tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indnesia (Cet. I; Jakarta: Pustaka
Alvabet, 2008)
Syaifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Bandung
tahun 1979 )
Yunus Salam, Riwayat Hidoep KH.Ahmad Dahlan, Amal dan Perjuangannya, Djakarta:
Depot Pengadjaran Moehammadijah, thn.1968

18

Anda mungkin juga menyukai