Anda di halaman 1dari 8

ANALISA KASUS ETIKA KESEHATAN

NAMA : ZAINAL

NIM :

DOSEN : ANDRIANI, S.Kp, MKM

PROGRAM STUDI : MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS FORT DE KOCK BUKITTINGGI

2021
ANALISIS KASUS PELANGGARAN KODE ETIK PROFESI DOKTER

Undang-Undang dari UU No. 23 Tahun 1992 dan UU No. 36 Tahun 2009

dilakukan agar Undang-undang yang berisi tentang aturan kesehatan lebih bisa dicapai

sesuai perkembangan keadaan masyarakat. Tapi masih dipertahankannya beberapa pasal

dari UU lama, membuktikan bahwa kedua UU ini masih menjadi landasan dikembangkan

UU kesehatan serta beberapa PP, Kebijakan terkait pelaksanaan kegiatan bidang kesehatan

dan penyelesaian masalah kesehatan.

Malpraktek adalah sering dikenal dengan kelalaian medis, tapi perlu dipahami

bahwa tidak semua kegagalan medis menjadi Malpraktek. Menurut World Medical

Association (1992) tidak semua kegagalan medis adalah akibat malpraktek medis. Suatu

peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat

dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cedera pada pasien

tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktek. Jadi, jika kegagalan medis itu

mengandung unsur kelalaian medis maka baru bisa disebut sebagai Malpraktek.

Berbagai upaya dilakukan Rumah Sakit dalam mencegah Malpraktek adalah salah

satunya dengan meningkatkan mutu Rumah sakit terkait semua aspek yang ada

didalamnya. Merujuk pada Undang-undang No 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan

pasal 58 yakni Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik wajib:

1) Memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar

Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan etika profesi serta

kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan;. Disini perlu kembali di


berikan aturan yang jelas oleh RS tentang standar pelayanan medis yang

diberikan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah, bukan

berdasarkan standar RS yang terkait. Jika RS yang terkait tidak mampu mencapai

standar pada kondisi tertentu maka hendaknya merujuk pada RS lain sesuai

standar yang ditetapkan.

2) Memperoleh persetujuan dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau keluarganya

atas tindakan yang akan diberikan. Hal ini menunjukkan bahwa RS harus

memiliki petunjuk operasional yang jelas dan terstandar bahwa apapun tindakan

yang dilakukan terkait pasien, harus mendapat persetujuan dari keluarga pasien

secara tertulis sebagai bukti adanya kesepakatan pelaksanaan tindakan medis,

jadi jika terjadi hal yang buruk sebagai dampak dari tindakan medis maka tidak

aka nada tuntutan dari keluarga.

3) Menjaga kerahasiaan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan. Ini jelas harus

dilakukan sebagai antisipasi jika data tentang riwayat kesehatan pasien jatuh

pada pihak ketiga, maka dikhawatirkan akan berdampak buruk pada pasien

(pemanfaatan keadaan pasien untuk hal buruk). Seperti kasus penanganan

kesehatan ditempat lain selain di RS tersebut dengan tujuan ekonomi

4) Membuat dan menyimpan catatan dan/atau dokumen tentang pemeriksaan,

asuhan, dan tindakan yang dilakukan. Ini merupakan dokumen penting dari

tenaga kesehatan, agar jika terjadi efek buruk terkait tindakan medis maka

dokumen ini bisa menjadi bukti bahwa tindakan medis sudah sesuai prosedur

yang telah distandarkan


5) Merujuk Penerima Pelayanan Kesehatan ke Tenaga Kesehatan lain yang

mempunyai Kompetensi dan kewenangan yang sesuai. Contoh kasus ini sering

terjadi seperti penjelasan di ayat 1 bahwa jika RS memiliki keterbatasan akan

sarana ataupun prasarana dalam memberikan tindaka medis, penting untuk

langsung merujuk pada yang lebih memenuhi standar, ataau seperti proses

melahirkan yang ditangani bidan klinik yang mengharuskan rujukan ke RS jika

memerlukan tindakan OC pada pasien.

CONTOH KASUS PERSANGKAAN MAL PRAKTIK

Lecet Berbuntut Amputasi

“Dokter Tak Pernah Salah?” oleh Mardiyah Chamim, Agung Rulianto, Gita

Widya Laksmini (Jakarta), Bandelan Amarudin (Semarang)]

Pemicunya adalah diabetes. Sudargo memang penderita kencing manis. Namun,

bintara pensiunan angkatan udara itu mungkin tak perlu kehilangan kaki kirinya bila

dokter tangkas menangani penyakitnya. Kini hidup pria berusia 68 tahun itu sangat

bergantung pada kursi roda. Sudargo sadar, bagi penderita penyakit gula, luka sekecil

apapun harus mendapat penanganan secepatnya. Oleh karena itu, saat kakinya lecet Mei

lalu, ia langsung datang ke Klinik Specialist Kulit di bilangan Kramat Jati. Belum habis

obat yang diberikan klinik, lukanya makin parah. Pihak klinik segera merujuknya berobat

ke salahsatu rumah sakit pemerintah.

Sudargo masih ingat betul. Saat masuk rumah sakit yang dirujuk, dia masih bisa

tegak berjalan, tak terganggu oleh luka di kelingking kakinya. Oleh dokter jaga yang
menerimanya, luka itu hanya disumpal dengan tampon. Berbekal surat asuran kesehatan

(Askes)nya, Sudargo dirawat dikelas III. Makin lama, luka bernanah itu menyebarkan bau

busuk. Perawat hanya mengganti perban dan mengguyur dengan rivanol, sementara

tampon yang dipasang tak pernah diutak-atik. Baru 3 hari kemudian, dokter datang dan

membuka tampon yang berwarna kehijauan - tindakan yang ternyata sudah sangat

terlambat. Saat itu, dokter mengambil contoh nanah dan menyuruh anak Sudargo

memeriksakan ke laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Meski hasil laboratorium sudah ditangan, Sudargo tak juga ditangani. “Mereka

masih akan memastikan hasil pemeriksaan nanah, 3 hari lagi”, kata Tri Sutarmi, istri

Sudargo. Tak sabar melihat luka yang sudah menyebar ke pergelangan kaki, keluarga

Sudargo memutuskan untuk memindahkannya ke rumah sakit swasta yang dinilai lebih

baik dalam menangani pasien. Namun, upaya tersebut dicegah dan pihak rumah sakit

pemerintah itu segera menurunkan 3 orang dokter untuk menangani kasus ini. Keputusan 2

hari kemudian: sebagian kaki kiri Sudargo dipotong.

Paca-operasi, Sudargo datang ke RS St. Carolus. Ketika mendengar ada YPKKI di

rumah sakit itu, keluarganya melaporkan celaka yang dialaminya. Sekitar Juli tahun lalu,

mereka mendatangi rumah sakit pemerintah tempat pertama kali Sudargo dirawat untuk

meminta pertanggung-jawaban atas pelayanan sekenanya. Aneh. Dari rumah sakit

pemerintah itu, Sudargo menerima jawaban: medical record Sudargo lengah entah kemana.

Lho?

Diskusi pun digelar. “Sekarang maunya apa?” tantang sang dokter, seperti

ditirukan Tri Sutarmi, dengan nada tinggi dalam diskusi yang emosional itu. “Kami cuma

ingin biaya pengobatan diganti”, kata Tri Sutarmi. Dari lecet kecil, mereka sudah
mengeluarkan biaya sekitar Rp. 1 Juta di rumah sakit celaka itu dan sekitar Rp. 30 Juta di

RS St. Carolus. Diakhir pembicaraan, kepala rumah sakit pemerintah itu berjanji akan

mempertimbangkan nasib mereka, termasuk memberikan ganti rugi biaya pengobatan.

Ternyata, ini cuma janji kosong.

“Sampai sekarang, kami tak menerima sepersen pun. Dihubungi pun tidak”, kata

Tri. Kini Sudargo cuma bisa pasrah menjalani hidupnya dalam kondisi cacat. Kursi

rodanya pun tak bisa mengantarnya melihat kibaran spanduk raksasa bertuliskan

“Indonesia Sehat 2010 dan Sehat itu Hak Asasi Manusia (HAM)” di Monas, Jakarta, pada

Hari Kesehatan Nasional tahun ini.

Kasus diatas pada awalnya sudah terkategori pelanggaran etika dokter dengan tidak

memberikan hak pasien seperti yang tercantum pada UU Kesehatan. Dokter juga lalai

sehingga catatan medis pasien sebagai pedoman perkembangan pasien pun tidak ada.

Secara administrasi sudah bermasalah.

Mediasi yang dilakukakan untuk mencapai kesepakatan memang dilakukan tapi

disini ada kelemahan bahwa mediasi yang dilakukan tidak menyertakan mediator. Karena

menurut UU tentang penyelesaian sengketa tahun 2008 pasal 1 menyatakan “mediasi

adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh

kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator”. Sementara penyelesaian hanya

dilakukan secara pribadi oleh pasien dan pihak RS. Disini pihak RS juga hanya

memberikan janji akan mempertimbangkan melalui lisan yang tidak ada kekuatan hukum.

Meskipun pihak RS dan Dokter bersikeras tidak ada pelanggaran, namun dapat

dianalisa bahwa terjadi pelanggaran pada:

1. Hak pasien selaku konsumen jasa pelayanan kesehatan diatur dalam


Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subjek

hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun

yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

Salah satu hak utama yang dimiliki pasien adalah hak-hak untuk memperoleh

informasi atau penjelasan, merupakan hak asasi pasien yang paling utama

bahkan dalam tindakan-tindakan khusus diperlukan persetujuan tindakan medis

yang ditandatangani oleh pasien dan atau keluarga pasien. Hal tersebut tidak

dapat dipungkiri bahwa hubungan dokter dengan pasien, maka dokter

mempunyai posisi yang lebih kuat dibandingkan dengan posisi pasien atau

keluarga pasien. Akan tetapi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

masyarakat atau pasien telah memperoleh akses yang tinggi terhadap

informasi tentang kesehatan

2. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindangan Konsumen memang tidak menyebutkan secara spesifik hak dan

kewajiban konsumen, tetapi karena pasien juga merupakan konsumen yaitu

konsumen jasa kesehatan maka hak dan kewajibannya juga mengikuti hak dan

kewajiban konsumen secara keseluruhan.

Pelanggaran yang terjadi diatas pada kode etik dokter yaitu:

1. Pelanggaran etika

Dokter tersebut telah melanggar kode etik kedokteran yang merupakan kode etik

profesi kedokteran.
2. Pelanggaran moral

Karena norma moral disini adalah tentang bagaimana manusia harus hidup supaya

menjadi baik sebagai manusia. Ada perbedaan antara kebaikan moral dan kebaikan

pada umumnya. Kebaikan moral merupakan kebaikan manusia sebagai manusia

sedangkan kebaikan pada umumnya merupakan kebaikan manusia dilihat dari satu segi

saja, misalnya sebagai dokter. Oleh karena itu secara langsung dokter tersebut telah

melakukan pelanggaran moral sebagai seorang dokter.

3. Pelanggaran hokum

Sudah jelas bahwa disini dokter atau rumah sakit telah melakukan pelanggaran hukum

karena dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan seseorang dalam kesengsaraan,

sedangkan ia wajib memberi kehidupan, perawatan dan pemeliharaan.

4. Pelanggaran agama

Dokter tersebut telah melanggar sumpah yang telah dilafalkan sebagai seorang dokter,

yang dilihat dari sisi agama bahwa melanggar sumpah adalah sebagai suatu pelanggaran

terhadap nilai-nilai agama yang telah diajarkan

Anda mungkin juga menyukai