Anda di halaman 1dari 50

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Koping

a. Definisi Strategi Koping

Strategi koping didefenisikan oleh Chouhan dan Vyas sebagai

proses yang dilalui individu saat berusaha untuk mengelola tuntutan

yang mendatangkan tekanan. Strategi koping adalah strategi yang

digunakan individu untuk melakukan penyesuain antara sumber-

sumber yang dimilikinya dengan tuntutan yang dibebenkan

lingkungan kepadanya [ CITATION Wiw18 \l 1057 ].

Lazarus dan Folkman (1984) dalam [CITATION Mar15 \l

1057 ] menjelaskan bahwa individu mencoba untuk mengelola jarak

yang ada antara tuntutan- tuntutan, baik tuntutan yang berasal dari

individu maupun tuntutan dari lingkungan dengan sumber daya yang

dapat digunakan untuk menghadapi situasi yang menekan. Hal ini

sesuai dengan penjelasan Sarafino, (2006) dalam [ CITATION

Mar15 \l 1057 ] yang menjelaskan bahwa koping adalah suatu proses

individu yang mencoba untuk mengelola perbedaan yang dirasakan

antara tuntutan dan sumber daya yang mereka lihat dalam situasi stres.

Lazarus dan Folkman (1984) dalam [ CITATION Mar15 \l 1057 ]

mengatakan dalam membangun perilaku koping diperlukan sumber


daya koping baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Sumber daya

koping biasanya bersifat subjektif sehingga perilaku koping dapat

berbeda antar individu. Cara seseorang melakukan strategi koping

berdasar pada sumber daya yang dimiliki. Adapun sumberdaya koping

yang dinilai sangat penting adalah dukungan sosial. Dukungan sosial

ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional

pada individu yang diperoleh atau diberikan oleh orangtua, saudara

atau anggota keluarga lain, teman, dan lingkungan masyarakat sekitar.

Dengan adanya dukungan sosial, maka individu akan semakin mampu

dan yakin dalam memecahkan masalah yang dihadapi serta dapat

membantu individu dalam mempraktikkan koping yang tepat.

Lazarus dan Folkman (1984) dalam [ CITATION Tit09 \l 1057 ]

menjelaskan bahwa terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan

dalam proses koping. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi

individu sebelum menentukan cara merespon masalah dan strategi

koping yang akan dipilih adalah sumber kemampuan yang dimiliki

individu seperti uang dan waktu, dukungan sosial yang ada, serta ada

atau tidaknya stressor lain dalam kehidupan, seperti peristiwa yang

mempengaruhi kehidupan atau masalah yang muncul dalam

kehidupan sehari-hari. Strategi koping yang berbeda antara seseorang

dengan orang lain dan faktor kepribadian dapat pula mempengaruhi

seseorang dalam memberikan respon koping dan memilih strategi

koping.
Lazarus dan Folkman (1984) dalam [ CITATION Tit09 \l 1057 ]

melanjutkan bahwa kejadian yang menimbulkan stres serta

tahapannya dan cara individu melakukan pencegahan juga akan

mempengaruhi seseorang terutama dalam memberikan penilaian dan

interpretasi terhadap stresor yang dirasakan. Setelah memberikan

penilaian dan interpretasi, kemudian seseorang akan memberikan

respon dan memilih strategi koping yang paling sesuai, misalnya

dengan mencari informasi, melakukan aksi langsung, dan mencari

dukungan dari orang lain. Setelah memberikan respon dan memilih

strategi koping, individu akan melakukan strategi koping yang

berguna untuk mengurangi kondisi lingkungan yang dirasakan

mengancam sehingga seseorang dapat menyesuaikan diri dengan

realita yang terjadi. Tugas-tugas koping yang dilakukan individu akan

memunculkan sebuah hasil koping (coping outcomes), misalnya

pulihnya fungsi psikologis sehingga mampu melakukan aktivitas

sehari-hari.

Koping adalah perubahan kognitif dan perilaku secara konstan

dalam upaya untuk mengatasi tuntutan internal dan atau eksternal

khusus yang melelahkan atau melebihi sumber individu. Koping yang

efektif adalah koping yang membantu seseorang untuk menoleransi

dan menerima situasi menekan serta tidak merisaukan tekanan yang

tidak dapat dikuasainya [ CITATION Nas11 \l 1057 ].


Mekanisme koping adalah cara yang digunakan individu dalam

menyelesaikan masalah, mengatasi perubahan yang terjadi, dan situasi

yang mengancam, baik secara kognitif maupun perilaku. Koping

adalah proses dimana seseorang mencoba untuk mengatur perbedaan

yang diterima antara keinginan (demands) dan pendapatan (resources)

yang dinilai dalam suatu keadaan yang penuh tekanan, koping dapat

diarahkan untuk memperbaiki atau menguasai suatu masalah dapat

juga membantu mengubah persepsi atas ketidaksesuaian, menerima

bahaya, melepaskan diri atau mengindari situasi stres[ CITATION

Nas11 \l 1057 ].

Diantara beberapa pendapat mengenai koping dapat disimpulkan

bahwa koping adalah cara atau langkah yang dilakukan oleh individu

untuk mengatasi masalah yang dihadapi, beradaptasi dengan

perubahan, serta respon terhadap situasi yang mengancam atau

melebihi batas kemampuan individu, baik secara kognitif maupun

perilaku.

b. Sumber Koping

Sumber koping adalah suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan

strategi koping seseorang [ CITATION Tit09 \l 1057 ]. Sumber

koping adalah strategi yang akan membantu kita untuk memilih cara

penyelesaian masalah yang terdiri dari aset ekonomi, kemampuan dan

keahlian, teknik pertahanan, support sosial, positive belifes, problem

solving, dan social skill. Sumber koping pada keluarga dengan anak
tunagrahita hanya berasal dari diri sendiri atau internal, dimana

sumber koping keluarga kurang adekuat.

c. Klasifikasi koping

Mekanisme berdasarkan penggolongan dibagi menjadi dua (Stuart dan

Sundeen, 1995, dalam [ CITATION Nas11 \l 1057 ]).

1) Mekanisme koping adaptif

Mekanisme koping adaptif merupakan mekanisme yang mendukung

fungsi integrasi (kesempurnaan atau keseluruhan), pertumbuhan, belajar,

dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain,

memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang,

memiliki persepsi luas, dapat menerima dukungan dari orang lain dan

aktivitas konstruktif. Di kategorikan koping adaptif jika skor kusioner

>76 [ CITATION Tit09 \l 1057 ].

2) Mekanisme koping maladaptif

Mekanisme koping maladaptif merupakan mekanisme koping yang

menghambat fungsi integrasi (kesempurnaan atau keseluruhan memecah

pertumbuhan, menurunkan otonomi, dan cenderung menguasai

lingkungan. Kategorinya adalah perilaku cenderung merusak, melakukan

aktifitas yang kurang sehat seperti obat-obatan, jamu dan alkohol, tidak

mampu berfikir apa-apa atau disorientasi dan tidak mampu

menyelesaikan masalah. Di kategorikan koping maladaptif jika skor

kusioner <76 [ CITATION Tit09 \l 1057 ].


d. Gaya Koping

Gaya koping menurut [ CITATION Nas11 \l 1057 ] adalah penentuan gaya

seseorang atau ciri-ciri tertentu dari seseorang dalam memecahkan suatu

masalah berdasarkan tuntutan yang dihadapi. Gaya koping dibagi menjadi

dua yaitu gaya koping positif dan gaya koping negatif.

Gaya koping positif adalah gaya koping yang mampu mendukung integritas

ego, gaya koping positif mempengaruhi mekanisme koping adaptif sedangkan

gaya koping negatif adalah gaya koping yang akan menurunkan integritas

ego, dimana gaya koping tersebut akan merusak dan merugikan diri sendiri,

gaya koping negatif mempengaruhi mekanisme koping maladaptif.

Beberapa kelompok dalam gaya koping positif diantaranya :

1) Problem solving (masalah dihadapi dan dipecahkan)

2) Utilizing social support (dukungan dari orang lain untuk menyelesaikan

masalah)

3) Looking for silver lining (berfikir positif dan mengambil hikmah dari

masalah).

Beberapa kelompok dalam gaya koping negatif diantaranya :

1) Avoidance (membebaskan diri atau lari dari masalah)

2) Self-blame (menyalahkan diri sendiri)

3) Wishfull thinking (penentuan standar diri yang terlalu tinggi)

e. Strategi koping
Mekanisme berdasarkan strategi dibagi menjadi dua, Lazarus dan Folkman,

(1984) dalam [ CITATION Nas11 \l 1057 ]. Koping yang berfokus pada

masalah (problem focused coping). Problem focused coping yaitu usaha

untuk mengatasi stres dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang

dihadapi dan lingkungan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya tekanan.

1) Problem focused coping ditujukan untuk mengurangi keinginan dari

situasi yang penuh dengan stres atau memperluas sumber untuk

mengatasinya. Seseorang menggunakan metode problem focused coping

apabila mereka percaya bahwa sumber atau keinginan dari situasinya

dapat diubah. Strategi yang dipakai dalam problem focused coping antara

lain sebagai berikut.

a) Confrontative Coping : usaha untuk mengubah keadaaan yang

dianggap menekan dengan cara yang agresif, tingkat kemarahan yang

cukup tinggi, dan pengambilan risiko.

b) Seeking Social Support : usaha untuk mendapatkan kenyamanan

emosional dan bantuan informasi dari orang lain

c) Planful problem solving : usaha untuik mengubah keadaan yang

dianggap menekan dengan cara yang hati-hati, bertahap, dan analitis.

2) Emotion focused coping

Emotion focused coping yaitu usaha mengatasi stres dengan cara

mengatur respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan

dampak yang akan ditumbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang

dianggap penuh tekanan. Emotion focused coping ditujukan untuk


mengontrol respon emosional terhadap situasi stres. Seseorang dapat

mengatur respon emosionalnya melalui pendekatan perilaku dan kognitif.

Strategi yang digunakan dalam emosional focus coping antara lain

sebagai berikut.

a) Self control : usaha untuk mengatur perasaan ketika menghadapi situasi

yang menekan.

b) Distancing : usaha untuk tidak terlibat dalam permasalahan, seperti

menghindar dari permasalahan seakan tidak terjadi apa-apa atau

menciptakan pandangan-pandangan yang positif, seperti menganggapa

masalah seperti lelucon.

c) Positive reappraisal : usaha mencari makna positif dari permasalahan

dengan berfokus dalam pengembangan diri, biasanya juga melibatkan

hal-hal yang bersifat religius.

d) Accepting responsibility : usaha untuk menyadari tanggungjawab diri

sendiri dalam permasalahan yang dihadapinya dan mencoba

menerimanya untuk membuat semuanya menjadi lebih baik.

e) Escape/avoigen : usaha untuk mengatasi situasi menekan dengan lari dari

situasi tersebut dengan beralih pada hal lain seperti makan, minum,

merokok, atau menggunakan obat-obatan.

Carver dalam [ CITATION Tit09 \l 1057 ] menjelaskan dimensi-dimensi dari

emotional focused coping, yaitu:

a) Using emotional support


Individu mencari dukungan sosial karena alasan emosional, antara lain

dengan mencari dukungan moral, simpati, kepercayaan, atau pengertian.

Dukungan yang dicari hanya untuk menenangkan diri atau mengeluarkan

perasaan saja.

b) Positive reframing

Individu cenderung melepaskan emosi yang dirasakan atau individu

mengatur emosi yang berkaitan dengan stres yang dialami.

Kecenderungan ini sering disebut dengan penilaian kembali secara

positif.

c) Self-distraction

Individu melakukan tindakan-tindakan alternatif untuk melupakan stresor

atau masalah yang dihadapi dengan menghayal, tidur, menonton televisi,

atau berolahraga.

d) Denial

Individu cenderung menolak untuk percaya bahwa suatu stresor itu ada

atau mencoba bertindak seolah-olah stresor tersebut tidak nyata.

Terkadang penolakan menjadi pemicu masalah baru jika tekanan yang

muncul diabaikan karena dengan menyangkal suatu kenyataan dari

masalah yang dihadapi seringkali mempersulit upaya menghadapi

masalah yang seharusnya lebih mudah untuk diselesaikan.

e) Acceptance

Individu menerima kenyataan akan situasi yang penuh stres serta

menerima bahwa kenyataan tersebut pasti terjadi. Penerimaan dapat


memiliki dua makna, yaitu sikap menerima tekanan sebagai suatu

kenyataan dan sikap menerima karena belum adanya strategi menghadapi

masalah secara aktif yang dapat dilakukan.

f) Religion

Individu mencoba mengalihkan permasalahan yang dihadapi dengan

melakukan kegiatan yang berhubungan pada agama, antara lain rajin

beribadah, melakukan meditasi, dan memohon pertolongan Tuhan.

g) Venting

Kecenderungan individu untuk memusatkan perhatian pada hal-hal yang

dirasakan sebagai distress dan kemudian melepaskan perasaan-perasaan

tersebut. Venting sering juga dikatakan sebagai kecenderungan individu

untuk melepaskan emosi yang dirasakan.

h) Humor

Individu membuat lelucon atau sesuatu hal yang lucu mengenai masalah

yang dihadapi.

i) Substance use

Individu menggunakan minuman beralkohol atau obat- obatan tertentu

untuk melepaskan diri dari masalah yang dihadapi.

j) Self-blame

Kecenderungan individu untuk mengkritik atau menyalahkan

diri sendiri terhadap hal-hal yang telah terjadi


f. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Strategi Koping

Taylor (2006) dalam [ CITATION Tit09 \l 1057 ] menyebutkan bahwa

terdapat dua faktor yang mempengaruhi individu dalam melakukan strategi

koping. Kedua faktor tersebut terbagi ke dalam faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri individu,

seperti karateristik sifat kepribadian dan metode koping yang digunakan.

Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri individu,

seperti: waktu, uang, pendidikan, kualitas hidup, dukungan keluarga, dan

sosial serta tidak adanya stresor lain.

Lazarus dan Folkman dalam [ CITATION Tit09 \l 1057 ] menyebutkan

faktor-faktor yang mempengaruhi koping individu adalah:

1) Kesehatan Fisik

Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha

mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup

besar

2) Keyakinan atau pandangan positif

Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti

keyakinan akan nasib (eksternal locus of control) yang mengerahkan

individu pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang akan

menurunkan kemampuan strategi coping tipe : problem-solving focused

coping
3) Keterampilan Memecahkan Masalah

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa

situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan

alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut

sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya

melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.

4) Keterampilan Sosial

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah

laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di

masyarakat.

5) Dukungan Sosial

Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan

emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga

lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya.

6) Materi

Dukungan ini meliputi sumber daya daya berupa uang, barang barang atau

layanan yang biasanya dapat dibeli.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan individu dalam melakukan

koping, antara lain:

1) Kondisi kesehatan

Definisi sehat menurut WHO (2016) adalah suatu keadaan sejahtera atau

status kenyamanan menyeluruh yang meliputi fisik, mental, dan sosial yang
tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Kondisi kesehatan yang baik

sangat diperlukan agar seseorang dapat melakukan koping dengan baik

sehingga berbagai permasalahan yang dihadapi dapat diselesaikan dengan

baik.

2) Konsep diri

Menurut Maramis (1998) dalam [ CITATION Tit09 \l 1057 ], apabila

individu memiliki konsep diri yang positif, maka masalah-masalah yang

dihadapi dapat disikapi dengan cara yang positif di mana individu memiliki

kesadaran bahwa setiap masalah dapat diselesaikan dengan cara yang baik

atau bersangka baik. Namun, jika konsep diri yang negatif muncul, maka hal

yang dapat terjadi adalah adanya pikiran, perasaan maupun perbuatan yang

negatif dalam menyikapi semua masalah yang dialami sehingga individu

dengan konsep diri negatif cenderung terlibat dengan orang-orang yang dapat

memunculkan masalah.

3) Kepribadian

Jung (dalam Feist & Feist, 2010) menjelaskan bahwa individu dengan tipe

kepribadian introvert cenderung memiliki penyesuaian kurang baik dengan

dunia luar, memiliki jiwa tertutup, sulit bergaul atau sulit berhubungan

dengan orang lain, serta kurang dapat menarik hati orang lain. Individu

introvert cenderung menunjukkan sikap pesimis, lebih bermasalah dengan

fokus,cenderung menggunakan koping avoidance atau penyangkalan dalam

mengahadapi masalah. Sedangkan individu tipe kepribadian extrovert

cenderung lebih terbuka, mudah bergaul, dan hubungan dengan orang lain
lancar. Individu extrovert adalah individu yang memiliki rasa optimis.

Individu yang optimis akan lebih berantusias untuk mencari pemecahan

masalah karena yakin bahwa semua masalah pasti ada jalan keluar asalkan

mau berpikir dan berusaha untuk mencoba.

Beberapa faktor yang mempengaruhi strategi koping pada individu juga

dikemukakan oleh Smet (1994) dalam [ CITATION Tit09 \l 1057 ], yaitu:

1) Usia

Usia mempengaruhi kemampuan tubuh dalam memerangi rasa sakit.

Kemampuan tubuh memerangi rasa sakit sudah ada pada masa kanak-kanak,

tetapi kemampuan ini menurun pada masa tua.

2) Pendidikan

Individu yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan menilai segala sesuatu

secara realistis dan koping akan lebih aktif dibanding dengan individu yang

mempunyai pendidikan lebih rendah.

3) Status Sosial Ekonomi

Seseorang yang memiliki status sosial ekonomi rendah akan menyebabkan

tingkat stress yang tinggi terutama dalam masalah ekonomi, jika dibandingkan

dengan yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi.

4) Dukungan Sosial

Dukungan sosial yang positif berhubungan dengan berkurangnya kecemasan

dan depresi. Dukungan sosial diperoleh dari orang-orang di sekitar individu,

seperti orang tua, saudara, teman dekat, dan masyarakat.


5) Karakteristik Kepribadian

Suatu model karakteristik kepribadian yang berbeda akan mempunyai

coping yang berbeda. Karakteristik kepribadian mencakup introvert-

ekstrovert, stabilitas emosi, kepribadian ketabahan atau hardiness, locus

of control, kekebalan dan ketahanan.

6) Pengalaman

Pengalaman sebagai suatu kejadian yang pernah terjadi dan dialami

oleh individu sebelumnya. Pengalaman akan mempengaruhi tindakan-

tindakan individu dalam menghadapi suatu kejadian yang hampir sama.

Dari beberapa penjelasan terkait faktor-faktor yang mempengaruhi

strategi koping di atas, dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi seseorang dalam melakukan strategi koping adalah kondisi

kesehatan, kepribadian, konsep diri, usia, pendidikan, status sosial ekonomi,

dukungan sosial, dan pengalaman.

g. Strategi Koping Keluarga

Friedrnan (1998) [ CITATION Tit09 \l 1057 ] mengemukakan ada dua tipe

strategi koping keluarga setelah menganalisa berbagai hasil penelitian yang

telah dilakukan mengenai strategi koping keluarga, yaitu strategi koping

internal atau intrafamilial dan strategi koping eksternal atau ekstrafamilial.

1) Strategi Koping Keluarga Internal atau Intrafamilial.

Strategi koping keluarga internal memiliki tujuh strategi koping. Ketujuh

strategi tersebut adalah: mengandalkan kemampuan sendiri dari keluarga,


penggunaan humor, musyawarah bersama (memelihara ikatan

kebersamaan), mengartikan masalah, pemecahan masalah secara bersama,

fleksibilitas peran, dan normalisasi.

a) Mengandalkan kemampuan sendiri dan keluarga.

Keluarga seringkali melakukan upaya untuk mencari dan

mengandalkan sumber-surnber mereka sendiri. Keluarga melakukan

ini dengan membuat struktur organisasi yang lebih besar dalam

keluarga, yakni dengan membuat jadwal dan tugas rutinitas yang

diemban tiap anggota keluarga yang lebih ketat. Hal ini diharapkan

agar setiap angota menjadi lebih disiplin dan taat. Pada kondisi ini

keluarga dapat mengontrolnya, jika berhasil maka akan tercapai

integrasi dan ikatan yang lebih kuat. Strategi koping yang khas adalah

disiplin diri dikalangan anggota keluarga yang mengalami stres,

mereka harus menjaga ketenangan dan dapat memecahkan masalah

karena mereka sendiri yang bertanggung jawab terhadap diri sendiri

dan keluarganya.

b) Penggunaan humor.

Perasaan humor merupakan aset yang penting dalam keluarga karena

dapat memberikan perubahan bagi sikap keluarga terhadap masalah-

masalah dan perawatan kesehatan. Humor juga diakui sebagai suatu

cara bagi individu dan kelompok untuk menghilangkan rasa cemas

dan stres.

c) Musyawarah bersama (memelihara ikatan keluarga).


Suatu cara untuk membawa keluarga menjadi lebih dekat dan menjaga

bahkan mengatasi stres, dan ikut serta dengan aktivitas setiap anggota

keluarga merupakan cara untuk menghasilkan suatu ikatan yang kuat

dalam sebuah keluarga. Cara untuk mengatasi masalah dalarn

keluarga adalah meluangkan waktu untuk bersama-sama dalarn

keluarga, saling mengenal, membahas masalah bersama, makan

malam bersama, adanya kegiatan yang menantang bersama keluarga,

beribadah bersama, bermain bersama, bercerita pada anak sebelum

tidur, menceritakan pkegiatan pekerjaan ataupun sekolah, dan tidak

ada jarak diantara anggota keluarga.

d) Mengartikan suatu masalah.

Salah satu cara untuk menemukan koping efektif adalah menggunakan

mekanisme mental dengan mengartikan masalah yang dapat

mengurangi secara kognitif rangsang berbahaya yang dialami dalam

hidup. Menambah pengetahuan keluarga merupakan cara yang paling

efektif untuk mengetahui stresor yaitu dengan keyakinan yang optimis

dan penilaian yang positif. Keluarga yang menggunakan strategi ini

cenderung dapat melihat sisi positif dari kejadian yang menyebabkan

stres. (Folkman et a1 1986).

e) Pemecahan masalah bersama.

Pemecahan masalah bersama dikalangan anggota keluarga merupakan

strategi koping keluarga yang telah dipelajari melalui riset oleh

sekelompok peneliti keluarga. Pemecahan masalah bersama dapat


dijelaskan sebagai suatu situasi dimana keluarga dapat mendiskusikan

masalah yang ada secara bersama-sama oleh keluarga dengan mencari

solusi atau jalan keluar atas dasar akal sehat, mencapai suatu

kesepakatan tentang apa yang perlu dilakukan atas dasar petunjuk,

persepsi dan usulan dari anggota keluarga yang berbeda.(Straus,

1968,; Reiss, 1981; Chesler dan Barbarin, 1986; Friedman, 1998).

f) Fleksibilitas peran.

Perubahan dalam kondisi dan situasi dalarn keluarga yang setiap saat

dapat berubah, fleksibilitas peran merupakan suatu strategi koping

yang ideal untuk mengatasi suatu masalah dalam keluarga.

g) Salah satu strategi koping keluarga yang lain adalah kecenderungan

keluarga menormalkan keadaan sehingga keluarga dapat melakukan

koping terhadap sebuah stresor jangka panjang yang dapat merusak

kehidupan dan kegiatan rumah tangga. Bila anak dalam anggota

keluarga sakit, maka keluarga dapat menormalkan situasi dengan

meminimalkan situasi abnormalitas dalam penampilan anak,

berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan biasa dan terus memelihara

ikatan sosial.

2) Strategi Koping Keluarga Eksternal atau Ekstrafamilial.

Dalam strategi koping keluarga eksternal, terdapat empat strategi koping.

Keempat strategi tersebut adalah: mencari informasi, memelihara

hubungan aktif dengan komunitas, mencari dukungan sosial, dan mencari

dukungan spiritual.
a) Mencari informasi.

Keluarga yang mengalami stres memberikan respons secara kognitif

dengan mencari informasi yang berubungan dengan stresor. Hal Ini

berfungsi untuk menambah perasaan untuk memiliki kontrol terhadap

situasi dan mengurangi perasaan takut terhadap sesuatu yang tidak

dikenal dan membantu keluarga menilai stresor secara lebih akurat.

b) Memelihara hubungan aktif dengan komunitas.

Kategori ini berbeda dengan koping yang menggunakan sistem

dukungan sosial dimana kategori ini merupakan suatu koping keluarga

yang berkelanjutan, jangka panjang dan bersifat umum, bukan sebuah

kategori yang dapat meningkatkan stresor spesifik tertentu. Anggota

keluarga adalah pemimpin keluarga dalam suatu kelompok, organisasi

dan kelompok komunitas.

c) Mencari sistern pendukung sosial.

Mencari sistem pendukung sosial dalam jaringan kerja sosial keluarga

merupakan strateg koping keluarga eksternal yang utama. Sistem

pendukung sosial ini dapat diperoleh dari sistem kekerabatan keluarga,

kelompok profesional, para tokoh masyarakat dan lain-lain yang

didasarkan pada kepentingan bersama. Tiga sumber umum dukungan

sosial yaitu penggunaan jaringan dukungan sosial informal, penggunaan

sistem sosial formal, dan penggunaan kelompok-kelompok mandiri.

Tujuan dari penggunaan jaringan sistem dukungan sosial informal yang

biasanya diberikan oleh kerabat dekat, tetangga dekat atau tokoh


masyarakat, memiliki dua tujuan utama koping: pertama, sistem ini

memberikan dukungan pemeliharaan dan emosional bagi anggota

keluarga, Kedua adalah bantuan yang berrfokus pada tugas yang biasa

dilakukan keluarga, misalnya bantuan perawatan, melakukan tugas-

tugas rumah tangga, bantuan praktis pada saat kritis.

Penggunaan sistem sosial formal dilakukan keluarga ketika keluarga

gagal untuk menangani masalahnya sendiri, maka keluarga harus

dipersiapkan untuk beralih kepada tenaga profesional untuk

memecahkan masalah. Penggunaan kelompok mandiri sebagai bentuk

dukungan sosial dilakukan melalui organisasi yang luas seperti

perkumpulan-perkumpulan yang berfokus pada penyembuhan penyakit

misalnya perkumpulan penyakit Asma, Jantung, dll.

d) Mencari dukungan spiritual.

Kepercayaan kepada Tuhan dan berdoa diidentifikasikan oleh anggota

keluarga sebagai cara paling penting bagi keluarga mengatasi suatu

stresor yang berkaitan dengan kesehatan.

2. Tingkat Kemandirian

a. Pengertian Kemandirian

Kemandirian berasal dari kata “independence” yang diartikan

sebagai suatu kondisi dimana seseorang tidak bergantung pada orang lain

dalam menentukan keputusan dan adanya sikap percaya diri [ CITATION

Cha11 \l 1057 ].
Kemandirian menurut Sutari Imam Barnadib sebagaimana dikutip

dalam [CITATION Fat10 \l 1057 ] meliputi kemampuan berinisiatif,

kemampuan mengatasi masalah yang dihadapi, mempunyai rasa percaya

diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bergantung pada orang

lain. Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Kartini dan Dali (2010) yang

menyebutkan bahwa kemandirian adalah keinginan untuk mengerjakan

segala sesuatu bagi diri sendiri sehingga ia tidak bergantung pada orang

lain.

b. Aspek-Aspek Kemandirian

Menurut Havighurst sebagaimana dikutip dalam [ CITATION

Fat10 \l 1057 ] kemandirian terdiri dari beberapa aspek yaitu:

1) Aspek Emosi.

Aspek ini menekankan pada kemampuan seseorang dalam mengontrol

emosi dan secara emosi tidak bergantung kepada orangtua. Hal ini

berkaitan dengan bagaimana seseorang dapat mengambil keputusan

sendiri, mampu mengontrol emosi dan menyelesaikan masalah tanpa

bergantung terutama kepada orangtua.

2) Aspek ekonomi.

Aspek ini menunjukkan kemampuan seseorang dalam mengatur

ekonomi dan tidak bergantungnya kebutuhan ekonomi seseorang pada

orangtua. Hal ini berkaitan dengan bagaimana seseorang dapat

menggunakan, mengatur keuangannya dengan baik, tidak bergantung

kepada orangtua dan memiliki penghasilan sendiri.


3) Aspek intelektual.

Aspek ini menunjukkan kemampuan seseorang dalam mengatasi berbagai

hambatan atau masalah yang dihadapi. Hal ini berkaitan dengan

bagaimana seseorang dapat mengatasi masalah dari yang paling sederhana

seperti mampu mengurus diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari contoh

makan, mandi, merapikan pakaian, mengerjakan pekerjaan rumah dan

belajar. Selain itu, seseorang juga dapat membantu pekerjaan orang lain

seperti pekerjaan orangtua di rumah dan mampu menyelesaikan masalah di

sekolah yang berkaitan dengan pembelajaran dan masalah lainnya.

4) Aspek sosial.

Aspek ini menunjukkan kemampuan seseorang untuk mengadakan

interaksi dengan orang lain dan tidak bergantung atau menunggu aksi dari

orang lain. Hal ini berkaitan dengan bagaimana seseorang dapat

bersosialisasi dengan orang lain, berteman, membantu orang lain atau

teman yang kesulitan atas kemauannya sendiri tanpa menunggu perintah

dari orang lain.

c. Karakteristik Kemandirian

Steinberg dalam [ CITATION Des10 \l 1057 ] membedakan

karakteristik kemandirian atas tiga bentuk, yaitu:

1) Kemandirian emosional, yaitu berubahnya kedekatan hubungan emosional

antar individu dengan individu lainnya contohnya seperti hubungan


emosional antara peserta didik dengan guru atau hubungan anak dengan

orangtuanya.

2) Kemandirian tingkah laku yaitu kemampuan seseorang dalam membuat

keputusan-keputusan tanpa bergantung pada orang lain dan melakukan

keputusan tersebut dengan penuh tanggung jawab.

3) Kemandirian nilai yaitu kemampuan seseorang dalam memaknai tentang

hal-hal yang benar dan salah, serta tentang apa yang penting dan apa yang

tidak penting.

Kemandirian dalam perkembangannya memiliki tingkatan-tingkatan

yang berbeda. Perkembangan kemandirian seseorang juga berlangsung secara

tahap demi tahap yang disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan tersebut.

Lovinger dalam [CITATION Ali14 \l 1057 ] menjelaskan tingkatan

kemandirian sebagai berikut:

1) Tingkatan pertama (tingkat impulsif dan melindugi diri), tingkatan yang

memiliki karakteristik impulsif dan melindungi diri. Ciri-ciri dari tingkatan

ini yaitu individu memperhatikan keuntungan yang diperoleh dari

interaksinya dengan orang lain, mengikuti aturan untuk memperoleh

keuntungan, berpikir tidak logis dan cenderung berpikir dengan suatu cara

tertentu, individu cenderung menyalahkan dan mengejek orang lain serta

lingkungannya.

2) Tingkatan kedua adalah tingkatan yang memiliki karakteristik

konformistik. Ciri-cirinya yaitu individu memperhatikan penampilan diri

dan penerimaan dalam sosial, cenderung berpikir sederhana, peduli dengan


aturan yang tedapat dalam kelompoknya, bertindak dengan motif yang

dangkal hanya untuk memperoleh pujian dari orang lain, kurang dalam

instropeksi diri, dan rasa takut tidak diterima dalam kelompok.

3) Tingkatan ketiga adalah tingkatan yang memiliki karakteristik sadar diri.

Ciri tingkatan ini adalah mampu berpikir lebih luas, memiliki sebuah

harapan dan berbagai kemungkinan dalam situasi, dapat mengambil

manfaat dari kesempatan yang ada, mementingkan bagaimana cara

memecahkan masalah, memikirkan bagaimana individu untuk bertahan

hidup, dan menyesuaikan diri terhadap situasi dan peranan di lingkungan

sosial.

4) Tingkatan keempat adalah tingkatan yang memiliki karakteristik seksama.

Ciri-cirinya adalah individu bertindak atas dasar nilai-nilai internal, dapat

melihat dirinya sendiri sebagai pembuat keputusan dan dapat bertindak,

menyadari akan tanggung jawab yang dimilikinya, mau menilai dan

menginstropeksi diri sendiri, memperhatikan hubungan yang saling

menguntungkan, memiliki tujuan jangka panjang dalam hidupnya, lebih

peduli pada lingkungan sosial.

5) Tingkatan kelima adalah tingkatan yang memiliki karkteristik

individualistik. Ciri dari tingkatan ini yaitu kesadaran individu terhadap

diri sendiri, kesadaran akan konflik emosional bersikap kemandirian atau

bersikap ketergantungan, lebih memahami diri sendiri dan orang lain,

dapat mengenal dirinya sendiri dengan baik, memperhatikan

perkembangan dan masalah-masalah sosial.


6) Tingkatan keenam adalah tingkatan yang memiliki karakteristik mandiri.

Cirinya adalah individu memiliki suatu tujuan hidup dalam hidupnya,

cenderung bersikap dengan pemikiran realistik dan dapat berpikir objektif

terhadap diri sendiri dan orang lain, memperhatikan perbaikan-perbaikan

untuk diri sendiri, memahami sebuah hal yang bersifat ambiguitas,

menyadari bahwa dalam hidup akan saling ketergantungan dengan orang

lain, memiliki respon terhadap kemandirian yang dimiliki oleh orang lain,

dapat mengekspresikan perasaan dengan ekspresi yang ceria.

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemandirian

Setiap anak mempunyai kemampuan yang berbeda antara anak yang

satu dengan yang lainnya. Banyak faktor yang menyebabkan perbedaan

kemampuan individual anak. [ CITATION Ran15 \l 1057 ] mengemukakan

faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemandirian anak, sebagai berikut:

1) Faktor Internal

a) Faktor emosi ditunjukkan dengan kemampuan mengontrol emosi dan

tidak terganggunya kebutuhan emosi anak.

b) Faktor intelektual yang ditunjukkan dengan kemampuan untuk

mengatasi masalah yang dihadapi anak.

2) Faktor Eksternal

a) Lingkungan merupakan faktor yang menentukan tercapai atau tidaknya

kemandirian anak prasekolah. Pada usia ini anak membutuhkan

kebebasan untuk bergerak kesana-kemari dan mempelajari lingkungan.


b) Karakteristik sosial mempengaruhi kemandirian anak, misalnya tingkat

kemandirian anak dari keluarga miskin berbeda dengan anak-anak dari

keluarga kaya.

c) Anak yang mendapat stimulus terarah dan teratur akan lebih cepat

mandiri dibanding dengan anak yang kurang mendapat stimulasi.

d) Pola asuh, anak dapat mandiri dengan diberi kesempatan, dukungan dan

peran orang tua sebagai pengasuh. Hal ini sejalan dengan pendapat

yang dikemukakan oleh [ CITATION Ali14 \l 1057 ] bahwa orangtua yang

dapat menciptakan suasana aman dalam interaksi antar keluarganya

maka akan dapat membantu perkembangan anak dengan baik. Orangtua

memiliki peran sebagai pembimbing yang memperhatikan setiap

aktifitas dan kebutuhan anak, terutama yang berhubungan dengan studi

dan pergaulan, baik itu dalam lingkungan keluarga maupun sekolah

[ CITATION Hur12 \l 1057 ]

e) Cinta dan kasih sayang kepada anak hendaknya diberikan sewajarnya

karena jika diberikan berlebihan, anak menjadi kurang mandiri. Hal ini

dapat diatasi bila interaksi dua arah antara orang tua dan anak berjalan

lancar dan baik.

f) Kualitas informasi anak dan orang tua yang dipengaruhi pendidikan

orang tua, dengan pendidikan yang baik, informasi dapat diberikan pada

anak karena orang tua dapat menerima informasi dari luar terutama cara

meningkatkan kemandirian anak.


g) Status pekerjaan ibu, apabila ibu bekerja diluar rumah untuk mencari

nafkah maka ibu tidak bisa memantau kemandirian anak sesuai

perkembangan usianya. Sedangkan ibu yang tidak bekerja, ibu dapat

memantau langsung kemandirian anak dan bisa memandirikan anaknya.

e. Kemandirian Anak Retardasi Mental

Kemandirian sangat erat terkait dengan anak sebagai individu yang

mempunyai konsep diri, penghargaan terhadap diri sendiri (self esteem), dan

mengatur diri sendiri (self regulation). Anak memahami tuntutan lingkungan

terhadap dirinya, dan menyesuaikan tingkah lakunya. Anak mandiri adalah

anak yang mampu memenuhi kebutuhannya, baik berupa kebutuhan naluri

maupun kebutuhan fisik, oleh dirinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa

bergantung pada orang lain. Bertanggung jawab dalam hal ini berarti

mengaitkan kebutuhannya dengan kebutuhan orang lain dalam lingkungannya

yang sama-sama harus dipenuhi.

Anak-anak retardasi mental umumnya punya karakter dan emosional

yang berbeda, sehingga cara penanganan dan pendampingannya juga berbeda.

Tapi anak yang sudah mampu mengendalikan emosinya, bisa diberi arahan

untuk melakukan pekerjaan rumah misalnya menyapu atau membuat hiasan

dari kayu. Kemandirian anak retardasi mental merupakan keseimbangan

antara merawat diri dan mempunyai kemampuan untuk mengurus dirinya

sendiri akan kebutuhan dasarnya, dan mereka senantiasa memerlukan bantuan

dan pengawasan. Perkembangan anak retardasi mental berat tidak dapat

menunjukkan dorongan pemeliharaan dirinya sendiri. Mereka tidak bisa


menunjukkan rasa lapar atau haus dan tidak dapat menghindari bahaya. Pada

anak retardasi mental sedang, mereka lambat dalam pengembangan

pemahaman dan penggunaan bahasa, keterampilan merawat diri dan

keterampilan motorik terlambat. Penderita juga memerlukan pengawasan

seumur hidup dan program pendidikan khusus demi mengembangkan potensi

mereka yang terbatas agar memperoleh beberapa keterampilan dasar. Pada

anak retardasi ringan misalnya agak terlambat dalam belajar bahasa tapi

sebagian besar dapat berbicara untuk keperluan sehari-hari, bercakap-cakap,

dan diwawancarai, dapat mandiri (makan, mandi, berpakaian, buang air besar,

dan buang air kecil) dan terampil dalam pekerjaan rumah tangga. Namun

biasanya mereka mengalami kesulitan dalam pelajaran sekolah, misalnya

dalam membaca dan menulis, ini sering disebabkan oleh kekurangan kronik

stimulasi intelektual [ CITATION Ali14 \l 1057 ]

Anak dan remaja yang mengalami retardasi mental tetap memiliki

kemampuan lain yang masih dapat dikembangkan dan dioptimalkan untuk

membantunya beraktivitas seperti orang normal, dan memberikan peran

tertentu di masyarakat meskipun terbatas. Individu yang mengalami

keterbelakangan mental masih dapat mempelajari berbagai keterampilan

hidup apabila orang-orang disekitarnya memberikan kesempatan dan

dukungan yang dibutuhkan. Kemandirian anak retardasi mental akan sangat

tergantung pada peran serta dan dukungan penuh dari keluarga, sebab pada

dasarnya keberhasilan suatu program bukan hanya merupakan tanggungjawab

dari lembaga pendidikan yang terkait saja [ CITATION Ali14 \l 1057 ]


Lingkup pelayanan yang harus dilakukan bagi anak retardasi mental

adalah:

1) Kemandirian yang sesuai adalah sesuai dengan kemampuan dan kondisi

yang terbatas pada penderita yang tentunya berbeda-beda termasuk berat

ringannya kecacatan. Aktifitas yang diberikan antara lain: perawatan diri

sendiri, aktifitas dimeja makan, aktifitas rumah tangga, penggunaan alat

bantu, dan kegiatan berjalan.

2) Komunikasi, hal ini penting bagi pembimbing dan penderita. Tidak semua

anak retardasi mental dapat berkomunikasi dengan baik, terkadang sulit

untuk dipahami, dalam hal ini yang perlu diperhatikan dalam komunikasi

adalah terjadinya tatap muka saat berkomunikasi, memahami bahasa gerak

tubuh, memahami indera pendengar.

3) Sosialisasi adalah proses penyesuaian diri terhadap adat istiadat, kebiasaan

dan sikap lingkungan, bagaimana sikap anak terhadap lingkungan dan

seberapa baik ia dapat bergaul dengan masyarakat

Untuk menuju kemandirian bagi anak retardasi mental bahwa bimbingan

harus dilakukan secara berulang-ulang, rutin, bebas dari segala tekanan atau

paksaan dan dilakukan secara santai, tidak tergesa-gesa, tidak membahayakan

sehingga tidak terlalu memaksakan keterbatasannya. Tingka kemandirian anak

dkatakan mandiri jika memperoleh nila x >mean, ketergantungan jika x<mean [

CITATION Waf16 \l 1057 ]


3. Activity Daily Living (ADL)

a. Pengertian ADL

ADL adalah kegiatan melakukan pekerjaan rutin sehari-hari. ADL

merupakan aktivitas pokok bagi perawatan diri. ADL meliputi antara lain:

ke toilet, makan, berpakaian (berdandan), mandi, dan berpindah tempat

[ CITATION Sup12 \l 1057 ] Sedangkan menurut Agung (2010), ADL

adalah pengukuran terhadap aktivitas yang dilakukan rutin oleh manusia

setiap hari. ADL adalah keterampilan dasar dan tugas okupasional yang

harus dimiliki seseorang untuk merawat dirinya secara mandiri yang

dikerjakan seseorang sehari-harinya dengan tujuan untuk

memenuhi/berhubungan dengan perannya sebagai pribadi dalam keluarga

dan masyarakat.

b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ADL

Menurut Hardywinoto dalam [ CITATION Sup121 \l 1057 ], kemauan

dan kemampuan dalam melakukan ADL tergantung dalam beberapa faktor

antara lain:

1) Umur dan Status Perkembangan

Merupakan suatu tanda kemauan dan kemampuan klien beraksi terhadap

ketidakmampuan dalam melakukan ADL. Pada saat perkembangan mulai

bayi sampai dewasa, perlahan-lahan perubahan akan tergantung menjadi

mandiri dalam melakukan ADL.


2) Fungsi Kognitif

Tindakan kognitif akan dapat mempengaruhi kemampuan dalam

melakukan ADL. Fungsi kognitif merupakan proses yang menunjukkan

proses penerimaan, mengorganisasikan dan menginterpretasikan suatu

stressor stimulus dalam berfikir dan dalam menyelesaikan masalah.

Proses mental akan dapat memberikan kontribusi dalam fungsi kognitif

dalam mengganggu dalam proses berfikir logis dan akan menghambat

kemandiriannya dalam melakukan ADL.

3) Fungsi Psikososial

Fungsi psikologi menunjukan kemampuan seseorang untuk mengingat

sesuatu hal yang lalu dan menampilkan informasi pada suatu cara yang

realistik. Proses ini meliputi interaksi yang kompleks antara perilaku

intrapersonal dan interpersonal. Gangguan pada intrapersonal contohnya

akibat gangguan konsep diri atau ketidakstabilan emosi dapat

mengganggu dalam tanggung jawab keluarga dan pekerjaan. Gangguan

interpersonal seperti masalah komunikasi, gangguan interaksi sosial dan

disfungsi dalam penampilan peran juga dapat mempengaruhi perubahan

aktivitas sehari-hari.

4) Kesehatan Fisiologis

Kesehatan fisiologis seseorang dapat mempengaruhi kemampuan

partisipasi dalam ADL, contoh sistem nervus mengumpulkan,

menghantarkan, dan mengolah informasi dari lingkungan. Sistem

muskuloskeletal mengkoordinasikan dengan sistem nervus sehingga


dapat merespon sensori yang masuk dengan cara melakukan gerakan.

Gangguan pada sistem ini misalnya karena penyakit, atau trauma injury

dapat mengganggu pemenuhan ADL.

5) Tingkat Stress

Stress merupakan respon fisik non spesifik terhadap berbagai macam

kebutuhan. Faktor yang menyebabkan stress (stressor), dapat timbul dari

tubuh atau lingkungan atau dapat mengganggu keseimbangan tubuh.

Stressor tersebut dapat berupa fisiologis seperti injuri atau psikologi

seperti kehilangan.

6) Ritme Biologi

Ritme atau irama biologi membantu makhluk hidup mengatur lingkungan

fisik disekitarnya dan membantu homeostatis internal (keseimbangan

dalam tubuh dan lingkungan). Salah satu irama biologi yaitu irama

sirkadian, berjalan pada siklus 24 jam. Perbedaan irama sirkadian

membantu pengaturan aktivitas meliputi tidur, temperatur tubuh, dan

hormon. Beberapa faktor yang ikut berperan pada irama sikardian

diantaranya faktor lingkungan seperti hari terang dan gelap, seperti cuaca

yang mempengaruhi ADL.

7) Status Mental

Status mental menunjukan keadaan intelektual seseorang. Keadaan status

mental memberi implikasi pada pemenuhan kebutuhan dasar individu.

Seperti yang di ungkapkan oleh Cahya yang di kutip dari Baltes, salah
satu yang dapat mempengaruhi ketidakmandirian individu dalam

memenuhi kebutuhan adalah keterbatasan status mental.

c. Bina Diri Pada Anak Tunagrahita

Menurut Widya (2014), keragaman pada masing-masing individu yang

berkebutuhan khusus akan membawa dampak bagi pada kebutuhan anak

secara beragam. Kebutuhan ABK salah satunya adalah ADL atau bina diri.

Tidak semua ABK memerlukan bina diri, seperti tunarungu, tunawicara dan

tunalaras baik secara fisik, intelektual dan juga sensomotorik. Tujuan umum

bina diri pada ABK adalah agar anak dapat mandiri dengan tidak atau kurang

bergantung terhadap orang lain dan akan mempunyai rasa tanggung jawab.

Bina diri pada anak tunagrahita yaitu meliputi:

1) Kemampuan mengurus diri sendiri

Menggosok gigi, mandi, keramas, ke kamar kecil, vulva hygiene,

berpakaian, menyisir rambut, berhias, mencuci pakaian, menyetrika,

melipat, menggantung pakaian, makan, mencuci tangan sebelum dan

sesudah makan, memakai dan merawat sepatu.

2) Kemampuan membersihkan lingkungan sekitar

a) Membersihkan lingkungan dalam rumah: membersihkan debu,

menyapu lantai, mengepel lantai dan membersihkan alat-alat rumah

tangga.
b) Membersihkan lingkungan sekitar rumah: membersihkan halaman

rumah, membuang sampah, memelihara kebun, dan memetik hasil

panen.

c) Tata cara bergaul dan bersikap dalam masyarakat: cara mengucapkan

salam dan ucapan terima kasih, cara meminta maaf,

memasuki/meninggalkan rumah orang lain, meminta dan memberi

bantuan orang lain, dan berbicara dan mendengar bicara orang lain.

d. Penilaian ADL

Penilaian ADL menggunakan indeks kemandirian Katz, untuk ADL

berdasarkan evaluasi dari fungsi mandiri atau bergantung dari klien dalam

memenuhi ADL yang meliputi makan, mandi, toileting, kontinen

(BAB/BAK), berpakaian dan berpindah ke kamar mandi. Penilaiannya

meliputi [CITATION Mar10 \l 1057 ]:

1) Mandi

Mandiri: bantuan hanya pada satu bagian mandi (seperti punggung atau

ekstremitas yang tidak mampu) atau mandi mandiri sepenuhnya.

Bergantung: bantuan mandi lebih dari satu bagian tubuh, bantuan masuk

dan keluar dari bak mandi.

2) Berpakaian

Mandiri: mengambil baju dari lemari, memakai pakaian, melepaskan

pakaian, mengancing atau mengikat pakaian.

Bergantung: tidak dapat memakai baju sendiri atau hanya sebagian.

3) Toileting
Mandiri: masuk dan keluar dari kamar kecil kemudian membersihkan

genitalia sendiri.

Bergantung: menerima bantuan untuk masuk ke kamar kecil.

4) Berpindah

Mandiri: berpindah dari tempat tidur, bangkit dari kursi sendiri.

Bergantung: bantuan dalam naik atau turun dari tempat tidur atau kursi,

tidak melakukan sesuatu atau perpindahan.

5) Kontinen

Mandiri: BAB dan BAK seluruhnya dikontrol sendiri.

Bergantung: dibantu oleh keluarga dalam BAB/BAK.

6) Makanan

Mandiri: mengambil makanan dari piring dan menyuapinya sendiri.

Bergantung: bantuan dalam hal mengambil makanan dari piring atau

tidak makan sama sekali.

7) Minum

Mandiri: mengambil gelas dan air sendiri.

Bergantung: bantuan dalam mengambil gelas dan air dari atas meja.

4. Tunagrahita

a. Pengertian Tunagrahita

Tidak semua manusia yang terlahir di dunia ini dengan keadaan

sehat dan normal. Kenyataannya ada manusia yang terlahir dengan

membutuhkan perhatian khusus. Salah satunya yakni tunagrahita yang


membutuhkan perhatian khusus terutama dalam hal yang berkaitan

dengan intelektual.

Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak

yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata. Dalam

kepustakaan bahasa asing digunakan istilah-istilah mental retardation,

mentally retarded, mental deficiency, mental defective, dan lain-lain

[ CITATION Sut15 \l 1057 ]. Sedangkan menurut PPDGJ III dan DSM 5

(2013) menyatakan bahwa retardasi mental adalah suatu keadaan

perkembangan jiwa yag terhenti atau tidak lengkap, yang terutama

ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa

perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara

menyeluruh (kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial). Definisi

reatrdasi mental menurut AAMR adalah fungsi intelektual umum secara

bermakna di bawah normal, disertai adanya keterbatasan 2 fungsi adaptif

atau lebih, yaitu komunikasi, menolong diri sendiri, keterampilan sosial,

mengarahkan diri, keterampilan akademik, bekerja, menggunakan waktu

luang, kesehatan dan atau keamanan; keterbatasan ini timbul sebelum

umur 18 tahun.

Melly Budhiman dalam Soetjiningsih [ CITATION Ran15 \l 1057 ],

mengungkapkan bahwa seseorang dikatakan retardasi mental, bila

memenuhi kriteria sebagai berikut yaitu:

1) Fungsi intelektual dibawah umum;

2) Terdapat kendala pada perilaku adaptif sosial;


3) Gejalanya timbul dalam masa perkembangan yaitu dibawah usia 18

tahun. Jika gejala tersebut timbul setelah berumur 18 tahun, bukan lagi

disebut retardasi mental, melainkan penyakit lain sesuai dengan gejala

klinisnya.

b. Klasifikasi Tunagrahita

Pengklasifikasian retardasi mental oleh para ahli diuraikan menurut

tinjauan profesi dokter, pekerja sosial, psikolog, dan pedagog. Seorang

dokter mengklasifikasikannya didasarkan pada tipe kelainan fisiknya

seperti mogoloid, microcephalon, cretinism, dan lain-lain. Seorang

pekerja sosial mengklasifikasikan didasarkan pada derajat kemampuan

menyesuaikan diri atau ketergantungan pada orang lain, sehingga untuk

melihat berat ringannya dilihat dari tingkat penyesuaian seperti tidak

tergantung, semi tergantung, atau sama sekali tergantung pada orang lain.

Seorang psikolog melihat dalam aspek indeks mental intelegensinya,

indikasinya dilihat pada angka hasil tes kecerdasan seperti IQ 0-25

dikategorikan idiot, IQ 25-50 dikategorikan imbecile dan IQ 50-75

kategori debil atau moron. Sedangkan seorang pedagog

mengklasifikasikan berdasarkan pada penilaian anak mampu dididik,

dilatih, dan mampu dirawat [ CITATION Moh11 \l 1057 ].

Klasifikasi menurut AAMD [ CITATION Ran15 \l 1057 ], sebagai

berikut:

1) Tunagrahita Ringan (Mampu Didik)


Tingkat kecerdasannya IQ mereka berkisar 50-70 mempunyai

kemampuan untuk berkembang dalam bidang pelajaran akademik,

penyesuaian sosial dan kemampuan bekerja, mampu menyesuaikan

dengan lingkungan yang lebih luas, dapat mandiri dalam masyarakat,

mampu melakukan pekerjaan semi terampil dan pekerjaan sederhana.

2) Tunagrahita Sedang (Mampu Latih)

Tingkat kemandirian IQ berkisar antara 35-50 dapat belajar

keterampilan sekolah untuk tujuan fungsional, mampu melakukan

keterampilan mengurus dirinya sendiri (self-help), mampu

mengadakan adaptasi sosial dilingkungan terdekat, mampu

mengerjakan pekerjaan rutin yang perlu pengawasan.

3) Tunagrahita Berat dan Sangat Berat (Mampu Rawat)

Tingkat kecerdasan IQ mereka kurang dari 30 hampir tidak memiliki

kemampuan untuk dilatih mengurus diri sendiri. Ada yang masih

mampu dilatih mengurus diri sendiri, berkomunikasi secara sederhana

dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sangat terbatas.

Klasifikasi anak tunagrahita berdasarkan tipe-tipe klinis/fisik

[ CITATION Mum11 \l 1057 ] sebagai berikut:

1) Down syndrome (mongolisme) karena kerusakan kromosom.

2) Krettin (cebol) ada gangguan hiporoid.

3) Hydrocephal karena cairan otak yang berlebihan.

4) Micdocephal karena kekurangan gizi dan faktor radiasi.


Menurut [ CITATION Moh15 \l 1057 ] berdasarkan pandangan

masyarakat tunagrahita dibagi menjadi 3, yaitu:

1) Tunagrahita Absolut (sedang)

Yaitu jelas nampak ketunagrahitaannya yang dipandang dari semua

lapisan masyarakat.

2) Tunagrahita Relatif (ringan)

Yaitu dalam masyarakat tertentu dipandang tunagrahita, tetapi di tempat

yang lain tidak dipandang tunagrahita.

3) Tunagrahita Semu (debil)

Yaitu anak yang menunjukkan penampilan sebagai penyandang

tunagrahita tetapi sesungguhnya mempunyai kemampuan normal.

c. Karakteristik Tunagrahita

Anak tunagrahita memiliki karakteristik berbeda-beda dapat dibedakan

menjadi tiga tingkatan menurut intelegensinya. Intelegensi dibawah rata-rata

akan menyebabkan hambatan terhadap prilaku adaptif selama proses

perkembangannya. AAMR menjelaskan perilaku adaptif terdiri atas

keterampilan praktis, keterampilan konseptual, dan keterampilan sosial yang

berpengaruh terhadap kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan dan respon

terhadap lingkungan.

1) Karakteristik anak tunagrahita ringan (mampu didik) menurut

[ CITATION Moh15 \l 1057 ] yaitu:

a) Lancar dalam berbicara tetapi kurang pembendaharaan kata-katanya.

b) Sulit berpikir abstrak.


c) Pada usia 16 tahun anak mencapai kecerdasan setara dengan anak

normal 12 tahun.

d) Masih dapat mengikuti pekerjaan baik di sekolah maupun di sekolah

umum.

e) Karakteristik fisik.

Penyandang tunagrahita ringan menunjukkan keadaan tubuh yang baik

namun bila tidak mendapatkan latihan yang baik kemungkinan akan

mengakibatkan postur fisik terlihat kurang serasi.

f) Karakteristik bicara.

Dalam berbicara anak tunagrahita ringan menunjukkan kelancaran,

hanya saja dalam pembendaharaan katanya terbatas, anak tunagrahita

juga mengalami kesulitan dalam menarik kesimpulan mengenai isi dari

pembicaraan.

g) Karakteristik kecerdasan.

Kecerdasan anak tunagrahita ringan paling tinggi sama dengan anak

normal berusia 12 tahun.

h) Karakteristik pekerjaan.

Penyandang tunagrahita ringan dapat melakukan pekerjaan yang

sifatnya semu skilled atas pekerjaan tertentu yang dapat dijadikan bekal

bagi hidupnya.

2) Karakteristik anak tunagrahita sedang (mampu latih) menurut

[ CITATION Moh15 \l 1057 ] mengemukakan bahwa:


a) Mereka hampir tidak bisa mempelajari pelajaran akademik namun dapat

dilatih untuk melaksanakan pekerjaan rutin atau sehari-hari.

b) Kemampuan maksimalnya sama dengan anak normal usia 7-10 tahun.

c) Mereka selalu tergantung pada orang lain tetapi masih dapat

membedakan bahaya dan bukan bahaya.

d) Masih mempunyai potensi untuk memelihara diri dan menyesuaikan

diri terhadap lingkungan.

3) Karakteristik anak tunagrahita berat menurut [ CITATION Moh15 \l

1057 ] mengemukakan bahwa:

a) Kecerdasan

(1) Kapasitas belajarnya sangat terbatas terutama untuk hal-hal yang

kongkrit.

(2) Dalam belajar tidak banyak membaca.

(3) Mengalami kesulitan menangkap rangsangan atau lamban.

(4) Memerlukan waktu lama untuk menyelesaikan tugas.

(5) Memiliki kesanggupan yang rendah dalam mengingat memerlukan

jangka waktu yang lama.

b) Sosial.

(1) Dalam pergaulan mereka tidak dapat mengurus, memelihara dan

memimpin diri.

(2) Waktu masih kanak-kanak setiap aktivitasnya harus selalu

dibantu.

(3) Mereka bermain dengan teman yang lebih muda usianya.


(4) Setelah dewasa kepentingan ekonominya sangat tergantung pada

bantuan orang lain.

(5) Mudah terjerumus ke dalam tingkat terlarang (mencuri, merusak,

pelanggaran seksual).

c) Fungsi mental lainnya.

(1) Mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatiannya.

(2) Mudah lupa.

d) Kepribadian.

(1) Tidak percaya terhadap kemampuannya sendiri.

(2) Tidak mampu mengontrol dan menyerahkan diri.

(3) Selalu tergantung pada pihak luar.

(4) Terlalu percaya diri.

d. Penyebab Tunagrahita

Faktor penyebab terjadinya kelainan terutama tunagrahita sangat

beragam jenisnya, namun secara umum dapat dilihat dari masa terjadinya

kelainan itu sendiri dapat dibagi menjadi (Sebastian dalam Soetjiningsih,

2013) :

1) Pada saat sebelum kelahiran (Pranatal)

Yaitu masa sebelum dilahirkan atau selama anak dalam kandungan,

penyebabnya antara lain pada saat ibu mengandung menderita penyakit

infeksi misalnya campak, influenza, TBC, panas yang tinggi dan

sebagainya.

2) Pada saat kelahiran (Neonatal)


Yaitu disebabkan karena proses kelahirannya yang terlalu lama,

akibatnya otak kurang oksigen dan sel-sel dalam otak akan mengalami

kerusakan. Penyebab ini juga dapat disebabkan karena lahir sebelum

waktunya atau biasa disebut dengan premature, lahir dengan bantuan alat

(tang verlossing), posisi bayi tidak normal, analgesia dan anasthesia,

kelahiran ganda, asphyxia, atau karena kesehatan bayi yang

bersangkutan.

3) Setelah kelahiran (Post natal)

Kelainan terjadi setelah bayi dilahirkan atau saat anak dalam masa

perkembangan. Ada beberapa sebab kelainan setelah anak dilahirkan,

antara lain infeksi luka bahan kimia, malnutrisi, deprivation factor,

meningitis stuip, dan lain sebagainya. Selain itu karena adanya tumor dari

dalam otak sehingga anak menderita avitaminosis, sakit yang lama pada

anak-anak.

Kebanyakan anak yang menderita retardasi mental ini berasal dari

golongan sosial ekonomi rendah karena kurangnya stimulasi dari

lingkungannya, yang secara bertahap menurunkan IQ bersamaan dengan

terjadinya maturasi. Demikian pula, keadaan ekonomi sosial rendah dapat

menjadi penyebab organik retardasi mental, misalnya keracunan logam

berat yang subklinik dalam jangka waktu lama dapat memengaruhi

kemampuan kognitif [ CITATION Ran15 \l 1057 ].

e. Pencegahan Tunagrahita
Pencegahan anak retardasi mental (tunagrahita) menurut [CITATION

drW09 \l 1057 ] yaitu:

1) Pencegahan primer: dapat dilakukan dengan pendidikan kesehatan pada

masyarakat, perbaikan keadaan-sosio ekonomi, konseling genetik dan

tindakan kedokteran (umpamanya perawatan prenatal yang baik,

pertolongan persalinan yang baik, kehamilan pada wanita adolesen dan

diatas 40 tahun dikurangi dan pencegahan peradangan otak pada anak-

anak).

2) Pencegahan sekunder: meliputi diagnosa dan pengobatan dini peradangan

otak, perdarahan subdural, kraniostenosis (sutura tengkorak menutup

terlalu cepat, dapat dibuka dengan kraniotomi; pada mikrosefali yang

kogenital, operasi tidak menolong).

3) Pencegahan tersier merupakan pendidikan penderita atau latihan khusus

sebaiknya disekolah luar biasa. Dapat diberi neuroleptika kepada yang

gelisah, hiperaktif atau dektrukstif.

B. Landasan Teori

Karakteristik keluarga dengan anak tunagrahita tergantung dari

kemampuan keluarga untuk mengatasi stresor dan cara keluarga dalam

merawat anak dengan tunagrahita. Beckman & Cros’s (1976) dalam

[ CITATION Tit09 \l 1057 ] melaporkan bahwa persepsi stres pada keluarga

dengan anak tunagrahita dipengaruhi oleh sosial ekonomi, karakteristik


personal, umur, pekerjaan, pendapatan, pendidikan, keterampilan verbal dan

moral.

Keluarga merupakan suatu kesatuan yang utuh, anggota keluarga yang

paling banyak terlibat dalam memberikan asuhan kepada anak dengan

tunagrahita adalah ibu, karena ibu lebih efektif dan lebih banyak

memperhatikan anggota keluarganya terutama anak dengan tunagrahita. Hasil

penelitian menyebutkan ibu dengan anak tunagrahita mengalami stress lebih

sering dibandingkan dengan ayah, hal ini disebabkan karena ilu belbih

emosional dan lebih banyak terlihat dalam merawat anak sedangkan ayah

lebih rasional dalam bertindak dan frekuensi keterlibatan merawat anak lebih

sedikit jika dibandingkan dengan ibu (Goldberg, Marcovitch, macGregor &

Lojkasek, 1986 dalam [ CITATION Tit09 \l 1057 ]).

Keutuhan keluarga juga mempengaruhi tingkat stres pada ibu, dimana

ibu single parent dengan anak tunagrahita akan mengalami stres lebih tinggi

jika dibanding dengan keluarga utuh. Hal ini disebabkan karena ibu dengan

single parent memiliki kemampuan untuk beradaptasi terhadap stress lebih

lama dibandingkan keluarga utuh, juga berhubungan dengan finansial yang

harus ditanggung oleh ibu sendiri untuk menghidupi keluarga dengan anak

tunagrahita. Menurut stigma sosial tunagrahita adalah hukuman akibat

kesalahan orang tua. Sehingga kadang orang tua merasa malu dan sering

menyembunyikan keadaan anaknya dan kadang orang tua tidak mengakui

keadaan keterbatasan anaknya. Orangtua juga menganggap bahwa kondisi

anaknya disebabkan ketidakmampuan dia merawat anaknya dan juga


disebabkan kecelakaan atau hukuman tuhan, dimana stigma orangtua dapat

mempengaruhi interaksi antara orangtua dan anaknya. Beban keluarga dengan

anak tunagrahita diartikan sebagai stres atau efek dari anak tunagrahita. Stres

dapat dilihat dari dari adanya gangguan fungsi keluarga (Hamid, 1993 dalam

[ CITATION Tit09 \l 1057 ]).

Keluarga dengan anak yang mengalami ketidakmampuan yang serius

seperti tunagrahita merupakan pengalaman yang sangat menyedihkan bagi

orangtua. Respon koping keluarga dengan anak tunagrahita yaitu marah,

penolakan atau penyangkalan (denial), ambivalens, overprotektif, kontrol

yang berlebihan, perasaan bersalah, perasaan malu, perasaan kasihan terhadap

diri sendiri, berdukacita, depresi dan keinginan anaknya meninggal (Mott,

James & Sperhac, 1990 dalam [ CITATION Tit09 \l 1057 ]).

Koping yang digunakan keluarga dengan anak tunagrahita sebagai

salah satu cara untuk mengurangi atau menyelesaikan masalah. Koping

keluarga dengan anak tunagrahita dikatakan adaptif ketika dapat melindungi

keluarganya dari bahaya. Sebaliknya dikatakan amladaptif jika menimbulkan

konflik dalam keluarga. Menurut [ CITATION Mer10 \l 1057 ] koping

keluarga dengan anak tunagrahita adalah sebagai berikut:

1. Koping adaptif

Koping adaptif adalah respon atau cara pertahanan tubuh untuk melawan

stres yang memberikan efek baik terhadap individu baik secara bio psiko

sosio dan spiritual.

a) Awareness
Langkahpertama dalam menghadapi stres adalah dengan aarness, yaitu

dengan cara kita mengetahui stresor tersebut sebagai pemberi semangat

b) Relaksasi

Beberapa cara mengatasi stres adalah dengan melakukan kegiatan

santai seperti olahraga, jogging atau aktivitas fisik lainnya, dimana inti

dari kegiatan tersebut adalah melakukan teknik pernafasan dan

relaksasi progresif untuk menururnkan stres.

c) Meditasi

Melakukan meditasi sehrai-hari selama 20 menit, terbukti dapat

menurunkan tekanan darah dan gejala stres.

d) Komunikasi dengan teman

Melakukan komunikasi dengan orang yang empati terhadap masalah

kita merupakan jalan yang paling efektif untuk mengatasi stres,

disamping itu bisa juga dengan menulis jurnal atau diary.

e) Problem solving

Menyelesaikan masalah harus dimulai dengan objektiitas keluarga

dalam menghadapi masalah, setelah objektifitas muncul pros

penyelesaian masalah atau pengambilan keputusan dapat dilakukan

dengan model sebagai berikut;

1) Memeriksa situasi seperti apa yang berdampak pada munculnya

stres

2) Buat daptar solusi untuk mengatasi masalah


3) Pelajari alternatif lain yang bisa digunakan untuk mengatasi

masalah

4) Buat untung dan rugi dari setiap alternatif pemecahan

5) Pilih alternatif

6) Evaluasi tindakan yang sudah dipilih

f) Memelihara binatang

Hasil penelitian menyebutkan keluarga yang suka memelihara binatang

terutama anjing dan kucing memiliki kemampuan koping bagus dalam

mengahadapi stresor

g) Mendengarkan musik

Musik dapat menstimulasi motivasi, kesenangan dan relaksasi. Musik

dapat mengurangi depresi dan merubah mood dan aktivitas kita.

2. Koping maladaptif

Koping keluarga dengan anak tunagrahita yaitu marah, penolakan atau

penyangkalan (denial), ambivalens, overprotektif, kontrol yang berlebihan,

perasaan bersalah, perasaan malu, perasaan kasihan terhadap diri sendiri,

berdukacita, depresi dan keinginan agar anaknya meninggal. Koping

maladaptif disfungsional yaitu kekerasan keluarga,

mengkambinghitamkan, penggunaan ancaman, mengabaikan anak, mitos

keluarga, pseudomutilitas, triangling dan otoritarianisme.

C. Kerangka Konsep dan Kerangka Kerja

1. Kerangka Konsep
Kerangka konsep membahas ketergantungan antar variabel atau

visualisasi hubungan yang berkaitan atau dianggap perlu antar satu konsep

dengan konsep lainnya atau variabel satu dengan variabel lainnya untuk

melengkapi dinamika situasi atau hal yang sedang atau akan diteliti

[ CITATION Soe13 \l 1057 ]. Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:
Tingkat kemandirian
ADL anak tunagrahita
1. Mandi Tinggi
Koping keluarga 2. Toiletting
1. Koping adaptif 3. Kontinensia
4. Berpakaian Sedang
2. Koping maladaptif
5. Makan
6. Berpindah
Rendah

Sumber: [ CITATION Mar10 \l 1057 ] , [ CITATION Ran15 \l 1057 ] , [ CITATION

Tit09 \l 1057 ], [ CITATION Mer10 \l 1057 ]

Keterangan: : Diteliti

: Tidak diteliti

2. Kerangka Kerja

Kerangka kerja adalah seluruh variabel independen yang siap

dioperasikan menuju variabel dependen (Notoatmodjo, 2013). Kerangka kerja

dalam penelitian ini adalah :

Gambar 2.2
Kerangka Kerja

Variabel Variabel
independen dependen
Ada hubungan

Koping keluarga Kemandirian ADL


1. Adaptif 1. Berpakaian Tidak ada hubungan
2. Maladaptif 2. Makan
3. Berpindah
2.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

Ho: Tidak ada hubungan antara koping orang tua dengan tingkat

kemandirian ADL anak tunagrahita di SLB Negeri Kabupaten Ciamis

Ha: Ada hubungan antara koping orang tua dengan tingkat kemandirian

ADL anak tunagrahita di SLB Negeri Kabupaten Ciamis.

Anda mungkin juga menyukai