Prevalensi Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Human Immunodeficiency Virus (HIV)
pada Orang Transgender: Tinjauan Sistematis
Olivia T. Van Gerwen, Aditi Jani, Dustin M. Long, Erika L. Austin, Karen Musgrove, dan Christina A. Muzny Vol. 5(2) & Page. 90 - 103
Visibilitas komunitas transgender telah meningkat secara signifikan dalam beberapa
tahun terakhir ini. Definisi ''transgender'' terus berkembang, tetapi biasanya mengacu pada individu yang identitas gendernya tidak sesuai dengan jenis kelamin yang ditetapkan saat lahir. Peningkatan visibilitas ini telah menyoroti berbagai kesenjangan kesehatan yang mempengaruhi komunitas tersebut, termasuk infeksi menular seksual (IMS) dan human immunodeficiency virus (HIV). Untuk wanita transgender, tingkat HIV secara tidak proporsional tinggi dibandingkan dengan kelompok berisiko tinggi lainnya seperti laki-laki yang berhubungan seks dengan laki- laki (LSL) dan pasangan seksual orang yang hidup dengan HIV. Praktik penyuntikan jarum yang tidak aman yang terkait dengan terapi yang menegaskan gender (yaitu, suntikan estrogen dan silikon yang berasal dari pasar gelap) juga telah digambarkan sebagai peningkatan risiko penularan HIV pada wanita transgender. Mirip dengan wanita transgender, pria transgender secara emosional dan seksual tertarik kepada orang-orang dari semua identitas gender dan dapat mengidentifikasi diri sebagai heteroseksual, gay, biseksual, queer, atau dengan orientasi seksual lainnya, yang mengakibatkan berbagai perilaku berisiko seksual di antara kelompok ini. Tujuan umum dari perilaku seksual di antara pria transgender adalah penegasan maskulinitas pasca- transisi mereka, yang menyebabkan banyak orang melakukan seks anal reseptif dengan pria cisgender dan menghindari seks vaginal. Dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa literatur saat ini yang melibatkan HIV dan IMS yang terbukti di laboratorium pada orang transgender terutama dilakukan pada wanita transgender. Sebagian besar, komunitas trans feminim telah dipelajari dalam konteks peserta studi juga menjadi pekerja seks komersial. Meskipun ini adalah populasi yang penting dan sangat rentan, data HIV dan IMS mereka tidak dapat digeneralisasikan untuk semua transgender. Secara tradisional, salah satu subset yang lebih terlihat dari populasi trans-feminim adalah mereka yang terlibat dalam pekerjaan seks komersial, tetapi dalam Survei Diskriminasi Transgender Nasional (NTDS) tahun 2008–2009, 13,1% pria transgender menunjukkan partisipasi seumur hidup dalam pekerjaan seks komersial. Kemudian, dalam penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi HIV dan IMS secara keseluruhan pada pria transgender lebih rendah dibandingkan wanita transgender. Banyak pria transgender serta penyedia layanan kesehatan yang merawat mereka juga merasa bahwa mereka tidak berisiko tinggi tertular HIV atau IMS, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi tingkat tes HIV/IMS. Menurut data survei tahun 2018 dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC), kasus insiden gonore, klamidia, sifilis, dan HIV semuanya tertinggi di Amerika Serikat Tenggara dibandingkan dengan wilayah lain. Mengingat dampak signifikan HIV dan IMS di Amerika Serikat bagian Tenggara, kurangnya data pengujian untuk setiap individu transgender di wilayah tersebut serta di daerah pedesaan memerlukan studi lebih lanjut untuk lebih memahami epidemiologi penyakit ini secara regional. Seperti yang telah dijelaskan, Wanita transgender dipelajari secara tidak proporsional lebih baik daripada laki-laki transgender, yang ditemukan memiliki prevalensi HIV hingga 8,3%. Beban HIV yang tinggi di antara wanita transgender ini sangat mengkhawatirkan, tetapi penting untuk diingat bahwa data ini sangat bervariasi di sejumlah kecil penelitian. Terlepas dari rekomendasi CDC dan Gugus Tugas Layanan Pencegahan Amerika Serikat (USPSTF) untuk skrining HIV universal pada semua orang dewasa dan setidaknya skrining tahunan pada orang dewasa berisiko tinggi, pengujian di antara pria dan wanita transgender rendah. Secara historis, risiko penularan HIV pada pria transgender kebanyakan telah diremehkan. Namun, beberapa faktor risiko HIV telah dikaitkan dengan pria transgender, termasuk kurangnya akses ke jarum suntik intramuskular untuk suntikan testosteron, hubungan seks tanpa kondom, dan keyakinan dalam masyarakat bahwa mereka tidak berisiko terinfeksi. Beberapa studi kualitatif melaporkan bahwa LSL transgender mungkin memiliki prevalensi HIV yang lebih tinggi daripada laki-laki dan perempuan cisgender. Namun, belum ada yang mengetahui bagaimana transgender dipengaruhi oleh HIV, terutama melalui analisis perilaku yang dapat membantu memandu intervensi pencegahan. Trikomoniasis adalah IMS non- virus yang paling umum di seluruh dunia. Belum ada satu pun penelitian yang termasuk dalam tinjauan peneliti berisi data pengujian untuk trikomoniasis, tetapi penting untuk memahami bagaimana IMS ini mempengaruhi populasi transgender, mengingat potensi gejala sisa dari infeksi yang tidak diobati, seperti morbiditas reproduksi yang serius (yaitu, vaginitis, servisitis, uretritis, dan penyakit radang panggul), hasil kelahiran yang buruk (yaitu, ketuban pecah dini, berat badan lahir rendah, dan kelahiran prematur), dan penularan HIV yang meningkat.