Anda di halaman 1dari 3

Determinan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Anak Balita di Wilayah

Kerja Puskesmas Siak Hulu II, Kabupaten Kampar

Agus Alamsyah, Tri Kurniya, Ikhtiyaruddin Ikhtiyaruddin, Zulmeliza Rasyid, Yuyun


Priwahyuni dan Cristine Vita.
Department of Public Health Sciences, STIKes Hang Tuah, Pekanbaru, Indonesia
Vol.09 & Page. 59-63

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada anak merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang signifikan, terutama di negara berkembang. Sesuai perkiraan Organisasi
Kesehatan Dunia, ISPA menyebabkan 3,9 juta kematian di seluruh dunia setiap tahunnya. Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang signifikan
yang diakui secara luas sebagai penyebab utama kematian dan kesakitan pada anak balita. ISPA
terus menjadi kontributor tunggal terbesar untuk morbiditas pada anak-anak dan bertanggung
jawab untuk sekitar 70% dari morbiditas balita di negara berkembang. Sekitar 3,5% dari beban
penyakit global disebabkan oleh ISPA. Angka kematian balita akibat pneumonia masih lebih
tinggi dibandingkan angka kematian anak yang disebabkan oleh penyakit menular lainnya yang
dapat dicegah. Selain itu, ISPA juga sering menempati urutan pertama dalam daftar 10 infeksi
terbanyak di rumah sakit dan puskesmas.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara berat lahir dengan kejadian
non-pneumonia pada balita di Puskesmas Siak Hulu II, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten
Kampar. Balita dengan BBLR memiliki risiko 4,8 kali lebih besar menderita ISPA non-
pneumonia dibandingkan balita yang memiliki berat badan lahir rata-rata (bukan BBLR). Ibu
hamil harus makan makanan bergizi, makan buah dan sayuran, makanan sehat, dan asupan
vitamin untuk mencegah terjadinya BBLR saat lahir karena dapat menempatkan balita pada
risiko ISPA dan infeksi lainnya. Malnutrisi pada anak berpotensi meningkatkan risiko ISPA
selama 2 tahun pertama setelah dilahirkan. Faktor lain yang berhubungan positif dengan ISPA
adalah jenis kelamin laki-laki, BBLR, ibu bekerja, dan lingkungan dalam ruangan yang berisiko
tinggi.
Anak balita yang dekat dengan lingkungan yang penuh asap rokok memiliki risiko 4,6
kali lebih besar menderita ISPA non-pneumonia dibandingkan balita yang tidak terpapar asap
rokok. Rokok memiliki efek yang sangat merugikan bagi perokok aktif atau perokok pasif,
terutama balita yang secara tidak sengaja terpapar asap rokok. Dampak paparan asap tembakau
pasca-melahirkan ini mungkin juga sangat besar, yang menyebabkan kesehatan pernapasan yang
lebih buruk. Lingkungan yang berpaparan asap tembakau merupakan faktor risiko yang diakui
untuk penyakit pernapasan akut dan kronis. Faktor ekologi dan standar perumahan berperan
penting dalam penularan ISPA pada anak. Masalah ISPA lebih banyak terjadi di daerah
perkotaan, terutama daerah kumuh dibandingkan di daerah pedesaan.
Hasil lain dari penelitian ini menunjukkan bahwa balita yang suka jajan sembarangan
memiliki risiko 3,9 kali lebih besar menderita ISPA non-pneumonia dibandingkan balita yang
tidak mau jajan sembarangan. Kebiasaan jajan juga menjadi bagian tak terpisahkan dari
kehidupan anak. Makanan jajanan di lingkungan sekolah bervariasi, seperti gorengan dan
minuman ringan. Jajanan tersebut dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan karena
terkontaminasi dan tidak higienis. Malnutrisi mempengaruhi beban gejala yang berhubungan
dengan ISPA. Tidak hanya itu, mengenai hubungan pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA non-
pneumonia pada balita di Puskesmas Siak Hulu II, Kabupaten Siak Hulu, Kabupaten Kampar,
balita yang memiliki ibu dengan pengetahuan kurang memiliki risiko 4,1 kali lebih besar
menderita ISPA non-pneumonia dibandingkan balita yang memiliki ibu dengan pengetahuan
tinggi. Banyak faktor sosial ekonomi dan faktor lainnya antara lain usia anak, pendapatan rumah
tangga, kondisi rumah tangga, pendidikan orang tua, usia ibu, dan faktor lain yang berhubungan
dengan ISPA.
Adapun hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian non-pneumonia pada balita
di Puskesmas Siak Hulu II, Kabupaten Siak Hulu, Kabupaten Kampar. Anak-anak dari ibu
remaja dan anak-anak kurang gizi juga diamati memiliki risiko lebih tinggi terkena ISPA. Balita
yang tidak diberi ASI eksklusif memiliki risiko 3,7 kali lebih besar menderita ISPA
dibandingkan balita yang hanya diberi ASI saja. Mencegah penyakit ISPA pada anak harus
dilakukan sejak dini. Upaya saat ini harus fokus pada pengurangan ISPA, salah satunya dapat
dilakukan dengan mengevaluasi dampak dan vaksin pneumokokus dalam program rutin
penguatan sistem imunisasi. Selain itu, dapat dilakukan perbaikan kondisi lingkungan yang dapat
membantu menurunkan ISPA pada balita di masyarakat. Upaya intervensi kelompok perlu
dilakukan untuk mencegah ISPA. Intervensi berbasis masyarakat berfokus pada perbaikan
kondisi perumahan, pengurangan penggunaan bahan bakar, peningkatan asupan makanan yang
cukup dan seimbang, termasuk pemberian ASI eksklusif untuk bayi, dan pengobatan dini ISPA.
Intervensi seperti menyediakan pintu keluar asap dan jendela di kamar tidur dapat membantu
mengurangi beban ISPA.

Anda mungkin juga menyukai