Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS BEDAH

STRUMA NODOSA NONTOKSIK (SNNT)

Disusun oleh :
dr. Gladys Intan Kirana Nugraha
Dokter Internsip RSU Islam Harapan Anda

Dokter Pendamping :
dr. Dyah Ayu Putri Rizki A, Sp. A, M. Kes
dr. Namira

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM ISLAM HARAPAN ANDA
KOTA TEGAL
JAWA TENGAH

2018
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan serta disetujui laporan kasus dengan judul:

STRUMA NODOSA NONTOKSIK (SNNT)

Oleh:
dr. Gladys Intan Kirana Nugraha
Dokter Internsip RSU Islam Harapan Anda

Program Internsip Dokter Indonesia


Rumah Sakit Umum Islam Harapan Anda
Kota Tegal
Jawa Tengah

Tegal, April 2019


Mengetahui,

Dokter Pendamping,

Dokter Pendamping, Dokter Penanggung Jawab

dr. Dyah Ayu Putri A, Sp. A, M. Kes dr. Agus Priyadi, Sp. B

2
I. LAPORAN KASUS

Nama Peserta : Presenter :


dr. Gladys Intan Kirana Nugraha dr. Gladys Intan Kirana Nugraha
Nama Wahana : Pendamping :
RSU Islam Harapan Anda Tegal 1. dr. Namira
2. dr. Dyah Ayu Putri Rizki A., Sp. A, M. Kes
Topik : Struma Nodosa Non Toksik (SNNT)
Tanggal (Kasus) : 4 April 2019
Nama Pasien : No. RM : 324226
Nn. NA
Tanggal Presentasi : Pendamping :
1. dr. Namira
2. dr. Ayu Amelia, Sp. A, M. Kes
Tempat Presentasi : Aula Pertemuan / Ruang MCU RSU Islam Harapan Anda Tegal
OBJEKTIF PRESENTASI
 Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran  Tinjauan Pustaka
 Diagnostik  Manajemen  Masalah  Istimewa
 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja  Dewasa  Lansia  Bumil
Deskripsi :
Seorang perempuan usia 22 tahun datang ke Poli Bedah RSU Islam Harapan Anda pada hari
Selasa, 26 Maret 2019 dengan keluhan benjolan di leher sebelah kanan. Adanya benjolan mulai
disadari sejak kurang lebih 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengaku benjolan tidak
terasa nyeri, namun pasien mengeluh rasa tertekan di tenggorokan dan sedikit nyeri saat menelan.
Tidak ada keluhan demam. Pasien juga menyangkal perasaan sesak. Pasien kemudian dijadwalkan
untuk melakukan pemeriksaan hormon tiroid keesokan harinya dan dijadwalkan untuk menjalani
operasi pada tanggal 4 April 2019.
Tujuan :
Mengetahui segala aspek tentang penyakit pasien dan penanganannya
Bahan
 Tinjauan Pustaka  Riset  Kasus  Audit
Bahasan
Cara  Presentasi
 Diskusi  E-mail  Pos
Membahas dan Diskusi

1
HASIL PEMBELAJARAN

A. SUBYEKTIF
1. Riwayat Penyakit Sekarang:
Seorang perempuan usia 22 tahun datang ke Poli Bedah RSU Islam
Harapan Anda pada hari Selasa, 26 Maret 2019 dengan keluhan benjolan
di leher sebelah kanan. Adanya benjolan mulai disadari sejak kurang
lebih 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengaku benjolan
tidak terasa nyeri, namun pasien mengeluh rasa tertekan di tenggorokan
dan sedikit nyeri saat menelan. Tidak ada keluhan demam maupun
perasaan sesak. Keluhan berdebar-debar, gemetaran, sering berkeringat,
dan penurunan berat badan disangkal. Pasien kemudian dijadwalkan
untuk melakukan pemeriksaan hormon tiroid keesokan harinya dan
dijadwalkan untuk menjalani operasi pada tanggal 4 April 2019.
2. Riwayat Penyakit Dahulu:
a. Riwayat penyakit TB disangkal.
b. Riwayat penyakit jantung disangkal.
c. Riwayat penyakit kencing manis disangkal.
d. Riwayat penyakit asma dan alergi disangkal.
e. Riwayat penyakit keganasan disangkal.
3. Riwayat Penyakit Keluarga:
a. Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal.
b. Riwayat penyakit jantung, ginjal, kencing manis, darah tinggi tidak
diketahui.
4. Riwayat Pengobatan:
Pasien tidak sedang menjalani pengobatan penyakit tertentu.
5. Sosial Ekonomi:
Pasien merupakan seorang lulusan baru sebuah perguruan tinggi, sehari-
hari beraktivitas dirumah dan belum memiliki pekerjaan. Pasien
menggunakan jaminan kesehatan nasional.

2
B. OBYEKTIF
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum: baik
b. Kesadaran: kompos mentis, GCS E4M6V5 = 15
c. Tanda Vital
1) TD : 110/70 mmHg
2) RR : 16 x/menit
3) Nadi : 68 x/menit, regular
4) Suhu : 36.6o C (axiler)
d. Status Generalis
1) Kepala : mesocephal
2) Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
3) Hidung : nasal discharge (-), nafas cuping hidung (-)
4) Mulut : bibir pucat (-), bibir sianosis (-)
5) Telinga : discharge (-)
6) Leher : teraba benjolan di regio colli dextra, ukuran
4x3x2cm, batas tegas, teraba lunak, hiperemis (-),
hangat (-), nyeri tekan (-)

7) Thoraks
a) Inspeksi : simetris, retraksi (-/-)
b) Perkusi
Pulmo : seluruh lapang pulmo sonor
Cor : batas cor dan pulmo
kiri atas SIC II linea parasternal sinistra

3
kanan atas SIC II linea parasternal dextra
kiri bawah SIC IV linea parasternal sinistra
kanan bawah SIC V linea midclavicula sinistra
c) Palpasi : vocal fremitus simetris, thrill ictus cordis (-)
d) Auskultasi
Pulmo : suara dasar vesikuler +/+ ronki -/- wheezing -/-
Cor : suara I dan II reguler, murmur (-) gallop (-)
8) Abdomen
a) Inspeksi : datar
b) Auskultasi : bising usus (+) normal
c) Perkusi : timpani
d) Palpasi : nyeri tekan (-)
9) Ekstremitas:
Superior Inferior
Edema -/- -/-
Akral hangat +/+ +/+
Sianosis -/- -/-
Anemis -/- -/-
Clubbing
-/- -/-
finger
Capillary refill <1 detik <1 detik

2. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
LABORATORIUM DARAH
26 Maret 2019
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Seroimunologi
TSHs 2.7 uIu/mL Hipertiroid: <=0.27
Eutiroid: 0.28 – 4.7
Hipotiroid: >=4.8

LABORATORIUM DARAH
04 April 2019
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Darah Rutin
Hemoglobin 13.1 g/dl 11.7-15.5
Leukosit 9.600 sel/uL 3.800-10.600
Trombosit 285.000 sel/uL 150.000-440.000
Eritrosit 4.13 juta sel/uL 4.4 juta – 5.0 juta

4
Hematokrit 35.2 % 35-47
Indeks Eritrosit
MCH 31.7 Pg 26-34
MCV 85.2 fL 80-100
MCHC 37.2 g/dL 32-36
Hitung Jenis
Lym 25.3% % 20-40
Mxd 7.4% % 0-10
Neut 67.3% % 50-70
Kimia Klinik
Glukosa sewaktu 81 mg/dl 74-110
Sero Imunologi
HbsAg (-) (-)
HIV ICT (-) (-)
Koagulasi
Waktu Pembekuan/CT 4.00
Waktu Pendarahan/BT 1.80

b. Rontgen Thorax

Hasil pemeriksaan:
Thorax :
Cor : baik
Pulmo : Corakan bronchovascular increased
Rad : Post bronchitis chronis alergi

C. ASSESMENT
- Struma Nodosa Non Toksik (SNNT)

D. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

5
1. Tiroiditis
2. Kanker tiroid

E. PLAN
- Infus RL 20 tpm
- Pro strumektomi

F. Laporan Operasi
Tanggal Operasi : 04 April 2019
Jam Operasi Dimulai : pk 14.25
Jam Operasi Selesai : pk 15.25
Diagnosa Pre-Operasi : SNNT dextra
Diagnosa Post-Operasi : SNNT dextra
Nama Tindakan Bedah : Strumektomi
Hasil Temuan Operasi : Ditemukan pembesaran struma lobus dextra

A. Instruksi Pasca Operasi


1. Infus RL + Ketorolac 1 amp 20 tpm
2. Inj. Cefotaxime 2x1gr
3. PO. Antalgin 3x500mg
4. PO. Asam tranexamat 3x500mg

6
G. CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN
Jumat, 5 April 2019 - dr. Agus P., Sp. B
Subjektif Objektif Assesment Plan
 Nyeri post op (+) KU/Kes : sakit ringan/CM SNNT post strumektomi - IVFD RL + Ketorolac 1amp 20
 Demam (-) Tanda Vital H+1 tpm
 Pusing (-) TD : 120/80 mmHg HR : 72x/menit - Inj. Cefotaxime 2x1gr
RR : 20x/menit S : 36,2oC - PO. Antalgin 3x500mg
Status Lokalis Regio Colli - PO. Asam tranexamat 3x500mg
a) Inspeksi: kasa (+), darah (-)
b) Palpasi: Nyeri tekan (+) post Op
Minggu, 11 Maret 2018 (10.30) - dr. Agus P., Sp. B
Subjektif Objektif Assesment Plan
 Nyeri post op KU/Kes : sakit ringan/CM SNNT post strumektomi - IVFD RL + Ketorolac 1amp 20
berkurang Tanda Vital H+2 tpm
 Demam (-) TD : 120/80 mmHg HR : 68x/menit - Inj. Cefotaxime 2x1gr
 Pusing (-) RR : 20x/menit S : 36,2oC - PO. Antalgin 3x500mg
Status Lokalis Regio Colli - PO. Asam tranexamat 3x500mg
c) Inspeksi: kasa (+), darah (-) - BLPL
d) Palpasi: Nyeri tekan (+) post Op - Obat pulang :
Cefadroxil 3x500mg (PO)
Vitamin C 3x1 (PO)

7
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh
karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa
gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya. Struma bisa
diklasifikasikan secara fisiologik menjadi eutiroid, hipotiroid, dan hipertiroid
maupun secara klinik menjadi struma toksik dan non-toksik. Kedua tipe struma
dapat diklasifikasikan juga berdasarkan perubahan bentuk anatomi tiroid menjadi
struma nodusa non-toksik, struma nodusa toksik, struma difusa non-toksik, dan
struma difusa toksik (Tallane dkk., 2016).
Menurut Knobel (2015), struma merupakan pembesaran kelenjar tiroid
secara difus atau terlokalisasi. Struma nodosa didefinisikan sebagai pembesaran
kelenjar tiroid dengan terabanya satu buah atau multiple nodul (struma
multinodular). Menurut Santoso dkk. (2004), Struma adalah suatu keadaan
dimana pada pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, disebut struma
nodosa. Struma non toksik yaitu pembesaran kelenjar tiroid tanpa adanya
gangguan fungsi tiroid, yang terjadi bukan karena inflamasi maupun keganasan
(Alkabban and Patel, 2018).

B. KLASIFIKASI STRUMA
1. Berdasarkan Fisiologisnya
Berdasakan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Eutiroidisme
Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang
disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal
sedangkan kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang
meningkat. Goiter atau struma semacam ini biasanya tidak menimbulkan
gejala kecuali pembesaran pada leher yang jika terjadi secara berlebihan
dapat mengakibatkan kompresi trakea.

12
b. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid
sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari
kelenjar untuk mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon.
Beberapa pasien hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang mengalami
atrofi atau tidak mempunyai kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi
radioisotop atau akibat destruksi oleh antibodi autoimun yang beredar
dalam sirkulasi. Gejala hipotiroidisme adalah penambahan berat badan,
sensitif terhadap udara dingin, dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan
lamban, konstipasi, kulit kasar, rambut rontok, mensturasi berlebihan,
pendengaran terganggu dan penurunan kemampuan bicara.
c. Hipertiroidisme
Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat didefenisikan
sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolik
hormon tiroid yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau
adanya sejenis antibodi dalam darah yang merangsang kelenjar tiroid,
sehingga tidak hanya produksi hormon yang berlebihan tetapi ukuran
kelenjar tiroid menjadi besar. Gejala hipertiroidisme berupa berat badan
menurun, nafsu makan meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, lebih
suka udara dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat gejala jantung
berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot
(eksoftalamus), diare, haid tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot.
2. Berdasarkan Klinisnya
Secara klinis pemeriksaan klinis struma dapat dibedakan menjadi sebagai
berikut :
a. Struma Toksik
Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan
struma nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada
perubahan bentuk anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar
luas ke jaringan lain. Jika tidak diberikan tindakan medis sementara
nodusa akan memperlihatkan benjolan yang secara klinik teraba satu atau
lebih benjolan (struma multinoduler toksik). Struma diffusa toksik

13
(tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena jaringan tubuh
dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah. Penyebab
tersering adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophthalmic
goiter), bentuk tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara
hipertiroidisme lainnya. Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh
pasien meskipun telah diiidap selama berbulan-bulan. Apabila gejala-
gejala hipertiroidisme bertambah berat dan mengancam jiwa penderita
maka akan terjadi krisis tirotoksik. Gejala klinik adanya rasa khawatir
yang berat, mual, muntah, kulit dingin, pucat, sulit berbicara dan
menelan, koma dan dapat meninggal.
b. Struma Non Toksik
Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi
menjadi struma diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik. Struma
non toksik disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik. Struma ini
disebut sebagai simple goiter, struma endemik, atau goiter koloid yang
sering ditemukan di daerah yang air minumya kurang sekali mengandung
yodium dan goitrogen yang menghambat sintesa hormon oleh zat kimia.
Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka
pembesaran ini disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa disertai
tanda-tanda hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut struma nodusa
non toksik. Biasanya tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan
berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.

C. ETIOLOGI
Struma non-toksik paling sering diakibatkan kurangnya konsumsi yodium
untuk jangka waktu lama (kronik). Biasanya struma non-toksik menyerang
individu yang bertempat tinggal pada daerah yang kondisi tanah dan air kurang
kandungan yodium seperti daerah pegunungan. Beberapa faktor risiko lain untuk
terjadinya struma non-toksik antara lain: jenis kelamin, usia, dan konsumsi obat-
obatan tertentu, sedangkan ras tidak terlalu berpengaruh dibandingkan status
ekonomi yang rendah di negara nonindustri yang berperan penting dalam
kurangnya konsumsi iodium (Tallane dkk., 2016).

14
Menurut Santoso dkk. (2004), penyebab struma nodosa non toksik
bermacam-macam, pada setiap orang dapat dijumpai masa dimana kebutuhan
terhadap tiroksin meningkat terutama pada masa pertumbuhan, pubertas,
menstruasi, kehamilan, laktasi, menopause, infeksi, atau “stress” lainnya.
Menurut Gabrielyan (2012), penyebab struma non-toksik nodusa sendiri
masih belum diketahui pasti walaupun telah dilaporkan pada beberapa kasus
bahwa kekurangan yodium turut berperan dalam penyakit ini. Berbeda halnya
dengan struma non-toksik difusa dengan etiologi yang telah diketahui secara pasti
yaitu kurangnya asupan yodium.

D. EPIDEMIOLOGI
Penyakit tiroid terjadi bila terdapat gangguan sekresi hormon tiroid,
pembesaran kelenjar tiroid, maupun keduanya. Di antara berbagai penyakit tiroid
salah satunya dikenal dengan struma atau goiter yang merupakan penyakit
kelenjar tiroid tersering di dunia (Tallane dkk., 2016). Di Rumah Sakit Hasan
Sadikin Bandung ditemukan diantara 696 pasien struma, sebanyak 415 pasien
(65%) menderita struma nodosa dan hanya 31 diantaranya yang bersifat toksik
(Santoso dkk., 2004).
Penelitian oleh Tallane dkk. (2016) di RSUP Prof R.D. Kandou Manado
menunjukkan perempuan merupakan jenis kelamin yang paling sering terserang
struma non-toksik dengan perbandingan dengan laki-laki sebesar 5:1. Pada
perempuan lebih banyak kebutuhan fisiologik terutama saat kehamilan, laktasi,
menopause, dan pubertas yang mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan hormon
pada tubuh perempuan. Sifat tubuh yang sensitif terhadap perubahan akan
bereaksi terhadap keadaan ini sehingga kekurangan hormon yodium sering
menyebabkan gangguan pada sistem reproduksi perempuan tetapi tidak pada
laki-laki. Populasi perempuan paling rentan terhadap kejadian struma non-toksik
ialah pada saat hamil, terlebih saat fetus sudah berusia 16-17 minggu karena
sudah dimulainya pembentukan kelenjar tiroid fetus yang mulai mengambil
asupan yodium dari ibu (Shahrani, et al., 2016).
Struma non-toksik dapat menyerang kelompok usia mana saja, walaupun
terjadi paling sering pada beberapa golongan usia tertentu tergantung pada jenis

15
dari perubahan anatomi struma non-toksik tersebut. Walaupun terlihat sporadik,
dapat dilihat angka kejadian struma nontoksik nodusa cenderung meningkat
dengan bertambahnya usia dan cenderung mencapai puncak di decade ke 3 dan 4
yang menunjukkan bahwa risiko terjadinya struma non-toksik nodusa akan
bertambah sejalan dengan usia terlebih pada populasi dengan berusia >40 tahun
yang sering dikaitkan dengan sistem imun tubuh yang mulai menurun. Sumber-
sumber lain melaporkan angka kejadian struma non toksik difusa paling banyak
terjadi pada usia pubertas dan dewasa muda dikarenakan kebutuhan yang
meningkat pada masa tersebut terlebih pada populasi perempuan dan cenderung
menurun dengan bertambahnya usia (Setiati dkk., 2014; Li and Eastman, 2012).

E. PATOMEKANISME
Kelenjar tiroid normalnya memiliki berat sekitar 25 gram. Bentuknya seperti
kupu-kupu terletak di segitiga anterior leher tepat di depan laring dan trakea.
Tiroid terdiri dari lobus kanan dan kiri dan dihubungkan oleh istmus. Kelenjar
tiroid menghasilkan hormon tiroid (tiroksin/T4 dan triiodotironin/T3) sebagai
respon terhadap hormon tirotropik (TSH) dari stimulasi kelenjar hipofisis. Iodium
adalah bahan dasar pembentukan hormon T3 dan T4 yang diperoleh dari
makanan dan minuman yang mengandung iodium. Kelenjar tiroid juga
menghasilkan hormone kalsitonin yang memiliki peran penting dalam
metabolisme kalsium. Dengan penurunan produksi hormon tiroid karena
kekurangan iodium contohnya, pelepasan TSH akan meningkat dan dalam jangka
panjang akan menyebabkan hiperplasia folikel tiroid dan akibatnya terjadi
peningkatan ukuran kelenjar tiroid (Alkabban and Patel, 2018).
Struma nodosa merupakan hasil dari hiperplasia fokal sel folikular pada satu
sisi, atau beberapa sisi pada kelenjar tiroid. Dasar proses dalam goitrogenesis
adalah pembentukan sel-sel folikel yang digunakan untuk membentuk folikel
baru atau untuk memperbesar ukuran folikel yang baru terbentuk. Kekurangan
iodium atau meningkatnya kebutuhan hormon tiroid menyebabkan stimulasi
kelenjar hipofisi yang meningkatkan sekresi TSH. TSH menstimulasi sel-sel
folikel tiroid untuk memproduksi hormone tiroid. Stimulasi jangka panjang

16
secara terus-menerus menyebabkan hiperplasia folikel dan pembesaran tiroid
(Alkabban and Patel, 2018).
Prevalensi struma lebih sering terjadi di kalangan perempuan berhubungan
adanya efek dari estrogen terhadap kelenjar tiroid. Estrogen dapat meningkatkan
kadar thyroid binding globulin (TBG) yang bekerja sebagai transpor T4 dan T3
dalam darah sehingga terjadi penurunan kadar T4 bebas dan T3 bebas. Hal ini
menstimulasi TSH sehingga terjadi hiperplasia kelenjar (struma) sebagai
mekanisme kompensasi membentuk lebih banyak hormon tiroid agar kadar T4
dan T3 serum dapat kembali normal. Hal ini juga berlaku pada proses kehamilan
dan pengguna kontrasepsi oral dimana terjadi peningkatan kadar TBG. Oleh
karena itu perlu diperhatikan dalam menilai kadar T4 total dan T3 total pada
pasien yang diperkirakan terjadi perubahan kadar TBG (Assagaf dkk., 2015).

Gambar 2.1 Kelenjar Tiroid

F. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Kebanyakan penderita struma nodosa non toksik (SNNT) tidak mengalami
keluhan, penderita biasanya datang berobat karena keluhan kosmetik atau
ketakutan akan keganasan. Pembesaran kelenjar dapat ditemukan secara tidak
sengaja oleh pasien atau orang lain yang melihatnya. Beberapa pasien mungkin
mengeluh adanya gejala mekanis yaitu penekanan pada esofagus (disfagia),
trakea (sesak napas), atau suara serak karena kompresi mekanis saraf laring oleh
tiroid yang membesar. Pembesaran tiroid juga mungkin dapat menekan pembuluh

17
darah leher yang menyeabkan hidung tersumbat dan tidak nyaman. Nyeri jarang
terjadi kecuali jika terdapat perdarahan pada nodul (Alkabban and Patel, 2018).
Pada saat pemeriksaan fisik, inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada
di depan penderita yang berada pada posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi
atau leher sedikit terbuka. Jika terdapat pembengkakan atau nodul, perlu
diperhatikan beberapa komponen yaitu lokasi, ukuran, jumlah nodul, bentuk
(difus atau noduler kecil), gerakan pada saat pasien diminta untuk menelan dan
pulpasi pada permukaan pembengkakan. Untuk pemeriksaan palpasi tiroid,
pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba tiroid dengan menggunakan ibu
jari kedua tangan pada tengkuk penderita. Pita suara harus diperiksa dalam kasus
suara serak atau sebelum dan intervensi bedah.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menunjang
diagnosis diantaranya:
1. Tes Fungsi Hormon
Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes
fungsi tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total
tiroksin dan triyodotiroin serum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin
bebas serum mengukur kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik
aktif. Kadar TSH plasma dapat diukur dengan assay radioimunometrik.
Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid.
Kadar tinggi pada pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada di
bawah normal pada pasien peningkatan autoimun (hipertiroidisme). Uji ini
dapat digunakan pada awal penilaian pasien yang diduga memiliki penyakit
tiroid. Tes ambilan yodium radioaktif (RAI) digunakan untuk mengukur
kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap dan mengubah yodida.
2. Pemeriksaan foto rontgen leher, dapat dilakukan dengan tujuan melihat
apakah struma telah menekan atau menyumbat trakea (jalan nafas).
3. Ultrasonografi (USG) dapat memperlihatkan ukuran gondok dan
kemungkinan adanya kista/nodul yang mungkin tidak terdeteksi waktu
pemeriksaan leher. Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran
gondok akan tampak di layar TV. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis
dengan USG antara lain kista, adenoma, dan kemungkinan karsinoma.

18
4. Sidikan (Scan) tiroid
Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif ke dalam
pembuluh darah. Setengah jam kemudian berbaring di bawah suatu kamera
canggih tertentu selama beberapa menit. Hasil pemeriksaan dengan
radioisotop adalah terkaan ukuran, bentuk lokasi dan yang utama adalah
fungsi bagian-bagian tiroid.
5. Biopsi Aspirasi Jarum Halus, dilakukan khusus pada keadaan yang
mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi jarum tidak nyeri, hampir
tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan
ini dapat memberikan hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat.
Selain itu teknik biopsi kurang benar dan pembuatan preparat yang kurang
baik atau positif palsu karena salah intrepertasi oleh ahli sitologi.

G. DIAGNOSIS BANDING
Struma non toksik harus dibedakan dari penyebab lain yang
menyebabkan pembesaran tiroid. Yang terpenting yaitu dapat menyingkirkan
diagnosis keganasan, seperti karsinoma tiroid papiler, karsinoma tiroid
medular, dan limfoma tiroid. Karsinoma tiroid anaplastik mempunyai klinis
pembengkakan yang sangat besar dan terfiksasi (Alkabban and Patel, 2018).
Penyebab lain dari pembesaran tiroid yaitu inflamasi. Tiroiditis
hashimoto, tiroiditis de Quarvain, dan tiroiditis Riedle mengakibatkan
pembengkakan tiroid yang harus dibedakan dari struma non toksik (Alkabban
and Patel, 2018).

H. PENATALAKSANAAN
Struma non toksik biasanya berkembang secara perlahan dan tidak
menimbulkan gejala, sehingga tidak memerlukan pengobatan dan dibiarkan
sambil tetap dipantau perkembangannya. Terapi medis untuk struma non
toksik masih kontroversial karena hanya sedikit atau bahkan tak menunjukkan
hasil pada struma yang sudah berkembang lama. Penatalaksanaan bedah
diindikasikan pada pasien dengan gejala kompresi atau adanya komplikasi.
Tiroidektomi diindikasikan pada struma retrosternal meskipun asimtomatik,

19
karena penundaan tindakan mungkin akan mengakibatkan prosedur bedah
yang lebih rumit di kemudian hari. Ablasi dengan radioiodine merupakan
modalitas terapi lain yang dapat menyebabkan involusi dari struma namun
tindakan ini memiliki lebih banyak komplikasi (Alkabban and Patel, 2018).
Menurut Thakkar (2018), indikasi utama pembedahan yaitu pembesaran tiroid
terkait dengan gangguan kosmetik atau pencegahan komplikasi.
Tiroidektomi merupakan terapi utama untuk struma non toksik yang
menimbulkan gejala dan komplikasi. Tindakan pembedahan ini mencakup
eksisi total atau sebagian kelenjar. Tindakan pembedahan memiliki
keuntungan yaitu angka kekambuhan yang rendah. Namun, terdapat beberapa
komplikasi yang dapat terjadi selama atau setelah dilakukannya tiroidektomi
diantaranya cedera nervus laryngeal recurrent dan hipoparatiroidisme. Juga
pada pasien-pasien yang menjalani tiroidektomi total membutuhkan
suplementasi tiroid seumur hidup (Alkabban and Patel, 2018).
Terapi ablasi dengan iodium radioaktif diindikasikan ketika terdapat
kontraindikasi operasi. Terapi ini dapat menyebabkan reduksi ukuran struma
hingga 40-60% dalam 2 tahun. Iodium radioaktif tersebut berkumpul dalam
kelenjar tiroid sehingga memperkecil penyinaran terhadap jaringan tubuh
lainnya. Tiroiditis radiasi, hipotiroidisme, dan pembesaran ukuran kelenjar
tiroid sementara merupakan komplikasi yang paling umum dari terapi ablasi
dengan iodium radioaktif. Iodium radioaktif diberikan dalam bentuk kapsul
atau cairan yang harus diminum di rumah sakit, obat ini biasanya diberikan
empat minggu setelah operasi, sebelum pemberian obat tiroksin (Alkabban
and Patel, 2018).
Terapi medis untuk struma nontoksik yaitu menggunakan tiroksin.
Selama ini diyakini bahwa pertumbuhan sel tiroid dipengaruhi hormon TSH,
oleh karena itu untuk menekan TSH serendah mungkin diberikan hormone
tiroksin (T4), hormon ini juga diberikan untuk mengatasi hipotiroidisme yang
terjadi pasca operasi pengangkatan kelenjar tiroid. Namun telah terbukti
bahwa terapi medis tidak efektif dalam mengurangi ukuran struma terutama
pada kasus struma yang telah terjadi lama (Alkabban and Patel, 2018).

20
III. KESIMPULAN

Struma disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher


oleh karena pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid
dapat berupa gangguan fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan
morfologinya. Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran
kelenjar tiroid yang dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di
sekitarnya. Di bagian posterior medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan
esophagus. Struma dapat mengarah ke dalam sehingga mendorong trakea,
esophagus dan pita suara sehingga terjadi kesulitan bernapas dan disfagia.
Penatalaksanaan utama struma adalah pembedahan. Pembedahan
seringkali dilakukan dengan alasan gangguan kosmetik dan pencegahan
atau telah terjadinya komplikasi.
Pada laporan kasus ini seorang perempuan berusia 24 tahun datang
dengan keluhan benjolan pada leher sebelah kanan yang baru disadari
sejak 2 bulan terakhir dan dirasa semakin membesar. Berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien
terdiagnosa struma nodular non toksik. Dalam kasus penatalaksanaan
pasien adalah dengan strumektomi.
DAFTAR PUSTAKA

Alkabban, F.M. and Patel B.C. 2018. Goiter, Nontoxic. Treasure Island: StatPearls
Publishing.

Assagaf, S.M., Lumintang N., dan Lampus H. 2015. Gambaran Eutiroid Pada
Pasien Struma Multinodusa Non-Toksik di Bagian Bedah RSUP Dr. R. D.
Kandou Manado Periode Juli 2012-Juli 2014. Jounal e-Clinic volume 3
nomor 3.

Li M and Eastman C.J. 2012. The Changing Epidemiology of Iodine Deficiency.


Nat Rev Endocrinol 8(7): 434-440.

Setiati, S., Alwi I., Sudoyo A.W., Simadibrata M., Setyohadi B., Syam A.F. 2014.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.

Shahrani, S.A., Metwally A.E., Surimi K.A., Salih B.S., Saleh Y., Shehri A.A., et
al. 2016. The Epidemiology of Thyroid Diseases in The Arab World: a
Systematic Review. Academic Journal 8(2): 17-26.

Tallane, S.T., Monoarfa, A., dan Wowiling, P.A.V. 2016. Profil Struma Non
Toksik pada Pasien di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juli
2014-Juni 2016. Jurnal e-Clinic volume 4 nomor 2.

22

Anda mungkin juga menyukai