Anda di halaman 1dari 10

TAFSIR II

A. Ragam Tafsir
1. Tafsir bil-riwayah
Tafsir bil-riwayah atau disebut juga tafsir bil-ma’tsur adalah suatu corak penafsiran
Al-Quran secara tektual dengan menjadikan ayat atau hadits nabi dan para sahabat serta
tabi’in sebagai landasan utama dalam penafsiran.
Ditinjau dari sumbernya corak penafsiran model ini ada empat jenis yakni:
 Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.
 Tafsir Al-Qur’an dengan hadits.
 Tafsir Al-Qur’an dengan pernyataan sahabat.
 Tafsir Al-Qur’an dengan pernyataan tabi’in.

a. Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an


Tidak di ragukan lagi, bahwa sumber atau referensi yang paling kuat untuk
menjelaskan Al-Qur’an, adalah dengan Al-Qur’an itu sendiri. Karena Al-Qur’an berfungsi
untuk  menjelaskan segala sesuatu. Kemudian apabila kita tidak menemukan di dalam Al-
Qur’an, barulah bisa di perjelas dengan Al Hadits
Contoh tafsir Al Qur’an dengan Al Qur’an adalah :
a) Menafsirkan ayat Al Qur’an dengan ayat seterusnya.
Dalam surat Al Baqarah ayat 2 di sebutkan bahwa:
‫ذالك الكتاب ال ريب فيه هدي للمتقين‬
“ Kitab (Al Qur’an) ini tidak di ragukan lagi merupakan petunjuk bagi orang – orang
yang bertaqwa.”
Siapakah orang – orang yang bertaqwa itu? Maka Al Qur’an memperjelas pada ayat
berikutnya
‫الذين يؤمنون بالغيب ويقيمون الصالة وممارزقناهم ينفقون‬
b) enafsirkan ayat Al Qur’an dengan ayat lain (bukan yang seterusnya).
Dalam surat Ad Dukhaan ayat 3 di sebutkan bahwa :
‫انا انزلناه في ليلة مباركة‬
Penafsiran malam penuh berkah adalah malam lailatul qodar, yang di sebutkan dalam
surat Al Qadr ayat 1 :
‫انا انزلناه في ليلة القدر‬
Kemudian di perjelas lagi dalam surat Al Baqarah ayat 185 :
‫شهررمضان الذي انزل فيه القران‬
Maka jelaslah bahwa Al Qur’an di turunkan pada malam berkah yaitu malam lailatul
qodar yang datang pada bulan Ramadhan.
b. Tarsir Al-Quran dangan Sunnah
Penafsiran al quran dengan sunnah didasarkan atas firman Allah (Q.S. An-Nahl : 44) :
‫وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم ولعلهم يتفكرون‬
Berkenaan dengan hal tersebut, Imam Syafii, seperti yang dikutip ibnu taimiyah
mengatakan bahwa, setiap hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW merupakan
pemahaman yang otomatis berasal dari Al-Qur’an. Al-Quran sendiri menyebutkan bahwa
Nabi Muhammad SAW diutus untuk menjelaskan wahyu Al-Qur’an kepada manusia, seperti
hadist yang diriwayatkan Oleh Aisyah “KHULUQUHU AL-QUR’AN” akhlaq Nabi SAW
yaitu sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung didalam Al-Qur’an.
Jadi peran Rasul terhadap Al-Qur’an adalah menjelaskan bagian yang mujmal
(global) dan mengkhususkan yang umm (umum), menjelaskan arti dan kaitan kata tertentu
dalam Al-Qur’an, memberikan kententuan terhadap beberapa aturan yang telah ada dalam Al-
Qur’an seperti zakat, menjelaskan nasakh ( penghapusan ) dan menjelaskan hukum yang ada
dalam Al-Qur’an. Contoh:
            ‫اغير المغضوب عليهم وال الضالين‬
Rasulullah berkata bahwa yang dimaksud Al-Maghdub (orang yang dimurkai) adalah
yahudi, dan Ad-Dholim (orang-orang sesat) adalah kaum nasrani.
c. Tafsir Al-Qur’an dengan pendapat sahabat
Para Ulama berpendapat bahwa orang yang paling memahami Al-Quran setelah
wafatnya Nabi adalah generasi sahabat, karena mereka hidup bergaul dengan Nabi dan secara
langsung menyaksikan proses penurunan wahyu dan menerima langsung penafsiran Nabi
Muhammad SAW.
Untuk itu, jika mufassir tidak mendapatkan penafsiran dari Al-Quran dan tidak pula
dari sunnah, maka seyogyanya ia merujuk pada sahabat terutama yang bersifat simai, seperti
sebab-sebab nuzul dan kisah.
d. Tafsir Al-Quran dengan pernyataan tabiin
Tafsir dengan pernyataan tabiin adalah memindahkan penjelasan yang disampaikan
secara lisan maupun ditulis oleh para tabiin dan diriwayatkan terus-menerus oleh para
mufassir. Perkembangan tafsir ini terbagi menjadi dua yaitu: periode lisan dan periode
tulisan. Periode lisan ialah ketika penafsiran dari nabi dan para sahabat disebarluaskan secara
riwayat. Sedangkan periode tulisan ialah ketika riwayat-riwayat yang sebelumnya tersebar
luas secara lisan mulai dibukukan.
Dalam  kedudukan tafsir tabi’in, para ulama’ berbeda pendapat. Sebagian ulama’ ada
yang berpendapat bahwa tafsir tabi’in adalah termasuk tafsir ma’tsur, karena sebagian besar
pengambilannya secara umum dari sahabat. Sedangkan ulama’ yang lain bahwa tafsir tabi’in
adalah termasuk tafsir ro’yu atau akal, dan kedudukannya adalah sama dengan kedudukan
para mufassir lainnya (selain nabi dan sahabat), karena mereka menafsirkan Al Qur’an hanya
dengan qaidah – qaidah bahasa arab dan tidak berdasarkan pertimbangan dari hadits.
2. Tafsir bi al-Ra’yi
a. Pengertian Tafsir bi al-Ra’yi
Kata al-Ra’y berarti pemikiran, pendapat dan ijtihad. Sedangkan menurut definisinya,
tafsir bi al-Ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an yang didasarkan pada pendapat pribadi
mufassir, setelah terlebih dahulu memahami bahasa dan adat istiadat bangsa Arab.
Tafsir bi al-Ra’yi adalah antonim (lawan) nash dan riwayat. Oleh karena itu, ia
dinamakan dengan tafsir bi al-Dirayah (dengan rasio) sebagai antitesis tafsir bi al-Riwayah
(dengan riwayat). Dan makna al-Ra’yi adalah ijtihad dan olah pikir serta penelitian dalam
memahami al-Qur’an dalam batas pengetahuan tentang bahasa Arab dan dalam kerangka
kewajiban yang harus dipenuhi oleh penafsir al-Qur’an dari perangkat syarat keilmuwan dan
akhlak.
Berdasarkan pengertian etimologi, Ra’yi berarti keyakinan (i’tiqad), analogi (qiyas),
dan ijtihad. Dan ra’yi dalam terminologi tafsir adalah ijtihad. Dengan demikian, tafsir bi al-
Ra’yi disebut juga tafsir bi al-Dirayah. Sebagaimana di definisikan Husen Adz-Dzahabi
adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir yang
telah mengetahui bahasa Arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema
penafsiran, seperti asbab an-nuzul, nasikh-mansukh, dan sebagainya. Al-Farmawi
mendefinisikan tafsir bi al-Ra’yi sebagai penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad setelah mufassir
yang bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang-orang Arab ketika berbicara
dan ia pun mengetahui kosakata Arab beserta muatan artinya.
Menurut al-Shabuni, tafsir bi al-Dirayah berarti tafsir yang berdasarkan ijtihad dengan
berpegang kepada prinsip-prinsip yang benar dan kaidah-kaidah yang benar, yang umum
berlaku, yang wajib dimiliki kepada siapa saja yang mau terjun langsung ke dalam dunia
menafsirkan al-Qur’an, atau siapa saja yang mau menyingkap keterangan-keterangan arti
ayat-ayat al-Qur’an. 
Istilah ra’yun dekat maknanya dengan ijtihad (kebebasan penggunaan akal) yang
didasarkan atas prinsip-prinsip yang benar, menggunakan akal sehat dan persyaratan yang
ketat. Wajib bagi seseorang mufassir memperhatikan secara teliti tentang subyek penafsiran
kitab suci. Al-Qurthubi menyatakan barangsiapa yang mengucapkan sesuatu berdasarkan
pikiran dan kesannya tentang al-Qur’an atau memberikan isyarat-isyarat dengan sengaja
tentang prinsip dasar, ia patut dicap telah melakukan kesalahan dan penyimpangan, dan
kepribadian orang tersebut tidak dapat dipercaya. 
Perlu dicatat, hadis meyatakan: Barangsiapa sengaja berdusta kepadaku maka mereka
adalah tempat baginya, Barangsiapa menafsirkan al-Qur’an berdasarkan pikirannya, maka ia
akan menempati neraka (H.R Turmudzi): dan barangsiapa yang menafsirkan al-Qur’an
dengan pikirannya maka ia telah melakukan kesalahan.
Dari definisi di atas, perlu ditekankan bahwa yang dimaksud ijtihad di sini, bukan
hanya semata-mata ijtihad, atau karena hobi, akan tetapi mempergunakan akal dalam
mufassir tersebut sudah dapat mengetahui ungkapan-ungkapan bahasa Arab dari berbagai
aspeknya, seperti kebiasaan-kebiasaan orang-orang Arab mengungkapkannya, atau
pemakaian kata tersebut, mengetahui asbab an-nuzul, mengetahui nasikh-mansukh dari ayat-
ayat al-Qur’an.
b. Sejarah Kemunculan Tafsir bi al-Ra’yi 
Tafsir bi al-Ra’yi muncul sebagai corak penafsiran belakangan setelah tafsir bi al-
Ma’tsur muncul walaupun sebelum itu ra’yu dalam pengertian akal sudah digunakan para
sahabat ketika menafsirkan al-Qur’an. Apalagi kalau kita melihat bahwa salah satu sumber
penafsiran pada masa sahabat adalah ijtihad. 
Di antara sebab yang memicu kemunculan corak tafsir bi al-Ra’yi adalah semakin
majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai dengan kemunculan ragam disiplin ilmu, karya-
karya para ulama, berbagai metode penafsiran, dan pakar-pakar di bidangnya masing-masing.
Akibatnya, karya tafsir seorang mufassir sangat diwarnai oleh latar belakang ilmu yang
dikuasainya.
Di antara mereka, ada yang lebih menekankan telaah balaghah seperti az-
Zamakhsyari, telaah hukum-hukum syara’ seperti al-Qurthubi, telaah keistemewaan bahasa,
seperti Abi As-Su’ud, atau qira’ah seperti An-Naisaburi dan An-Nasafi, telaah madzhab-
madzhab kalam dan filsafat, seperti Ar-Razi dan telaah lainnya. Hal ini dapat dipahami sebab
di samping sebagai seorang mufassir, seseorang dapat saja ahli dalam bidang fikih, bahasa
filsafat, astronomi, kedokteran, atau kalam.
Kemunculan tafsir bi al-Ra’yi dipicu oleh hasil interaksi umat Islam dengan
peradaban Yunani yang banyak menggunakan akal. Oleh karena itu, dalam tafsir bi al-Ra’yi,
peranan akal sangat dominan.

Pendek kata, berbagai corak tafsir bi al-Ra’yi muncul dikalangan ulama-ulama


mutaakhirin, sehingga di abad modern lahir lagi tafsir menurut tinjauan sosiologis dan sastra
Arab seperti Tafsir al-Manar, dan dalam bidang sains muncul pula karya Jawahir Thanthawi
dengan judul Tafsir al-Jawahir. Melihat, perkembangan tafsir bi al-Ra’yi yang demikian
pesat, maka tepatlah apa yang dikatakan Manna’ Al-Qaththan bahwa tafsir bi al-Ra’yi
mengalahkan perkembangan al-ma’tsur. 
Meskipun, tafsir bi al-Ra’yi berkembang dengan pesat, namun dalam menerimanya
para ulama terbagi dua, ada yang membolehkan dan ada pula yang melarangnya. Tapi setelah
diteliti, ternyata kedua pendapat yang bertentangan itu hanya bersifat lafzhi (redaksional).
Maksudnya kedua belah pihak sama-sama mencela penafsiran yang berdasarkan ra’yi
(pemikiran) semata (hawa nafsu) tanpa mengindahkan kaedah-kaedah dan kriteria yang
berlaku. Penafsiran serupa inilah yang diharamkan oleh Ibn Taymiyah. Sebaliknya, keduanya
sepakat membolehkan penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad yang berdasarkan al-Qur’an dan
sunnah Rasul serta kaedah-kaedah yang mu’tabarat (diakui sah secara bersama).
c. Pembagian Tafsir bi al-Ra’yi 
Selanjutnya para ulama membagi corak tafsir bi al-Ra’yi kepada dua bagian, yaitu
tafsir bi al-Ra’yi yang dapat diterima dan tafsir bi al-Ra’yi yang ditolak.
 Tafsir bi al-Ra’yi al-Mahmudah 
Tafsir bi al-Ra’yi al-Mahmudah ialah tafsir al-Qur’an yang didasarkan dari ijtihad
yang jauh dari kebodohan dan penyimpangan. Tafsir ini sesuai dengan peraturan bahasa
Arab. Karena tafsir ini tergantung kepada metodologi yang tepat dalam memahami ayat-ayat
al-Qur’an. Barangsiapa yang menafsirkan al-Qur’an berdasarkan pikirannya, dengan
memenuhi persyaratan dan bersandarkan kepada makna-makna al-Qur’an, penafsiran seperti
ini dibolehkan dan dapat diterima. Tafsir semacam ini selayaknya disebut tafsir yang terpuji
atau tafsir yang syah.
Tafsir bi al-Ra’yi al-Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan) dengan
beberapa syarat di antaranya: 
Ijtihad yang dilakukan tidak keluar dari nilai-nilai al-Qur’an dan As-Sunnah.
Tidak berseberangan penafsirannya dengan penafsiran bi al-Ma’tsur.
Seorang mufassir harus menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir beserta
perangkat-perangkatnya. Beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan metodologi ini di
antaranya: Tafsir Al-Qurthuby, Tafsir Al-Jalalain, Tafsir Al-Baidhawy. 
 Tafsir bi al-Ra’yi al-Mazmumah 
Tafsir bi al-Ra’yi al-Mazmumah (penafsiran dengan akal yang dicela/dilarang),
karena bertumpu pada penafsiran makna dengan pemahamannya sendiri. Dan istinbath
(pengambilan hukum) hanya menggunakan akal/logika semata yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai syariat Islam. Kebanyakan metode ini digunakan oleh para bid’ah yang sengaja
menafsirkan ayat al-Qur’an sesuai dengan keyakinannya untuk mengajak orang lain
mengikuti langkahnya. Juga banyak dilakukan oleh ahli tafsir periode sekarang ini. 
Di antara contoh kitab tafsir yang menggunakan metode ini adalah Tafsir
Zamakhsyary, Tafsir Syiah Itsna Asyariah, Tafsir As-Sufiyah dan Al-Bathiniyyah. Di antara
contoh digunakannya akal fikiran dan pendapat bagi penafsiran al-Qur’an yaitu: 
1) Golongan Mu’tazilah berkenaan dengan maksud kalimat maqaman mahmudan,
.dijelaskan dalam Q.S. al-Isra’/17: 79. Terjemahnya: “Dan pada sebahagian malam hari
bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-
mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.”
Sementara ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan maqaman mahmudan
(tempat yang terpuji) ialah tempat di mana Allah swt akan mendudukkan Muhammad saw
di atas ‘arsy sebagai ganjaran atas ketahajjudannya. Sedang ahli tafsir yang menggunakan
pendapat (akal) menafsirkan maqaman mahmudan sebagai martabat syafa’at (kedudukan
yang memiliki wewenang untuk memberi pertolongan pada hari kiamat). Alasan mereka
bersandar pada ucapan at-Thabari yang mengatakan bahwa duduk di atas ‘arsy adalah
mustahil.
2) Penafsiran sebagian mufassir terhadap Q.S. An-Nahl/16: 68. Terjemahnya: Dan Tuhanmu
mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit di pohon-pohon kayu
dan di tempat-tempat yang dibikin manusia.”
Mereka berpendapat bahwa di antara lebah itu, ada yang diangkat sebagai Nabi yang
diberi wahyu Allah, dan mereka mengemukakan cerita bohong tentang kenabian lebah.
Sementara itu, sebagian berpendapat, bahwa ada tetesan lilin jatuh ke pohon, kemudian
tetesan itu dipindahkan oleh lebah untuk dijadikan sarang-sarang dan madu.
3) Penafsiran sebagian orang terhadap Q.S. Ar-Rahman/ 55: 33. Terjemahnya: Hai jama’ah
jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka
lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.”
Mereka menduga bahwa ayat di atas mengisyaratkan kemungkinan para ilmuwan
mendarat di bulan dan planet-planet lain, sedangkan konteks ayat sebelum dan
sesudahnya tidak memungkinkan ayat itu mengandung pengertian demikian.
4) Penafsiran sebagin mufassir terhadap Q.S. Al-Humazah/104: 6-7. Terjemahnya: “(yaitu)
api yang sediakan Allah yang dinyalakan, (7) yang membakar sampai ke hati.”
Mereka berpendapat bahwa ayat ini menunjukkan macam-macam sinar yang berhasil
ditemukan pada abad XX dan mampu mendeteksi bagian dalam tubuh manusia. Mereka
memaknai ayat di atas dengan sesuatu yang tidak mungkin jika di hubungkan dengan ayat
sebelum dan sesudahnya. 
Status Tafsir bi al-Ra’yi, Bagaimanakah Tanggapan Ulama?
Tidak bisa dipungkiri kemunculan madrasah-madrasah yang mengajarkan dan
mengembangka tafsir yang lebih mengedepankan akal telah menimbulkan kontroversi di
kalangan ulama-ulama. Dan secara garis besar, mereka terbagi ke dalam dua kelompok,
yaitu: 
a. Kelompok yang menolak 
Menjelang abad II H, corak penafsiran ini belum mendapatkan legitimasi yang luas
dari para ulama yang menolaknya. Ulama yang menolak penggunaan corak tafsir ini
mengemukakan argumentasi, seperti sebagai berikut: menafsirkan al-Qur’an berdasarkan
ra’yi berarti membicarakan firman Allah tanpa pengetahuan. Dengan demikian, hasil
penafsirannya hanya bersifat perkiraan semata. Padahal Allah berfirman dalam Q.S. Al-
Isra’/17: 36.
Terjemahnya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan diminta pertanggunganjawabnya.”
Oleh karena itu, golongan salaf berkeberatan, enggan untuk menafsirkan al-Qur’an
dengan sesuatu yang tidak mereka ketahui. Dari Yahya ibn sa’Id diriwayatkan, dari Sa’id ibn
al-Musayyab, apabila ia ditanya tentang tafsir sesuatu ayat al-Qur’an maka ia menjawab:
“Kami tidak akan mengatakan sesuatu pun tentang al-Qur’an.”
Ulama salaf yang paling keras menentang tafsir bi al-Ra’yi dalah Ibn Taimiyah. Ia
tidak mau mempergunakan ijtihad dalam soal tafsir. Menurutnya, tafsir dengan semata-mata
ijtihad haram hukumnya. Pendirian Ibn Taimiyah yang keras ini ialah pada masa itu timbul
kaum bathiniyah yang mempergunakan hawa nafsunya dalam menetapkan makna-makna al-
Qur’an. Maka untuk membendung aliran tersebut, beliau mempertahankan pokok
pendiriannya.
Lebih lanjut Ibn Taimiyah menegaskan siapapun yang beralih dari madzhab sahabat
dari tabi’in serta penafsiran mereka ke sesuatu hal yang menyalahinya. Ia telah melakukan
perbuatan salah dan bahkan bid’ah, sebab merekalah yang paling mengetahui tentnag tafsir
al-Qur’an dan makna-maknanya sebagaimana mereka pulalah yag lebih mengerti akan
kebenaran yang dibawa oleh misi Rasullullah. Rasulullah saw, Bersada, yang artinya sebagai
berikut: 
“Siapa saja menafsirkan al-Qur’an atas dasar pikirannya semata, atau atas dasar
sesuatu yang belum diketahuinya, maka bersiap-siaplah mengambil tempat di neraka.”
1. Yang berhak menjelaskan al-Qur’an hanyalah Nabi, berdasarkan firman Allah
dalam ..Q.S. An-Nahl/16: 44. “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab, dan Kami
turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat menusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka [829] dan supaya mereka memikirkan.”
2. Adanya tradisi di kalangan para sahabat dan tabi’in untuk berhati-hati ketika
berbicara tentang penafsiran al-Qur’an. Abu Bakar pernah berkata ketika ia ditanya
penafsiran al-Qur’an tentang maksud kata al-abb , Allah berfirman dalam Q.S. Abasa/80: 31.
Terjemahnya: “Dan buah-buahan serta rumput-rumputan.”
Ia menjawab, “Langit manakah yang menaungiku dan bumi manakah yang akan
menyanggaku, jika aku mengatakan tentang Kalamullah sesuatu yang tidak aku ketahui?”
b. Kelompok yang menerima 
Mereka mengemukakan argumentasi seperti berikut ini:
 Di dalam al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang menyerukan untuk mendalami
kandungan al-Qur’an. Umpamanya Allah berfirman dalam Q.S. Muhammad/47: 24.
Terjemahnya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati
mereka terkunci?”
 Seandainya tafsir bi al-Ra’yi itu dilarang, lalu mengapa ijtihad itu diperbolehkan? Nabi
tidak menjelaskan setiap ayat al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa umatnya diizinkan
berijtihad terhadap ayat-ayat yang belum di jelaskan Nabi. 
 Para sahabat sering berselisih pendapat mengenai penafsiran suatu ayat. Ini menunjukkan
bahwa mereka pun menafsirkan al-Qur’an dengan Ra’yi-nya. Seandainya tafsir bi al-
Ra’yi dilarang, tentu tindakan para sahabat itu keliru. 
 Rasullullah pernah berdoa untuk Ibn ‘Abbas. Yaitu: “Ya Allah, berilah pemahaman
agama kepada Ibn ‘Abbas dan ajarilah ia takwil.” 
Seandainya cakupan takwil hanya mendengar dan menuqil riwayat saja, tentunya
pengkhususan do’a di atas untuk Ibn ‘Abbas tidak bermakna apa-apa. Dengan demikian,
maka takwil yang dimaksud dalam doa tersebut adalah sesuatu di luar penukilan, yakni
ijtihad dan pemikiran. 
Syarat-syarat Menjadi Mufassir bi al-Ra’yi 
Seorang mufassir al-Qur’an perlu memiliki kualifikasi (syarat-syarat) dan berbagai
bidang ilmu pengetahuan secara mendalam. Untuk menjadi seorang mufassir yang diakui,
maka ia harus memiliki kemampuan dalam segala bidang. Al-Suyuthi menyebutkan syarat-
syarat dasar sebelum seseorang memulai tafsir al-Qur’an, sebagai berikut:
 Pengetahuan bahasa Arab dan kaidah-kaidah bahasa.
 Ilmu Retorika, (ilmu ma’ani, al-bayan, dan al-badi’u).
 Ilmu Ushul fiqh, (khas, ‘aam, mujmal, dan mufashshal).
 Ilmu asbab al-nuzul (latarbelakang dan hal-hal yang berkenaan dengan turunnya wahyu).
 Ilmu nasikh dan mansukh.
 Ilmu Qiraah Al-Qur’an.
 Ilmu al-mauhibah (gifted Knowledge)
Kriteria-kriteria diatas haruslah dipenuhi mufassir, agar tidak menimbulkan
kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur’an. Sementara itu Ali Hasan al-‘Aridh menambahkan
mengenai enam hal yang harus dihindari oleh mufassir bi al-Ra’yi yaitu: 
 Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki oleh Allah pada suatu ayat,
sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu. 
 Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah (otoritas
Allah semata). 
 Menafsirkan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik
semata-mata berdasarkan persepsinya). 
 Menafsirkan ayat-ayat dengan makna-makna yang tidak dikandungnya. 
 Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu mazhab, dengan cara menjadikan faham
mazhab sebagai dasar, sedangkan penafsiran mengikuti paham mazhab tersebut. 
 Menafsirkan dengan disertai memastikan, bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah
demikian, tanpa didukung oleh dalil. 
Selama mufassir bi al-Ra’yi memenuhi persyaratan dan menjauhi keenam hal
tersebut, dibarengi pula dengan niat dan tujuan yang ikhlas karena Allah, maka penafsirannya
dapat diterima dan pendapatnya dikatakan rasional. Namun bila ia tidak memenuhi kriteria di
atas berarti ia telah menyimpang dan oleh karena itu penafsirannya ditolak. 
Di samping persyaratan di atas, tafsir bi al-Ra’yi juga harus sesuai dengan tujuan
syara’, jauh dari kesesatan dan kebodohan, serta bersandar pada sesuatu yang wajib dijadikan
sandaran, sebagaimana yang dikemukakan oleh as-Suyuthi bahwa sandaran yang harus
dipedomani tersebut yaitu: 
a. Periwayatan dari Rasullullah, berpegang pada hadis-hadis yang bersumber dari Rasullullah
saw, dengan ketentuan ia harus waspada terhadap riwayat yag dhaif (lemah) dan maudhu’
(palsu). 
b. Perkataan sahabat, berpegang pada ucapan sahabat Nabi, karena yang mereka ucapkan
menurut peristilahan hadis, hukumnya mutlak marfu’ (shahih atau hasan), khususnya yang
berkaitan dengan asbab an nuzul dan hal-hal yang tidak dapat dicampuri oleh ra’yu. 
c. Berpegang pada kaidah bahasa Arab, dan harus senantiasa berhati-hati untuk tidak
menafsirkan ayat-ayat yang meyimpang dari makna lafadz yang semestinya. 
Dari uraian di atas terlihat jelas kompleksnya kualifikasi yang harus dimiliki oleh para
mufassir bi al-Ra’yi, sehingga bisa dikatakan bahwa mereka harus memiliki nilai lebih dari
mufassir biasa, karena selain harus memiliki keahlian di bidang ilmu tafsir mereka juga harus
memiliki daya nalar yang tinggi.
Karya-karya Tafsir bi al-Ra’yi dan Tokoh-tokohnya 
Di antara karya tafsir bi al-Ra’yi adalah sebagai berikut: 
 Mafatih al-Ghayb, karya Muhammad bin Umar bin al-Husayn al-Razy, wafat pada tahun
606, terkenal dengan Tafsir al-Razi. 
 Anwar al-Tanzil wa asrar al-Ta’wil, karya ‘Abd Allah bin Umar al-Baydhawi, wafat pada
tahun 685, terkenal dengan Tafsir al-Baydhawi.
 Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil, karya ‘Abd Allah bin Muhammad al-Ma’ruf, wafat
pada tahun 741, terkenal dengan Tafsir al-Khazin. 
 Madarik al-Tanzil wa Haqa’iq al-Ta’wil, karya ‘Abd Allah bin Ahmad al-Nasafi, wafat
pada tahun 701, terkenal dengan Tafsir al-Nasafi. 
 Ghara’ib Al-Qur’an wa Ragha’ib al-Furqan, karya Nizam al-Din al-Hasan Muhammad al-
Nisaburi, wafat pada tahun 728, terkenal dengan Tafsir al-Nisaburi. 
 Irshad al-‘aql al-Salim, karya Muhammad bin Muhammad bin Mustafa al-Tahawi, wafat
pada tahun 952, terkenal dengan Tafsir Abi al-Su’udi. 
 Al-Bahr al-Muhith, karya Muhammad bin Yusuf bin Hayyan al-Andalusi, wafat pada
tahun 745, trekenal dnegan Tafsir Abu Hayyan. 
 Ruuh al-Ma’ani, karya Shahabuddin Muhammad al-Aluusi al-Baghdadi, wafat pada tahun
1270, terkenal dengan Tafsir al-Aluusi. 
 Al-Siraj al-Munir, karya Muhammad al-Sharbini al-Khatib, wafat pada tahun 977,
terkenal dengan Tafsir al-Khatib. 
 Tafsir al-Jalaalayn, karya I. Jalal al-Din al-Mahali, wafat pada tahun 764, dan II Jalal al-
Din al-Suyuti, yang wafat pada tahun 911, terkenal dengan Tafsir al-Jalalayn.

3. Tafsir Bil Isyari


Tafsir Bil Isyari adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata. Kata “isyari”
berfungsi sebagai keterangan sifat bagi kata “tafsir”. Secara etimologis, berasal dari asal kata
(asyara-yusyiru-isyaratan) yang berarti memberi isyarat atau petunjuk. Kata isyarat
mempunyai makna persamaan kata dengan kata “al-dalil”.
Sedangkan, tafsir isyari menurut istilah adalah mentakwilkan Al-Qur’an dengan
makna yang bukan makna lahiriyahnya karena adanya isyarat samar yang diketahui oleh para
penempuh jalan spiritual. Atau hanya diketahui oleh orang yang senantiasa mendekatkan diri
pada Allah dan berkepribadian luhur. Atau, tafsir yang didasarkan pada isyarat-isyarat rahasia
dengan cara memadukan makna yang dimaksud dengan makna yang tersurat.
Tafsir jenis ini juga disebut sebagai al-Tafsîr al-Ṣûfi. Tafsir dengan corak sufistik ini
lahir dari kebiasaan para sufi yang melakukan interaksi dengan Al-Qur’an berdasarkan
keyakinan mereka sebagaimana yang terdapat pada ajaran tasawuf, baik melalui pembacaan,
ataupun perenungan dalam pengalaman spiritual mereka.
Para sufi pada umumnya berpedoman pada hadis Rasulullah Saw:
 ‫لكل أية ظهر و بطن و لكل حرف حد ولكل حد مطلع‬
Artinya: “Setiap ayat itu mempunyai makna dhahir dan batin, dan  setiap  huruf  itu
mempunyai batasan dan setiap batasan ada tempat melihatnya.”
Hadis di atas merupakan dalil yang digunakan oleh para sufi untuk menjustifikasi
tafsir mereka yang eksentrik. Menurut  mereka, di balik  makna zahir dalam redaksi teks Al-
Qur’an, tersimpan makna yang hanya bisa diungkapkan secara batin. Mereka menganggap
penting makna tafsir Isyari. Mereka mengklaim bahwa  penafsiran seperti itu bukanlah unsur
asing (ghaib) melainkan sesuatu yang indera dengan Al-Qur’an. (Abidu, 2007:54).
Ada beberapa contoh ayat Al-Qur’an yang menggunakan corak tafsir bil Isyari, dan
bahkan pernah terjadi pada zaman sahabat. Seperti contoh dalam Q.S Al-Maidah (5): 3 yang
berbunyi
‫ت لَـ ُك ُم ااۡل ِ ۡساَل َم ِد ۡينًا‬ ُ ‫اَ ۡليَ ۡو َم اَ ۡك َم ۡل‬
ُ ۡ‫ت لَـ ُكمۡ ِد ۡينَ ُكمۡ َواَ ۡت َمم‬
ِ ‫ت َعلَ ۡي ُكمۡ نِ ۡع َمتِ ۡى َو َر‬
ُ ‫ض ۡي‬
“Pada hari ini telah aku sempurnakan agamamu untukmu dan telah aku cukupkan ni’mat-Ku
bagimu, dan telah aku ridhoi Islam sebagai agamamu”
Pada saat itu, semua sahabat Rasulullah sangat gembira menerima kabar dari ayat ini.
Namun, tidak dengan Umar Ibn Khathab. Dia malah menangis. Kemudian pada saat
bersamaan,  Rasulullah bertanya, “Wahai Umar, mengapa engkau menangis?” Umar Ibn
Khathab menjawab, “Ayat itu membuatku menangis, karena kita mendapatkan agama kita
telah sempurna. Namun, apabila kesempurnaan itu telah datang, maka kekurangan akan
segera tiba. Umar saat itu merasakan ajal Rasulullah akan segera tiba. Rasulullah,
“Perkataanmu benar, wahai Umar.
Di sini kita dapat melihat bahwa umar secara tidak sadar melakukan tafsir bil isyari
karna ia tau makna zahir yang terpendam ayat tersebut.” Pendapat Ulama Mengenai Tafsir
Bi-Isyari’ Banyak ikhtilaf dikalangan ulama. Ada yang memperbolehkannya tetapi dengan
syarat, dan sebagian lain ada yang menolaknya secara terang-terangan (Az-Zarqani:546).
Ulama yang Menerima Tafsir Isyari :
1. Imam al-Alûsi dan al-Naisâbûri. Mereka menerima penafsiran berdasarkan isyarat, yang
mana mereka dahulu hanya mencurahkan perhatiannya pada tafsir secara zahir. Namun,
kemudian mereka beralih kepada tafsir isyari namun tetap dengan syarat-syarat yang jelas
dan tidak melenceng.
2. Imam Sahl al-Tustari. Mereka menerima tafsir isyari dan juga memfokuskan perhatiannya
terhadap penafsiran dengan metode isyari. Namun kadang-kadang, ia juga memasukkan
makna makna yang zhahir.
3. ‘Abdurrahman al-Sulami. Ia merupakan ulama yang bahkan bisa dibilang sangat fanatik
dengan tafsir isyari, kenapa? Karena ia mencurahkan semua perhatiannya kepada tafsir
tersebut dan bahkan, memalingkan perhatiannya kepada makna makna yang zahir.
Keempat, Imam Ibn al-‘Arabi. Bisa dibilang ia menerima tafsir isyari, namun ia juga
menggabungkan tafsir isyari dengan tafsir nazhari falsafi.
Ulama yang menolak yaitu :
1. Badruddin Muhammad Ibn Adbullah Az-Zarkasyi. Ia juga termasuk ulama yang tidak
menerima tafsir bil isyari, bahkan beliau pernah mengatakan bahwa, “Kalaupun perkataan
orang sufi yang menafsirkan Al-Qur’an itu bukanlah tafsir, melainkan hanya suatu makna
penemuan yang belum pasti benar yang mereka peroleh ketika membaca”.
2. Imam Abû Su’ud, al-Baidhawi, dan al-Nasafi an-Nasafi. Mereka ini ulama yang sudah
puas dan mencukupkan dirinya kepada tafsir zahir dan mereka tidak ada sedikitpun untuk
mempelajari atau beralih kepada tafsir bil isyari.
3. “As-Suyuti” menolak karena menurutnya, “Al-Qur’an itu mengandung semua ilmu, baik
yang lahir maupun batin. Kemukjizatan Al-Qur’an itu tidak akan pernah habis oleh apa
pun. Dan puncak tujuannya itu tidak terjangkau oleh siapapun. Barangsiapa yang
menyelami dengan penuh kelembutan, maka ia akan selamat. Namun, jika ia menyelami
dengan cara pemikiran yang liar, maka ia akan pasti terjerumus”.

Anda mungkin juga menyukai