Anda di halaman 1dari 5

MELAWAN RADIKALISME DAN TERORISME

DI NEGARA HUKUM (RECHSTAAT)
Oleh : Fadliyanoor
 
Radikalisme dan Terorisme telah muncul sejak lama, namun
peristiwa peledakan bom akhir-akhir ini seakan mengantarkan
fenomena ini sebagai "musuh kontemporer". Banyak pihak
mengembangkan spekulasi bahwa terorisme berpangkal dari
fundamentalisme dan radikalisme agama. Tak heran jika
kemudian persoalan agama seringkali dijadikan 'kambing hitam'.
Tindak Pidana Terorisme Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi
unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini. Perbuatan
yang dimaksud adalah perbuatan melawan hukum secara
sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan
bangsa dan Negara dengan membahayakan bagi badan, nyawa,
moral, harta benda dan kemerdekaan orang atau menimbulkan
kerusakan umum atau suasana teror atau rasa takut terhadap
orang secara luas, sehingga terjadi kehancuran teradap objek-
objek vital yang strategis, kebutuhan pokok rakyat, lingkungan
hidup, peradaban, rahasia Negara, kebudayaan, pendidikan,
perekonomian, teknologi, perindustrian, fasilitas umum, atau
fasilitas internasional.
Subjek hukum tindak pidana terorisme menurut Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme dapat dilakukan oleh Setiap orang
perseorangan, kelompok orang baik sipil, militer, maupun polisi
yang bertanggung jawab secara individual, atau korporasi. Dalam
rumusan Pasal tersebut menyatakan bahwa subjek pelaku dalam
tindak pidana terorisme adalah setiap orang yang didefinisikan
sebagai seseorang, beberapa orang atau korporasi dan kelompok
tersebut terdiri dari orang sipil ataupun militer maupun polisi yang
bertanggung jawab secara individual atau korporasi.
Seseorang atau setiap orang (beberapa orang atau korporasi)
sebagai subjek tindak pidana terorisme dipertegas pada Bab III
Tindak Pidana Terorisme dalam rumusan Pasal 6 Undang-
undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme yang berbunyi :
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan
atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa
takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban
yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau
hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan
kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang
strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun.”
Sedangkan pengertian radikal yang berasal dari kata ”radix”
(akar) menurut Sarlito Wirawan adalah suatu perbuatan atau
perasaan yang positif terhadap segala sesuatu yang bersifat
ekstrim mengenai suatu kepercayaan dan keyakinan atau
ideologi yang dianutnya sampai ke akar-akarnya. Pengertian
terorisme dan radikalisme memang beragam, namun keduanya
secara esensial memiliki kesamaan dengan adanya pertentangan
yang tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok
tertentu di satu pihak dengan tatanan nilai yang berlaku saat itu
atau yang dianggap musuh.
Peristiwa teror bom Bali dan bom di Jakarta beberapa waktu lalu
menyadarkan berbagai kalangan bahwa pemberantasan tindak
pidana terorisme di Indonesia masih menjadi tugas besar yang
harus segera diselesaikan. Seperti halnya kasus Serangan di
Jakarta pada Tahun 2016 merupakan serentetan peristiwa
berupa sedikitnya enam ledakan, dan juga penembakan di
daerah sekitar Plaza Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta
Pusat, DKI Jakarta, Indonesia pada tanggal 14 Januari 2016.
Berbagai kemungkinan motif teror memang sepatutnya perlu
diwaspadai. Karena kenyataannya diakui atau tidak terorisme
nyata-nyata terus menghantui, walaupun beberapa pelaku aksi
terorisme sudah ditemukan. Dari sekian peristiwa peledakan bom
yang terjadi, adanya motif yang bernuansa agama memang tak
bisa dipungkiri. Terlepas dari berbagai motif itu, penting pula
untuk melihat terorisme dari "perspektif lain". Perspektif baru
mengenai teror seringkali dibuat terlalu sederhana atau bahkan
simplistis. Namun dalam konteks lain, teror sejatinya tidak
semestinya hanya dipandang sebatas peristiwa peledakan bom,
tapi juga teror lainnya yang juga mengancam rasa aman
masyarakat.      
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sebagai basic law atau norma hukum tertinggi telah memuat
pasal-pasal yang menjamin perlindungan, pemajuan,
penegakkan, dan pemenuhan HAM. Karena letaknya dalam
konstitusi, maka ketentuan - ketentuan mengenai HAM harus
dihormati dan dijamin pelaksanaanya oleh negara maupun
kelompok individu. Dari sekian banyak pasal-pasal yang
mengatur perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan
Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945. Menurut saya, jaminan
HAM yang paling sering dilanggar/disimpangi, baik oleh negara
maupun kelompok individu adalah Hak atas Rasa Aman.
Menurut UUD 1945 pada amandemen yang ke-II sudah secara
tegas memasukkan hak atas rasa aman ini di dalam pasal 28A-
28I. Khususnya Pasal 28G ayat (1) yang berbunyi :
1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan
dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi.
Setiap warga Negara berhak untuk mendapatkan perlindungan
dari Negara baik bagi dirinya sendiri, keluarga, kehormatan
maupun martabat dan harta benda yang dia miliki dibawah
kekuasaannya. Setiap orang pun berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman untuk berbuat atau bertindak yang
tidak sesuai dengan hak asasi manusia. Dan bagi orang yang
melakukan kekerasan ataupun mencoba untuk melakukan
tindakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, maka orang
tersebut dapat dipidanakan dan mendapatkan hukuman yang
telah diatur oleh Negara tersebut. Warga Negara pun berhak
untuk bebas dari tindakan penyiksaan dan perlakuan yang dapat
merendahkan derajat dan martabat manusia. Dan untuk
melindungi warganya, maka negara membentuk lembaga di
bidang hukum untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan dan
kejahatan di masyarakat. Setiap warga negara pun berhak
memperoleh suaka politik dari negara lain.
Peran negara dalam menjamin rasa aman warga negara menjadi
demikian vital. Karena itu, beragam peristiwa yang melahirkan
ketidakamanan seperti teror peledakan bom perlu mendapat
perhatian tersendiri. Negara harus benar-benar serius memikirkan
upaya untuk melawan radikalisme dan terorisme yang kini kian
menggejala. Bila dicermati secara mendalam akar penyebab
munculnya aksi terorisme sangat rumit dan kompleks. Berbagai
faktor yang menyangkut masalah transnasional dan kehidupan
politik dunia bisa jadi penyebab dan pemicu terjadinya terorisme.
Secara umum faktor yang terjadi adalah faktor ketidakadilan itu
terjadi di berbagai belahan dunia baik secara sosial, politik,
ekonomi, maupun budaya. Berbagai faktor ketidakadilan tersebut
akan memicu faktor radikalisme. Radikalisme akan dipermudah
oleh rendahnya pendidikan, kemiskinan, budaya, dan kehidupan
sosial. Keterbelakangan pendidikan, perubahan politik,
kemiskinan atau rendahnya peradaban budaya dan sosial
seseorang akan memicu radikalisme yang berujung pada
kekerasan, ekstrimisme dan terorisme.
Terorisme tergolong sebagai sebuah bentuk kejahatan, bahkan
dapat dikatakan kejahatan yang terorganisir. Terorisme tentu
bukan sesuatu yang muncul dari ruang hampa. Dia memerlukan
kultur tertentu untuk tumbuh. Meskipun banyak faktor pendukung
yang menyebabkan terjadinya terorisme, namun ada beberapa
hal yang paling mendasar yang menyebabkan terjadinya
terorisme, diantaranya adalah Ideologi dan teologi. Kedua faktor
tersebut merupakan hal yang paling fundamental dalam
pergerakan terorisme, karena ideologi dan teologi adalah alasan
untuk seseorang dalam melakukan tindakan radikal yang
menguntungkan kelompoknya sendiri, tentu saja dalam sebuah
aksi terorisme mereka sangat memerlukan anggota, oleh sebab
itulah melalui doktrin-doktrin radikalisme dan terorisme yang
mereka ajarkan pada para anggota yang mereka rekrut.
Saat ini Indonesia memiliki dua undang-undang untuk menjerat
teroris dan anggota kelompok radikal, yaitu Payung hukum dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Disini apakah eksistensi kedua undang-undang
tersebut cukup memadai dalam melakukan pencegahan aksi
terorisme atau memang perlu direvisi karena memang perubahan
yang sangat cepat. Jawabannya dapat kita lihat dan rasakan
pada masa sekarang ini. Karena itu tidak ada jalan lain kecuali
Pemerintah terus berupaya menegakkan keadilan di masyarakat
dan pemerataan pembangunan di segala bidang. Ideologi radikal
mudah terbentuk dan berkembang mekar di masyarakat yang
ketimpangan sosial ekonominya sangat tajam. Pemerintah kita
juga aktif mengkampanyekan tata hubugan dunia yang makin
berkeadilan. Sekalipun demikian, solusi ekonomi saja tidak cukup
mengatasi kompleksitas radikalisme. Semoga bukan hanya para
Penegak Hukum yang menegakan peraturan-peraturan tapi juga
peran serta masyarakat dan kesadaran hukum pada diri masing-
masing.
 

Anda mungkin juga menyukai