ULUMUL HADIST
Hadist Ditinjau Dari Segi Kualitas ( Hadist maqbul)
Di Susun Oleh :
FAKULTAS TARBIYAH
TAHUN 2021
Daftar Isi
A. …………………………………… 3
A. Simpulan …………………………………………………… 8
B. Saran ………………………………………………………… 9
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hadits dari segi kualitasnya terbagi menjadi dua macam yaitu hadits maqbul dan hadits mardud.
Adapun hadits maqbulialah hadits yang unggul pembenaran pemberitaannya, dalam hal ini hadits
maqbul ialah hadits yang mendapat dukungan bukti-bukti dan membuat unggul itu adalah
dugaan pembenaran. Hadits maqbul terbagi menjadi dua yaitu hadits shahih dan hadits hasan.
hadits shahih ada yang shahih li dzatihi dan shahih li ghairihi begitupun juga hadits hasan.
Sedangkan hadits mardud ialah hadits yang ditolak atau tidak diterima, jadi hadits mardud ialah
hadits yang tidak unggul pembenaran dan pemberitaannya. Hadits mardud juga terbagi dua yaitu
hadits dha’if dan hadits maudhu’.
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
Yang dimaksud dengan kualitas riwayat dalam pembahasan ini adalah tingkat validitas
(kebenaran) sebuah hadits, apakah hadits tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah atau tidak.
Jadi, pembagian hadits dari sudut pandang ini akan mengakibatkan diterima (maqbul) atau
ditolaknya (mardud) sebuah riwayat. Berdasarkan sudut pandang tersebut, secara umum, para
ulama’ hadits membagi hadits menjadi empat, yaitu, shahih, hasan, dha’if, dan maudhu’.
A. Hadits maqbul
B. Hadits mardud
A. Hadist maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti ma’khuz (yang diambil) dan mushaddaq (yang dibenarkan
atau diterima) sedangkan menurut istilah adalah:
Hadits maqbul dapat digolongkan menjadi dua, yaitu hadits shahih dan hadits
hasan.[1]
الصحيح الحديث
Hadits Shahih
Secara bahasa, shahih berarti “sehat, selamat dari aib, benar”. Secara istilah, hadits shahih adalah
hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan kuat hafalan dhabith-
nya, serta terhindar dari kejanggalan (syadz) dan cacat (illat). Para ulama’ mengatakan, hadits
shahih hadits yang sanadnya tersambung di kutip oleh orang yang adil lagi cermat dari yang
sama, sampai berakhir pada Rasulullah SAW.
Yang dimaksud dengan sanadnya bersambung ialah bahwa tiap-tiap perawinya dalam sanad
hadits menerima riwayat hadits dari perawi terdekat sebelumnya. Keadaan itu berlangsung
demikian sampai akhir sanad dari hadits itu.
b. Perawinya adil
Kata adil menurut bahasa berarti lurus, tidak berat sebelah, tidak zalim, tidak menyimpang, tulus,
jujur.[2] Di samping harus Islam dan baligh, juga memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Senantiasa memelihara ucapan dan perbuatan yang dapat menodai muru’ah, yakni suatu
sikap kehati-hatian dari melakukan perbuatan yang sia-sia atau perbuatan dosa.
c. Perawinya dhabit
kata “dhabth” menurut bahasa adalah yang kokoh, yang kuat, yang hafal, dengan sempurna.
Adapun sifat-sifat kedhabitan perawi, menurut para ulama’, dapat diketahui melalui:
- Berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat dari orang lain yang telah dikenal
kedhabithannya.
Kata illat bentuk jama’nya ‘ilal atau al-‘ilal, menurut bahasa berarti cacat, penyakit, keburukan
dan kesalahan baca.
Menurut istilah, ‘illat berarti suatu sebab yang tersembunyi atau yang samar-samar, yang
karenanya dapat merusak kesahihan hadits tersebut.[3]
1. Shahih li dzatihi
2. Shahih li ghairihi
لذاته الصحيح
Shahih li dzatihi
“Shahih li dzatihi” Artinya: yang sah karena dzatnya, yakni shahih dengan tidak bantuan
keterangan lain.
اذاكانواثالثةفاليتناجي
Artinya: (kata Bukhari)[4] : telah menceritakan kepada kami, “Abdullah bin Yusuf, ia berkata
telah mengkhabarkan kepada kami, Malik, dari Nafi’, dari Abdullah bahwa Rasulullah SAW
bersabda: “Apabila mereka itu bertiga orang, janganlah dua orang dari antaranya berbisik-bisikan
dengan tidak bersama ketiganya.
لغيره الصحيح
As Shahihi li Ghairihi
“Shahih li Ghairihi” artinya: yang shahih karena yang lainnya, yaitu yang jadi sah karena
dikuatkan dengan jalan (sanad) atau keterangan lain.[7]
Hadits dibawah ini merupakan contoh hadis Hasan li dzatihi yang naik derajatnya menjadi
Shahih li ghairihi:
(صالة كل مع بالسواك المرتهم الناس علي أو امتي علي اشق ان لوال )البخارى رواه
“Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap
kali hendak melaksanakan shalat”
الحسن الحديث
Hadits Hasan
Hasan menurut bahasa berarti ( اليه تميل و النفس تشتهيه ماsesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh
nafsu). Sedangkan menurut istilah, para ulama’ berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadits
hasan ini.
Menurut Ibnu Taimiyah menguraikan batasan hadits hasan yang diberikan Al-Tirmidzi sekaligus
merangkum polemic tentang peristilahan yang sering dipakai Al-Tirmidzi. Hadits hasan menurut
Al-Tirmidzi adalah (dalam redaksi Ibn Taymiyah):
وجهين من ماروي, بالكذب متهم هو من رواته فى وليس, حاديث لأل ذمخالف شا والهو
الصحيحة
“hadits yang diriwayatkan dari dua arah (jalur), dan para perawinya tidak tertuduh dusta, tidak
mengandung syadz yang menyalahi hadits-hadits shahih”
Kitab-kitab yang banyak memuat hadits hasan ini diantaranya adalah Sunan Al-Tirmidzi, Sunan
Abi Daud, dan Sunan Al-Daruquthny.
a. Sanadnya bersambung
b. Perawinya adil
c. Perawinya dhabit, tetapi kualitan ke-dhabit-annya di bawah ke-dhabit-an perawi hadits
shahih
e. Tidak ber’illat.
1. Hasan li Dzatihi
2. Hasan li Ghairihi
لذاته الحسن
Hasan li dzatihi
Hadits hasan li dzatihi merupakan hadits yang sanadnya bersambung dengan periwayat yang
adil, dhabith meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada
kejanggalan (syadz) dan cacat (‘illat) yang merusak.
Ibn Al-Shalah memberikan batasan hadits jenis ini dengan: “bahwasannya para perawinya
masyhur/terkenal dengan kejujurannya, amanah, meskipun tidak mencapai derajat perawi hadits
shahih, karena keterbatasan kekuatan dan kebagusan hafalannya. Meskipun demikian, hadits
yang diriwayatkannya tidak termasuk kedalam golongan yang munkar”. [8]
Hadits hasan li dzatihi ini bisa baik derajatnya menjadi hadits shahih (li ghairihi) bila ada hadits
lain yang sejenis diriwayatkan melalui jalur sanad lain. Sebagai contohnya adalah hadits Al-
Tirmidzi yang diriwayatkan dari Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari Abi Hurairah,
. )ص هللا رسول قال (الترمذي: صالة كل مع بالسواك المرتهم امتي على اشق ان لوال
Artinya: (kata Turmudzi:[9]) Telah bersabda Rasulullah SAW: “Jika aku tidak memberatkan
ummatku, niscaya aku perintahkan mereka bersiwakan diwaktu tiap-tiap hendak shalat”.
Hadits hasan ini hasan li dzatihi. Muhammad Ibn Amr ibn Alqamah terkenal seorang yang baik
dan jujur, tetapi kurang dhabith. Karena itu banyak ulama’ yang melemahkan hadits-hadits yang
diriwayatkannya. Oleh karena itu hadits tersebut memperoleh status hasan li dzatihi. akan tetapi
ada riwayat lain dari jalur Al A’raj dari Abu Hurairah, maka hadits ini naik derajatnya menjadi
hadits shahih li ghairihi.[10]
لغيره الحسن
Hasan li Ghairihi
“satu hadits yang “tidak terlalu lemah”, dikuatkan dengan jalan lain yang seumpama atau
sebanding dengannya”
5. Pendusta,
6. Pemalsu hadits,
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
Yang dimaksud dengan kualitas riwayat dalam pembahasan ini adalah tingkat validitas
(kebenaran) sebuah hadits, apakah hadits tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah atau tidak. Jadi,
pembagian hadits dari sudut pandang ini akan mengakibatkan diterima (maqbul) atau ditolaknya
(mardud) sebuah riwayat. Berdasarkan sudut pandang tersebut, secara umum, para ulama’ hadits
membagi hadits menjadi empat, yaitu, shahih, hasan, dha’if, dan maudhu’.
A. Hadits maqbul
B. Hadits mardud
Hadits maqbul dapat digolongkan menjadi dua, yaitu hadits shahih dan hadits hasan.
Hadits shahih terbagi menjadi dua yaitu shahih li dzatihi dan shahih li ghairihi, begitupun hadits
hasan terbagi menjadi dua yaitu hasan li dzatihi dan hasan li ghairihi.
Hadits maqbul dapat digolongkan menjadi dua, yaitu hadits dha’if dan hadits maudhu’.
Penutup
Apabila penyusunan makalah ini ada yang kurang berkenan dihati pembaca, kami selaku pemakalah
meminta maaf dan semoga ada kritik dan saran yang bermanfaat dan membangun dari para sahabat.
DAFTAR PUSTAKA
Tim kajian keislaman, (2012), buku induk terlengkap agama Islam, (Yogyakarta: Citra Risalah);
Munawir, Ahmad Warson, al munawar kamus Arab-Indonesia, (Jogjakarta: unit pengadaan buku-buku
keagamaan pondok pesantren al munawwir, 1984);