Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

ULUMUL HADIST
Hadist Ditinjau Dari Segi Kualitas ( Hadist maqbul)

Dosen Pengampu: Nur Alfi Khotamin ,M.H

Di Susun Oleh :

1. Miftahul Jannah( 212210087)

FAKULTAS TARBIYAH

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM MA’ARIF NU METRO LAMPUNG

TAHUN 2021
Daftar Isi

HALAMAN JUDUL …………………………… i

KATA PENGANTAR ………………………… ii

DAFTAR ISI ………………………………… iii

BAB I PENDAHULUAN ……………………… 1

A. Latar Belakang ………………………………………….. 1

B. Rumusan Masalah ……………………………………… 1

C. Tujuan Penulisan ……………………………………….. 2

BAB II PEMBAHASAN …………………………. 3

A. …………………………………… 3

B. Syarat dan Pembagian Hadist Mutawatir …………………………………….. 4

C. Pengertian Hadist Ahad ………………………………………. 5

D. Pembagian Hadist Ahad ………………………………. 6

BAB III PENUTUP …………………………………… 8

A. Simpulan …………………………………………………… 8

B. Saran ………………………………………………………… 9

DAFTAR PUSTAKA ………………………………… 9


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hadits dari segi kualitasnya terbagi menjadi dua macam yaitu hadits maqbul dan hadits mardud.
Adapun hadits maqbulialah hadits yang unggul pembenaran pemberitaannya, dalam hal ini hadits
maqbul ialah hadits yang mendapat dukungan bukti-bukti dan membuat unggul itu adalah
dugaan pembenaran. Hadits maqbul terbagi menjadi dua yaitu hadits shahih dan hadits hasan.
hadits shahih ada yang shahih li dzatihi dan shahih li ghairihi begitupun juga hadits hasan.
Sedangkan hadits mardud ialah hadits yang ditolak atau tidak diterima, jadi hadits mardud ialah
hadits yang tidak unggul pembenaran dan pemberitaannya. Hadits mardud juga terbagi dua yaitu
hadits dha’if dan hadits maudhu’.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Hadits Maqbul?

2. Apa yang dimaksud dengan hadits Mardud?

3. Apa yang dimaksud dengan Hadits Shahih?

4. Apa yang dimaksud dengan Hadits Hasan?

5. Apa yang dimaksud dengan Hadist Dho’if?

6. Apa yang dimaksud dengan hadits Maudhu’?


BAB II

PEMBAHASAN

Klasifikasi hadits berdasarkan kualitas riwayat

Yang dimaksud dengan kualitas riwayat dalam pembahasan ini adalah tingkat validitas
(kebenaran) sebuah hadits, apakah hadits tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah atau tidak.
Jadi, pembagian hadits dari sudut pandang ini akan mengakibatkan diterima (maqbul) atau
ditolaknya (mardud) sebuah riwayat. Berdasarkan sudut pandang tersebut, secara umum, para
ulama’ hadits membagi hadits menjadi empat, yaitu, shahih, hasan, dha’if, dan maudhu’.

Berdasarkan segi kualitasnya hadits dibagi menjadi 2 yaitu:

A. Hadits maqbul

B. Hadits mardud

A. Hadist maqbul

Maqbul menurut bahasa berarti ma’khuz (yang diambil) dan mushaddaq (yang dibenarkan
atau diterima) sedangkan menurut istilah adalah:

‫القبول شروط جميع فيه فرت ماتوا‬

“Hadits yang telah sempurna padanya, syarat-syarat penerimaan.”

Syarat-syarat penerimaan suatu hadits menjadi hadits yang maqbul berkaitan


dengan sanadnya, yaitu sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil lagi dhabit, dan
juga berkaitan dengan matannya tidak syadz dan tidak ber’illat.

Hadits maqbul dapat digolongkan menjadi dua, yaitu hadits shahih dan hadits
hasan.[1]

‫الصحيح الحديث‬

Hadits Shahih
Secara bahasa, shahih berarti “sehat, selamat dari aib, benar”. Secara istilah, hadits shahih adalah
hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan kuat hafalan dhabith-
nya, serta terhindar dari kejanggalan (syadz) dan cacat (illat). Para ulama’ mengatakan, hadits
shahih hadits yang sanadnya tersambung di kutip oleh orang yang adil lagi cermat dari yang
sama, sampai berakhir pada Rasulullah SAW.

Syarat-syarat hadits shahih yaitu:

a. Sanadnya bersambung (ittishal al sanad)

Yang dimaksud dengan sanadnya bersambung ialah bahwa tiap-tiap perawinya dalam sanad
hadits menerima riwayat hadits dari perawi terdekat sebelumnya. Keadaan itu berlangsung
demikian sampai akhir sanad dari hadits itu.

b. Perawinya adil

Kata adil menurut bahasa berarti lurus, tidak berat sebelah, tidak zalim, tidak menyimpang, tulus,
jujur.[2] Di samping harus Islam dan baligh, juga memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

- Senantiasa melaksanakan segala perintah agama dan meninggalkan semua larangannya;

- Senantiasa menjauhi perbuatan-perbuatan dosa; dan

- Senantiasa memelihara ucapan dan perbuatan yang dapat menodai muru’ah, yakni suatu
sikap kehati-hatian dari melakukan perbuatan yang sia-sia atau perbuatan dosa.

c. Perawinya dhabit

kata “dhabth” menurut bahasa adalah yang kokoh, yang kuat, yang hafal, dengan sempurna.

Adapun sifat-sifat kedhabitan perawi, menurut para ulama’, dapat diketahui melalui:

- Kesaksian para ulama’

- Berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat dari orang lain yang telah dikenal
kedhabithannya.

d. Tidak syadz (janggal)

Tidak bertentangan dengan riwayat yang lebih kuat.

e. Tidak ber-Illat (ghair mu’allal)

Kata illat bentuk jama’nya ‘ilal atau al-‘ilal, menurut bahasa berarti cacat, penyakit, keburukan
dan kesalahan baca.
Menurut istilah, ‘illat berarti suatu sebab yang tersembunyi atau yang samar-samar, yang
karenanya dapat merusak kesahihan hadits tersebut.[3]

Hadits shahih ada dua macam yaitu:

1. Shahih li dzatihi

2. Shahih li ghairihi

‫لذاته الصحيح‬

Shahih li dzatihi

“Shahih li dzatihi” Artinya: yang sah karena dzatnya, yakni shahih dengan tidak bantuan
keterangan lain.

: ‫قال ص اللهرسول ان هللا عبد عن فع نا عن مالك اخبرنا يوسفبن هللا حدثناعبد‬

‫مالك اخبرنا يوسفبن هللا حدثناعبد الثالث الثالث ن و د ن اثنا‬

‫اذاكانواثالثةفاليتناجي‬

Artinya: (kata Bukhari)[4] : telah menceritakan kepada kami, “Abdullah bin Yusuf, ia berkata
telah mengkhabarkan kepada kami, Malik, dari Nafi’, dari Abdullah bahwa Rasulullah SAW
bersabda: “Apabila mereka itu bertiga orang, janganlah dua orang dari antaranya berbisik-bisikan
dengan tidak bersama ketiganya.

‫لغيره الصحيح‬

As Shahihi li Ghairihi

“Shahih li Ghairihi” artinya: yang shahih karena yang lainnya, yaitu yang jadi sah karena
dikuatkan dengan jalan (sanad) atau keterangan lain.[7]

Hadits dibawah ini merupakan contoh hadis Hasan li dzatihi yang naik derajatnya menjadi
Shahih li ghairihi:

(‫صالة كل مع بالسواك المرتهم الناس علي أو امتي علي اشق ان لوال )البخارى رواه‬
“Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap
kali hendak melaksanakan shalat”

‫الحسن الحديث‬

Hadits Hasan

Hasan menurut bahasa berarti ‫( اليه تميل و النفس تشتهيه ما‬sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh
nafsu). Sedangkan menurut istilah, para ulama’ berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadits
hasan ini.

Menurut Ibnu Taimiyah menguraikan batasan hadits hasan yang diberikan Al-Tirmidzi sekaligus
merangkum polemic tentang peristilahan yang sering dipakai Al-Tirmidzi. Hadits hasan menurut
Al-Tirmidzi adalah (dalam redaksi Ibn Taymiyah):

‫ وجهين من ماروي‬, ‫ بالكذب متهم هو من رواته فى وليس‬, ‫حاديث لأل ذمخالف شا والهو‬

‫الصحيحة‬

“hadits yang diriwayatkan dari dua arah (jalur), dan para perawinya tidak tertuduh dusta, tidak
mengandung syadz yang menyalahi hadits-hadits shahih”

Kitab-kitab yang banyak memuat hadits hasan ini diantaranya adalah Sunan Al-Tirmidzi, Sunan
Abi Daud, dan Sunan Al-Daruquthny.

Syarat-syarat hadits hasan:

a. Sanadnya bersambung

b. Perawinya adil
c. Perawinya dhabit, tetapi kualitan ke-dhabit-annya di bawah ke-dhabit-an perawi hadits
shahih

d. Tidak terdapat kejanggalan atau syadz dan

e. Tidak ber’illat.

Macam-macam hadits hasan:

1. Hasan li Dzatihi

2. Hasan li Ghairihi

‫لذاته الحسن‬

Hasan li dzatihi

Hadits hasan li dzatihi merupakan hadits yang sanadnya bersambung dengan periwayat yang
adil, dhabith meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada
kejanggalan (syadz) dan cacat (‘illat) yang merusak.

Ibn Al-Shalah memberikan batasan hadits jenis ini dengan: “bahwasannya para perawinya
masyhur/terkenal dengan kejujurannya, amanah, meskipun tidak mencapai derajat perawi hadits
shahih, karena keterbatasan kekuatan dan kebagusan hafalannya. Meskipun demikian, hadits
yang diriwayatkannya tidak termasuk kedalam golongan yang munkar”. [8]

Hadits hasan li dzatihi ini bisa baik derajatnya menjadi hadits shahih (li ghairihi) bila ada hadits
lain yang sejenis diriwayatkan melalui jalur sanad lain. Sebagai contohnya adalah hadits Al-
Tirmidzi yang diriwayatkan dari Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari Abi Hurairah,

. )‫ص هللا رسول قال (الترمذي‬: ‫صالة كل مع بالسواك المرتهم امتي على اشق ان لوال‬

Artinya: (kata Turmudzi:[9]) Telah bersabda Rasulullah SAW: “Jika aku tidak memberatkan
ummatku, niscaya aku perintahkan mereka bersiwakan diwaktu tiap-tiap hendak shalat”.

Hadits hasan ini hasan li dzatihi. Muhammad Ibn Amr ibn Alqamah terkenal seorang yang baik
dan jujur, tetapi kurang dhabith. Karena itu banyak ulama’ yang melemahkan hadits-hadits yang
diriwayatkannya. Oleh karena itu hadits tersebut memperoleh status hasan li dzatihi. akan tetapi
ada riwayat lain dari jalur Al A’raj dari Abu Hurairah, maka hadits ini naik derajatnya menjadi
hadits shahih li ghairihi.[10]
‫لغيره الحسن‬

Hasan li Ghairihi

“satu hadits yang “tidak terlalu lemah”, dikuatkan dengan jalan lain yang seumpama atau
sebanding dengannya”

Kalau dalam sanad satu hadits ada rawi:

1. Yang tidak ada kefahaman tentang hadits,

2. Yang sering salah dan keliru dalam meriwayatkan,

3. Yang fasiq (yang keluar dari jalan kebenaran)

4. Yang tertuduh suka berdusta dalam hadits

5. Pendusta,

6. Pemalsu hadits,

7. Yang tertuduh memalsu hadits,

BAB 3

PENUTUP

Kesimpulan
Yang dimaksud dengan kualitas riwayat dalam pembahasan ini adalah tingkat validitas
(kebenaran) sebuah hadits, apakah hadits tersebut benar-benar berasal dari Rasulullah atau tidak. Jadi,
pembagian hadits dari sudut pandang ini akan mengakibatkan diterima (maqbul) atau ditolaknya
(mardud) sebuah riwayat. Berdasarkan sudut pandang tersebut, secara umum, para ulama’ hadits
membagi hadits menjadi empat, yaitu, shahih, hasan, dha’if, dan maudhu’.

Berdasarkan segi kualitasnya hadits dibagi menjadi 2 yaitu:

A. Hadits maqbul

B. Hadits mardud

Hadits maqbul dapat digolongkan menjadi dua, yaitu hadits shahih dan hadits hasan.

Hadits shahih terbagi menjadi dua yaitu shahih li dzatihi dan shahih li ghairihi, begitupun hadits
hasan terbagi menjadi dua yaitu hasan li dzatihi dan hasan li ghairihi.

Hadits maqbul dapat digolongkan menjadi dua, yaitu hadits dha’if dan hadits maudhu’.

Penutup

Apabila penyusunan makalah ini ada yang kurang berkenan dihati pembaca, kami selaku pemakalah
meminta maaf dan semoga ada kritik dan saran yang bermanfaat dan membangun dari para sahabat.

DAFTAR PUSTAKA

Tim kajian keislaman, (2012), buku induk terlengkap agama Islam, (Yogyakarta: Citra Risalah);

Suparta, Munzier (2002), Ilmu Hadits, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada);

Munawir, Ahmad Warson, al munawar kamus Arab-Indonesia, (Jogjakarta: unit pengadaan buku-buku
keagamaan pondok pesantren al munawwir, 1984);

Anda mungkin juga menyukai