Anda di halaman 1dari 14

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/325619249

Pentingnya Eradikasi Penyakit Tropis Di Indonesia

Article · June 2018

CITATIONS READS

0 3,813

1 author:

Mohammad Yusuf Alamudi

25 PUBLICATIONS   57 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

co-author View project

All content following this page was uploaded by Mohammad Yusuf Alamudi on 07 June 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Pentingnya Eradikasi Penyakit Tropis Di Indonesia (I)
M Yusuf Alamudi
Prof Nidom Foundation
Abstrak
Secara astronomis Indonesia terletak antara 6° Lintang Utara sampai 11°Lintang
Selatan dan juga antara 95° Bujur Timur sampai 141° Bujur Timur. Oleh karena itu, letak
astronomis Indonesia merupakan daerah yang memiliki iklim tropis. Kondisi ini menyebabkan
Indonesia memiliki dua musim yaitu penghujan dan kemarau. Masa peralihan dari musim
kemarau ke musim penghujan atau pun sebaliknya disebut pancaroba. Curah hujan yang cukup
tinggi ditambah dengan rendahnya mutu sanitasi di sebagian wilayah Indonesia mengakibatkan
munculnya berbagai macam penyakit. Penyakit infeksi tropis dibedakan menjadi 3 jenis yaitu
infeksi tropis oleh bakteri, infeksi tropis oleh virus, dan infeksi tropis oleh parasit.
Program pemberantasan penyakit atau eradikasi difokuskan untuk memberantas agen
penular penyakit dari suatu wilayah. Program pemberantasan penyakit biasanya memiliki batas
waktu dan bertujuan untuk memberantas penyakit dalam waktu yang relatif singkat dan dapat
disesuaikan. Apabila penyakit sudah diberantas maka dianggap tidak akan ada biaya lainnya
yang berhubungan dengan pemberantasan penyakit, namun kemungkinan akan ada biaya yang
cukup substantif terkait dengan program surveilans untuk pencegahan, deteksi dan respons
yang efektif terhadap penyebaran penyakit di masa yang akan datang ke daerah yang telah
bebas penyakit tersebut. Dalam hal penyakit endemik di daerah tropis, program pemberantasan
dapat dimulai dengan masa pengendalian penyakit untuk mengurangi prevelansi penyakit ke
tingkat dimana pemberantasan menjadi lebih memungkinkan dan akan menghemat biaya.
Kata kunci: Eradikasi, Penyakit Tropis, Indonesia
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara dengan iklim tropis dimana suhu udara dapat mencapai
32°C. Kondisi lingkungan pada daerah tropis dapat berfluktuasi dari kondisi suhu rendah ke
suhu tinggi kemudian turun kembali ke suhu rendah. Suhu tertinggi terjadi pada siang hari
antara jam 12.00-13.00 WIB, sementara suhu paling rendah terjadi pada jam 05.00-06.00. Suhu
udara akan terus berfluktuasi dalam 24 jam penuh sebagai bentuk pertukaran energi yang
terjadi di lapisan atmosfer (Hafni dkk., 2015).
Penyakit tropis merupakan penyakit yang menyerang di daerah beriklim tropis. Indonesia
termasuk negara beriklim tropis, sehingga penyakit tropis mudah berkembang. Penyakit tropis dapat
disebabkan oleh bakteri, virus dan parasit. Berbagai macam penyakit tropis, seperti malaria,
demam berdarah, serta TBC masih menjadi masalah kesehatan nasional di Indonesia. Meski
penyakit-penyakit ini memang lazim terjadi di daerah tropis dan subtropis, namun prevalensi
penyakit ini di Indonesia semakin meningkat. Penularan penyakit tropis dapat melalui kontak
langsung antara penderita penyakit tropis dengan orang yang sehat, melalui udara, makanan, minuman
dan vektor (Widoyono. 2005). Beberapa penyakit tropis merupakan penyakit yang sangat berbahaya
bagi manusia, kalau tidak diatasi secara cepat dan tepat akan berakibat fatal bahkan bisa menyebabkan
kematian. Kondisi ini menuntut upaya penanganan cepat dari berbagai kalangan, baik praktisi
kesehatan, kalangan akademisi, pihak swasta, maupun masyarakat dalam aspek pencegahaan,
pengobatan maupun pemberantasan atau eradikasi penyakit tropis.
Penyakit Tropis Di Indonesia
1.Demam Berdarah Dengue
Penyakit DBD merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat Indonesia yang
semakin luas penyebarannya. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit
menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti (Suroso, 2000; Arsin AA 2013). Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit
yang disebabkan oleh virus dengue I, II, III, dan IV, yang ditularkan oleh nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus. Masa inkubasi penyakit DBD, yaitu periode sejak virus dengue
menginfeksi manusia hingga menimbulkan gejala klinis, antara 3-14 hari, rata-rata 4-7 hari.
Penyakit DBD tidak ditularkan langsung dari orang ke orang. Penderita menjadi infektif bagi
nyamuk pada saat viremia, yaitu beberapa saat menjelang timbulnya demam hingga saat masa
demam berakhir, biasanya berlangsung selama 3-4 hari (Soegijanto 2006; Ginanjar, 2008;
Pusdatin 2016).
Dampak dari penyakit DBD tidak hanya sering menimbulkan KLB tetapi juga
menimbulkan dampak buruk sosial maupun ekonomi. Dampak atau kerugian sosial yang
terjadiantara lain karena menimbulkan kepanikan dalam keluarga, kematian anggota
keluarga,dan usia harapan penduduk yang berkurang (Kemenkes RI, 2014). Penyakit DBD
dahulu hanya menyerang atau ditemukan pada anak-anak, namun sekarang juga banyak
ditemukan pada orang dewasa. Prevalensi terendah ditemukan pada bayi (0,2%) dan prevalensi
tertinggi ditemukan pada kelompok umur 25 – 34 tahun (0,7%). Prevalensi DBD pada laki-laki
dan perempuan tidak terlihat adanya perbedaan. DBD klinis relatif lebih tinggi di pedesaan,
namun kasus yang terdeteksi berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan lebih banyak di perkotaan
(Balitbangkes, 2007). Prevalensi kejadian DBD klinis sebesar 0.6% (rentang: 0,3% - 2,5%)
yang tersebar di seluruh Indonesia. Pada 12 provinsi didapatkan prevalensi DBD klinis lebih
tinggi dari angka nasional, yaitu Nusa Tenggara Timur (2,5%), Papua Barat (2,0%), Bengkulu
dan DKI Jakarta (1,2%), Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Barat serta NAD (1,1%),
Sulawesi Tenggara (1,0%), Papua (0,9%), Riau dan Maluku Utara (0,8%), dan Sulawesi Barat
(0,7%) (Balitbangkes, 2007). Situasi DBD di Indonesia sejak tahun 2008-2013 menunjukkan
adanya peningkatan angka kesakitan yang mengindikasikan bahwa penyakit DBD masih
menjadi masalah di Indonesia. Angka kesakitan atau Incidence Rate (IR) DBD pada tahun 2008
sebesar 59,02 per 100.000 penduduk, kemudian meningkat pada tahun 2009 dengan Incidence
Rate(IR) DBD sebesar 68,22 per 100.000 penduduk, namun mengalami penurunan pada tahun
2010 dengan Incidence Rate(IR) DBD sebesar 65,7 per 100.000 penduduk. Tahun 2011 terjadi
penurunan lebih besar dibanding tahun sebelumnya dengan Incidence Rate (IR) DBD sebesar
27,67 per 100.000 penduduk, dan kembali terjadi peningkatan secara terus menerus pada tahun
2012 dengan Incidence Rate (IR) DBD sebesar 37,27 per 100.000 penduduk dan pada tahun
2013 Incidence Rate(IR)DBD sebesar 45,85 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2014).
Dalam kurun waktu tersebut menunjukkan IR DBD cenderung fluktuatif yang
mengindikasikan bahwa penyakit DBD di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan.
Tabel 1. Serotipe Demam Berdarah Dengue di Beberapa Wilayah Di Indonesia
No Serotipe Wilayah
1 DENV 2,3,4 Bantul
2 DENV 1 Jambi
3 DENV 1, 2, 3, 4 Tangerang
4 DENV 1 ( Transovarial) Kupang
4 DENV 1,2,3,4 Sulawesi Selatan
5 DENV 1,2,3,4 Aceh
6 DENV 1,2,3,4 Jakarta
7 DENV 1,2,3,4 Purwokerto
8 DENV 1,2,3,4 Surabaya
9 DENV 1,2,3,4 Bandung
10 DENV 1,2,4 Sukabumi
11 DENV 1,2,3,4 Yogyakarta
12 DENV 1,2,3 Semarang
13 DENV 1,2,3,4 Sulawesi Utara
14 DENV 4 Bangkalan (Madura)
15 DENV 4 Mataram

Jumlah kabupaten atau kota terjangkit DBD tahun 2008-2013 cenderung mengalami
peningkatan. Jumlah kabupaten atau kota terjangkit DBD pada tahun 2008 sebanyak 356
kabupaten atau kota, kemudian meningkat terus menerus pada tahun 2009 sebanyak 384
kabupaten atau kota dan pada tahun 2010 sebanyak 400 kabupaten atau kota. Pada tahun 2011
jumlah kabupaten atau kota terjangkit DBD mengalami penurunan menjadi 374 kabupaten atau
kota, dan meningkat pada tahun 2012 sebanyak 417 kabupaten atau kota, kemudian menurun
kembali pada tahun 2013 sebanyak 412 kabupaten atau kota (Kemenkes RI, 2014).
Selama ini kasus terdiagnosis Demam Berdarah Dengue didasarkan pada kriteria
diagnosis klinis ditambah pemeriksaan serologi uji haemagglutination-inhibition digunakan
untuk konfirmasi infeksi virus dengue. Tetapi pemeriksaan ini memerlukan waktu yang lama,
persyaratan tertentu yang harus dilakukan dan biaya yang sangat mahal. Program pengendalian
dalam diagnosis Demam Berdarah Dengue membutuhkan suatu tes yang cepat, praktis dan
dapat dipercaya untuk infeksi dengue primer dan sekunder. Rapid Diagnosis Test (RDT)
merupakanalat yang tepat untuk memenuhi kebutuhan dalam mendiagnosis infeksi dengue
primer dan sekunder yang digunakan untuk mendeteksi NS1, IgG dan IgM. Pada pasien
terinfeksi dengue pada tahap awal penyakit NS1 glycoprotein muncul dengan konsentrasi yang
tinggi. Antigen NS1 ditemukan pada hari pertama hingga hari ke sembilan sejak awal demam
pada pasien-pasien dengan infeksi dengue primer maupun infeksi dengue sekunder. Respon
kekebalan terhadap infeksi dengan memproduksi antibodi IgM muncul pada hari ke 3-5 sejak
gejala dan bertahan untuk jangka waktu 30-60 hari. Antibodi IgG muncul disekitar hari ke 14
dan bertahan seumur hidup. Infeksi dengue sekunder sering menghasilkan demam tinggi dan
pada banyak kasus disertai dengan terjadinya pendarahan (haemorrhagic) dan gangguan
sirkulasi (circulatory failure). Infeksi dengue sekunder ditunjukkan dengan titer antibodi IgG
meningkat dalam 1-2 hari setelah gejala muncul dan merangsang respon antibodi IgM setelah
20 hari infeksi. Penyakit DBD menyerang pada semua kolompok, namun manifestasi klinis
pada anak-anak biasanya menunjukkan gejala lebih ringan dibandingkan dengan orang dewasa.
Penderita yang sembuh dari infeksi dengan satu jenis serotipe akan memberikan imunitas
homolog seumur hidup tetapi tidak memberikan perlindungan terhadap infeksi serotipe lain
dan dapat terjadi infeksi lagi oleh serotipe lainnya (Kemenkes RI, 2011a).
Faktor yang berisiko terjadinya penularan dan semakin berkembangnya penyakit
DBD,antara lain: pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak memiliki pola tertentu, faktor
urbanisasi yang tidak berencana dan terkontrol dengan baik, semakin majunya sistem
transportasi sehingga mobilisasi penduduk sangat mudah, sistem pengelolaan limbah dan
penyediaan air bersih yang tidak memadai, berkembangnya penyebaran dan kepadatan
nyamuk, kurangnya sistem pengendalian nyamuk yang efektif, serta melemahnya struktur
kesehatan masyarakat. Selain faktor-faktor lingkungan tersebut diatas status imunologi
seseorang, strain virus/serotipe virus yang menginfeksi, usia dan riwayat genetik juga
berpengaruh terhadap penularan penyakit. Selain itu faktor yang berhubungan dengan
peningkatan kejadian DBD adalah peran serta masyarakat dalam pengendalian DBD, terutama
pada kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) masih belum terlaksana dengan baik,
meskipun pada umumnya pengetahuan tentang DBD dan cara-cara pencegahannya sudah
cukup tinggi (Kemenkes RI, 2011b).
2. Hepatitis
Hepatitis adalah kelainan hati berupa peradangan (sel) hati. Peradangan ini ditandai
dengan meningkatkan kadar enzim hati. Peningkatan ini disebabkan adanya gangguan atau
kerusakan membran hati. Ada dua faktor penyebabnya yaitu faktor infeksi dan faktor non
infeksi. Faktor penyebab infeksi antara lain virus hepatitis dan bakteri. Selain karena virus
Hepatitis A, B, C, D, E dan G masih banyak virus lain yang berpotensi menyebabkan hepatitis
misalnya adenoviruses, CMV, Herpes simplex, HIV, rubella, varicella dan lain-lain.
Sedangkan bakteri yang menyebabkan hepatitis antara lain misalnya bakteri Salmonella typhi,
Salmonella paratyphi, tuberkulosis, leptospira. Faktor non-infeksi misalnya karena obat. Obat
tertentu dapat mengganggu fungsi hati dan menyebabkan hepatitis (Dalimartha,2008).
Tabel 2 Karaktristik Virus Hepatitis A-E
Keterangan Virus Hepatitis
A B C D E
Genom RNA DNA RNA RNA RNA
Famili Picorna Hepadna Flavi/Pesti Viroid Calcili
Masa Ink. 15-45 hari 30-180 hari 15-150 hari 30-180 hari 30-180 hari

Penularan Fekal/Oral Darah/sekret Darah Darah Darah


Tipe Peny. Akut Akut/kronis Akut/kronis Akut/kronis Akut

Gejala Ringan - Ringan-berat Ringan Ringan- Ringan-


berat berat berat
Karier Tidak Ya Ya Ya Tidak
Sirosis Tidak Ya Ya Ya Tidak
Hepatoma Tidak Ya Ya Ya Tidak
Mak SGPT 800 1000 300 1000 800
- - - - -
1000 1500 800 1500 1000

Fluk SGPT Tidak Tidak Ya tidak tidak


Pengobatan simptomatik Simptomatik Simptomatik Simptomatik simptomatik
Anti-viral Anti-viral Anti-viral

Di wilayah Asia Tenggara diperkirakan 100 juta orang hidup dengan Hepatitis B kronis
dan 30 juta orang hidup dengan hepatitis C kronis. Setiap tahun di wilayah tersebut, Hepatitis
,B menyebabkan hampir 1,4 juta kasus baru dan 300.000 kematian. Sementara, Hepatitis C
menyebabkan sekitar 500.000 kasus baru dan 160.000 kematian.
Prevalensi Hepatitis B kronis adalah sekitar 8% di Democratic People's Republic of Korea,
Myanmar Thailand, dan Indonesia, sedangkan prevalensi di Timor-Leste diperkirakan pada 6
-7%. Sementara itu, terdapat negara tertentu di kawasan Asia Tenggara yang memiliki
sejumlah besar kasus Hepatitis virus. India misalnya, memiliki hampir 40 juta orang dengan
infeksi HBV kronis dan 12 juta orang terinfeksi dengan HCV kronis. Selain itu, sekitar 65%
dan 75% dari orang-orang dengan HBV kronis dan infeksi HCV, masing-masing tidak
menyadari status mereka. Wilayah ini juga memiliki kasus besar Hepatitis A dan E, yang mana
lebih dari 50% beban Hepatitis E global ada dalam wilayah ini.
Sementara itu di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013) menemukan bahwa
prevalensi HBsAg adalah 7,2%. Angka ini lebih rendah bila dibandingkan dengan data tahun
2007, yaitu 9,4% pada populasi umum. Diperkirakan 18 juta orang memiliki Hepatitis B dan 3
juta orang menderita Hepatitis C. Sekitar 50% dari orang-orang ini memiliki penyakit hati yang
berpotensi kronis dan 10% berpotensi menuju fibrosis hati yang dapat menyebabkan kanker
hati. Angka-angka ini menunjukkan bahwa 1.050.000 pasien memiliki potensi untuk menjadi
kanker hati. Untuk itu, surveilans Hepatitis B dan Hepatitis C telah dilakukan di kalangan
penduduk berisiko tinggi. berdasarkan Riskesda 2017, sebanyak 7,1 % penduduk Indonesia
mengidap hepatitis B. Selain itu, Setiap tahun terdapat 5,3 juta ibu hamil.Hepatitis B (HBsAg)
reaktif pada ibu hamil ratarata 2,7%, maka setiap tahun diperkirakan terdapat 150 ribu bayi
yang 95% berpotensi mengalami hepatitis kronis (sirosis atau kanker hati) pada 30 tahun ke
depan (Infodatin,2016;Kemenkes 2017).

Gambar 1. Virus Hepatitis di Indonesia (Sumber Mulyanto,2016)


Guna mengendalikan virus hepatitis, Kementerian Kesehatan RI memiliki 5 aksi utama,
yaitu: 1) Peningkatan kesadaran, kemitraan dan mobilisasi sumberdaya; 2) Pengembangan
Surveilans Hepatitis untuk mendapatkan data sebagai dasar untuk penyusunan respons
penanggulangan; 3) Memperkuat hukum dan peraturan; 4) Upaya pencegahan secara
komprehensif; dan 5) Deteksi dini, dan tindak lanjutnya yang mencakup akses Perawatan,
dukungan dan Pengobatan. Untuk memperkuat program pengendalian Hepatitis, sedang
dilakukan beberapa upaya, diantaranya: 1) Meningkatkan advokasi, teknis, dan pengetahuan
umum tentang Hepatitis virus kepada anggota masyarakat, penyedia layanan kesehatan dan
stakeholder; 2) Mendorong Dinas Kesehatan untuk mengembangkan rencana strategis tingkat
provinsi; 3) Memperluas akses masyarakat terhadap perawatan, dukungan dan pengobatan; 4)
Mengintegrasikan upaya kesehatan yang berhubungan dengan Hepatitis virus, HIV AIDS, serta
kesehatan ibu dan anak; 5) Mengintegrasikan upaya kesehatan masyarakat yang baik melalui
peningkatan efisiensi dan efektivitas kerja; 6) Memperbaiki strategi nasional pengendalian
Hepatitis; dan 7) Memperbaiki pedoman. Diharapkan dengan upaya pencegahan dan
pengendalian Hepatitis di Indonesia tersebut, akan tercapai Eliminasi Penularan Hepatitis B,
bersama dengan HIV dan Sifilis dari ibu ke anak Tahun 2020; sedangkan Eliminasi Hepatitis
C diharapkan dapat tercapai pada tahun 2030. Strategi menuju Eliminasi Penularan Hepatitis
B dari ibu ke anak 2020 melalui: 1) Peningkatan cakupan imunisasi pada bayi baru lahir < dari
24 jam dari saat kelahirannya, 2) Deteksi Dini Hepatitis B pada ibu hamil dan kelompok
berisiko tinggi lainnya, masing-masing dengan cakupan paling tidak 90%. Sedangkan Strategi
untuk mencapai Eliminasi Hepatitis C Tahun 2030: 1) Tatalaksana kasus Hepatitis C dengan
pemilihan jenis obat yang tingkat kesembuhan diatas 90%, efek samping relatif rendah,
dan harga yang terjangkau, 2) Deteksi dini penemuan kasus secara aktif , masing-masing
cakupan paling tidak 90%.
3. HIV
HIV dalam bahasa inggris merupakan singkatan dari Human Imunnodeficiency Virus
dalam bahasa Indonesia berarti virus penyebab menurunnya kekebalan tubuh manusia. HIV
adalah Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan
AIDS. Virus HIV menyerang salah satu jenis sel darah putih yang berpungsi untuk kekebalan
tubuh (Maryunani, 2009). HIV merupakan retrovirus yang termasuk ke dalam kelompok genus
Lentivirus. Virus ini memiliki karakteristik periode laten yang panjang. Menurut bukti-bukti
yang ada, HIV pada manusia merupakan hasil dari transmisi silang antar spesies dari primata
yang terinfeksi virus SIV (Simian Immunodeficiency Virus). Transmisi virus ini dapat terjadi
oleh karena manusia menjadikan primata ini sebagai peliharaan mereka. Morbiditas transmisi
virus ini secara cepat meluas di seluruh dunia oleh karena transportasi modern, perilaku seksual
dan penyalahgunaan obat-obatan (Syarif,dkk 2014). Infeksi HIV terjadi melalui tiga cara utama
yaitu seksual, parenteral dan perinatal. Parenteral transmisi terjadi karena sharing penggunaan
obat-obat injeksi dengan menggunakan needle yang sudah terkontaminasi. Perinatal transmisi
yang juga dikenal dengan transmisi secara vertikal (transmisi dari ibu-anak) dapat terjadi
selama kehamilan, pada saat terjadinya partum dan selama menyusui (Syarif,dkk 2014).
Kemungkinan penularan infeksi HIV melalui hubungan seksual anal adalah 0,1-3% kontak dan
0,1-0,2% melalui vagina. Penggunaan jarum adalah penyebab utama transmisi parenteral.
Infeksi perinatal atau penularan vertikal penyebab utama (>90%) pada infeksi HIV anak.
Resiko penularan antara ibu ke anak adalah sekitar 25% dan terjadi pada kasus ibu tidak
menyusui dan dengan penggunaan terapi ARV (Kemenkes 2013;WHO,2014). Kasus pertama
AIDS di Indonesia dilaporkan dari Bali pada bulan April tahun 1987. Penderitanya adalah
seorang wisatawan Belanda yang meninggal di RSUP Sanglah akibat infeksi sekunder pada
paru-parunya. Sampai dengan akhir tahun 1990, peningkatan kasus HIV/AIDS menjadi dua
kali lipat (Muninjaya, 1998). Sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam
akibat penggunaaan narkotika suntik. Fakta yang mengkhawatirkan adalah pengguna narkotika
ini sebagian besar adalah remaja dan dewasa muda yang merupakan kelompok usia produktif.
Pada akhir Maret 2005 tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan (Djauzi dan Djoerban,
2007). Sampai akhir Desember 2008, jumlah kasus sudah mencapai 16. 110 kasus AIDS dan
6.554 kasus HIV. Sedangkan jumlah kematian akibat AIDS yang tercatat sudah mencapai
3.362 orang. Dari seluruh penderita AIDS tersebut, 12.061 penderita adalah laki-laki dengan
penyebaran tertinggi melalui hubungan seks (Depkes RI, 2008).
Tabel 3 Persentase Infeksi HIV Menurut Kelompok Umur Tahun 2010 - 2017

(Sumber Kemenkes 2017)


Tabel 4 Persentase Infeksi HIV yang Dilaporkan Menurut Jenis Kelamin Tahun 2008 - 2017

(Sumber Kemenkes 2017)


Gambar 2 Persentase Infeksi HIV yang Dilaporkan Menurut Faktor Risiko Januari- Maret 2017
(Sumber Kemenkes 2017)
Kemajuan yang dicapai dalam menjangkau orang dengan pengobatan HIV dan dalam
mengurangi kematian terkait AIDS menunjukkan keefektifan pendekatan fast track terutama
usaha dalam penurunanan angka kesakitan. Sekitar 54% orang yang hidup dengan HIV
membutuhkan perawatan, banyak di antara mereka tidak mengenal status HIV, sehingga
semakin banyak negara yang berkomitmen untuk mencapai target pengobatan pada tahun 2020.
Selanjutnya, agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan didukung oleh konsep inklusi,
dan keadilan sosial, secara konsisten menerapkan konsep ini untuk pendekatan Fast-Track
dalam menanggulangi kasus HIV dan AIDS. Dibandingkan dengan cakupan layanan HIV
tahun 2014, pendekatan Fast-Track yang komprehensif sesuai dengan Strategi UNAIDS 2016-
2021 akan mencegah tambahan 17,6 juta infeksi HIV dan 10,8 juta kematian terkait AIDS
antara tahun 2016 dan 2030 (Suriyanti,2017)
Kesimpulan
Penyakit tropis khususnya yang berbasis pada virus membutuhkan perhatian. Ini
disebabkan masih banyak ditemukan kasus di lapangan terutama demam berdarah dengue,
hepatitis dan HIV. Inovasi dan strategi untuk pencegahaan maupun pengobatan sangat
diperlukan dalam menekan maupun eradikasi/pemberantasan penyakit tropis terutama yang
bebrbasis virus.
Daftar Pustaka
Achmad syarif, dkk. Buku petugas outreach HIV/AIDS,Jakarta : pengurus lembaga kesehatan
NU:2014

Arsin AA. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia.Makassar: Masagena


Press; 2013.
Balitbangkes, (2007). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Basti Andriyoko,dkk 2012. Penentuan Serotipe Virus Dengue dan Gambaran Manifestasi
Klinis serta Hematologi Rutin pada Infeksi Virus Dengue. MKB, Volume 44 No. 4,

Cucunawangsih, Sungono Veli, Lugito NPH. Distribution of Dengue Virus Serotype in


Tangerang Indonesia. International Journal of Tropical Medicine 11 (4):80-83,2016
ISSN:1816-3319

Dalimartha, Setiawan. 2008. Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan Hepatitis. Jakarta :


Penebar Swadaya

Dewi BE,dkk, 2014.Characterization of dengue virus serotype 4 infection in Jakarta, Indonesia.


Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2014 Jan;45(1):53-61.

Djauzi, S. & Djoerban, Z., 2007. HIV/AIDS di Indonesia.Dalam: Sudo yo, A.W., dkk., ed.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI, 1803-1807.

E.S. Kusmintarsih et al.2017. Molecular characterization of dengue viruses isolated from


patients inCentral Java, Indonesia. Journal of Infection and Public Health

Epidemiological fact sheet on HIV and AIDS Indonesia: UNAIDS,WHO,2014

Fitria Wakano,et al.2016. Pola sebaran tingkat infeksi bersama serotipe virus dengue di wilayah
kajian RT-PCR Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit
Yogyakarta: analisis data 2013-2015. Berita Kedokteran Masyarakat Volume 32 Nomor 11.
Hal 401-408

Ginanjar. 2008. Demam Berdarah. Yogyakarta: B-fist (PT. Bentang Pustaka)

http://www.depkes.go.id/article/view/16042700001/sebagian-besar-kematian-akibat-
hepatitis-virus-berhubungan-dengan-hepatitis-b-dan-c-kronis.html diakses tgl 3 juni 2018

http://www.depkes.go.id/article/view/17072800006/150-ribu-orang-potensial-alami-hepatitis-
kronis.html diakses tgl 3 juni 2018

http://fajaronline.co.id/read/35287/kesehatan-global-strategi-joint-united-nations-programme-
on-hiv-aids-dalam-memerangi-hiv-aidsS diakses tgl 3 juni 2018

https://ugm.ac.id/id/berita/13865pengendalian.penyakit.tropis.perlu.keterlibatan.banyak.pihak
diakses 29/05/2018

Haryanto S,dkk.2016. The molecular and clinical features of dengue during outbreak in Jambi,
Indonesia in 2015. Pathog Glob Health. ;110(3):119-29. doi: 10.1080/20477724.2016.1184864

Irena Agustiningtyas dan Novyan Lusiyana. 2017.Ovitrap survey and serotype identification
of dengue virus on Aedes sp mosquito in Potorono, Banguntapan, Bantul, Indonesia. IJMR
;4(5): 32-37
Kemenkes.2017.Laporan Situasi Perkembangan HIV-AIDS&PIMS Januari-Maret 2017 Ditjen
P2P Kemenkes RI.

Kemenkes RI., (2011a). Petunjuk Teknis Penggunaan Rapid Diagnostic Test (Rdt) Untuk
Penunjang Diagnosis Dini DBD. Jakarta: Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis-Dit PPBB-
Ditjen PP dan PL.

Kemenkes RI., (2011b). Modul Pengendalian Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Ditjen
PP&PL Kementerian Kesehatan RI.

Kementerian Kesehatan 2013. Rencana Aksi Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke
Anak (PPIA) Indonesia 2013-2017. Kementerian Kesehatan; 2013.

Kemenkes RI., (2014). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kusmintarsih ES, et al. 2017.Molecular characterization of dengue viruses isolated from
patients in Central Java, Indonesia. J Infect Public Health,
http://dx.doi.org/10.1016/j.jiph.2017.09.019

Maryunani, Anik., 2010. Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan, Jakarta, Penerbit CV, Trans
Info Media.

Mulyanto. Viral Hepatitis in Indonesia: Past, Present, and Future. Euroasian J Hepato
Gastroenterol 2016;6(1):65-69.

Muninjaya, A.A.G., 1998. AIDS di Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia.

Nusa et al.2014. Molecular surveillance of Dengue in Sukabumi, West Java province,


Indonesia. J Infect Dev Ctries 2014; 8(6):733-741. doi:10.3855/jidc.3959

Pusdatin Kementrian Kesehatan RI. Infodatin Situasi DBD di Indonesia. 2016.

Paisal, dkk, Serotipe virus Dengue di Provinsi Aceh. ASPIRATOR, 7(1),, pp. 7-12

Pramudiyo Teguh Sucipto, Mursid Raharjo, Nurjazuli.2015.Faktor – Faktor Yang


Mempengaruhi Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) Dan Jenis Serotipe Virus
Dengue Di Kabupaten Semarang. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Vol. 14 No. 2

Riskesdas 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kemenkes RI, 2013


R.T. Sasmono et al.2015. Genomic analysis and growth characteristic of dengue viruses from
Makassar, Indonesia. Infection, Genetics and Evolution 32 165–177

R. Herman et al. 2014.Molecular epidemiology of dengue virus in Manado, North Sulawesi,


Indonesia, 2012. 16th ICID Abstracts / International Journal of Infectious Diseases 21S ;1–460

Soroy Lardo et al. 2016.Concurrent infections of dengue viruses serotype 2 and 3 in patient
with severe dengue from Jakarta, Indonesia. Asian Pacific Journal of Tropical Medicine; 9(2):
134–140
Suroso, T. 2000. Penyakit DBD (Demam Berdarah Dengue) Terjemahan dari WHO Regional
SEARO No. 29 “Prevention Control of Dengue and Dengue Haemoragic Fever”. WHO dan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta

Sri Poeranto, Sutaryo Sutaryo, Hari Kusnanto Josef, Mohammad Juffrie.2016. A relationship
between dengue virus serotype and the clinical severity in paediatric patients from
Gondokusuman region, Yogyakarta between 1995 and 1999. Pediatr Med Rodz 2016, 12 (3),
p. 318–325 DOI: 10.15557/PiMR.2016.0033

Satoto TBT,dkk. 2014. Assessment of vertical dengue virus transmission in Aedes aegypti and
serotype prevalence in Bantul, Indonesia. Asian Pacific Journal of Tropical Disease Volume 4,
Supplement 2, Pages S563-S568

Taslim M,dkk.2018. Diversity of Dengue Virus Serotype in Endemic Region of South Sulawesi
Province. Hindawi Journal of Tropical Medicine.Volume 2018, Article ID 9682784, 4 pages
https://doi.org/10.1155/2018/9682784

Widoyono. 2005. Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan Dan


Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.

Wanti et al. 2016. TRANSOVARIAL TRANSMISSION AND DENGUE VIRUS


SEROTYPES IN AEDES AEGYPTI IN KUPANG. KEMAS 12 (1) 131-138

Yohan B,dkk.2018. Genomic analysis of dengue virus serotype 1 (DENV-1) genotypes from
Surabaya, Indonesia. Virus Genes Volume 54, Issue 3, pp 461–465

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai