Pascapanen Jahe
Hapsoh
Yaya Hasanah
Elisa Julianti
2010
i
USU Press
Art Design, Publishing & Printing
Gedung F,
Jl. Universitas No. 9, Kampus USU
Medan, Indonesia
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang; dilarang memperbanyak menyalin, merekam sebagian
atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Hapsoh
Budidaya dan teknologi pascapanen jahe / Hapsoh, Yaya Hasanah, dan Elisa Julianti. –
Medan: USU Press, 2010.
ISBN: 979-458-369-3
ii
PRAKATA
Jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan tanaman rempah dan obat yang bernilai ekonomi
tinggi. Rimpang jahe memiliki multiguna sebagai minuman penghangat, bumbu dapur,
penambah rasa, bahan baku obat tradisional bahkan pestisida alami.
Sebagian besar produk jahe diekspor ke luar negeri dalam bentuk segar, kering, jahe bubuk,
awetan jahe dan hasil olahan jahe seperti minyak atsiri dan oleoresin. Ekspor komoditas jahe
Indonesia mengalami penurunan sejak 1994 hingga sekarang. Salah satu penyebab penurunan
ekspor jahe adalah rendahnya produktivitas dan mutu karena tidak tersedianya benih unggul
bermutu serta rentannya terhadap serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) terutama
penyakit layu bakteri karena Ralstonia solanacearum.
Khalayak pengguna buku ini adalah kalangan dosen pertanian dengan tujuan untuk
memperkaya wawasan ilmiah dalam mata kuliah Tanaman Obat dan Tanaman Rempah serta
Pangan Fungsional, kalangan mahasiswa pertanian dengan tujuan memperkaya sarana belajar
dan pemahaman ilmu dalam mata kuliah Tanaman Rempah dan Obat serta Pangan Fungsional,
petani jahe sebagai bahan acuan dalam teknik budidaya jahe sistem keranjang, para praktisi
maupun khalayak pembaca umum yang memiliki ketertarikan dalam dunia pertanian
khususnya budidaya jahe.
Struktur buku ini terdiri atas bab-bab yang mengupas tanaman jahe secara keseluruhan dimulai
dari sejarah singkat tanaman jahe, manfaat tanaman jahe, syarat tumbuh tanaman jahe,
budidaya jahe secara umum, budidaya jahe sistem keranjang, prospek budidaya jahe sistem
keranjang, hingga permasalahan budidaya jahe sistem keranjang. Setiap bab dilengkapi
dengan tujuan intruksional yang akan memandu pembaca mengenai arah tujuan pada setiap
bab.
Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi para pengguna dan memperkaya khazanah ilmu
pengetahuan mengenai budidaya jahe secara umum dan budidaya jahe sistem keranjang serta
teknologi pascapanennya sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan ekspor komoditas jahe
Indonesia yang akhir-akhir ini semakin menurun.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
Prakata iii
Daftar Isi iv
Daftar Tabel vi
Daftar Gambar viii
iv
BAB VI. PANEN DAN PASCAPANEN JAHE 57
- Panen 57
- Penanganan Pascapanen 59
- Standar Mutu Jahe 61
- Pengujian Mutu Jahe 62
- Pengambilan Contoh 64
- Petugas Pengambil Contoh 64
v
DAFTAR TABEL
vi
27. Pengaruh Jenis Pupuk Kandang dan Dosis Urea terhadap Bobot 51
Rimpang Basah per Rumpun Tanaman Jahe Gajah Umur 16 Minggu
Setelah Tanam
28. Pengaruh Jenis Pupuk Kandang dan Dosis Urea terhadap Bobot 51
Rimpang Kering per Rumpun Tanaman Jahe Gajah Umur 16 Minggu
Setelah Tanam
29. Pengaruh Dosis Pupuk Kandang terhadap Pertumbuhan Jahe (Zingiber 52
officinale) di Keranjang
30. Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang terhadap Bobot Segar Akar, 54
Batang, Daun, Rimpang dan Diameter Rimpang Jahe
31. Kesehatan Jahe pada Umur 3 Bulan Setelah Tanam pada Berbagai 56
Pemberian Bahan Organik
32. Rataan Bobot Rimpang dari Perlakuan Pupuk Organik dan Media Tanam 56
33. Kadar Air dan Kadar Minyak Atsiri Jahe Merah, Jahe Gajah, dan Jahe 57
Emprit pada Berbagai Umur Panen
34. Syarat Umum Standar Mutu Jahe 61
35. Spesifikasi Persyaratan Mutu Benih (Rimpang) yang Siap Tanam (SNI 62
01-7153-2006)
36. Persyaratan Khusus Mutu Benih Jahe (SNI 01-7153-2006) 62
37. Syarat Mutu Jahe Kering (SNI 01-3393-1994) 68
38. Pengaruh Ketebalan Irisan Jahe terhadap Kadar Air Akhir Jahe Merah 71
yang Dikeringkan secara Kemoreaksi
39. Pengaruh Ketebalan Irisan Jahe terhadap Kadar Air Akhir Jahe Gajah 71
yang Dikeringkan secara Kemoreaksi
40. Pengaruh Ketebalan Irisan Jahe terhadap Kadar Air Akhir Jahe Emprit 71
yang Dikeringkan secara Kemoreaksi
41. Pengaruh Metode Pengeringan terhadap Kadar Air dan Kadar Minyak 73
Atsiri Jahe Merah
42. Pengaruh Metode Pengeringan terhadap Kadar Air dan Kadar Minyak 74
Atsiri Jahe Gajah
43. Pengaruh Metode Pengeringan terhadap Kadar Air dan Kadar Minyak 74
Atsiri Jahe Emprit
44. Kadar Air dan Kadar Minyak Atsiri Jahe Merah, Jahe Gajah, dan Jahe 74
Emprit yang Dikeringkan secara Kemoreaksi dengan Perbandingan
antara Kapur Api dan Jahe 3 : 1
45. Spesifikasi Persyaratan Umum Simplisia Jahe (SNI 01-7084-2005) 75
46. Standar Mutu Simplisia Jahe 76
47. Spesifikasi Persyaratan Khusus Simplisia Jahe (SNI 01-7084-2005) 76
48. Persyaratan Mutu Jahe Berdasarkan Permintaan Pembeli di Australia 79
49. Standar Mutu Minyak Atsiri Jahe 82
50. Produksi Tanaman Biofarmaka di Indonesia Tahun 1999-2003 92
51. Analisis Usahatani Budidaya Jahe Sistem Keranjang 93
52. Jenis Biofarmaka yang Dominan Dipasok Negara Industri Farmasi 94
53. Kebutuhan Industri Obat Tradisional Akan Berbagai Jenis Biofarmaka 95
54. Nilai Ekspor Jahe Dunia dan Ekspor 10 Negara Pesaing Tahun 2000 96
55 Analisis Biaya Pembuatan Kompos 97
56 Analisis Kelayakan Usaha Kompos Selama 3 Tahun 98
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
BAB I
SEJARAH SINGKAT TANAMAN JAHE
Tujuan Instruksional: Menjelaskan asal usul dan penyebaran tanaman, nama daerah dan
nama asing, klasifikasi, deskripsi dan jenis-jenis tanaman jahe.
Pendahuluan
Jahe (Zingiber officinale Rosc) merupakan salah satu dari temu-temuan suku Zingiberaceae
yang menempati posisi sangat penting dalam perekonomian masyarakat Indonesia. Jahe
berperan penting dalam berbagai aspek berupa kegunaan, perdagangan, kehidupan, adat
kebiasaan, kepercayaan dalam masyarakat bangsa Indonesia yang sifatnya majemuk dan
terpencar-pencar. Jahe juga termasuk komoditas yang sudah ribuan tahun digunakan sebagai
bagian dari ramuan rempah-rempah yang diperdagangkan secara luas di dunia ini. Walaupun
tidak terlalu menyolok, penggunaan komoditas jahe berkembang dari waktu ke waktu, baik itu
mengenai jumlah, variasi, kegunaan maupun mengenai nilai ekonominya.
Jahe merupakan tanaman obat dan rempah berupa tumbuhan rumpun berbatang semu dan
merupakan rimpang dari tanaman bernama ilmiah Zingiber officinale Rosc. Jahe berasal dari
Asia Pasifik yang tersebar dari India sampai Cina. Oleh karena itu kedua bangsa ini disebut-
sebut sebagai bangsa yang pertama kali memanfaatkan jahe terutama sebagai bahan minuman,
bumbu masak dan obat-obatan tradisional.
Tanaman jahe di dunia tersebar di daerah tropis, di benua Asia dan Kepulauan Pasifik. Akhir-
akhir ini jahe dikembangkan di Jamaica, Brazil, Hawai,Afrika, India, China dan Jepang,
Filipina, Australia, Selandia Baru, Thailand dan Indonesia. Jahe tumbuh di Indonesia
ditemukan di semua wilayah Indonesia yang ditanam secara monokultur dan polikultur
(Hasanah, et al., 2004)
Dalam dunia perdagangan, penamaan jahe didasarkan kepada daerah asalnya, misal jahe
Afrika, jahe Chochin atau jahe Jamika. Sejak 250 tahun yang lalu, jahe di Cina sudah
digunakan sebagai bumbu dapur dan obat. Di Malaysia, Filipina, dan Indonesia jahe banyak
digunakan sebagai obat tradisional. Sedangkan di Eropa pada abad pertengahan, jahe
digunakan sebagai aroma pada bir (Hardianto, 2005).
Daerah utama produsen jahe di Indonesia adalah Jawa Barat (Sukabumi, Sumedang,
Majalengka, Cianjur, Garut, Ciamis dan Subang), Banten (Lebak dan Pandeglang), Jawa
Sumatera : halia (Aceh), beuing (Gayo), bahing (Batak Karo), pege (Toba), sipode
(Mandailing), lahia (Nias), alia jae (Melayu), sipadeh (Minangkabau),
pege (Lubu), jahi (Lampung).
Jawa : Jahe (Sunda), jae (Jawa), jhai (Madura), jae (Kangean)
Bali : jae, jahya, lahya, ciplakan
Kalimantan : lai (Dayak)
Nusa Tenggara : reja (Bima), alia (Sumba), lea (Flores)
Sulawesi : luya (Mongondow), moyuman (Boros), melito (Gorontalo), yuyo
(Buol), kuya (Baree), goraka (Manado), pase (Bugis)
Maluku : Laiasehi, sehi (Hila), sehil (Nusa laut), siwei (Buru), geraka (Ternate),
gora (Tidore), laian (Aru), leya (Arafuru), pusu, seeia, sehi (Ambon),
hairalo (Amahai.
Papua : lali (Kalana Fat), Marman (Kapaaur)
Halia, haliya padi, haliya udang (Malaysia) ; luya, allam (Filipina) ; adu, ale, ada (India) ;
sanyabil (Arab) ; chiang p’I, khan ciang, kiang, sheng chiang (Cina), gember (Belanda) ;
ginger (Inggris) ; gingembre, herbe au giingembre (Perancis).
Keanekaragaman nama tanaman jahe menunjukkan bahwa penyebaran jahe telah meluas ke
berbagai belahan dunia. Hal ini menunjukkan bahwa telah banyak orang yang mengetahui dan
menggunakan jahe sejak zaman dahulu.
Divisi : Spermatophyta
Sub-divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Zingiber
Species : Zingiber officinale Rosc.
Famili Zingiberaceae terdapat di sepanjang daerah tropis dan sub tropis terdiri atas 47 genera
dan 1.400 species. Genus Zingiber meliputi 80 species yang salah satu diantaranya adalah jahe
yang merupakan species paling penting dan paling banyak manfaatnya.
Tanaman jahe tergolong terna berbatang semu, tinggi 30 cm sampai 1 m, rimpang bila
dipotong berwarna kuning atau jingga. Rimpang jahe berkulit agak tebal membungkus daging
umbi yang berserat dan berwarna coklat beraroma khas. Bentuk daun bulat panjang dan tidak
lebar (sempit). Berdaun tunggal, berbentuk lanset dengan panjang 15 – 23 mm, lebar 8 – 15
mm; tangkai daun berbulu, panjang 2 – 4 mm; bentuk lidah daun memanjang, panjang 7,5 – 10
mm, dan tidak berbulu; seludang agak berbulu. Perbungaan berupa malai tersembul di
permukaan tanah, berbentuk tongkat atau bundar telur yang sempit, 2,75 – 3 kali lebarnya,
sangat tajam; panjang malai 3,5 – 5 cm, lebar 1,5 – 1,75 cm; gagang bunga hampir tidak
berbulu, panjang 25 cm, rahis berbulu jarang; sisik pada gagang terdapat 5 – 7 buah, berbentuk
lanset, letaknya berdekatan atau rapat, hampir tidak berbulu, panjang sisik 3 – 5 cm. Bunga
memiliki 2 kelamin dengan 1 benang sari dan 3 putik bunga daun pelindung berbentuk bundar
telur terbalik, bundar pada ujungnya, tidak berbulu, berwarna hijau cerah, panjang 2,5 cm,
lebar 1 – 1,75 cm; mahkota bunga berbentuk tabung 2 – 2,5 cm, helainya agak sempit,
berbentuk tajam, berwarna kuning kehijauan, panjang 1,5 – 2,5 mm, lebar 3 – 3,5 mm, bibir
berwarna ungu, gelap, berbintik-bintik berwarna putih kekuningan, panjang 12 – 15 mm;
kepala sari berwarna ungu, panjang 9 mm; tangkai putik ada 2.
Berdasarkan ukuran, bentuk dan warna rimpangnya dikenal 3 jenis jahe yaitu jahe putih/
kuning besar atau sering disebut jahe gajah, jahe putih kecil/jahe emprit dan jahe merah.
Berikut dijelaskan gambaran umum ketiga jenis jahe tersebut.
Varietas jahe ini banyak ditanam di masyarakat dan dikenal dengan nama Zingiber officinale
var. officinale. Batang jahe gajah berbentuk bulat, berwarna hijau muda, diselubungi pelepah
daun, sehingga agak keras. Tinggi tanaman 55.88-88,38 cm. Daun tersusun secara berselang-
seling dan teratur, permukaan daun bagian atas berwarna hijau muda jika dibandingkan
dengan bagian bawah. Luas daun 24.87-27.52 cm2 dengan ukuran panjang 17.42-21.99 cm,
lebar 2.00-2.45 cm, lebar tajuk antara 41.05-53.81 cm dan jumlah daun dalam satu tanaman
mencapai 25-31 lembar.
Ukuran rimpangnya lebih besar dan gemuk jika dibandingkan jenis jahe lainnya. Jika diiris
rimpang berwarna putih kekuningan. Berat rimpang berkisar 0.18-1.04 kg dengan panjang
15.83-32.75 cm, ukuran tinggi 6.02-12.24 cm. Ruas rimpangnya lebih menggembung dari
Akar jahe gajah ini memiliki serat yang sedikit lembut dengan kisaran panjang akar 4.53-6.30
cm dan diameter mencapai kisaran 4.53-6.30 mm. Rimpang memiliki aroma yang kurang
tajam dan rasanya kurang pedas. Kandungan minyak atsiri pada jahe gajah 0.82-1.66%, kadar
pati 55.10%, kadar serat 6.89% dan kadar abu 6.6-7,5%.
Jahe gajah diperdagangkan sebagai rimpang segar setelah dipanen pada umur 8-9 bulan.
Rimpang tua ini padat berisi. Ukuran rimpangnya 150-200 gram/rumpun. Ruasnya utuh;
daging rimpangnya cerah; bebas luka dan bersih dari batang semu, akar, serangga tanah dan
kotoran yang melekat.
Jahe ini dikenal dengan nama Latin Zingiber officinale var. rubrum, memiliki rimpang dengan
bobot berkisar antara 0.5-0.7 kg/rumpun. Struktur rimpang kecil-kecil dan berlapis. Daging
rimpang berwarna putih kekuningan. Tinggi rimpangnya dapat mencapai 11 cm dengan
panjang antara 6-30 cm dan diameter antara 3.27-4.05 cm. Ruasnya kecil, agak rata sampai
agak sedikit menggembung. Jahe ini selalu dipanen setelah berumur tua. Akar yang keluar dari
rimpang berbentuk bulat. Panjang dapat mencapai 26 cm dan diameternya berkisar antara
3.91-5.90 cm. Akar yang banyak dikumpulkan dari satu rumpun dapat mencapai 70 g lebih
banyak dari akar jahe besar.
Tinggi tanaman jika diukur dari permukaan tanah sekitar 40-60 cm sedikit lebih pendek dari
jahe besar. Bentuk batang bulat dan warna batang hijau muda hampir sama dengan jahe besar,
hanya penampilannya lebih ramping dan jumlah batangnya lebih banyak.
Kedudukan daunnya berselang seling dengan teratur. Warna daun hijau muda dan berbentuk
lancet. Jumlah daun dalam satu batang 20-30 helai. Panjang daun dapat mencapai 20 cm
dengan lebar daun rerata 25 cm.
Jahe merah/jahe sunti (Zingiber officinale var. amarum) memiliki rimpang dengan bobot
antara 0.5-0.7 kg/rumpun. Struktur rimpang jahe merah, kecil berlapis-lapis dan daging
rimpangnya berwarna merah jingga sampai merah, ukuran lebih kecil dari jahe kecil. Diameter
rimpang dapat mencapai 4 cm dan tingginya antara 5,26-10,40 cm. Panjang rimpang dapat
mencapai 12.50 cm. Jahe merah selalu dipanen setelah tua, dan juga memiliki kandungan
minyak atsiri yang lebih tinggi dibandingkan jahe kecil, sehingga cocok untuk ramuan obat-
obatan.
Akar yang keluar dari rimpang berbentuk bulat, berdiameter antara 2,9-5,71 cm dan
panjangnya dapat mencapai 40 cm. Akar yang dikumpulkan dalam satu rumpun jahe merah
dapat mencapai 300 gram, jauh lebih banyak dari jahe gajah dan jahe emprit.
Susunan daun terletak berselang-seling teratur, berbentuk lancet dan berwarna hijau muda
hingga hijau tua. Panjang daun dapat mencapai 25 cm dengan lebar antara 27-31 cm.
Kandungan dalam rimpang jahe merah antara lain minyak atsiri 2,58-3,90%, kadar pati
44,99%, dan kadar abu 7,46%.
Jahe merah memiliki kegunaan yang paling banyak jika dibandingkan jenis jahe yang lain.
Jahe ini merupakan bahan penting dalam industri jamu tradisional dan umumnya dipasarkan
dalam bentuk segar dan kering.
Bermawie et al., (2003) melakukan eksplorasi dan pengumpulan plasma nutfah jahe berbagai
tipe/keragaman yang ada di alam, terutama ras-ras lokal dari daerah pusat keragaman maupun
sentra produksi. Sampai tahun 1996 telah terkumpul 44 nomor koleksi dari berbagai tipe
(Tabel 1) yang sebagian besar berasal dari pengumpulan oleh donor/curator. Namun sebagian
besar nomor-nomor tersebut akhirnya hilang atau mati diantaranya akibat kurangnya
pemeliharaan dan serangan penyakit bakteri layu. Pada tahun 1997 kemudian dilakukan
kembali eksplorasi ke daerah sentra utama di Jawa Barat dan Jawa Tengah serta pengumpulan
informal oleh peneliti yang dinas ke daerah sehingga terkumpul 16 nomor jahe putih besar, 16
nomor jahe putih kecil dan 4 nomor jahe merah (Tabel 2).
Lebih lanjut Bermawie et al., (2003) mengemukakan agar plasma nutfah dapat dimanfaatkan
secara optimal, perlu dilakukan pembuatan klasifikasi koleksi kerja, identifikasi sumber/donor
sifat-sifat penting, memperbesar keragaman genetik untuk sifat-sifat tertentu, memperbesar
keragaman sifat agronomis pada populasi yang digunakan, mempelajari biologi bunga dan
sistem penyerbukan dari koleksi yang akan digunakan, mempelajari kesesuaian persilangan
intra dan antar disiplin, misalnya untuk evaluasi ketahanan terhadap cekaman lingkungan
biotik dan abiotik. Karakterisasi nomor aksesi plasma nutfah dari tiga tipe jahe utama meliputi
sifat morfologi, komponen hasil dan mutu (Tabel 3, 4 dan 5).
Analisa keragaman genetik dan hubungan kekerabatan antar aksesi plasma nutfah berdasarkan
sifat morfologi dan mutu menggolongkan jahe kedalam tiga tipe utama, yaitu jahe putih besar,
jahe putih kecil dan jahe merah. Analisa keragaman menggunakan marka molekuler AFLP
menghasilkan keragaman genetik jahe sangat rendah dengan indeks keragaman 0,22. Jahe
putih kecil memiliki keragaman genetik yang lebih luas (0,26) dari pada jahe putih besar
(0,08). Pembagian jahe ke dalam tiga kelompok berdasarkan analisa molekuler tidak begitu
tegas, tidak sejalan dengan pembagian berdasarkan sifat ukuran dan warna rimpang.
Tujuan Instruksional: Menjelaskan manfaat tanaman jahe dari segi makanan, minuman dan
efek farmakologi.
Jahe merupakan salah satu tanaman obat komersial yang sudah banyak dikenal masyarakat
karena banyak manfaatnya. Manfaat jahe yang sudah dipercaya secara turun temurun oleh
masyarakat baik di Indonesia maupun di negara-negara lain adalah sebagai obat gosok untuk
penyakit encok, obat gosok untuk sakit kepala, bahan obat, bumbu masak, penyedap, minuman
penyegar, manisan, penghangat badan, menghilangkan flu, masuk angin, mengatasi keracunan,
mengatasi lemah syahwat, antioksidan, antimikroba dan antitusif. Sebagian besar kepercayaan
masyarakat terhadap khasiat jahe ini sudah dapat dibuktikan secara ilmiah.
Penggunaan rimpang jahe tergantung pada klon (jenisnya). Jahe putih besar (gajah/badak)
mempunyai rasa yang tidak terlalu pedas, dan umumnya digunakan sebagai bahan makanan
seperti manisan, asinan atau minuman segar. Jahe putih kecil (jahe emprit) mempunyai rasa
yang lebih pedas, umumnya digunakan untuk bumbu masak, sumber minyak atsiri dan
pembuatan oleoresin sedangkan bubuknya dimanfaatkan dalam ramuan obat tradisional
(jamu). Jahe merah (jahe sunti) mempunyai kandungan minyak atsiri yang lebih tinggi
(Yuliani et al, 1991) dan banyak digunakan sebagai obat tradisional, tetapi di Sulawesi dan
Maluku klon ini justru digunakan sebagai bumbu masak.
Jahe merupakan tanaman multiguna. Rimpang jahe dapat digunakan sebagai bumbu masak,
pemberi aroma dan rasa pada makanan seperti roti, kue, biskuit, kembang gula dan berbagai
minuman (bandrek, sekoteng, dan sirup). Jahe juga dapat digunakan pada industri obat,
minyak wangi, industri jamu tradisional, diolah menjadi asinan jahe, dibuat acar dan lalap.
Bahkan dewasa ini para petani cabe menggunakan jahe sebagai pestisida alami.
Dalam perdagangan jahe dijual dalam bentuk segar, kering, jahe bubuk, awetan jahe atau
dikemas dalam bentuk kapsul yang mengandung 500 mg serbuk jahe atau dalam bentuk kristal
jahe. Disamping itu terdapat hasil olahan jahe seperti: minyak atsiri dan oleoresin yang
diperoleh dengan cara penyulingan yang berguna sebagai bahan pencampur dalam minuman
beralkohol, es krim, campuran sosis dan lain-lain. Di Asia, jahe diolah dalam bentuk minuman
seduh atau kembang gula. Sedangkan di Indonesia, jahe dapat ditemukan dalam bentuk
minuman seduh dan salah satu komponen jamu (Hasanah et al., 2004; Hardianto, 2005).
Komposisi kimia jahe terdiri dari minyak atsiri 2 - 3%, pati, resin, asam-asam organik, asam
malat, asam oksalat dan gingerin (Depkes, 1989). Di samping itu, rimpang jahe juga
mengandung lemak, lilin, karbohidrat, vitamin A, B dan C, mineral senyawa-senyawa
flavonoid dan polifenol. Rimpang jahe juga mengandung enzim proteolitik yang disebut
zingibain. Bahan aktif pada rimpang jahe terdiri atas:
Minyak atsiri merupakan campuran senyawa organik mudah menguap (volatile oil), tidak larut
air dan mempunyai bau khas. Kandungan minyak atsiri dalam jahe kering sekitar 1 – 3 persen.
Minyak ini kebanyakan mengandung terpen, fellandren, dextrokamfen, bahan sesquiterpen
yang dinamakan zingiberen, zingeron damar, pati. Komponen utama minyak atsiri jahe yang
menyebabkan bau harum adalah zingiberen (35%), kurkumin (18%), farnesene (10%) serta
bisabolene dan b-sesquiphellandrene dalam jumlah kecil. Di samping itu juga terdapat
sedikitnya 40 hidrokarbon monoterpenoid yang berbeda seperti 1,8-cineole, linalool, borneol,
neral dan geraniol (Govindarajan, 1982).
Kandungan minyak atsiri pada jahe merah yaitu sekitar 2,58-3,90%, dihitung berdasarkan
berat kering. Kandungan atsiri pada jahe putih adalah 0.82-1.68%, sedangkan pada jahe putih
kecil yaitu 1,5-3,3%. Senyawa minyak atsiri pada umumnya berwarna kuning, sedikit kental
dan merupakan senyawa yang memberikan aroma pada jahe.
Kandungan minyak atsiri pada jahe sangat dipengaruhi umur tanaman dan umur panen.
Semakin tua umur jahe maka semakin tinggi kandungan minyak atsirinya. Akan tetapi, selama
dan sesudah pembungaan, persentase kandungan minyak atsiri berkurang sehingga tidak
dianjurkan jahe dipanen pada saat itu.
Komponen non volatile jahe yaitu oleoresin merupakan senyawa fenol dengan rantai karbon
samping yang terdiri dari tujuh atau lebih atom karbon. Komponen ini merupakan pembentuk
rasa pedas yang tidak menguap pada jahe. Komponen dalam oleoresin jahe terdiri atas
gingerol, gingerdiols, gingerdiones, dihidrogingerdiones, shagaol, paradols dan zingerone
yang memberikan rasa pedas di mulut. Gingerol merupakan komponen aktif utama pada jahe
segar (Govindarajan, 1982) sedangkan shogaol merupakan komponen utama pada jahe kering
(Connel and Sutherland, 1969).
Persepsi sensori dari jahe di dalam mulut dan di hidung disebabkan komponen volatile
(minyak atsiri) dan non volatile (oleoresin). Minyak atsiri menimbulkan aroma harum pada
jahe, sedangkan oleoresinnya menyebabkan rasa pedas. Minyak atsiri dapat diperoleh atau
diisolasi dengan destilasi uap dari rhizoma jahe kering. Ekstrak minyak jahe berbentuk cairan
kental berwarna kehijauan sampai kuning, berbau harum tetapi tidak memiliki komponen
pembentuk rasa pedas.
Saat ini pangan telah diandalkan sebagai pemelihara kesehatan dan kebugaran tubuh. Bahkan
bila dimungkinkan, pangan harus dapat menyembuhkan atau menghilangkan efek negatif dari
penyakit tertentu. Dari sinilah lahir konsep pangan fungsional (functional foods), yang akhir-
akhir ini sangat populer di kalangan masyarakat dunia. Pangan fungsional merupakan produk
pangan yang memberikan keuntungan terhadap kesehatan. Pangan fungsional dapat mencegah
atau mengobati penyakit (Goldberg, 1994).
Definisi pangan fungsional menurut Badan POM adalah pangan yang secara alamiah maupun
telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian
ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan,
Jahe merupakan jenis rempah-rempah yang mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi karena
rimpangnya paling banyak digunakan baik sebagai bumbu dalam berbagai resep makanan,
pemberi rasa dan aroma pada makanan seperti roti, kue, biskuit, kembang gula maupun
sebagai bahan dasar dalam pembuatan minuman. Jahe juga digunakan pada industri obat,
minyak wangi, industri jamu tradisional atau diolah menjadi asinan jahe dan acar, lalap,
bandrek, sekoteng dan sirup.
Di Jepang, rebung atau tunas jahe dijadikan bahan sayur, acar, atau asinan. Hasil olahan itu
sangat populer karena aroma dan cita rasanya yang khas. Terhadap tubuh, makanan dari
rebung jahe membantu menyehatkan badan, memperlancar air seni, dan memperbaiki sistem
pencernaan. Di Indonesia, mungkin baru orang Manado yang memanfaatkan rebung jahe
sebagai salah satu pendamping nasi untuk lalapan didampingi sambal pedas. Cara
memakannya selalu diikuti dengan meminum saguer (semacam tuak). Terkadang rebung jahe
terlebih dahulu dimasukkan ke dalam saguer, dan supaya awet ke dalamnya diberi sedikit
garam. Lalapan ini dipercaya dapat membuat tenaga menjadi berlipat ganda.
Rimpang jahe sudah digunakan sebagai obat di negara-negara Asia termasuk Indonesia, Cina,
Arab dan India. Secara turun temurun jahe biasa digunakan masyarakat sebagai obat masuk
angin, gangguan pencernaan, sebagai analgesik, antipiretik, anti-inflamasi, menurunkan kadar
kolesterol, mencegah depresi, impotensia dan lain-lain. Di Cina jahe sudah digunakan secara
intensif sejak lebih dari 2500 tahun yang lalu untuk mengobati sakit kepala, mual/muntah dan
batuk (Grant and Lutz, 2000).
Menurut Farmakope Belanda, Zingiber rhizoma yang berupa rimpang mengandung 6% bahan
obat-obatan yang sering dipakai sebagai rumusan obat-obatan atau sebagai obat resmi di 23
negara. Menurut daftar prioritas WHO, jahe merupakan tanaman obat-obatan yang paling
banyak dipakai di dunia. Di negara Malaysia, Filipina dan Indonesia telah banyak ditemukan
manfaat therapeutis.
Jahe juga dapat digunakan pada obat tradisional sebagai obat sakit kepala, obat batuk, masuk
angin, untuk mengobati gangguan pada saluran pencernaan, stimulansia, diuretik, rematik,
menghilangkan rasa sakit, obat anti mual dan mabuk perjalanan, kolera, diare, sakit
tenggorokan, difteria, neuropati, sebagai penawar racun ular dan sebagai obat luar untuk
mengobati gatal digigit serangga, keseleo, bengkak, serta memar.
Hasil uji farmakologi menunjukkan bahwa jahe mempunyai aktivitas sebagai anti inflamasi.
Uji laboratorium menunjukkan bahwa ekstrak jahe dalam air panas menghambat aktivitas
siklooksigenase dan lipoksigenase sehingga menurunkan kadar prostaglandin dan leukotriena
(mediator inflamasi). Pemberian secara per oral dari ekstrak jahe pada tikus menurunkan
bengkak.
Hasil penelitian membuktikan bahwa secara in-vitro komponen aktif pada jahe dapat
digunakan sebagai anti inflamasi (Kiuchi et al., 1982; Mascolo et al., 1989). Kemampuan
sebagai antioksidan dan anti inflamantori jahe ini berkontribusi terhadap aktivitasnya sebagai
antikarsinogenik dan antimutagenik.
Antioksidan merupakan senyawa berberat molekul kecil yang dapat bereaksi dengan oksidan
sehingga reaksi oksidasi yang merusak biomolekul dapat dihambat (Langseth, 1995).
Beberapa macam penyakit yang disebabkan oleh oksidan seperti kardiovaskular, kanker, dan
katarak dapat dihambat oleh antioksidan (Supari, 1996). Kebanyakan efek membahayakan
yang potensial dari oksidan berasal dari spesies oksigen reaktif (ROS) seperti radikal bebas,
yang dapat berasal dari polusi, debu, maupun diproduksi secara kontinyu sebagai konsekuensi
metabolisme normal.
Jahe mengandung komponen kimia turunan fenol yang dapat bersifat sebagai antioksidan,
antara lain gingerol dan zingeberon. Senyawa-senyawa ini mampu menginaktifkan atau
menetralisir Reactive Oxygen Species, penyebab stress oksidatif dalam tubuh, sehingga tidak
sempat bereaksi dengan komponen-komponen biologis baik seluler, subseluler, sel imun,
molekuler maupun jaringan. Senyawa-senyawa antioksidan jahe ini mempunyai aktivitas
antioksidan di atas vitamin E (Kikuzaki and Nakatani 1993). Konsumsi jahe setiap hari dapat
meningkatkan aktivitas sel T dan daya tahan limfosit terhadap stres oksidatif (Nurrahman et
al., 1999).
Antioksidan dari jahe dapat diekstraksi dengan menggunakan pelarut diklorometan ataupun
etanol. Penelitian yang dilakukan oleh Kikuzaki dan Nakatani (1993) menunjukkan bahwa
aktivitas antioksidan ekstrak diklorometana jahe fraksi 1 sampai 11 yang dipisahkan dengan
kolom kromatografi dan HPLC dan a-tokoferol lebih besar dibandingkan ekstrak etanol jahe.
Antioksidan jahe juga dapat diekstraksi dengan menggunakan air, meskipun aktivitas
antioksidannya lebih kecil dari pada aktivitas antioksidan jahe yang diekstraksi dengan
diklorometana. Hasil penelitian Septiana et al., (2002) menunjukkan bahwa ekstrak air jahe
yang berasal dari jahe segar maupun ekstrak air jahe dari jahe bubuk dan ekstrak
diklorometana jahe mempunyai aktivitas antioksidan terhadap asam linoleat terbukti dari
kemampuannya dalam menghambat pembentukan malonaldehida. Hal ini memungkinkan
untuk diperolehnya manfaat antioksidan dari jahe dengan cara mengkonsumsi sari jahe
ataupun sirup jahe.
Ekstrak diklorometana jahe yang mempunyai aktivitas antioksidan lebih besar (A = 0,113)
dibandingkan ekstrak air jahe (A = 0,154 untuk ekstrak air dari jahe bubuk dan A = 0,149
untuk ekstrak dari jahe segar) mungkin disebabkan oleh kadar total fenol dari ekstrak
diklorometana jahe lebih besar dibandingkan ekstrak air jahe. Kadar total fenol ekstrak
diklorometana jahe, ekstrak air dari jahe segar, dan kadar total fenol dan ekstrak air dari bubuk
jahe masing-masing adalah 18,68, 4,77 mg/g, dan 3,47 mg/g. Aktivitas antioksidan ekstrak
Beberapa hasil penelitian yang menunjukkan kemampuan jahe mencegah kanker adalah
sebagai berikut:
• Ekstrak alkohol dari jahe dengan konsentrasi 0.2-1 mg/ml dapat menghambat
pertumbuhan sel tumor pada manusia dan harmster secara in-vitro (Unnikrishnan and
Kuttan, 1988).
• Beberapa komponen yang terdapat di dalam jahe dapat mencegah pertumbuhan kanker
dengan cara mentransformasi sel kanker. Oleoresin jahe yang terdiri dari 6-gingerol,
vaniloid dan 6-paradol dapat menekan proliferasi sel kanker pada manusia melalui proses
apoptosis (Lee and Surh, 1998, Lee et al., 1998), serta dapat menurunkan viabilitas sel
HL-60 (promyelocytic leukemia) pada manusia (Lee and Surh, 1998).
• β-elemene adalah obat antikanker terbaru yang diekstrak dari tanaman jahe. Bahan ini
dapat memicu apoptosis dari sel kanker paru-paru melalui pelepasan mitokondrial dari
jalur apoptosi pada sitokrom-c (Shukla and Singh, 2007).
• Derivatif gingerdion yaitu 1-(3,4-Dimetoksifenil)-3,5-dodesenedion efektif digunakan
sebagai bahan antitumor pada sel leukemia manusia (Hsu et al., 2005).
• Komponen zerumbone dari jahe mempunyai aktivitas sebagai antiproliferatif dan
antiinflamasi (Takada et al., 2005).
• Gingerol pada jahe juga mempunyai kemampuan untuk menekan pertumbuhan
karsinogenesis pada kulit tikus (Katiyar et al., 1996, Park et al., 1998).
• Jahe telah lama digunakan dalam mecegah berbagai penyakit pencernaan dan jahe juga
mempunyai aktivitas sebagai bahan pencegah kanker usus (chemopreventive dan/atau
chemotherapeutic) (Bode, 2003, Dias et al., 2006).
• Pemberian ekstrak air panas dari jahe secara terus menerus pada tikus dapat mencegah
perkembangan kanker payudara (Nagasawa et al., 2002).
• Komponen bioaktif jahe dapat meningkatkan respons sitolitik dari sel Natural Killer (NK
cell) dalam menghancurkan sel kanker
Ekstrak jahe dapat meningkatkan daya tahan tubuh yang direfleksikan dalam sistem
kekebalan, yaitu memberikan respons kekebalan inang terhadap mikroba pangan yang masuk
ke dalam tubuh. Hal ini disebabkan karena ekstrak jahe dapat memacu proliferasi limfosit dan
menekan limfosit yang mati (Zakaria et al.1996) serta meningkatkan aktivitas fagositas
makrofag (Zakaria dan Rajab 1999). Ekstrak jahe juga mampu meningkatkan aktivitas salah
satu sel darah putih, yaitu sel natural killer (NK) dalam melisis sel targetnya, yaitu sel tumor
dan sel yang terinfeksi virus (Zakaria et al., 1999). Studi pada mahasiswa yang diberi
minuman jahe menunjukkan adanya perbaikan sistem imun (kekebalan tubuh) (Zakaria et al.,
2000).
Dari hasil penelitian diketahui bahwa komponen bioaktif jahe yaitu oleoresin, gingerol dan
shogaol dapat meningkatkan kadar glutation di dalam limfosit yang mengalami stress
oksidatif. Glutation (γ-glutamil-sisteinil-glisin) adalah komponen non protein yang terdapat di
dalam jaringan hewan dan sel-sel eukariotik, dan berperan dalam fungsi-fungsi sel seperti
sintesis DNA dan protein, detoksifikasi komponen xenobiotik serta menjaga fungsi imun
(Tejasari dan Zakaria, 2006).
Jahe juga mempunyai aktivitas antiemetik dan digunakan untuk mencegah mabuk perjalanan.
Komponen gingerol dan shogaol pada jahe juga mempunyai aktivitas antirematik sehingga
jahe dapat berfungsi sebagai anti-inflamasi rematik arthritis kronis (Kimura et al., 1997).
Hasil penelitian di Cina melaporkan bahwa pada 113 penderita rematik dan sakit punggung
kronis yang disuntik 5 – 10% ekstrak jahe memberikan efek pengurangan rasa sakit,
menurunkan pembengkakan tulang sendi. Pemberian secara per oral serbuk jahe pada
penderita rematik dan musculoskeletal dilaporkan menurunkan rasa sakit dan pembengkakan.
Khasiat lain dari jahe adalah sebagai antiemetik (antimuntah) dan sangat berguna pada ibu
hamil untuk mengurangi morning sickness. Suatu penelitian melaporkan bahwa jahe sangat
efektif menurunkan metoklopamid senyawa penginduksi nusea (mual) dan muntah.
Jahe dapat merangsang kelenjar pencernaan, baik untuk membangkitkan nafsu makan,
memperkuat lambung, dan memperbaiki pencernaan. Hal ini dimungkinkan karena
terangsangnya selaput lendir perut besar dan usus oleh minyak atsiri yang dikeluarkan
rimpang jahe. Minyak jahe berisi gingerol yang berbau harum khas jahe, berkhasiat mencegah
dan mengobati mual dan muntah, misalnya karena mabuk kendaraan atau pada wanita yang
hamil muda. Jahe mampu memblok serotonin, yaitu senyawa kimia yang dapat menyebabkan
perut berkontraksi, sehingga timbul rasa mual termasuk mual akibat mabok perjalanan.
Mengunyah jahe dapat merangsang pengeluaran air liur dan cairan pencernaan, juga
mengurangi mual dan muntah. Wanita hamil juga dianjurkan agar mengonsumsi jahe untuk
menghilangkan rasa mual dan muntah selama kehamilan. Pembuktian ilmiah telah dilakukan
di Inggris yang menunjukkan jahe efektif mengurangi mual bahkan mual yang timbul setelah
operasi.
Jahe juga dapat membuat lambung menjadi nyaman, meringankan kram perut dan membantu
mengeluarkan angin. Rasa jahe yang tajam merangsang nafsu makan, memperkuat otot usus,
membantu mengeluarkan gas usus serta membantu fungsi jantung. Enzim pencernaan yaitu
protease dan lipase yang terdapat pada jahe juga membantu meningkatkan proses pencernaan.
Stimulan system saraf pusat (SSP) adalah obat yang dapat merangsang serebrum medulla dan
sumsum tulang belakang. Stimulasi daerah korteks otak depan oleh senyawa stimulant SSP
akan meningkatkan kewaspadaan, pengurangan kelelahan pikiran dan menambah semangat.
Rimpang jahe digunakan sebagai minuman penyegar untuk menghilangkan rasa letih dan
penat sejak dahulu oleh kalangan masyarakat Jawa Barat dan sekitarnya (Wijayakusumah,
2001). Hal ini dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Suwendar et al., (2004) yang
menyatakan bahwa pemberian infusa rimpang jahe yang diberikan secara oral memberikan
efek stimulan sistem saraf pusat berupa peningkatan rasa ingin tahu dan aktivitas motorik
berdasarkan uji sangkar putar pada mencit. Sediaan infusa jahe dibuat dengan cara
memanaskan 10 gram simplisia kering jahe di dalam 100 ml air di atas penangas air bersuhu
90oC selama 15 menit sambil diaduk. Infusa ini diberikan kepada mencit putih jantan galur
Swiss-Webster dengan berat antara 20-27 gram berumur 4-6 minggu. Dosis infusa rimpang
jahe uji yang diberikan adalah 305 mg/kg bb (dosis I); 610 mg/kg bb (dosis II) dan 1220
mg/kg bb (dosis III). Aktivitas motorik dan rasa ingin tahu mencit diuji dengan menggunakan
metode sangkar putar, metode ketahanan berenang, metode papan datar dan metode meja
miring.
Dari hasil penelitian ini diperoleh hasil bahwa infusa rimpang jahe yang diberikan secara oral
memberikan efek stimulan sistem saraf pusat berupa peningkatan rasa ingin tahu dan aktivitas
motorik berdasarkan uji sangkar putar. Infusa rimpang jahe dosis 305 mg/kg bb dan 1220
mg/kg bb meningkatkan jumlah putaran pada uji roda sangkar putar pada menit ke-60 sampai
ke-90. Infusa rimpang jahe dengan dosis 610 mg/kg bb dapat meningkatkan jumlah putaran
pada uji roda sangkar putar pada menit ke 75-90. Pada metode meja datar, pemberian infusa
rimpang jahe dapat meningkatkan rasa ingin tahu pada dosis 1220 mg/kg bb yang ditunjukkan
dengan adanya peningkatan jumlah jengukan. Pada metode papan miring pemberian infusa
rimpang jahe dapat mempercepat waktu pertama kali mencit menaiki papan pada dosis 1220
mg/kg bb.
Efek yang ditimbulkan oleh infus rimpang jahe lebih mendekati kerja amfetamin dibanding
kafein (Suwendar et al., 2004). Amfetamin sebagai stimulan SSP bekerja menstimulasi
pelepasan neurotransmitter katekolamin seperti dopamin atau noradrenalin dengan
menghambat ambilan kembali dan memfasilitasi kerja (membebaskan) katekolamin sehingga
efek terhadap perilaku adalah dapat meningkatkan kewaspadaan, menekan perasaan letih,
mengurangi nafsu makan, menimbulkan perasaan kemampuan diri berlebih, insomnia,
meningkatkan inisiatif serta euphoria, sehingga amfetamin lebih berefek kepada peningkatan
rasa ingin tahu.
e. Antikoagulan
Gingerol pada jahe bersifat sebagai antikoagulan, yaitu mencegah penggumpalan darah
sehingga dapat mencegah tersumbatnya pembuluh darah yang menjadi penyebab utama stroke,
dan serangan jantung. Gingerol juga diduga membantu menurunkan kadar kolesterol di dalam
darah.
Jahe dapat menurunkan tekanan darah dengan cara merangsang pelepasan hormon adrenalin
dan memperlebar pembuluh darah, akibatnya darah mengalir lebih cepat dan lancar serta
memperingan kerja jantung dalam memompa darah.
Pengendalian hama dan penyakit pada tanaman umumnya dilakukan dengan menggunakan
pestisida. Petani sebagai pelaku utama kegiatan pertanian sering menggunakan pestisida
sintetis secara berlebihan terutama untuk penyakit-penyakit tanaman yang sulit dikendalikan.
Jahe merupakan salah satu bahan alami yang dapat dimanfaatkan sebagai pestisida karena
kemampuannya untuk menghambat perkembangan penyakit pada tanaman, misalnya pada
tanaman cabe.
Tabel 6. Bahan Aktif dan Efek Farmakologis Jahe Merah
No. Nama zat aktif Efek farmakologis
1. Limone Menghambat jamur Candida albicans, antikholinesterase, obat
flu.
10. Chlorogenic acid Mencegah poses penuaan, merangsang regenerasi sel kulit,
(seluruh bagian farnesal.
tanaman)
Tujuan Instruksional: Menjelaskan lingkungan tumbuh yang sesuai bagi tanaman jahe
ditinjau dari lingkungan abiotik (keadaan iklim dan tanah) dan
lingkungan biotik (keberadaan hama, patogen dan gulma).
Agroekosistem sangat berperan penting dalam keberhasilan budidaya suatu jenis tanaman.
Pertumbuhan jahe sangat dipengaruhi kondisi lingkungan abiotik dan biotik. Kondisi abiotik
seperti iklim dan tanah memegang peranan yang sangat penting. Jahe pada umumnya cocok
ditanam pada tanah yang subur dan gembur, banyak mengandung bahan organik (humus)
dengan drainase dan aerasi bagus.
Lingkungan abiotik yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi jahe meliputi semua
makhluk hidup seperti hama, patogen dan gulma yang mengganggu pertanaman jahe.
Faktor lingkungan fisik yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman jahe adalah
iklim yang meliputi curah hujan, ketinggian tempat, suhu dan kelembaban udara. Faktor-faktor
lingkungan yang kurang sesuai dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi rimpang jahe.
Oleh karena itu, perlu dilakukan beberapa manipulasi sehingga diperoleh kondisi lingkungan
yang sesuai dengan kebutuhan jahe.
Iklim
Menurut Oldeman tipe iklim di Indonesia yaitu tipe A, B, C, D dan E. Tipe iklim yang paling
sesuai untuk tanaman jahe adalah tipe iklim A, B dan C1. Contohnya pada daerah Sukabumi,
Bengkulu, Lampung dan Sumatera Barat. Berikut akan dijelaskan syarat tumbuh tanaman jahe
ditinjau dari faktor-faktor iklim:
a. Curah hujan
Curah hujan merupakan salah satu faktor iklim yang sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan jahe. Jahe pada awal pertumbuhan hingga berumur 4 bulan memerlukan
curah hujan sekitar 2500-4000 mm/tahun, dengan bulan kering kurang dari 5 bulan setiap
tahunnya. Setelah berumur 4 bulan, curah hujan diharapkan berangsur-angsur berkurang
sehingga memungkinkan sinar matahari bertambah banyak sampai rimpang jahe siap
untuk dipanen.
Tanah
Tanah yang akan dipergunakan untuk produksi jahe harus memenuhi beberapa syarat yaitu:
1. Lahan bebas dari infeksi penyakit tular tanah (soil borne) dan tular benih (seed borne).
Lahan lokasi pertanaman yang telah terinfeksi penyakit layu bakteri yang merupakan salah
satu penyakit soil borne, hanya bisa diusahakan setelah 5 tahun. Lokasi pertanaman jahe
yang dibudidayakan secara organik dilakukan secara terpisah dengan pertanaman jahe
tidak organik.
2. Lahan bersih dari gulma agar mencegah persaingan dalam penyerapan unsur hara, air dan
sinar matahari.
3. Lahan pertanaman jahe hanya diperkenankan satu kali saja, penggunaan lahan baru sangat
disarankan. Masalah yang dihadapi dalam budidaya jahe dengan pola tanam beruntun
yaitu kehilangan hasil pada pertanaman yang kedua. Salah satu penyebabnya adalah
pengaruh fitotoksik dari pertanaman yang mendahului (alelopati). Penelitian Walalangi
(1997) menunjukkan terjadinya kehilangan hasil (bobot kering rimpang) terutama pada
pertanaman kedua dengan waktu tanam 7/2 yaitu waktu tanam 2 bulan setelah panen
pertanaman pertama umur 7 bulan. Besarnya kehilangan hasil sebanyak 45.59%. Besarnya
kehilangan hasil semakin meningkat dengan semakin lambatnya waktu tanam pertama dan
semakin lambatnya waktu tanam yang kedua.
Pengaruh senyawa toksik tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bibit jahe pada
pertanaman kedua di lapangan (Tabel 7). Fenomena tersebut karena jumlah senyawa
toksik dalam tanah telah berkurang setelah melewati selang waktu 5-8 bulan setelah panen
pertanaman pertama. Berkurangnya senyawa toksik tersebut bisa terjadi karena pencucian
dan aktivitas mikroorganisme yang mengubah senyawa toksik menjadi non toksik.
4. Tanaman jahe menghendaki lahan subur, gembur dengan drainase dan aerasi baik, banyak
mengandung bahan organik. Jenis tanah yang umum digunakan pada pertanaman jahe
adalah tanah andosol, latosol merah coklat, asosiasi andosol latosol merah coklat, terutama
pada lahan hutan yang baru dibuka.
Jenis tanah Andosol memiliki tingkat kesuburan yang paling baik dibandingkan jenis
tanah lainnya. Jenis tanah Latosol merah coklat memiliki kesuburan yang sedang, tetapi
struktur tanahnya relatif gembur.
Tekstur tanah juga akan mendukung pertumbuhan rimpang yang baik. Rimpang jahe akan
berkembang baik pada struktur tanah gembur dengan fraksi liat, debu dan pasir yang
relatif seimbang. Tekstur tanah dapat mempengaruhi bentuk, ukuran dan keutuhan saat
rimpang dipanen.
5. Derajat kemasaman (pH) tanah yang toleran bagi jahe 4.3-7.4 dan pH optimum 6.8-7.0.
Jika tanah belum memiliki kisaran pH tersebut maka perlu dilakukan pengapuran.
6. Tanaman jahe tidak cocok ditanam di tanah rawa dan tanah berat yang banyak
mengandung fraksi liat dan pada tanah yang didominasi kandungan pasir kasar. Jahe juga
tidak menghendaki tanah dengan sistem drainase jelek dan tergenang air. Genangan air
dapat mengakibatkan rimpang menjadi busuk.
7. Lahan produksi hendaknya dekat dengan wilayah pengembangan dengan tujuan
menghemat biaya trasportasi dan menghindari penularan penyakit pada benih dari daerah
endemik ke daerah bukan endemik. Hasanah et al., 2004 menyatakan isolasi jarak
diperlukan untuk menghindari terjadinya penularan penyakit. Pada lahan datar dianjurkan
isolasi jarak ± 10 – 100 cm.
Lingkungan biotik yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi jahe ada tidaknya
serangan hama dan patogen serta persaingan dengan gulma.
Hama
Penyakit
Tujuan Instruksional: Menjelaskan budidaya jahe secara umum di lapangan yang meliputi
pembibitan, persiapan lahan, persiapan media tanam, penanaman,
pemeliharaan, penyulaman, pengendalian hama penyakit tanaman dan
gulma, pembumbunan dan pemupukan.
Pembibitan
a. Pemilihan Bibit
Bibit jahe berkualitas adalah bibit yang memenuhi mutu genetik, mutu fisiologi (persentase
daya tumbuh yang tinggi) dan mutu fisik. Mutu fisik pada bibit jahe yaitu bibit harus bebas
hama dan penyakit, kriteria yang harus dipenuhi untuk mutu fisik antara lain bibit jahe yang
dipilih berasal dari tanaman induk yang sehat dan berumur 9-12 bulan, bibit jahe diambil
langsung dari kebun (bukan dari pasar) dan telah mengalami penyimpanan selama 1-1.5 bulan.
Rimpang bakal bibit harus dalam kondisi baik, kulit rimpang mulus (tidak terluka dan lecet),
tidak memar, tidak terserang penyakit layu bakteri, busuk rimpang dan hama lalat rimpang
serta mempunyai mata tunas. Volume kebutuhan bibit jahe per ha lahan adalah 1.2 – 3 ton,
tergantung jarak tanam, pola tanam dan jenis jahe yang ditanam.
Persiapan Lahan
Untuk mendapatkan hasil panen yang optimal harus diperhatikan syarat-syarat tumbuh yang
dibutuhkan tanaman jahe. Bila keasaman tanah yang ada tidak sesuai dengan keasaman tanah
yang dibutuhkan tanaman jahe, maka harus diberikan pengapuran. Keberhasilan budidaya jahe
sangat ditentukan oleh persiapan lahan sebelum bibit ditanam dan perlakuan bibit setelah
disemai. Persiapan lahan pada budidaya jahe meliputi penentuan lahan budidaya jahe,
pembukaan dan pengolahan lahan, pembentukan bedengan, pengapuran dan penanaman
tanaman pelindung (naungan).
Di daerah banyak hujan, lahan perlu dibajak beberapa kali. Pembajakan itu akan membuat
tanah lebih gembur, air tidak tergenang dan mudah meresap. Setelah itu tanah dibiarkan 2-4
minggu agar gas-gas beracun menguap serta bibit penyakit dan hama akan mati terkena sinar
matahari. Apabila pada pengolahan tanah pertama dirasakan belum juga gembur, maka dapat
dilakukan pengolahan tanah yang kedua sekitar 2-3 minggu sebelum tanam dan sekaligus
diberikan pupuk kandang dengan dosis 1.500-2.500 kg. Pemberian pupuk kandang disesuaikan
dengan kondisi kesuburan tanah.
Hasil penelitian Trisilawati dan Gusmaini (1997) menunjukkan bahwa penggunaan humus
yang berasal dari Bengkulu (ketebalan 5-20 cm) dan pupuk kandang (20-40 ton kotoran
sapi/ha) sebagai media tanam jahe berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan (tinggi, jumlah
daun dan jumlah anakan), bobot rimpang segar dan bobot tanaman berumur 5 bulan (Tabel 8).
Media tanam dengan ketebalan humus 20 cm menghasilkan kenaikan bobot rimpang segar,
bobot tanaman dan jumlah anakan sebesar 772%, 548% dan 189% dibandingkan kontrol
(media tanah). Penggunaan media humus dengan ketebalan 5 cm ternyata sudah memberikan
pengaruh lebih baik terhadap parameter pertumbuhan (kecuali tinggi tanaman) dan produksi
jahe dibandingkan media pupuk kandang.
Pemberian pupuk organik dapat digunakan juga sebagai kombinasi media tanam. Pada
umumnya tanaman jahe menghendaki tanah yang subur dan gembur. Pemberian pupuk
organik dalam budidaya jahe berperan penting untuk meningkatkan hasil rimpang terutama
untuk klon jahe gajah. Penelitian Patmawati (2007) tentang pengaruh pupuk organik terhadap
produksi jahe gajah (Zingiber officinale Rosc) organik panen muda menunjukkan bahwa
pemberian perlakuan pupuk kandang ayam menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan
kompos jerami, solid dan bokashi terhadap bobot rimpang per rumpun dan bobot rimpang
Tabel 8. Pertumbuhan dan Produksi Jahe (3.5 Bulan Setelah Tanam) pada Media Humus dan
Pupuk Kandang (Trisilawati dan Gusmaini, 1997)
Perlakuan Tinggi Jumlah Jumlah Bobot Bobot
rumpun anakan/ daun/ rimpang/ tanaman/
(cm) rumpun rumpun rumpun (g) rumpun (g)
kontrol 46,83 b 6,00 c 49,00 b 76,00 c 218,61 d
5 cm humus 71,67 a 17,33 a 166,67 a 663,04 a 1416,58 a
10 cm humus 67,17 ab 17,17 a 168,67 a 379,37 b 650,43 b
15 cm humus 64,00 ab 14,67 a 162,33 a 362,62 b 570,75 bc
20 cm humus 62,67 ab 12,67 ab 102,67 ab 289,25 bc 420,50 cd
20 ton/ha 59,17 ab 8,17 bc 107,50 ab 259,33 bc 414,82 cd
30 ton/ha 45,83 b 7,5 c 78,33 b 237,56 bc 412,05 cd
40 ton/ha 81,50 a 9,17 bc 76,50 b 278,27 bc 499,95 bc
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) 5%.
Tabel 9. Pengaruh Pupuk Organik terhadap Bobot Rimpang Kering per Rumpun dan per Ha
(Patmawati, 2007)
Perlakuan Bobot rimpang kering
per rumpun (g) per ha (ton)
Pupuk kandang ayam (25 ton/ha) 48,21 a 4,02 a
Pupuk kompos jerami (16.8 ton/ha) 31,51 b 2,63 b
Bokashi (26.3 ton/ha) 24,72 b 2,06 b
Solid (19.3 ton/ha) 27,16 b 2,25 b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%.
c. Pembentukan Bedengan
Jahe dapat ditanam tanpa atau dengan bedengan. Penanaman tanpa bedengan dapat dilakukan
di tempat-tempat yang jarang hujan dan lahannya rata. Pada lahan miring perlu dibuat
bedengan-bedengan dengan lebar 80-120 cm, ukuran tinggi 20-30 cm, sedangkan panjang
bedengan disesuaikan dengan kondisi lahan. Jarak antar bedengan 30-50 cm. Pembuatan jarak
antar bedengan juga bermanfaat sebagai saluran pembuangan air hujan yang berlebihan. Pada
tempat-tempat miring, bedengan dibuat sejajar dengan kontur lahan untuk menghindari erosi.
Pembuangan air harus diperhatikan karena jahe sentitif terhadap genangan air berlebihan.
d. Pengapuran
Pada tanah dengan pH rendah, sebagian besar unsur-unsur hara didalamnya, terutama fosfor
(P) dan kalsium (Ca) dalam keadaan tidak tersedia atau sulit diserap. Kondisi tanah yang
masam ini dapat menjadi media perkembangan beberapa cendawan penyebab penyakit
Fusarium sp dan Pythium sp. Pengapuran juga berfungsi menambah unsur kalium yang sangat
diperlukan tanaman untuk mengeraskan bagian tanaman yang berkayu, merangsang
pembentukan bulu-bulu akar, mempertebal dinding sel buah dan merangsang pembentukan
Kebutuhan dolomit pada tanaman jahe disesuaikan dengan derajat keasaman (pH) tanah
sebagai berikut:
a. pH < 4 (paling asam): kebutuhan dolomit > 10 ton/ha.
b. pH 5 (asam): kebutuhan dolomit 5.5 ton/ha.
c. pH 6 (agak asam): kebutuhan dolomit 0.8 ton/ha.
Penelitian yang dilakukan oleh Damanik (2003) tentang Efek Kapur dan Waktu Pemberiannya
terhadap Pertumbuhan dan Produksi Jahe (Zingiber officinale Rosc) pada Medium Gambut
menunjukkan bahwa pemberian 2 ton dolomit/ha pada waktu 4 minggu sebelum tanam
memberikan bobot rimpang jahe basah terbaik (207.13 kg), jika diberikan 3 ton dolomit/ha
menunjukkan kecenderungan penurunan bobot rimpang basah (Tabel 10).
Tabel 10. Rerata Bobot Rimpang Jahe Basah dengan Perlakuan Pemberian Dolomit dan Waktu
Pemberian Dolomit (Damanik, 2003)
Perlakuan Waktu pemberian (Minggu Sebelum Tanam) Rerata
0 2 4
0 ton dolomit/ha 23,69 g 83,99 f 126,99 de 78,22 c
1 ton dolomit/ha 110,61 e 127,03 de 146,98 cd 128,21 b
2 ton dolomit/ha 165,68 b 140,65 d 207,13 a 171,15 a
3 ton dolomit/ha 160,73 bc 140,51 d 200,72 a 167,32 ab
Rerata 115,18 b 123,04 b 170,46 a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama menunjukkan berbeda nyata menurut uji BNT
Pemberian pupuk dasar dapat disebar di permukaan bedengan, kemudian dicampur rata
dengan tanah atau bisa juga dimasukkan dalam lubang tanam. Tiap lubang tanam perlu pupuk
kandang 2,5-4 kg, selanjutnya ditambahkan TSP 200 kg/ha; KCl 300 kg/ha sebagai pupuk
dasar.
Untuk menghemat biaya maka lahan budidaya jahe dibuat di bawah tegakan tanaman tahunan
(kelapa sawit, kelapa, karet, sengon, kopi) sehingga tidak perlu menanam tanaman naungan.
Penelitian yang dilakukan Januwati et. al. (2000) mengemukakan bahwa naungan yang cocok
tanaman jahe di bawah tegakan pohon kelapa berkisar antara 40-50%. Hasil penelitian
Prasetyo, et. al (2006) menyatakan tanaman jahe merah masih dapat tumbuh hingga intensitas
naungan 50% di bawah tegakan pohon karet (umur 25 tahun). Entang, et. al. (2002)
melaporkan bahwa penggunaan naungan paranet dengan intensitas naungan 25 dan 50% lebih
mempengaruhi pertumbuhan dan hasil jahe merah sedangkan jahe emprit tumbuh baik pada
intensitas naungan 50%.
a. Waktu Tanam
Waktu tanam yang tepat untuk menanam jahe di tegalan adalah awal musim hujan, sekitar
bulan September-Oktober. Hal ini dengan tujuan agar air terpenuhi untuk pertumbuhan
rimpang jahe, sehingga dalam setahun hanya bisa menaman jahe satu kali saja. Akan
tetapi, pada daerah yang memiliki curah hujan yang tinggi sepanjang tahun maka waktu
tanam dapat dilakukan sepanjang tahun.
Waktu tanam yang baik yaitu pada pagi hari sekitar jam 10 pagi atau sore hari setelah
matahari tidak terik lagi. Penanaman jahe pada siang hari dikhawatirkan tunas akan
mengalami stress sehingga layu dan mati.
Pada budidaya jahe secara tumpang sari umumnya tanaman jahe ditumpangsarikan dengan
sayur-sayuran, seperti ketimun, bawang merah, cabe rawit, buncis dan lain-lain. Ada juga
yang ditumpangsarikan dengan palawija, seperti jagung, kacang tanah dan beberapa
kacang-kacangan lainnya.
Jahe umumnya ditanam dengan potongan rimpang yang bertunas dengan arah mata tunas
menuju ke lebar jarak tanam yang 60 cm, bukan ke arah yang 30 cm, agar rimpang dapat
tumbuh leluasa menjadi besar. Penanaman diusahakan tidak terlalu dangkal dan terlalu
dalam. Penanaman yang terlalu dalam akan mengakibatkan rimpang yang kurus dan
panjang, sedangkan penanaman yang terlalu dangkal mengakibatkan rimpang mudah
terkena matahari dan hujan. Jika terkena hujan maka rimpang akan berwarna hijau
sedangkan jika terkena matahari maka rimpang akan keriput dan pertumbuhannya lambat.
Oleh karena itu, bibit jahe umumnya ditanam sedalam 5 cm.
Setelah bibit ditanam dalam lubang tanam, maka rimpang ditutup dengan jerami padi
tipis-tipis dan ditaburi dengan tanah halus hingga lubang tanamnya tertutup dan sejajar
permukaan bedengan. Secara keseluruhan, permukaan lubang tanam dihaluskan dan
diatasnya dihamparkan jerami padi untuk menghambat gulma dan menjaga kelembaban.
Hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) tentang penanaman
jahe badak secara monokultur pada berbagai jarak tanam menunjukkan bahwa jarak tanam
yang efisien adalah 40 cm x 40 cm dengan jumlah bibit 45.000 tanaman/ha. Jarak tanam
itu menghemat penggunaan bibit hingga 25% dibandingkan jarak tanam 40 x 30 cm yang
jumlahnya 60.000 tanaman/ha (Tabel 11).
Tabel 11. Pengaruh Jarak Tanam Jahe Badak dengan Berbagai Variasi Jarak Tanam
(Agromedia Pustaka, 2007)
Jarak Tanam Populasi tanaman/ha Hasil Rimpang Segar/ha
40 x 30 cm 60.000 22,33 ton
40 x 40 cm 45.000 22,07 ton
60 x 30 cm 40.000 19,52 ton
40 x 50 cm 36.000 18,30 ton
Beberapa pekebun jahe biasanya melakukan pola tanam polikultur dengan cara sebagai
berikut:
Hari pertama : Jahe ditanam bersama mentimun dalam satu bedengan.
Hari ke-40 : Panen pertama tanaman mentimun. Saat jahe telah membentuk
rumpun.
Hari ke 40-50 : Awal penanaman kacang panjang di tepi bedengan.
Penanaman jahe dengan tanaman pokok papaya umumnya dilakukan pada saat jahe berumur 5
bulan. Bersama-sama dengan penanaman jahe, di bagian tepi bedengan ditanami cabai rawit
atau kacang tanah. Jarak tanam papaya 3 m dalam barisan dan 3 m antar barisan.
Tanaman jahe bisa tumbuh di bawah naungan sehingga cocok juga ditanam secara tumpang
sari dengan tanaman berumur pendek dengan tajuknya yang tidak terlalu menghalangi sinar
matahari. Jahe bisa ditumpangsarikan dengan cabai atau jagung dan kacang merah (dilakukan
petani jahe di Garut).
Pemberian Mulsa
Pemberian mulsa merupakan salah satu cara untuk mengubah keadaan iklim mikro, mengubah
sifat tanah dan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Beberapa keuntungan pertanaman jahe
dengan menggunakan mulsa yaitu mempertahankan kandungan air tanah pada kebutuhan
minimal selama musim kemarau, mencegah erosi pada bedengan selama musim hujan,
memperbaiki kondisi fisik tanah di permukaan karena proses pembusukan jerami akan
membantu bekerjanya mikroorganisme tanah, menekan perkembangan hama, penyakit dan
gulma serta menjaga pertumbuhan vegetatif tanaman pada awal musim kemarau.
Bahan tanaman yang dapat digunakan sebagai mulsa pada pertanaman jahe adalah jerami padi,
daun kelapa, kulit batang pisang, daun gamal atau mulsa plastik hitam. Penggunaan mulsa
jerami membutuhkan 10-20 ton jerami padi per ha. Mulsa diberikan pada permukaan
bedengan sebanyak 2 kali yaitu pada setelah tanam dan pada umur tanam 4-5 bulan.
Pemeliharaan Tanaman
Pemelihaaraan tanaman jahe dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu pemeliharaan dengan mulsa
dan tanpa mulsa. Pemeliharaan tanpa mulsa terdiri atas penyulaman, penyiangan,
pembumbunan, pengairan dan pemupukan susulan. Pemeliharaan dengan mulsa adalah
perlakuan menutup seluruh permukaan bedengan dengan mulsa jerami atau yang lainnya
setelah bibit jahe ditanam.
a. Penyulaman
Pemindahan bibit dari persemaian ke lahan harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah
kerusakan bibit. Bibit sebaiknya diletakkan pada keranjang plastik agar pengangkutan ke lahan
menjadi lebih mudah. Selama dalam pengangkutan sebaiknya, bibit yang telah bertunas jangan
ditumpuk.
Penyulaman dilakukan pada umur 2-3 minggu setelah bibit jahe ditanam di lahan. Penyulaman
sebaiknya tidak dilakukan pada tanaman yang mati atau jelek yang disebabkan oleh penyakit
layu bakteri. Apabila ada tanaman yang terserang penyakit tersebut, lubang tanam bekas
cabutan tanaman tersebut diberi kapur atau disiram dengan ekstrak bawang merah untuk
menghindari penularan tanaman di sekitarnya.
b. Penyiangan
Persaingan antara gulma dengan tanaman pokok dapat menurunkan hasil karena gulma juga
menyerap unsur hara, air, dan sinar matahari. Penyiangan gulma sebelum tanaman umur 180
hari merupakan kegiatan yang harus dilakukan. Pada umur tersebut merupakan masa kritis
bagi tanaman jahe untuk dapat bersaing dengan gulma. Namun, setelah masa kritis berlalu dan
terutama bertepatan dengan keadaan curah hujan yang dimulai berkurang, maka penyiangan
dilakukan terbatas hanya di sekitar rumpun. Pada umur 6 – 7 bulan, sebaiknya tidak dilakukan
penyiangan karena pada saat itu tanaman cukup peka terhadap gangguan teknis.
Penyiangan dilakukan secara rutin untuk menanggulangi tumbuhnya gulma yang mengganggu
dan tidah bermanfaat. Selain itu, juga untuk memperbaiki struktur tanah. Penyiangan pertama
dilakukan ketika tanaman jahe berumur 2-4 minggu setelah pindah tanam, kemudian secara
berkala 3-6 minggu sekali sesuai kondisi gulma yang mengganggu. Setelah tanaman jahe
berumur 6-7 bulan sebaiknya tidak dilakukan penyiangan lagi karena pada umur tersebut
rimpangnya mulai besar. Pada tanaman rimpang, kegiatan pembumbunan cukup penting untuk
memberikan kondisi pertumbuhan rimpang secara optimum di bawah permukaan tanah
sehingga tanaman akan menghasilkan rimpang yang cukup baik.
c. Pembumbunan
Pembumbunan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh media tumbuh akar
dan rimpang menjadi lebih baik. Pembumbunan akan menyebabkan penetrasi akar dan
pembesaran rimpang menjadi lebih mudah karena partikel-partikel yang besar dihancurkan
menjadi bagian yang lebih kecil. Setiap kali dilakukan pembumbunan akan terbentuk guludan
kecil dan sekaligus terbentuk saluran air yang berfungsi sebagai tempat mengalirkan kelebihan
air.
Pada tanah-tanah yang ringan seperti tanah lempung berdebu atau lempung liat berpasir,
pembumbunan perlu diperhatikan terutama setelah hujan. Pada waktu itu, tinggi bedengan
sering tererosi masuk ke dalam parit-parit pembuangan air.
Jahe tergolong tanaman monokotil berakar dangkal. Tanaman ini membutuhkan lahan cukup
lembab sepanjang pertumbuhannya. Oleh karenanya untuk mengurangi penguapan lahan maka
diperlukan pemberian mulsa dan pemberian pupuk organik yang cukup banyak.
Jahe memerlukan pupuk organik dalam jumlah besar yaitu 20-40 ton/ha. Pupuk organik
diberikan sebagai pupuk dasar pada saat pengolahan tanah. Pupuk an-organik seperti urea,
TSP dan KCl tidak perlu diberikan jika tanahnya ternyata masih subur.
Dosis pupuk yang diberikan pada pertanaman jahe tidak ada dosis yang baku karena sangat
tergantung tingkat kesuburan tanah. Dosis kebutuhan pupuk selama satu musim tanam jahe
disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Dosis Kebutuhan Pupuk Selama Satu Musim Jahe (Agromedia Pustaka, 2007)
Jenis pupuk Dosis
Pupuk organik 20-40 ton/ha
Pupuk an-organik
- Urea 350-800 kg/ha
- TSP 350-1.000 kg/ha
- ZK (kalium sulfat) 350-1.000 kg/ha
Tanaman jahe selama pertumbuhan menyerap unsur hara nitrogen dan kalium, sedangkan
unsur lain juga diserap tetapi dalam jumlah kecil. Pemberian pupuk sebaiknya berimbang agar
kesuburan dan produktivitas tanah tetap terpelihara. Jenis pupuk yang umum digunakan adalah
pupuk organik, nitrogen (urea) dan kalium (KCl).
Penelitian Santosa (1981) menunjukkan bahwa pemupukan dengan urea dapat meningkatkan
produksi rimpang tanaman jahe sunti seperti dalam Tabel 13.
Tabel 13. Produksi Rimpang Jahe Sunti pada Umur 150 dan 180 Hari Bila Dipupuk Urea
(Santoso, 1981)
Penelitian lain yang dilakukan oleh Rosmimi (1995) dengan pupuk NPK (15: 15: 15) juga
dapat meningkatkan bobot rimpang jahe (Tabel 14). Bobot rimpang jahe umur 4 bulan
tertinggi terdapat pada perlakuan NPK 800 kg/ha yaitu sebanyak 31,33 gram.
Tabel 14. Bobot Rimpang Jahe Umur 4 Bulan dengan Penambahan Pupuk NPK (15-15-15)
(Rosmimi, 1995)
NPK (15-15-15) Bobot rimpang jahe (g)
0 kg/ha 9,33 b
200 kg/ha 12,00 b
400 kg/ha 12,00 b
600 kg/ha 16,00 b
800 kg/ha 31,33 a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda nyata
menurut uji DMRT pada taraf 5%.
Tabel 15. Bobot Rimpang Jahe dengan Kombinasi Pemupukan Fosfor dan Kalium pada Umur
16 Minggu (Jurnawaty, 1994)
kg/ha P2O5 kg/ha K2O bobot rimpang jahe (kg)
0 0 2,0
100 4,0
200 5,9
60 0 3,9
100 5,0
200 7,5
120 0 4,2
100 5,4
2000 6,9
180 0 4,7
100 5,7
200 7,1
240 0 4,9
100 5,9
200 7,4
Tabel 16. Bobot Rimpang Jahe Akibat Pemberian Pupuk NHS (Simbolon, 1997)
Pupuk NHS cc/L air bobot rimpang per 4 m2 (Kg)
0 5,300 a
5 5,842 ab
10 6,467 b
15 6,025 ab
Keterangan: Angka yang diikuti oleh notasi yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata pada taraf 5%
DMRT.
Beberapa hama dan penyakit dapat mengganggu dan merusak pertanaman jahe. Namun hingga
kini gangguan dan kerusakan paling serius pada tanaman jahe disebabkan oleh penyakit busuk
rimpang.
a. Hama
Hama yang cukup serius merusak pertanaman jahe antara lain Mimegralla coeruleifrons
Macquart. Hama berupa lalat ini bisa mengkibatkan tanaman layu mengering dan rimpangnya
membusuk. Pengendalian dengan insektisida kurang disarankan. Jika terpaksa dapat diatasi
dengan insektisida Nogos 50 EC.
Hama penggerek pucuk batang dan ulat penggerek pangkal batang (Dischocrosis netiferalis)
akan menyebabkan daun dan tanaman layu, akhirnya mati kering. Serangan hama ini dapat
diatasi dengan insektisida Furadan 3-G. Di dalam gudang, rimpang jahe rawan terserang
kumbang.
Tabel 17. Jumlah Telur yang Ditemukan pada Tanaman Sehat dan Tanaman Sakit di Lapangan
(Balfas et al., 1997)
Balfas et al., (2000) menyimpulkan bahwa lalat rimpang M.coeruleifrons dapat berstatus
ganda, yaitu sebagai hama pada tanaman jahe (apabila tanaman telah terinfeksi bakteri atau
jamur) dan sebagai pembawa bakteri layu. Pengendalian lalat rimpang dapat dilakukan dengan
mengusahakan tanaman yang sehat, menanam tanaman jahe yang ditumpang sarikan dengan
tanaman nilam, dan menggunakan insektisida yang disemprotkan pada tanaman, serta
menerapkan sanitasi (Tabel 18). Perlakuan Diklorvos monofaktur, nilam sebagai pembatas,
tumpang sari dengan nilam, tanpa mulsa dan dengan mulsa menurunkan jumlah rumpun yang
terserang (Tabel 19).
Tabel 19. Rerata Larva dan Pupa M.coeruleifrons pada Berbagai Kombinasi Perlakuan Pola
Tanam Jahe (Karmawati dan Kristina, 1993)
Jenis Insektisida Monokultur Nilam sebagai Tumpang Sari Tanpa Mulsa
pembatas dengan nilam Mulsa
LP R LP R LP R LP R LP R
Kontrol 45 45 8 9 9 3 41 29 21 29
Karbofuran 42 44 29 7 3` 4 64 26 36 28
Diklorvos 21 16 18 4 8 8 12 13 61 14
Rerata 36 35 18 7 16 5 39 23 39 24
Keterangan: LP = larva dan pupa; R = rumpun yang terserang
b. Penyakit
Penyakit yang sering ditemukan dalam budidaya jahe adalah bercak daun, layu bakteri dan
busuk rimpang. Penyakit busuk rimpang disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporium
Schlecht dan Fusarium sp. zingiberi. Penyebab busuk rimpang di India yaitu Pythium
aphanidermatum dan di Jepang Pythium zingiberi, di Fiji Pythium gracile, di Thailand
Pythium sp. dan Phytophtora sp.
Penelitian yang dilakukan Martanto (2001) menunjukkan pemberian abu sekam dapat
meningkatkan pertumbuhan tanaman dan menekan tingkat serangan layu Fusarium. Pemberian
abu sekam sebanyak 6% berpengaruh paling baik terhadap intensitas serangan penyakit layu
bakteri dan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman (Tabel 20)
Tabel 20. Pengaruh Abu Sekam dan Masa Inkubasi dan Intensitas Layu Fusarium (Martanto,
2001)
No. Kandungan Abu Masa
Sekam I II III IV V Inkubasi
(hari)
1 1% + 0,2 0,8 2,0 2,6a 3,0a 10,00
2 2% + 0,2 0,6 1,8 2,2ab 2,8ª 12,60
3 2% + 0,2 0,6 1,6 1,8ab 2,0ab 10,60
4 4% + 0,2 1,0 2,0 2,2ab 2,6ab 10,20
5 5% + 0,0 0,4 1,6 2,0ab 2,0ab 14,40
6 6% + 0,0 0,2 0,8 1,2b 1,4b 15,80
7 7% + 0,0 0,4 1,6 1,8ab 2,0ab 15,20
Sampai saat ini penyakit yang paling utama menyerang tanaman jahe dan dapat menimbulkan
kegagalan panen adalah penyakit layu bakteri karena Pseudomonas solanacearum/Ralstonia
solanacearum. Bakteri ini mempunyai inang banyak, variabilitas virulensi tinggi dan
Sampai sekarang belum ada cara yang benar-benar efektif untuk menanggulangi penyakit layu
bakteri walaupun sudah ada anjuran praktis berupa upaya pencegahan penyakit, rotasi tanam,
sanitasi dan penggunaan bibit sehat. Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu segera
dicari metode pengendalian yang potensial, efektif dan ramah lingkungan untuk
mengendalikan penyakit layu bakteri.
Penelitian yang telah dilakukan dalam mengendalikan penyakit layu bakteri yaitu Suardi
(2002) mengukur tingkat ketahanan klon jahe dilakukan berdasarkan analisa dari variable
pengamatan masa inkubasi, persentase serangan dan umur tanaman mati. Berdasarkan evaluasi
tingkat ketahanan (Tabel 21) menunjukkan bahwa klon jahe gajah adalah sangat peka dan klon
lokal peka serta klon jahe merah merupakan klon yang agak tahan terhadap R. solanacearum
(Suardi, 2002).
Tabel 21. Kategori Ketahanan Tanaman Jahe terhadap Penyakit Layu Bakteri (Suardi, 2002)
No. Masa inkubasi (hari) Persentase Lama tanaman Tingkat
serangan (%) mati (hari) ketahanan
1 14-35 >80 35-56 SP
2 36-56 61-80 57-70 P
3 57-70 41-60 71-90 AT
4 71-90 21-40 91-120 T
5 >90 0-20 > 120 ST
Keterangan: SP = Sangat Peka, T = Tahan, P= Peka, ST = Sangat Tahan, AT = Agak Tahan
Dari penelitian tersebut juga diperoleh serangan layu bakteri Ralstonia solanacearum tertinggi
ditemui pada klon jahe gajah yaitu 80,56%, sedangkan persentase serangan terendah yaitu jahe
merah 38,89% (Suardi, 2002).
Salah satu komponen PHT yang mempunyai prospek yang baik adalah pengendalian secara
hayati. Penggunaan agens antagonis seperti jamur dan bakteri antagonis sebagai agensia hayati
dalam pengendalian penyakit tanaman mempunyai tingkat keberhasilan yang cukup tinggi
untuk menekan perkembangan penyakit tular tanah (soil borne).
Hasil isolasi dari pertanaman jahe (Tabel 22, 23 dan 24) isolat mikroba rizosfer antagonis
potensial yang dapat dipergunakan untuk pengendalian layu bakteri pada pertanaman jahe,
yaitu Aspergillus nidulans, Gliocladium virens, Penicillum digitatum, Rhizopus oryzae,
Trichoderma harzianum, Trichoderma koningii, T. viridae, Paecelomyces roseaus,
Achromobacter sp, Bacillus sp., Pseudomonas fluorescens, dan P. putida (Bustamam, 2006).
Tabel 23. Daya Patogenitas Mikroba Rizosfer Hasil terhadap Rimpang Jahe (Bustamam, 2006)
Mikroba rhizosfer Kelompok Daya patogenitas Potensi
Aspergillus nidulans Jamur 0. Negatif Baik
Gliocladium virens Jamur 0. Negatif Sangat baik
Penicillum digitatum Jamur 0. Negatif Sangat baik
Rhizopus oryzae Jamur 0. Negatif Baik
Trichoderma harzianum Jamur 0. Negatif Sangat baik
Trichoderma koningii Jamur 0. Negatif Baik
Trichoderma viridae Jamur 0. Negatif Sangat baik
Achromobacter sp Bakteri 0. Negatif Sangat baik
Bacillus sp Bakteri 0. Negatif Baik
Pseudomonas fluorescens Bakteri 0. Negatif Sangat baik
Pseudomonas putida Bakteri 0. Negatif Baik
Keterangan: Baik jika daya patogenitas 0 dan pertumbuhan rimpang sehat, sangat baik jika daya patogenitas 0,
rimpang sehat dan tumbuh cepat.
Pembibitan
a. Pemilihan Bibit
Teknik pemilihan bibit pada budidaya jahe sistem keranjang adalah sama dengan budidaya
jahe pada lahan (lapangan). Bedanya pada kebutuhan bibit dimana jahe sistem keranjang
memerlukan volume kebutuhan bibit jahe untuk 500 keranjang adalah 70 kg, dengan
penanaman 7 bibit jahe/keranjang.
Persiapan Lahan
Persiapan lahan pada budidaya jahe sistem keranjang meliputi pembersihan lahan dan
penanaman tanaman pelindung (naungan).
a. Pembersihan Lahan
Lahan dibersihkan dari gulma dan tanaman liar lainnya, kemudian dibuat guludan dengan
lebar ± 1 m (2 x lebar keranjang) dan panjang guludan tergantung kondisi lahan. Jarak
Pada lahan yang telah digulud keranjang disusun berbaris dua-dua. Keranjang diletakkan
di tempat terbuka dan dialasi dengan batu bata pada dasar keranjang agar aliran air dalam
keranjang lancar.
Apabila lahan untuk budidaya jahe sistem keranjang berupa lahan terbuka maka perlu
tanaman naungan sebagai pelindung yaitu penanaman batang ubi kayu kira-kira setinggi
1.5 m (Gambar 8) atau penanaman jagung pada sela-sela barisan keranjang (1 tanaman
jagung untuk 4 keranjang).
Gambar 8. Tanaman Jahe Umur 2 bulan yang Diberi Naungan Tanaman Ubi Kayu
Keranjang yang digunakan bisa bervariasi. Untuk menghemat biaya maka dapat digunakan
keranjang-keranjang bekas kemasan buah-buahan di pasar (Gambar 9). Tetapi keranjang ini
perlu diberi alas karung plastik di bawahnya karena anyaman bambunya jarang. Selain ini bisa
digunakan keranjang yang dipesan khusus untuk budidaya jahe keranjang berupa keranjang
persegi yang rapat anyaman bambunya (Gambar 10). Penggunaan keranjang pesanan
memerlukan biaya cukup besar karena harga satu keranjang berkisar antara Rp. 3.500– 4.000.
Penanaman jahe sistem keranjang merupakan modifikasi teknik budidaya tanaman jahe
dengan tujuan mengkondisikan agar media tanam jahe tetap gembur dan sarang,
mempermudah manajemen produksi tanaman, mempermudah pertumbuhan dan
perkembangan tanaman jahe sehingga potensi produksi lebih tinggi jika dibandingkan
penanaman jahe secara konvensional pada lahan.
Budidaya jahe merupakan budidaya tanaman yang memerlukan syarat tumbuh pada fase kritis
tertentu yang jika tidak terpenuhi maka akan mengalami gangguan dari segi kuantitas dan
kualitas jahe.
Tanaman jahe menghendaki tanah subur, banyak mengandung humus, gembur, berdrainase
dan aerasi baik. Aerasi yang buruk akan mempengaruhi tanaman (pertumbuhan akar
terhambat), serapan hara berkurang, serapan air terhambat dan merangsang pembentukan
senyawa anorganik. Menurut Wiroatmojo (1992) laju tumbuh rimpang jahe sangat dipengaruhi
oleh kekuatan wadah (umbi) untuk berkembang tanpa hambatan sehingga kebanyakan
diperlukan sirkulasi oksigen di sekitar umbi dan air. Oleh karena itu, penggunaan tanah humus
maupun penambahan berbagai jenis bahan organik pada pertanaman jahe sangat diperlukan.
Tanah yang kaya humus umumnya lebih produktif. Humus mempengaruhi kesuburan dan
produktivitas tanah dengan memberikan efek positif terhadap sifat-sifat kimia, fisika dan
biologi tanah yaitu sebagai tempat penyimpan (reservoir) hara N, P dan S bagi pertumbuhan
dan menunjang pembentukan struktur tanah yang baik serta merupakan sumber energi bagi
mikroba tanah.
Media tanam pada penanaman jahe sistem keranjang dapat bervariasi. Beberapa jenis media
tanam yang sering dipergunakan yaitu top soil, kompos, sekam, pasir, jerami padi dan pupuk
kandang dengan perbandingan tertentu. Umumnya digunakan komposisi media tanam berupa
tanah top soil: pupuk organik (kompos, pupuk kandang, jerami padi, serbuk gergaji):
sekam/pasir dengan perbandingan 2 : 1 : 1.
Pemberian pupuk organik memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap indeks panen
tanaman jahe gajah. Indeks panen menggambarkan pembagian berat kering oleh tanaman yang
meliputi hasil panen biologis dan hasil panen ekonomis. Indeks panen yang tidak berbeda
nyata diduga karena jahe gajah memiliki faktor genotif yang cukup homogen (Tabel 25).
Tabel 25. Pengaruh Pupuk Organik terhadap Indeks Panen (Patmawati, 2007)
Perlakuan Indeks Panen (%)
Penelitian Trisia (2003) tentang efek pemberian bahan organik pada tanah podzolik merah
kuning (PMK) terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jahe (Zingiber officinale) di
polybag menunjukkan bahwa pemberian jerami padi, sekam padi dan serbuk gergaji nyata
dalam meningkatkan bobot rimpang jahe/polybag. Pemberian jerami padi, sekam padi dan
serbuk gergaji dapat meningkatkan produksi jahe/polybag dibandingkan tanpa perlakuan
(Tabel 26). Hal ini diduga karena perlakuan yang diberikan pada tanah PMK dapat menjaga
kelembaban tanah dan mengandung bahan organik serta dapat menggemburkan tanah
sehingga menciptakan kondisi yang baik bagi perkembangan rimpang sehingga dihasilkan
bobot rimpang yang berbeda nyata dibandingkan tanpa perlakuan.
Tabel 26. Bobot Segar Rimpang Jahe Umur 4 Bulan dengan Perlakuan Pemberian Bahan
Organik pada Tanah PMK (Trisia, 2003)
Perlakuan Berat segar rimpang (g)
Sebelum ditanam pada keranjang maka bibit jahe yang telah berkecambah disortir kembali.
Bibit yang terpilih adalah bibit jahe yang telah berkecambah, tumbuh normal dan tidak ada
gejala serangan hama dan penyakit (Gambar 12).
Jumlah kecambah jahe yang ditanam untuk setiap keranjang sangat tergantung kepada ukuran
keranjang. Umumnya untuk tiap keranjang ditanam 5 kecambah jahe. Setelah ditanam pada
keranjang maka keranjang ditutup dengan pelepah kelapa sawit untuk menghindari kecambah
jahe dari sinar matahari dan guyuran air hujan secara langsung. Pembukaan pelepah kelapa
sawit baru dilakukan jika tinggi tanaman jahe telah mencapai pelepah tersebut.
Pemeliharaan
Pemeliharaan sangat penting dalam menunjang keberhasilan budidaya. Bila tahap bibit telah
terlampaui dengan baik, artinya telah menggunakan bibit yang sehat, maka pemeliharaan
menjadi kunci utama dalam menjaga pertumbuhan tanaman.
Penyulaman
Penyulaman tanaman dilakukan untuk mengganti tanaman yang mati/tumbuh abnormal
dengan menggunakan bibit tanaman sehat berumur sama. Penyulaman hendaknya dilakukan
dengan menggunakan tanaman yang sudah disiapkan dari pembibitan. Seleksi dan penggantian
tanaman ini perlu diperlukan agar diperoleh tanaman yang tumbuh dengan seragam sehingga
waktu panen dapat dilakukan secara serempak.
Penyulaman dilakukan sekitar 2-3 minggu setelah tanam dalam keranjang dan penyulaman
harus segera dilakukan agar pertumbuhan bibit sulaman tidak jauh tertinggal dengan tanaman
jahe yang lain. Bibit jahe untuk penyulaman berasal dari cadangan bibit di persemaian.
Penyiangan
Persaingan antara gulma dengan tanaman pokok dapat menurunkan hasil karena gulma juga
menyerap unsur hara, air, dan sinar matahari. Penyiangan gulma sebelum tanaman umur 180
hari merupakan kegiatan yang harus dilakukan. Pada umur tersebut merupakan masa kritis
bagi tanaman jahe untuk dapat bersaing dengan gulma. Namun, setelah masa kritis berlalu dan
terutama bertepatan dengan keadaan curah hujan yang mulai berkurang, maka penyiangan
dilakukan terbatas hanya di sekitar rumpun. Pada umur 6 – 7 bulan, sebaiknya tidak dilakukan
penyiangan karena pada saat itu tanaman cukup peka terhadap gangguan teknis.
Penyiangan dilakukan secara rutin untuk menanggulangi tumbuhnya gulma yang mengganggu
dan tidah bermanfaat. Selain itu, juga untuk memperbaiki struktur tanah. Penyiangan pertama
dilakukan ketika tanaman jahe berumur 2-4 minggu setelah pindah tanam, kemudian secara
berkala 3-6 minggu sekali sesuai kondisi gulma yang mengganggu. Setelah tanaman jahe
berumur 6-7 bulan sebaiknya tidak dilakukan penyiangan lagi karena pada umur tersebut
rimpangnya mulai besar. Pada tanaman rimpang, kegiatan pembumbunan cukup penting untuk
memberikan kondisi pertumbuhan rimpang secara optimum di bawah permukaan tanah
sehingga tanaman akan menghasilkan rimpang yang cukup baik.
Ciri khas dari budidaya jahe sistem keranjang adalah penambahan media tanam secara
bertahap setiap muncul tunas-tunas baru, sehingga tunas-tunas tersebut akan tumbuh menjadi
rimpang. Penambahan media tanam dilakukan setiap 4 minggu sampai panen.
Pembumbunan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh media tumbuh akar
dan rimpang menjadi lebih baik. Pembumbunan akan menyebabkan penetrasi akar dan
pembesaran rimpang menjadi lebih mudah karena partikel-partikel yang besar dihancurkan
menjadi bagian yang lebih kecil. Setiap kali dilakukan pembumbunan akan terbentuk guludan
kecil dan sekaligus terbentuk saluran air yang berfungsi sebagai tempat mengalirkan kelebihan
air.
Tanaman jahe perlu tanah dengan aerasi dan drainase yang baik, sehingga perlu
pembumbunan secara berkala. Pembumbunan bertujuan untuk menggemburkan tanah,
memperkokoh tanaman jahe agar berdiri tegak dan menimbun rimpang jahe yang kadang-
kadang muncul ke atas permukaan tanah. Jika tanaman jahe masih muda maka cukup tanah
sekitar rumpun digemburkan. Pembumbunan dilakukan agar tanaman jahe berdiri tegak
dengan cara membuat gundukan di sekeliling tanaman. Pembumbunan umumnya dilakukan
sebanyak 2-3 kali selama umur tanaman jahe tergantung kondisi tanah dan cuaca (banyaknya
hujan).
Tanaman jahe memerlukan tanah yang memiliki ketersediaan air yang cukup untuk menunjang
pertumbuhan tanaman. Air merupakan senyawa penting dalam pertumbuhan tanaman. Apabila
terjadi kelebihan atau kekurangan air dapat mengganggu dan menghambat proses fisiologi
yang terdapat dalam tubuh tanaman sehingga laju prosesnya berlangsung dibawah normal.
Penyediaan air secara cukup pada media pertanaman mutlak diperlukan, terutama pada
tanaman muda yang sangat membutuhkan air untuk proses pertumbuhan vegetatifnya hingga
dewasa. Namun, secara umum kondisi air tanah perlu dijaga pada kapasitas lapang agar
pertumbuhan tanaman menjadi optimum. Pada tanaman jahe jika tidak turun hujan dilakukan
penyiraman air pagi dan sore hari. Hasil penelitian menunjukkan pemberian air setiap hari
dapat meningkatkan Rerata bobot segar rimpang jahe 35 – 36% dibandingkan dengan
pemberian air 2 – 3 hari sekali (Ikha Dewi, 1993).
a. Hama
Hama –hama yang sering di jumpai pada pertanaman jahe antara lain:
1. Kepik (Epilahra sp.) menyerang daun dan menyebabkan daun berlubang-lubang.
2. Ulat penggerek akar (Dichorcrotis puntiferalis) menyerang akar tanaman sehingga
menyebabkan tanaman kering dan mati.
3. Lalat rimpang (Eumerus figurans Walker. dan Mimegrala coeruleifrons).
4. Lalat gudang yang bersifat saprofagus (Lamprolonchase sp. dan Chaetonerius sp.
menyerang rimpang mulai dari pertanaman sampai gudang penyimpanan.
b. Penyakit
Penyakit yang sering menyerang tanaman jahe yaitu penyakit bercak daun (Gambar 13 dan
Gambar 14), busuk rimpang dan layu bakteri. Penyakit layu bakteri ini disebabkan oleh bakteri
Ralstonia solanacearum. Gejalanya dimulai dari terlihatnya satu atau beberapa batang berubah
menjadi layu dan daun-daun menguning, kering atau hitam mengatup. Dalam 2-4 hari batang
mati rebah. Kemudian, secara berangsur-angsur gejala ini menular kerumpun yang lain.
Sampai sekarang belum ada satu paket teknologi pengendalian yang memberikan hasil yang
memuaskan, kecuali dengan usaha pencegahan yang ketat. Usaha pencegahan yang dapat
dilakukan antara lain sebagai berikut:
1) Tidak melakukan penanaman berulang pada lahan yang sama (telah ditanami jahe
secara berturut-turut). Setelah melalui pergiliran tanaman beberapa kali (minimal 3
kali) dengan tanaman lain, baru lahan tersebut dapat ditanami kembali.
2) Seleksi bibit yang ketat atau menggunakan bibit yang sehat.
3) Perlakuan bibit (tuber treatment) dengan menggunakan Agrimycin dan abu sekam/abu
bakar sebelum ditunaskan.
4) Melakukan pergiliran waktu tanam yang bergerak dari lahan yang terbawah menuju
lahan yang paling tinggi bila penanaman dilakukan dilahan landai, bergelombang, atau
berlereng.
5) Meminimalkan terjadinya pelukaan pada akar maupun pada rimpang. Misalnya,
pembumbunan dilakaukan secara hati-hati agar tidak melukai akar atau rimpang.
6) Cepat mencabut atau membakar tanaman yang menunjukkan gejala serangan sebelum
menyebar ke seluruh pertanaman.
Gambar 14. Perluasan Gejala Penyakit Bercak Daun, Daun Mulai Menguning
Penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum pada tanaman jahe
merupakan penyakit penting di beberapa negara di Asia, Australia dan Afrika, termasuk di
Indonesia (Semangun, 2000). Di Indonesia penyakit ini dilaporkan pertama kali di Kuningan,
Jawa Barat kemudian menyebar ke daerah lain di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jambi, Lampung,
Sumatera Utara dan Bengkulu (Januwati, 1999).
Pengendalian penyakit sebaiknya dilakukan secara terpadu melalui penggunaan varitas tahan,
perbaikan kultur teknis, pemakaian bibit sehat, dan secara hayati (Elphinstone dan Aley,
1995). Usaha mendapatkan bibit bebas patogen sulit dilakukan karena hampir 85% lahan
pertanian jahe putih besar terinfeksi oleh patogen (Bustamam et al., 2003). Suardi (2002)
mendapatkan serangan R. solanacearum tertinggi pada klon jahe gajah yaitu 80,56%
dibandingkan dengan jahe merah hanya 38,89%. Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa
penanaman jahe di lahan baru dapat bebas dari serangan bakteri dibandingkan jika diusahakan
di lahan lama bekas pertanaman kopi atau semusim (Bustamam et al., 2003).
Bustamam (2001) telah menyeleksi dan mendapatkan 6 jenis jamur pelarut fosfat yang dapat
mengurangi potensi inokulum patogen di tanah sebesar 73,40-84,00% namun potensi
inokulum yang tertinggal di tanah masih tinggi. Hasil seleksi mikroba dari rhizosfer tanaman
sehat di lahan pertanaman jahe yang terinfeksi mikroba yang potensial dipergunakan sebagai
pengendali hayati (Bustamam, 2006). Wahyuti (2002) mendapatkan cairan dari perasan bunga
cengkeh mampu menekan serangan R. solanacearum. Habazar et al., (2007) menyatakan
bahwa isolat rhizobakteria mampu mengimunisasi tanaman jahe sehingga menekan
perkembangan penyakit layu bakteri dengan tingkat efektivitas 33-100%.
Hasil penelitian Suharti dan Habazar (2007) menunjukkan bahwa fungi mikoriza arbuskular
dapat menginduksi ketahanan tanaman jahe terhadap penyakit bakteri R. solanacearum ras 4.
Menurut Martanto (2001) pemberian abu sekam sebanyak 6% dari total media tanam dapat
menekan intensitas serangan penyakit layu Fusarium pada tomat. Penelitian lain bahwa
minyak serai wangi dapat mengendalikan konidia Fusarium penyebab penyakit layu pada
tanaman tomat (Chrisnawati, 2001). Nurmansyah dan Syamsul (2001) menyimpulkan minyak
atsiri serai wangi mempunyai potensi sebagai fungisida alternatif untuk pengendalian layu
Fusarium pada tanaman cabai.
Pemupukan
Pemupukan tanaman jahe sistem keranjang umumnya menggunakan pupuk organik baik
dalam bentuk pupuk kandang maupun pupuk organik cair. Pemberian pupuk kandang
umumnya dilakukan sewaktu penambahan media tanam dan pembumbunan. Sedangkan,
pupuk organik cair diberikan secara berkala setiap minggu sekali dengan cara disemprotkan
kepada tanaman. Jika perlu petani juga menambahkan pupuk organik yang berbentuk tablet
yang dihancurkan, dengan dosis 2 tablet per keranjang.
Penggunaan pupuk organik mampu meningkatkan produksi dan mutu jahe pada umur 4 bulan.
Bobot rimpang segar tertinggi pada perlakuan 50% pupuk organik rekomendasi + pupuk
organik granular anjuran. Hal ini menunjukkan bahwa pupuk organik mampu mengurangi
penggunaan pupuk anorganik sebesar 50% pada pertanaman jahe muda di pot (Gusmaini,
2007).
Fitrya (2003) menguji berbagai jenis pupuk kandang dan beberapa dosis urea pada tanaman
jahe gajah menunjukkan bahwa bobot basah dan bobot kering rimpang jahe (Tabel 27 dan 28).
Tabel 27. Pengaruh Jenis Pupuk Kandang dan Dosis Urea terhadap Bobot Rimpang Basah per
Rumpun Tanaman Jahe Gajah Umur 16 Minggu Setelah Tanam (Fitrya, 2003)
Perlakuan Tanpa 2.40 g 3.60 g 4.80 g Rerata
urea urea/tan urea/tan urea/tan pukan (g)
.................................................... g ......................................................
Kontrol 17.16 cd 15.22 cd 15.09 d 16.40 cd 15.97 c
Pupuk kandang kambing 28.40 ab 18.64 cd 17.32 cd 16.16 cd 20.13 b
Pupuk kandang sapi 17.71 cd 23.48 bc 18.46 cd 15.82 cd 18.87 c
Pupuk kandang ayam 20.51 cd 28.27 ab 30.31 a 13.61 d 23.17 a
Rerata urea 20,94 a 21.40 a 20.29 a 15.49 b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom dan baris yang sama berbeda tidak
nyata pada taraf 5% menurut uji lanjut DMRT.
Tabel 28. Pengaruh Jenis Pupuk Kandang dan Dosis Urea terhadap Bobot Rimpang Kering per
Rumpun Tanaman Jahe Gajah Umur 16 Minggu Setelah Tanam (Fitrya, 2003)
Perlakuan Tanpa urea 2.40 g 3.60 g 4.80 g Rerata Pukan
urea/tan urea/tan. urea/tan) (g)
…………..…..…………..…….g……..……...……..……………….
Kontrol 12.96 e 15.85 cde 12.31 e 12.60 e 13.43 c
Pupuk kandang kambing 15.63 cde 21.81 ab 15.77 cde 13.90 e 16.74 b
Pupuk kandang sapi 13.53 e 19.13 cd 19.97 bc 14.33 e 16.74 b
Pupuk kandang ayam 15.56 de 21.11 b 25.51 a 13.95 e 19.03 a
Rerata Urea 14.42 b 19.48 a 18.39 a 13.69 b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom dan baris yang sama berbeda tidak
nyata pada taraf 5% menurut uji lanjut DMRT
Penggunaan pupuk alam dan organik pada tanaman jahe merah Balittro 1, Balittro 2 dan
Balittro 3 menghasilkan produksi rimpang segar berturut-turut 3,82; 4,38; dan 4,48 ton/ha
(Yusron et al.,2007).
Penambahan pupuk kandang sapi pada media tanam secara nyata dapat meningkatkan
diameter batang tetapi tidak nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah anakan
(Tabel 29).
Rosita dan Darwati (2007) melakukan penelitian respons pupuk organik untuk meningkatkan
pertumbuhan dan produksi jahe. Perlakuan yang dicobakan pupuk kandang 1 kg/tanaman,
pupuk kandang 1 kg/tanaman + asam leonat 45 ppm setiap dua minggu dan kascing 0,5
kg/tanaman. Mereka mendapatkan pemakaian pupuk kandang 1 kg/tanaman akan lebih efisien
dibandingkan dengan pupuk organik lainnya untuk pertumbuhan dan produksi jahe muda 105
hari setelah tanam.
Maslahah et al. (2007) mendapatkan teknologi pemupukan dengan kompos, pupuk hijau dan
fungi mikoriza arbuskular (FMA) sebagai alternatif pengganti pupuk kandang yang lebih
murah dan berwawasan lingkungan. Produksi jahe muda tertinggi (472, 48 g/rumpun)
diperoleh pada perlakuan 10 ton kompos + 30 ton pupuk hijau + 50% NPK standar + FMA,
dengan peningkatan produksinya sebesar 9,45% dibandingkan dengan pemupukan standar.
Pemanfaatan pupuk organik terkait dengan upaya menghasilkan produk pertanian organik.
Sebagian konsumen hasil pertanian terutama sayuran dan buah segar lebih menyukai produk
pertanian organik dari pada produk pertanian anorganik, rasa, warna, aroma dan tekstur hasil
pertanian organik umumnya lebih baik dari pada produk anorganik. Demikian juga kombinasi
pemberian pupuk P (P2O5) dan pupuk K (K2O) dapat meningkatkan bobot rimpang jahe
(Jurnawaty, 1994).
Prasetyo et al (2006) meneliti pola pertumbuhan tanaman jahe merah dengan intensitas
naungan dan dosis pupuk KCl pada sistem wanafarma di perkebunan karet. Dalam penelitian
tersebut variabel pengukuran meliputi tinggi tanaman, jumlah tunas anakan, jumlah daun dan
diameter batang semu. Berikut hasil dan pembahasan yang dikemukakan Prasetyo et al,
(2006).
Pertumbuhan tanaman jahe merah terus meningkat dari 7 minggu setelah tanam sampai
tanaman berumur 19 minggu. Pada umumnya pertumbuhan tanaman jahe merah pada saat
minggu 7-19 setelah tanam relatif seragam. Hal ini diduga pada saat itu tanaman jahe merah
masih mengalami satu fase pertumbuhan yaitu fase pertumbuhan vegetatif yang cepat.
Sitompul dan Guritno (1995), mennjelaskan bahwa pada awalnya pertumbuhan vegetatif
berjalan lambat, kemudian cepat (pertumbuhan vegetatif cepat) dan akhirnya perlahan sampai
konstan (memasuki fase generatif).
Pola pembentukan jumlah tunas umumnya relatif seragam sampai minggu ke- 17 setelah
tanam. Pertambahan Rerata jumlah tunas terendah mulai minggu ke- 7 setelah tanam sampai
minggu ke- 19 setelah tanam diperoleh intensitas naungan 50% dan dosis pupuk KCl 22,5 g
per tanaman diperoleh 1,5 tunas sedangkan intensitas naungan 50% dan dosis pupuk KCl 15 g
per tanaman memberikan nilai Rerata tertinggi jumlah tunas mulai minggu ke- 7 setelah tanam
hingga minggu ke- 17 setelah tanam sebesar 22, 6 tunas. Namun setelah minggu ke- 17 pola
pembentukan tunas pada intensitas naungan 25% dan dosis pupuk KCl 7,5 g per tanaman
meningkat dengan cepat sebesar 3,83 tunas. Diduga setelah minggu ke- 17 merupakan fase
pertumbuhan vegetatif aktif. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas naungan yang rendah
menyebabkan auksin yang ada pada bagian ujung tanaman terganggu dan bergerak ke bawah
membentuk tunas-tunas baru (Dewani et al., 2001). Di samping itu, pada intensitas naungan
50% kelembaban udara menjadi sangat tinggi yang menyebabkan kondisi lingkungan menjadi
lembab sehingga pertambahan jumlah tunas anakan kurang baik.
Pertambahan jumlah daun pada umumnya meningkat dengan cepat. Hal ini terjadi karena
sejak awal pengamatan (7 minggu setelah tanam) sampai minggu ke- 19 tanaman sudah
memasuki fase pertumbuhan vegetatif yang cepat. Mulai dari minggu ke- 7 setelah tanam
sampai minggu ke- 19 setelah tanam pertambahan Rerata jumlah daun terbanyak diperoleh
intensitas naungan 50% dan dosis pupuk KCl 15 g per tanaman sebesar 28 helai sedangkan
pertambahan Rerata jumlah daun terendah diperoleh pada intensitas naungan 50% dan dosis
pupuk KCl 22,5 g per tanaman sebesar 10,5 helai. Hal ini diduga dipengaruhi oleh
pertambahan jumlah tunas yang menunjukkan bahwa pertambahan jumlah tunas pada
intensitas naungan 50% dan dosis pupuk KCl 15 g pertanaman mulai minggu ke- 7 hingga
minggu ke- 17 setelah tanam memberikan nilai Rerata tertinggi. Garden et al. (1985)
mengemukakan bahwa semakin banyak tunas yang terbentuk maka daun yang terbentuk juga
akan lebih banyak karena daun keluar dari buku-buku batang. Sedangkan intensitas naungan
25% juga memberikan pertambahan jumlah daun yang cukup banyak namun tidak sebanyak
intensitas naungan 50%.
Namun memasuki minggu ke- 15 hingga minggu ke- 17 setelah tanam diameter batang semu
pada intensitas naungan 25% dan dosis pupuk KCl 15 g per tanaman memberikan nilai Rerata
terbesar. Pada akhir pengamatan nilai Rerata tertinggi kembali diperoleh perlakuan intensitas
naungan 25% dan dosis pupuk KCl 7,5 g per tanaman. Pola pertumbuhan yang tidak stabil ini
diduga karena lingkungan yang lembab sehingga tanaman mudah terserang penyakit busuk
rimpang dengan gejala tanaman layu, mudah rebah, busuk dan kering yang mengakibatkan
batang semu mengalami kerusakan.
Pemberian intensitas naungan 25% menghasilkan nilai Rerata terbesar diameter batang.
Diduga pertambahan diameter batang semu lebih efisien pada intensitas cahaya yang tinggi,
hal ini didukung bahwa pada intensitas naungan 25% tinggi sehingga menghasilkan cahaya
yang diinginkan dapat dimanfaatkan untuk fotosintesis. Sedangkan pada intensitas naungan
50% cahayanya lebih rendah dari pada intensitas naungan 25% sehingga cahaya yang
dibutuhkan kurang untuk fotosintesis. Peningkatan jumlah fotosintat yang dihasilkan selama
proses fotosintesis pada fase vegetatif memungkinkan adanya jumlah dan ukuran organ
tanaman yang dihasilkan. Peningkatan jumlah dan ukuran organ tanaman disebabkan oleh
adanya peningkatan cadangan makanan fotosintat pada titik tumbuh (Moko dan Rosita, 1996).
Walaupun tidak nyata pupuk kandang dapat menambah bobot segar akar, daun, rimpang dan
diameter rimpang jahe (Ikha Dewi, 1993). Hasil tertinggi untuk Rerata bobot segar rimpang
terdapat pada perlakuan pupuk kandang 10 ton/ha yaitu 170.30 g/rumpun (Tabel 30).
Tabel 30. Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang terhadap Bobot Segar Akar, Batang, Daun,
Rimpang dan Diameter Rimpang Jahe (Ikha Dewi, 1993)
Pupuk kandang Rerata bobot segar Diameter rimpang
(ton/ha)
Akar Batang Daun Rimpang
………………….g/rumpun…………………. (mm)
0 12.39 121.90 27.85 152.70 21.79
10 15.61 149.00 34.78 170.30 22.72
20 12.89 143.50 28.59 170.20 22.90
30 12.56 127.90 32.42 165.60 24.14
Pemanfaatan pupuk kandang untuk meningkatkan hasil dan mutu rimpang jahe banyak
dilakukan oleh petani jahe di Jawa, karena pupuk ini cukup tersedia, namun budidaya jahe
yang hanya mengandalkan pupuk kandang sebagai sumber pupuk organik memiliki beberapa
Rimpang jahe yang besar dan bernas, sesuai dengan persyaratan ekspor jahe segar, dapat
diperoleh dari tanaman yang dibudidayakan pada tanah berhumus tebal, kandungan C-organik
sangat tinggi (11,84%) pada lahan hutan yang baru dibuka seperti di Rejang Lebong,
Bengkulu, dan pada C-organik rendah (1%) pada tanah Latosol Cicurung (Gusmaini dan
Trisilawati 1998). Humus yang telah matang memiliki rasio C/N 15-22% (Direktorat Serealia
2001). Percobaan pot dengan media tanah Latosol Cicurung yang bagian atasnya ditambahkan
humus setebal 15 cm tanpa penambahan pupuk dan pupuk buatan N, P, dan K, juga
membuktikan peran bahan organik dalam pembentukan rimpang yang besar dan bernas. Hasil
rimpang tertinggi di capai dengan menambahkan humus 6,70 kg/pot, yakni tujuh kali lebih
besar dibandingkan hasil pada media (tanah Latosol) tanpa pemberian bahan organik.
Dibandingkan dengan media tanah + 1 kg pupuk kandang + 5 g Urea + 3,75 g TSP + 3,75 g
KCl/polibag, tanaman jahe pada media tanah berhumus tebal memberikan hasil rimpang segar
lebih dari dua kalinya (Gusmaini dan Trisilawati, 1998).
Hasil penelitian pemanfaatan pupuk kompos bokashi menunjukkan bahwa EM4 20 ml/l air
dan bokhasi 20 ton/ha meningkatkan hasil rimpang segar dan kering (Wiroatmodjo et al.,
1996). Bahan organik dapat meningkatkan ketersediaan beberapa unsur hara dan efisiensi
penyerapannya. Perombakan bahan organik akan melepaskan unsur hara seperti N, P, K, dan
S. Meskipun kandungan unsur hara pupuk organik relatif rendah, tetapi perombakannya relatif
cepat terutama di daerah tropika. Oleh karena itu, agar penggunaan bahan organik efektif,
maka pemberiannya harus dalam jumlah besar (Karama et al., 1990).
Peran bahan organik sebagai kompleks jerapan anion (fosfat, silika, nitrat, sulfat dan lainnya)
sangat penting dan selama ini kurang mendapat perhatian (Karama et al. 1990). Pada tanaman
jahe besar, jahe kecil (emprit),dan jahe merah, efisiensi serapan pupuk organik N relatif
rendah, masing-masing 12,60%; 5,19- 7,25%; dan 5,48- 10,10% (Yusron et al. 1998). Pupuk
Urea akan dikonversi oleh bakteri Nitrobacter menjadi nitrat (Nartea, 1990). Kompleks
jerapan anion dari pupuk organik atau bahan organik tanah akan mengurangi kehilangan
karena pencucian. Bahan organik juga mampu mengikat ion-ion racun dalam tanah seperti Al,
Cd, dan Pb sehingga tidak diserap oleh tanaman (Mulyani et al. 2001).
Darwati et al, (1998) melaporkan bahwa penambahan asam humat dapat meningkatkan bobot
segar jahe pada umur 3 bulan setelah tanam (BST). Fungsi fisiologi bahan organik tanah bagi
mikroba tanah adalah sebagai sumber utama energi untuk aktivitas kehidupan dan berkembang
biak. Pemberian bahan organik dengan rasio C/N tinggi akan memacu pembiakan mikroba,
memfiksasi beberapa unsur hara atau immobilisasi N yang bersifat sementara.seiring dengan
menurunnya rasio C/N tanah, sebagian mikroba akan mati, selanjutnya melalui proses
perombakan (dekomposisi) unsur hara menjadi tersedia kembali (Tabel 31).
Hasil penelitian Hapsoh dan Hasanah (2008) mengenai pemanfaatan pupuk organik dan
komposisi media tanam terhadap hasil rimpang jahe merah menunjukkan bahwa komposisi
pemberian topsoil : pupuk kandang : pasir (3 : 1 : 1) memberikan hasil rimpang per tanaman
tertinggi yaitu 102.58 gram/tanaman (Tabel 32). Hasil ini tergolong rendah jika dibandingkan
dengan deskripsi hasil rimpang pada tanaman jahe. Hal ini disebabkan adanya serangan
penyakit bercak daun yang mulai terjadi pada umur 3 bulan setelah tanam.
Tabel 32. Rataan Bobot Rimpang dari Perlakuan Pupuk Organik dan Media Tanam
Media Tanam
Pupuk Organik T1 T2 T3 T4 Rataan
………………………..g………………………….
M0 79.75 75.14 104.31 71.56 82.69 b
M1 119.45 96.81 103.80 90.28 102.58 a
Rataan 99.6 85.97 104.05 80.92
Keterangan: Data yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Jarak Berganda Duncan
pada taraf 5%.
M0 : Tanpa pupuk organik
M1 : Dengan pupuk organik
T1 : Pupuk kandang : pasir (2 : 1)
T2 : Pupuk kandang : sekam (2 : 1)
T3 : Top soil : pupuk kandang : pasir (3 : 1 : 1)
T4 : Top soil : pupuk kandang : sekam (3 : 1 : 1)
Panen
Panen merupakan salah satu rangkaian tahapan dalam proses budidaya tanaman obat.
Pemanenan jahe adalah kegiatan untuk pengambilan hasil berupa rimpang dengan cara
membongkar seluruh rimpang dengan menggunakan cangkul atau garpu. Waktu, cara
pemanenan dan penanganan bahan setelah panen merupakan periode kritis yang sangat
menentukan kualitas dan kuantitas hasil tanaman. Oleh karena itu waktu, cara panen dan
penanganan tanaman yang tepat dan benar merupakan faktor penentu kualitas dan kuantitas.
Waktu Panen
Waktu panen jahe akan mempengaruhi kadar minyak atsiri dan serat dari jahe yang dihasilkan.
Kadar minyak atsiri jahe akan semakin meningkat dengan semakin meningkatnya umur
tanaman, seperti terlihat pada Tabel 33. Waktu panen ditentukan oleh tujuan produk akhir
yang dituju, apakah untuk bumbu masak, jahe bubuk atau untuk ektraksi minyak atsirinya.
Jahe yang akan digunakan sebagai bumbu masak dan jahe bubuk, kadar serat kasar harus
sekecil mungkin untuk memudahkan proses penggilingan, sehingga harus dipanen sedini
mungkin. Pemanenan jahe yang akan digunakan sebagai bumbu masak dilakukan pada umur
kurang lebih 4 bulan dengan cara mematahkan sebagian rimpang dan sisanya dibiarkan sampai
tua.
Tabel 33. Kadar Air dan Kadar Minyak Atsiri Jahe Merah, Jahe Gajah, dan Jahe
Emprit pada Berbagai Umur Panen (Julianti et al., 2008)
• Warna daun berubah dari hijau menjadi kuning dan batang semua mengering
• Kulit rimpang kencang dan tidak mudah terkelupas/tidak mudah lecet
• Apabila dipatahkan berserat dan aroma rimpang menyengat
• Warna rimpang lebih mengkilat dan terlihat bernas
Umur panen jahe juga ditentukan oleh jenis jahe, misalnya pada jahe gajah daun sudah
mengering pada umur 8 bulan dan berlangsung selama 15 hari. Jahe emprit dan jahe merah
dipanen pada saat semua daun sudah gugur. Pemanenan jahe untuk bibit dilakukan minimal
pada umur 8 bulan baik untuk jahe gajah, jahe emprit maupun jahe merah.
Cara Panen
Pada waktu panen peralatan dan tempat yang digunakan harus bersih dan bebas dari cemaran
dan dalam keadaan kering. Alat yang digunakan dipilih dengan tepat untuk mengurangi
terbawanya bahan atau tanah yang tidak diperlukan. Bahan yang rusak atau busuk harus segera
dibuang atau dipisahkan. Penempatan dalam wadah (keranjang, kantong, karung dan lain-lain)
tidak boleh terlalu penuh sehingga bahan tidak menumpuk dan tidak rusak. Selanjutnya dalam
waktu pengangkutan diusahakan supaya bahan tidak terkena panas yang berlebihan, karena
dapat menyebabkan terjadinya proses fermentasi/busuk. Bahan juga harus dijaga dari
gangguan hama (hama gudang, tikus dan binatang peliharaan).
Rimpang jahe yang sudah dikeluarkan dari tanah, kemudian dibersihkan dari tanah dan
kotoran lainnya yang menempel pada rimpang dan bila perlu dicuci. Sesudah itu jahe dijemur
Waktu Panen
Pemanenan jahe sebaiknya dilakukan sebelum musim hujan, yaitu diantara bulan Juni –
Agustus. Saat panen biasanya ditandai dengan mengeringnya bagian atas tanah. Namun
demikian apabila tidak sempat dipanen pada musim kemarau tahun pertama ini sebaiknya
dilakukan pada musim kemarau tahun berikutnya. Pemanenan pada musim hujan
menyebabkan rusaknya rimpang dan menurunkan kualitas rimpang sehubungan dengan
rendahnya bahan aktif karena tingginya kadar airnya.
Produksi
Produksi rimpang segar untuk klon jahe gajah berkisar antara 15-25 ton/hektar, sedangkan
untuk klon jahe emprit atau jahe sunti berkisar antara 10-15 ton/hektar. Saat ini Balitro Bogor
telah melepaskan varitas unggul untuk jahe putih yaitu Cimanggu-1 yang produksinya dapat
mencapai 17-37 ton/ha sedangkan varitas unggul untuk jahe putih kecil potensi produksinya
mencapai 16 ton/ha dengan kandungan minyak atsiri 1,7-3,8% dan kadar oleoresin 2,39-
8,76%. Varitas unggul untuk jahe merah dapat menghasilkan 22 ton/ha dengan kadar minyak
atsiri 3,2 – 3,6% dan kadar oleoresin 5,86 – 6,36% (Rostiana et al., 2005).
Produksi jahe yang ditanam dengan sistem keranjang mencapai 5-10 kg/keranjang. Pada lahan
seluas 400 m2 dapat ditanam sebanyak 500 keranjang jahe sehingga produksinya mencapai 2.5
– 5 ton jahe. Salah satu keuntungan budidaya jahe sistem keranjang adalah efisiensi
penggunaan lahan, sehingga dapat diterapkan pada lahan yang sempit.
Penanganan Pascapanen
Penanganan pascapanen jahe merupakan kegiatan yang penting, karena meskipun sudah
dipanen jahe masih terus melanjutkan aktivitas hidupnya yaitu melakukan metabolisme
termasuk respirasi yang menyebabkan jahe akan kehilangan komponen-komponen organiknya
termasuk bahan aktifnya sehingga mutunya menjadi rendah. Namun dengan cara budidaya dan
penanganan pasca panen yang tepat, variasi kandungan bahan aktif dalam hasil olahan jahe
diharapkan dapat diperkecil, diatur atau kalau mungkin distandarkan. Oleh karena itu
penanganan pascapanen jahe yang tepat akan dapat mengurangi kehilangan pascapanen.
Penanganan pascapanen jahe yang dibudidayakan pada lahan maupun dengan sistem
keranjang adalah sama, yang meliputi pembersihan rimpang dari kotoran, tanah dan
mikroorganisme yang tidak diinginkan melalui pencucian, sortasi dan perajangan,
pengeringan, pengemasan, hingga penyimpanan. Tujuan dari penanganan pascapanen jahe
adalah untuk menghasilkan produk dengan masa simpan yang panjang, bermutu baik dan
dapat mempertahankan kandungan bahan aktif sehingga sesuai dengan standar mutu yang
diinginkan oleh pasar serta memiliki nilai jual yang tinggi.
Untuk memulai proses pasca panen perlu diperhatikan cara dan tenggang waktu pengumpulan
rimpang jahe setelah dipanen. Hal-hal yang penting diperhatikan dalam penanganan pasca
panen adalah kebersihan dari alat-alat dan bahan yang digunakan, juga bagi pelaksananya
perlu memperhatikan perlengkapan seperti masker dan sarung tangan.
Secara umum tahapan penanganan pasca panen jahe segar atau jahe yang akan dijadikan
sebagai simplisia adalah sebagai berikut:
Penyortiran Basah
Sortasi pada jahe segar dilakukan untuk memisahkan jahe yang bagus dengan rimpang jahe
yang busuk/rusak atau cemaran bahan asing lainnya seperti kotoran berupa tanah, sisa
tanaman, dan gulma. Prosedur penyortiran rimpang jahe dilakukan sebagai berikut:
• Pilih rimpang jahe yang besar dan tua, dipisahkan antara yang bagus (tidak busuk) dengan
yang rusak atau terkena cemaran bahan asing lainnya
• Bersihkan rimpang jahe dari tanah dan kotoran lain yang menempel dengan cara dipukul
perlahan-lahan
• Potong daun-daun, batang dan akar menggunakan pisau
• Pisahkan bahan rimpang yang akan diproses/dikemas dalam bentuk simplisia dan bahan
rimpang yang akan dijual dalam bentuk jahe segar
Pencucian
Pencucian dilakukan dengan sikat plastik secara hati-hati untuk menghilangkan kotoran dari
hasil panen dan mengurangi mikroba yang menempel pada rimpang jahe. Pencucian dilakukan
secara bertahap (dalam bak-bak pencucian bertingkat) dengan menggunakan air mengalir.
Bahan yang telah dibersihkan ditimbang dan ditempatkan dalam wadah plastik untuk
pencucian. Pencucian dilakukan dengan air bersih atau jika perlu disemprot dengan air
bertekanan tinggi. Rimpang jahe dicuci dengan cara menyikat perlahan-lahan dan teratur di
bawah air mengalir dan dibilas pada air tidak mengalir. Jika air bilasan masih terlihat kotor
maka pembilasan dilakukan sekali atau dua kali lagi. Hindari pencucian yang terlalu lama agar
kualitas dan senyawa aktif yang terkandung di dalam tidak larut dalam air. Pencucian jahe
dengan cara penyemprotan dapat mengurangi resiko kehilangan komponen aktif. Pemakaian
air sungai harus dihindari karena dikhawatirkan telah tercemar kotoran dan banyak
mengandung bakteri/penyakit. Setelah pencucian selesai, rimpang ditiriskan dalam wadah
yang berlubang-lubang (keranjang plastik) agar sisa air cucian yang tertinggal dapat
dipisahkan, kemudian tempatkan dalam wadah plastik/ember. Rimpang jahe kemudian
diangin-anginkan dalam ruangan yang berventilasi udara yang baik, sehingga air yang melekat
akan teruapkan.
Penimbangan Bahan
Rimpang jahe yang sudah disortir dan dibersihkan ditimbang untuk mengetahui berat bersih
bahan yang akan diolah. Kemudian jahe dapat diolah menjadi berbagai produk atau langsung
dikemas dalam karung plastik yang berongga dan siap untuk diekspor.
Penyimpanan jahe dilakukan di dalam gudang yang bersih, tidak lembab dan suhu tidak
melebihi 30 oC. Gudang penyimpanan harus memiliki ventilasi baik dan lancar, terhindar dari
kontaminasi bahan lain yang dapat menurunkan mutu jahe, memiliki penerangan yang cukup
(tetapi harus dihindari dari sinar matahari langsung) serta bersih dan terbebas dari hama
gudang.
Standar mutu jahe di Indonesia tercantum dalam Standar Nasional Indonesia SNI– 01–3179–
1992.
Tabel 34. Syarat Umum Standar Mutu Jahe (Kadin Indonesia, 2007)
No. Karakteristik Syarat Metode Pengujian
1. Kesegaran jahe Segar Visual
2. Rimpang bertunas Tidak ada Visual
3. Kenampakan irisan melintang Cerah Visual
4. Bentuk rimpang Utuh Visual
5. Serangga hidup Bebas Visual
Keterangan:
- Kesegaran: Jahe dinyatakan segar apabila kulit jahe tampak halus, mengkilat dan tidak keriput
- Bentuk rimpang: Rimpang jahe segar dinyatakan utuh bila cabang-cabang dari rimpang jahe tidak ada yang
patah, dengan maksimum 2 penampang patah pada pangkalnya
- Rimpang bertunas: Jahe segar dinyatakan mempunyai rimpang bertunas apabila salah satu atau beberapa ujung
dari rimpang telah bertunas
- Kenampakan irisan: Jahe segar bila diiris melintang pada salah satu rimpangnya maka penampangnya
berwarna cerah khas jahe segar
Pengujian mutu jahe meliputi penentuan benda-benda asing, penentuan kadar serat, penentuan
kadar minyak atsiri dan penentuan kadar pati jahe.
mg glukosa x pengenceran
Kadar glukosa atau fruktosa, persen berat = x 100%
Berat sampel
Kadar pati = 0,9 x % glukosa
Pengambilan Contoh
- Dari jumlah kemasan dalam satu partai jahe segar siap ekspor diambil sejumlah
kemasan secara acak seperti dibawah ini, dengan maksimum berat tiap partai 20 ton.
• Untuk jumlah kemasan dalam partai 1–100, contoh yang diambil 5.
• Untuk jumlah kemasan dalam partai 101–300, contoh yang diambil adalah 7
• Untuk jumlah kemasan dalam partai 301–500, contoh yang diambil adalah 9
• Untuk jumlah kemasan dalam partai 501-1000, contoh yang diambil adalah 10
• Untuk jumlah kemasan dalam partai di atas 1000, contoh yang diambil minimum
15.
- Kemasan yang telah diambil, dituangkan isinya, kemudian diambil secara acak
sebanyak 10 rimpang dari tiap kemasan sebagai contoh. Khusus untuk kemasan jahe
segar berat 10 kg atau kurang, maka contoh yang diambil sebanyak 5 rimpang.
- Contoh yang telah diambil kemudian diuji untuk ditentukan mutunya.
Petugas pengambil contoh harus memenuhi syarat yaitu orang yang telah berpengalaman atau
dilatih terlebih dahulu dan mempunyai ikatan dengan suatu badan hukum.
Tujuan Instruksional: Menjelaskan cara-cara pengolahan jahe menjadi simplisia dan produk-
produk olahan jahe seperti asinan, manisan dan sirup jahe.
Jahe dapat diolah menjadi berbagai produk yang sangat bermanfaat dalam menunjang industri
obat tradisional, farmasi, kosmetik dan makanan/minuman. Ragam bentuk hasil olahannya,
antara lain berupa jahe kering, simplisia, oleoresin, minyak atsiri, serbuk, asinan, manisan,
anggur jahe dan sirup jahe.
Jahe Kering
Jahe kering adalah jahe yang diawetkan dengan cara mengeringkan rimpang jahe baik dengan
pengeringan sinar matahari (penjemuran) maupun dengan alat pengering mekanis. Tujuan
pembuatan jahe kering adalah untuk mengurangi kadar airnya hingga batas tertentu sehingga
jahe menjadi lebih awet karena penurunan kadar air akan mengakibatkan terhambatnya
pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme pembusuk serta aktivitas enzim yang dapat
menyebabkan perubahan-perubahan yang tidak diinginkan pada jahe juga menjadi terhambat.
Jahe kering merupakan bahan baku untuk pengolahan oleoresin jahe serta ekstraksi minyak
atsiri.
Jahe kering yang tidak berkulit dikenal dengan istilah coated, unscrapped atau unpeeled yang
biasanya akan diproses lebih lanjut untuk pembuatan minyak jahe (ginger oil) dan oleoresin.
Jahe yang setengah berkulit dikenal dengan istilah peeled, uncoated atau scrapped yang
umumnya digunakan dalam industri obat-obatan, makanan dan minuman.
Pengolahan jahe kering yang berkulit dilakukan dengan cara membersihkan rimpang dari
kotoran dan tanah, kemudian diblansir dengan cara merendam rimpang di dalam air mendidih
selama 10-15 menit yang bertujuan untuk menginaktifkan enzim-enzim yang ada pada
rimpang. Rimpang jahe yang telah diblansir sebaiknya direndam dalam air dingin yang
Pengolahan jahe yang tidak berkulit atau setengah berkulit dilakukan dengan cara merendam
rimpang jahe bersih di dalam air selama semalam untuk mempermudah pengulitan
(pengupasan kulit). Perendaman dapat dilakukan dalam air kapur untuk mendapatkan rimpang
jahe yang berwarna putih. Untuk jahe setengah berkulit pengupasan dilakukan dengan cara
membuang kulit yang ada pada permukaan yang datar, sedang yang berada di celah-celah
tidak dibuang, dan untuk jahe yang tidak berkulit seluruh kulit dibuang. Rimpang yang sudah
dikuliti dicuci dengan air secara hati-hati. Pengupasan kulit dilakukan dengan menggunakan
pisau stainless steel yang tajam atau dengan menggunakan pisau bambu yang ujungnya tajam,
atau dengan menggunakan sendok. Rimpang jahe yang yang sudah bersih dikeringkan dengan
cara menjemur selama 5-8 hari atau dengan alat pengering mekanis hingga kadar airnya
mencapai 10-12%.
a. Penjemuran
Pengeringan dengan sinar matahari merupakan cara pengeringan yang sederhana dan murah
karena hanya memerlukan lantai penjemuran yang terbuat dari semen atau berupa rak
pengering yang terbuat dari kayu untuk proses pengeringannya. Rimpang jahe yang akan
dijemur disebar secara merata dan pada saat tertentu dibalik agar panas merata dan rimpang
tidak retak. Cara pengeringan dengan penjemuran meski murah dan praktis, tapi mempunyai
kelemahan yaitu suhu dan kelembaban tidak dapat dikontrol, proses pengeringan tergantung
pada cuaca sehingga waktu pengeringannya menjadi lama, memerluan areal penjemuran yang
luas, mudah diganggu hewan ternak dan mudah terkontaminasi baik oleh mikroba maupun
oleh kotoran. Tempat penjemuran hendaknya didisain sedemikian rupa hingga kotoran/benda
lain tidak dapat masuk, misalnya dengan meninggikan lantai penjemuran minimal 20-30 cm di
atas tanah.
Gambar 15. Alat Pengering Tenaga Surya Model AIT (BPTTG LIPI, 2001)
Pengering energi surya harus diletakkan melintang terhadap matahari, agar penangkapan
radiasi matahari optimal. Suhu udara panas yang melalui bahan harus dikontrol agar tidak
lebih dari 45oC, jika suhu melebihi suhu tersebut maka plastik transparan dibuka agar suhu
udara turun kembali.
Simplisia Jahe
Simplisia yang diperoleh belum terbebas dari kerusakan dan ini akan mempengaruhi kualitas
secara keseluruhan. Hal ini karena sebagai produk biologis, simplisia belum terbebas
sepenuhnya dari aktivitas biokimia karena masih terdapat enzim yang bersifat nonaktif. Pasca
panen sebagai mata rantai proses untuk memperoleh jaminan mutu bagi simplisia, secara
umum sangat dipengaruhi oleh (1) kandungan air bahan, (2) pengaruh sinar ultra violet dan (3)
pengaruh suhu (pemanasan) selama proses pengeringan berjalan, serta (4) pengaruh pH pada
saat enzim di dalam jaringan (hasil panenan) masih dalam kondisi aktif.
Ketika panen terjadi, aktivitas metabolisme yang terjadi di dalam tanaman dihentikan, tetapi
komponen komponen kimia seperti enzim (hidrolase, oksidase, polimerase, dan lain-lain) yang
tertinggal pada jaringan yang dipanen belum berhenti. Enzim bisa terdapat dalam jaringan,
selain itu enzim juga masih mempunyai aktivitas di luar sel hidup, yang mengakibatkan
kerusakan hasil panen dan merubah penampilan fisik menjadi berwarna coklat akibat aktivitas
enzim oksidase. Enzim memiliki sifat tidak tahan terhadap pemanasan, dengan demikian
tingginya kadar air pada hasil panen dapat menjadi wahana untuk aktivitas berikutnya, baik
dalam merubah tampilan fisik (warna) maupun kandungan bahan kimianya. kurang terkontrol
juga berkaitan erat dengan timbulnya cemaran, khususnya mikroba. Cemaran mikroba pada
simplisia menyebabkan bahan sama sekali tidak dapat dipakai karena bersifat toksik. Oleh
karenanya proses pengeringan dengan menggunakan pemanasan dengan sinar matahari atau
oven merupakan alternatif untuk menghentikan aktivitas enzim dan mencegah timbulnya
cemaran mikroba. Tetapi terdapat beberapa bahan yang rusak jika dikeringkan dibawah
paparan langsung sinar matahari yang mengandung sinar ultra violet, misal bahan yang
mengandung minyak atsiri, pro-vitamin A, zat zat antioksidan, dan lain-lain. Pengaturan besar
kecilnya suhu selama proses pengeringan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam
menghasilkan simplisia yang baik, apakah itu fisik maupun kimia.
Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa untuk memperoleh kualitas optimal, suhu
pengeringan sebaiknya diatur sedemikian rupa sehingga perbedaan suhu dan kelembaban
antara siang dan malam hari tidak terlalu jauh (ekstrim). Kisaran suhu yang baik untuk
pengeringan adalah 50-60oC. Perlakuan pasca panen seperti pada pencucian yang sering
menambahkan zat tertentu, misal untuk tujuan memperbaiki warna, meningkatkan sterilitas
bahan atau lainnya seringkali merubah pH dari bahan yang diproses. Kadang kadang
perubahan pH justru merubah fungsi dari suatu enzim. Jika pada suatu pH tertentu suatu enzim
mengubah substrat (zat yang diubah menjadi sesuatu yang baru) menjadi hasil akhir, maka
perubahan pH dapat membalik aktivitas enzim tersebut menjadi pengubah hasil akhir kembali
menjadi substrat.
Penimbangan
bahan baku
Perajangan
Pengeringan
Benda asing
Penyortiran akhir selain simplisia
jahe
Pengemasan dan
Pelabelan
Simplisia Jahe
Gambar 16. Diagram Alir Proses Pengolahan Simplisia Jahe (Direktorat Budidaya
Tanaman Sayuran dan Biofarmaka, 2006)
Perajangan
Perajangan dilakukan untuk mempermudah proses selanjutnya seperti pengeringan,
pengemasan, penyulingan minyak atsiri dan penyimpanan. Ukuran perajangan berpengaruh
terhadap kualitas simplisia yang dihasilkan. Semakin tipis bahan, maka penguapan air akan
semakin cepat sehingga mempercepat waktu pengeringan, tetapi perajangan yang terlalu tipis
dapat menyebabkan zat yang mudah menguap seperti minyak atsiri akan berkurang kadarnya,
sehingga mempengaruhi komposisi, bau dan rasa. Sedangkan jika terlalu tebal, maka
pengurangan kadar air dalam bahan agak sulit dan memerlukan waktu yang lama dalam
penjemuran dan kemungkinan besar bahan mudah ditumbuhi oleh jamur. Ketebalan
perajangan untuk rimpang jahe adalah 4-6 mm atau sesuai dengan keinginan pasar (Direktorat
Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka, 2006).
Tabel 38. Pengaruh Ketebalan Irisan Jahe terhadap Kadar Air Akhir Jahe Merah yang
Dikeringkan secara Kemoreaksi (Julianti, et al., 2008)
Tebal irisan Kadar air awal Kadar air (%bb) Kadar minyak Lama pengeringan
jahe (%bb) atsiri (%) (jam)
2.5 mm 85,07 7.34 3,90 36
5.0 mm 84,19 8.22 3,82 54
7.5 mm 83,55 8.75 3,17 58
10 mm 83,78 9.87 3,16 66
Tabel 39. Pengaruh Ketebalan Irisan Jahe terhadap Kadar Air Akhir Jahe Gajah yang
Dikeringkan secara Kemoreaksi (Julianti, et al., 2008)
Tebal irisan Kadar air awal Kadar air (%bb) Kadar minyak Lama pengeringan
jahe (%bb) atsiri (%) (jam)
2.5 mm 82,96 5,53 3,77 36
5.0 mm 82,44 7,65 3,30 54
7.5 mm 83,06 8,44 3,23 58
10 mm 83,50 9,62 3,02 66
Tabel 40. Pengaruh Ketebalan Irisan Jahe terhadap Kadar Air Akhir Jahe Emprit yang
Dikeringkan secara Kemoreaksi (Julianti, et al., 2008)
Tebal irisan Kadar air awal Kadar air (%bb) Kadar minyak Lama pengeringan
jahe (%bb) atsiri (%) (jam)
2.5 mm 84,06 6,57 3,87 36
5.0 mm 83,67 7,98 3,24 54
7.5 mm 84,66 8,86 3,07 58
10 mm 84,52 9,69 3,02 66
Perajangan bahan dapat dilakukan secara manual dengan pisau yang tajam dan terbuat dari
stainlees ataupun dengan mesin pemotong/perajang. Untuk pengolahan jahe dalam jumlah
besar, maka perajangan dapat dilakukan dengan alat mekanis. Salah satu alat perajang rimpang
jahe dikembangkan oleh BPTTG LIPI (2000) mempunyai kapasitas kerja 35 kg/jam dan
digerakkan secara manual, seperti terlihat pada Gambar 17.
Pemblansiran
Untuk mendapatkan simplisia dengan tekstur yang menarik, sebelum diiris, jahe dapat
diblansir (direbus) beberapa menit sampai terjadi proses gelatinisasi. Perebusan (blansir)
adalah suatu proses pemanasan yang diberikan kepada bahan mentah selama beberapa menit
pada suhu air mendidih yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas produk yang diolah. Jahe
yang diblansir terlebih dahulu sebelum dikeringkan akan mempunyai warna yang lebih baik
dari jahe yang tidak diblansir. Perajangan jahe menyebabkan enzim polifenol oksidase yang
merupakan enzim penyebab terjadinya reaksi pencoklatan (browning) pada jahe menjadi aktif
karena adanya oksigen. Proses pemanasan (blansir) akan menginaktifkan enzim ini sehingga
proses pencoklatan selama pengeringan dapat dicegah.
Proses blansir dilakukan dengan memanaskan air hingga suhu 90-95oC, kemudian ke dalam air
panas tersebut dimasukkan jahe dengan perbandingan jahe dan air 1 : 3, dengan demikian
setiap 1 liter air panas hanya dapat memanaskan 300-350 gram irisan jahe. Irisan jahe
dibiarkan di dalam air panas selama 5-10 menit sambil diaduk secara perlahan. Setelah itu
irisan jahe diangkat dan ditiriskan.
Pengeringan
Pengeringan merupakan proses yang sangat penting dalam pembuatan simplisia jahe, karena
menentukan mutu dan umur simpan simplisia. Proses pengeringan simplisia jahe dapat
dilakukan dengan cara penjemuran di bawah sinar matahari atau dengan alat-alat pengering
mekanis dengan menggunakan energi sinar matahari ataupun sumber energi panas lainnya.
Pengeringan dilakukan hingga kadar air mencapai 10% yang ditandai dengan tanda
berbunyinya jahe kering jika dipatahkan.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengeringan jahe secara kemoreaksi dengan
perbandingan antara kapur api dan jahe sebesar 3 : 1 sudah cukup baik untuk menghasilkan
simplisia jahe dengan kadar air dan kandungan minyak atsiri yang telah memenuhi syarat
mutu yaitu 12% maksimum untuk kadar air dan 1,5% minimum untuk kadar minyak atsiri
seperti dapat dilihat pada Tabel 44.
Tabel 41. Pengaruh Metode Pengeringan terhadap Kadar Air dan Kadar Minyak Atsiri
Jahe Merah (Julianti, et al., 2008)
Tabel 43. Pengaruh Metode Pengeringan terhadap Kadar Air dan Kadar Minyak Atsiri
Jahe Emprit (Julianti, et al., 2008)
Tabel 44. Kadar Air dan Kadar Minyak Atsiri Jahe Merah, Jahe Gajah, dan Jahe
Emprit yang Dikeringkan secara Kemoreaksi dengan Perbandingan antara
Kapur Api dan Jahe 3 : 1 (Julianti, et al., 2008)
Penyimpanan
Penyimpanan di lakukan di ruang/gudang yang bersih dengan sirkulasi udara yang baik.
Ruang penyimpanan juga tidak boleh terlalu lembab, jauh dari bahan lain yang dapat
menyebabkan kontaminasi dan bebas dari hama gudang. Penyimpanan yang baik dapat
mempertahankan mutu simplisia hingga 10 bulan penyimpanan.
Keterangan:
- Organoleptik: bau aromatik khas jahe dan rasa pedas khas jahe.
- Penampakan secara mikroskopis adalah sebagai berikut: Di bawah epidermis
terdapat hypodermis. Periderm terdiri dari beberapa lapis sel gabus. Korteks terdiri dari
parenkim isodiametrik, dinding sel tipis; berkas pembuluh tersebar; banyak idioblas,
sel idioblas hampir bulat, dinding berkutikula, garis tengah 40 µm sampai 80 µm, berisi
damar minyak, warna kuning kehijauan sampai jingga atau berwarna coklat
kekuningan sampai coklat kemerahan. Endodermis terdiri dari sel dengan dinding
radikal agak menebal, tidak berisi pati. Berkas pembuluh kolateral dan fibrovasal;
berkas pembuluh yang terdapat langsung di sebelah dalam endodermis tersusun teratur
dalam satu deretan, berkas hampir bersentuhan satu sama lain, umumnya tanpa serabut.
Stela terdiri dari sel parenkim berdinding tipis, berkas pembuluh kolateral dan tersebar,
idioblas minyak seperti pada korteks. Xilem terdiri dari sedikit pembuluh spiral dan
pembuluh jala, tidak berlignin, garis tengah lebih kurang 70 µm. Floem berkelompok,
serabut berkelompok, dinding tipis panjang sampai lebih kurang 600 µm, lebar sampai
lebih kurang 30 µm, bernoktah berbentuk celah miring. Idioblas bentuk prisma,
panjang sampai lebih kurang 130 µm, lebar 8 µm sampai 20 µm, tunggal atau dalam
deretan sejajar dengan sumbu berkas pembuluh, berisi zat berwarna coklat kemerahan
tua. Butir pati memenuhi parenkim korteks dan parenkim stele; butir, tunggal, bentuk
Bubuk jahe adalah produk olahan jahe yang merupakan bahan dasar untuk pembuatan bumbu
instan seperti bahan dasar pada pembuatan bumbu kari, bumbu rendang dan jenis-jenis bumbu
lainnya. Bubuk jahe juga digunakan sebagai bahan dasar pada industri minuman seperti bir,
brandi dan anggur jahe.
Bubuk jahe diperoleh dengan cara menggiling jahe kering (simplisia jahe) kemudian diayak
dengan ayakan berukuran 50-60 mesh dan dikemas dalam wadah yang kering. Untuk
memperoleh bubuk jahe berwarna lebih putih, maka irisan jahe yang akan dikeringkan terlebih
dahulu direndam dalam larutan kapur yang dibuat dengan cara melarutkan kapur sirih
sebanyak 15-30 gram ke dalam 1 liter air kemudian larutan ini dibiarkan pada wadah tertutup
selama 4-8 jam sehingga padatan yang tidak larut mengendap. Cairan jernih di atas endapan
digunakan untuk pemutihan jahe, dan endapan dibuang. Irisan jahe direndam dalam air kapur
selama 12 jam. Pemutihan jahe hanya dilakukan untuk mendapatkan bubuk jahe yang berwana
putih.
Jahe awet atau jahe olahan adalah jahe yang diolah dalam bentuk asinan jahe, jahe dalam sirup
atau kristal jahe. Awetan jahe merupakan produk olahan jahe yang banyak diperdagangkan
secara internasional. Jenis jahe yang biasanya digunakan untuk olahan jahe ini adalah jahe
badak yang dipanen muda yaitu pada umur 3- 4 bulan. Dalam perdagangan internasional,
awetan jahe banyak diproduksi dari Cina, Hongkong dan Asutralia. Pengolahan jahe menjadi
jahe awet di Indonesia masih dilakukan dengan cara yang sederhana sehingga mutunya masih
tertinggal dibanding ketiga negara produsen tersebut (Koswara, 2006).
Untuk membuat awetan jahe, mula-mula pikel diangkut dari larutan garam, dicuci dan
direndam dengan air dingin selama 2 hari dengan beberapa kali pergantian air perendam.
Kemudian dicampur dengan air dingin baru (sampai terendam seluruhnya) dan dididihkan
selama 10 menit, lalu ditiriskan. Setelah itu jahe direbus dalam sirop gula (perebus pertama).
Sirop gula dibuat dengan mencampurkan 60 kg jahe dengan 48 kg gula dan ditambah air
sampai semua jahe terendam. Perebusan pertama ini dilakukan selama 45 menit, dan
kemudian dibiarkan terendam dalam sirup gula selama 2 hari atau lebih. Setelah itu dilakukan
Untuk membuat manisan jahe, setelah perebusan kedua selesai, dilakukan perendaman
kembali selama 1 hari. Kemudian direbus kembali (perebusan ketiga) untuk menguapkan lebih
o
banyak air dari sirop, lalu diangkat, dikeringkan dengan cara dijemur atau dioven 45 – 55 C.
Setelah kering ditaburi gula pasir halus dan dikemas.
Asinan jahe Cina ini terdiri dari beberapa kelas mutu, yaitu:
1. Kelas satu atau Young Stem Ginger: asinan yang terbuat dari rimpang jahe berkualitas
terbaik, berbentuk oval dengan ukuran kira-kira sebesar telur ayam
2. Kelas dua atau Choise Selected Stem Ginger: asinan jahe yang terdiri dari potongan-
potongan rimpang dengan ukuran lebih kecil dari asinan jahe kelas satu.
3. Kelas tiga atau Finger: asinan jahe yang ukurannya lebih kecil dari asinan jahe kelas
dua.
4. Kelas empat atau Cargo Ginger: asinan yang dibuat dari rimpang utama dan terdiri
atas 3 subkelas yaitu bold medium dan small medium.
5. Kelas lima atau Skins, Shavings, Tops, Tails: asinan yang dibuat dari sisa rimpang yang
sudah dipilih untuk pembuatan asinan jahe dengan kelas mutu yang lebih tinggi.
Setelah selesai, jahe dikeluarkan, ditiriskan dan dikemas dalam larutan sirop baru. Untuk
membuat awetan jahe kering, jahe yang telah diolah dengan cara diatas, ditiriskan dan dilapisi
dengan gula pasir kristal dan dikeringkan menggunakan udara panas pada suhu 50oC selama 1
jam (Koswara, 2006).
Komposisi rimpang dalam asinan jahe tersebut terdiri dari kadar serat 2,4%, protein 2,3% dan
mineral 1,2%, karbohidrat yang terdiri dari pentosan 7,6%, sejumlah kecil gula bebas, glukosa,
fruktosa dan sukrosa. Rimpang jahe menyerap garam dari larutan sekitar 2%. Persyaratan
mutu jahe berdasarkan permintaan pembeli di Australia dapat dilihat pada Tabel 48.
Setelah selesai hasilnya merupakan manisan jahe basah yang kemudian ditiriskan dan dapat
dikemas dalam botol jam atau plastik. Jika ingin dibuat manisan jahe kering, dilakukan
pemasakan lagi dengan larutan gula yang baru. Pada saat siropnya hampir kering, jahe
diangkat dan dalam keadaan panas ditaburi kristal gula pasir halus. Kemudian disimpan atau
dikemas dalam wadah yang tertutup rapat untuk menghindari penyerapan air (Koswara, 2006).
Cara pengawetan jahe yang lebih sederhana yang biasa dilakukan oleh pengusaha di Indonesia
adalah sebagai berikut:
• Jahe segar dikuliti kemudian dipotong-potong menjadi ukuran 80-120 gram
• Jahe kemudian dicampur asam cuka dan garam dapur dengan perbandingan 78% jahe
segar, 2% asam cuka dan 2% garam dapur.
• Setelah dicampur dibiarkan selama 15 hari
Minyak atsiri adalah senyawa mudah menguap yang tidak larut di dalam air yang berasal dari
tanaman. Minyak atsiri dapat dipisahkan dari jaringan tanaman melalui proses destilasi. Pada
proses ini jaringan tanaman dipanasi dengan air atau uap air. Minyak atsiri akan menguap dari
jaringan bersama uap air yang terbentuk atau bersama uap air yang dilewatkan pada bahan
(Kantor Deputi Menristek, 2001b).
Minyak atsiri yang dihasilkan dari jahe merupakan komoditas ekspor non migas yang
dibutuhkan diberbagai industri seperti dalam industri parfum, kosmetika, industri
farmasi/obat-obatan, industri makanan dan minuman. Dalam dunia perdagangan, komoditas
Di Indonesia penggunaan minyak atsiri ini sangat beragam, dapat digunakan melalui berbagai
cara yaitu melalui mulut/dikonsumsi langsung berupa makanan dan minuman seperti jamu
yang mengandung minyak atsiri, penyedap/fragrant makanan, flavour es krim, permen, pasta
gigi dan lain-lain. Pemakaian luar seperti untuk pemijatan, lulur, lotion, balsam, sabun mandi,
shampo, obat luka/memar, pewangi badan (parfum). Melalui pernapasan
(inhalasi/aromaterapi) seperti untuk wangi-wangian ruangan, pengharum tissue, pelega
pernafasan rasa sejuk dan aroma lain untuk aroma terapi. Pemanfaatan aromaterapi sebagai
salah satu pengobatan dan perawatan tubuh yang menjadi trend “back to nature” sangat
membutuhkan bahan baku yang beragam dan bermutu dari tanaman aromatik.
Rimpang jahe mengandung minyak atsiri 1-3%. Minyak atsiri jahe dapat diperoleh dengan
berbagai teknik penyulingan, yaitu:
1) Metode perebusan: Bahan direbus di dalam air mendidih. Minyak atsiri akan menguap
bersama uap air, kemudian dilewatkan melalui kondensor untuk kondensasi. Alat yang
digunakan untuk metode ini disebut alat suling perebus.
2) Metode pengukusan: Bahan dikukus di dalam ketel yang konstruksinya hampir sama
dengan dandang. Minyak atsiri akan menguap dan terbawa oleh aliran uap air yang
dialirkan ke kondensor untuk kondensasi. Alat yang digunakan untuk metode ini disebut
suling pengukus.
3) Metode uap langsung: Bahan dialiri dengan uap yang berasal dari ketel pembangkit uap.
Minyak atsiri akan menguap dan terbawa oleh aliran uap air yang dialirkan ke kondensor
untuk kondensasi. Alat yang digunakan untuk metode ini disebut alat suling uap langsung.
Untuk skala kecil seperti yang dilakukan oleh kebanyakan petani, metode pengukusan paling
sering digunakan karena mutu produk cukup baik, proses cukup efisien, dan harga alat tidak
terlalu mahal. Untuk skala besar, metode uap langsung yang paling baik karena paling efisien
dibanding cara lainnya (Kantor Deputi Menristek, 2001b).
Peralatan yang diperlukan untuk mendapatkan minyak atsiri jahe dengan cara penyulingan
adalah ketel penyuling, bak pendingin dan alat pemisah. Ketel penyuling (octart) adalah
tempat penyimpanan bahan baku yang akan disuling, berbentuk silinder dan dilengkapi
dengan penutup. Untuk menghasilkan minyak atsiri yang baik, ketel suling sebaiknya terbuat
dari kaca tahan panas atau stainless steel. Di ketel dipasang pipa untuk mengalirkan uap ke
dalam bak pendingin.
Bak pendingin atau kondensor adalah alat berupa bak atau silinder yang di dalamnya terdapat
pipa lurus atau spiral. Kondensor umumnya dibuat dari bahan tembaga yang dilapisi
alumunium, timah atau stainless steel, dan berfungsi untuk mengubah uap menjadi air.
Alat pemisah (florentine flash) adalah alat yang digunakan untuk menampung kondensat dari
bak pendingin. Di dalam alat ini terjadi pemisahan antara hasil minyak dan air.
Keuntungan metode perebusan adalah dapat diaplikasikan untuk jahe bubuk, sedangkan
kelemahannya adalah proses ekstraksi tidak sempurna dan beberapa komponen mengalami
polimerisasi serta membutuhkan ketel yang berukuran besar.
2. Metode Pengukusan
Penyulingan minyak atsiri jahe dengan metode pengukusan dilakukan dengan cara
memasukkan air ke dalam ketel penyulingan yang di dalamnya terdapat saringan tempat
meletakkan jahe. Tinggi air berada tidak jauh dari saringan. Pemanasan air dilakukan dengan
uap jenuh basah yang bertekanan rendah. Penyulingan dalam jumlah sedikit biasanya
dilakukan dengan cara menghubungkan dengan api secara langsung, sedangkan penyulingan
dalam jumlah besar digunakan mantel uap dan pipa uap spiral terbuka atau tertutup.
Keuntungan penyulingan dengan metode pengukusan adalah:
- Uap selalu dalam keadaan panas, jenuh dan jahe tidak langsung berhubungan dengan
air panas.
- Efisien dalam penggunaan bahan bakar
- Dalam keadaan tekanan uap rendah dihasilkan minyak atsiri berkualitas
Alat yang digunakan dalam sistem kukus berupa ketel suling yang memiliki penyekat
berlubang dari lempengan besi, yang berfungsi untuk memisahkan air dengan bahan baku.
Bagian bawah ketel digunakan untuk merebus air, kira-kira sepertiga bagian ketel, sedangkan
bagian atas ketel digunakan untuk meletakkan bahan baku (jahe) yang akan disuling. Ketika
ketel dipanaskan, maka uap air dari bagian bawah ketel akan melewati lubang sekat dan
melewati celah-celah bahan, sehingga minyak atsiri yang ada pada bahan akan ikut terbawa
oleh uap dan dialirkan melalui pipa menuju kondensor.
Di dalam kondensor terdapat pipa berbentuk spiral (koil) yang panjangnya mencapai 20-30 m
dan berfungsi untuk mengalirkan uap panas yang berasal dari ketel suling. Campuran uap dan
minyak akan didinginkan kembali di dalam kondensor, hingga berubah menjadi cair dan
ditampung dalam tangki pemisah (tangki kondensat). Minyak atsiri dan air dipisahkan
berdasarkan berat jenisnya.
Kelemahan dari metode pengukusan adalah meskipun kualitas minyak atsiri yang dihasilkan
lebih baik, tetapi proses penyulingan berlangsung lama sehingga menjadi kurang efisien dalam
hal waktu.
Tabel 49. Standar Mutu Minyak Atsiri Jahe (Kadin Indonesia, 2007)
No. Spesifikasi Persyaratan
1. Warna kuning muda – kuning
2. Bobot jenis 25/25oC 0,877 – 0,882
3. Indeks bias (np25) 1,486 – 1,492
4. Putaran optik (-28o) – (-45o)
5. Bilangan penyabunan, maksimum 20
Oleoresin merupakan campuran resin dan minyak atsiri yang diperoleh dari ekstraksi dengan
menggunakan pelarut organik. Jahe mengandung resin yang cukup tinggi sehingga bisa dibuat
sebagai oleoresin. Keuntungan dari oleoresin adalah lebih hiegenis, dan mempunyai kekuatan
lebih bila dibanding bahan asalnya. Penggunaan oleoresin dalam industri lebih disukai, karena
aromanya lebih tajam dan dapat menghemat biaya pengolahan (Kadin Indonesia, 2007).
Pada proses pengolahan oleoresin ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, yaitu bahan
pelarut, lama ekstraksi dan ukuran partikel. Bahan pelarut yang dapat digunakan untuk
ekstraksi oleoresin jahe di antaranya adalah etanol, aseton, etilen diklorida, isopropanol,
petroleum eter dan heksan.
Beberapa metode ekstraksi oleoresin dengan pelarut yang dapat digunakan adalah maserasi,
perkolasi dan destilasi uap. Maserasi adalah proses ekstraksi dengan cara merendam sampel di
dalam pelarut pada suhu ruang. Proses ini sangat menguntungkan karena dengan merendam
sampel jahe akan terjadi pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan di
dalam dan di luar sel sehingga oleoresin yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam
pelarut organik dan ekstraksi senyawa akan sempurna karena lama perendaman dapat diatur.
Perkolasi merupakan proses melewatkan pelarut organik pada jahe sehingga pelarut akan
membawa senyawa organik. Efektivitas proses perkolasi akan meningkat untuk senyawa
organik yang sangat mudah larut dengan pelarut yang digunakan. Destilasi uap adalah proses
ekstraksi untuk senyawa organik yang tahan terhadap suhu tinggi yaitu lebih tinggi dari titik
didih pelarut yang digunakan.
Proses ekstraksi oleoresin jahe juga dapat dilakukan dengan ekstraksi fluida superkritis
(Supercritical Fluida Extraction) dengan menggunakan CO2 superkritis yaitu CO2 pada suhu
31.06oC dengan tekanan 73.8 Bar. Metode ekstraksi dengan fluida superkritis dapat
menghasilkan oleoresin dengan kemurnian yang tinggi dan diaplikasikan pada suhu yang
rendah sehingga kehilangan komponen volatil lebih rendah, tetapi kelemahannya proses ini
membutuhkan alat yang relatif mahal.
Manisan Jahe
Manisan biasanya dibuat dari buah. Produk ini merupakan bahan setengah kering dengan
kadar air sekitar 30%, dan kadar gula tinggi (>60%). Kondisi ini memungkinkan manisan
dapat disimpan lama karena kebanyakan mikroba tidak dapat tumbuh pada bahan.
Manisan jahe belum dikenal oleh masyarakat, dan produk ini belum tersedia di pasaran.
Walaupun demikian, produksi produk ini merupakan alternatif usaha yang mungkin
menguntungkan karena cara pembuatannya sederhana, biaya tidak mahal, dan penampilan
produk cukup menarik.
Ada dua jenis manisan, yaitu manisan basah dan manisan kering. Manisan basah tidak dapat
disimpan lama, dan penyimpanannya dianjurkan di dalam lemari kulkas. Sedangkan manisan
kering dapat disimpan lama, dan dapat disimpan pada suhu ruang (Kantor Deputi Menristek,
2001a).
b. Cara Pengolahan II
1. Pencucian, pengupasan dan pengirisan rimpang setebal 2-3 mm.
2. Penggulaan
- Penggulaan pertama
Dasar wadah penggulaan (stoples atau kotak plastik) ditaburi dengan gula halus
(ketebalan 2-3 mm). Di atas lapisan gula ini disusun satu lapis irisan rimpang.
Di atas lapisan rimpang ditaburi lagi dengan gula (ketebalan 2-3 mm).
Demikian dilakukan seterusnya sampai wadah penuh. Bagian paling atas,
ditaburi atau ditutup dengan gula halus. Setiap 1 kg irisan umbi membutuhkan
300 gram gula halus. Setelah itu wadah ditutup, dan disimpan di dalam lemari
pendingin selama 48 jam. Selama penyimpanan, cairan rimpang akan keluar,
dan gula akan terlarut di dalam cairan rimpang tersebut.
Setelah itu, rimpang dikeluarkan dari wadah penggulaan. Cairan yang terbentuk
dipisahkan dan dipanaskan, kemudian di simpan di dalam kulkas.
- Penggulaan kedua
Rimpang hasil penggulaan pertama, ditaburi dan diaduk-aduk dengan asam
benzoat dan asam sitrat yang telah dihaluskan. Setiap 1 kg rimpang ditaburi
dengan 1 g asam benzoat, dan 2-5 gram asam sitrat.
Dasar wadah pengulaan (stoples atau kotak plastik) ditaburi lagi dengan gula
halus (ketebalan 1-2 mm). Diatas lapisan gula ini disusun satu lapis irisan
Jahe Kristal
Jahe kristal adalah proses lebih lanjut dari jahe di dalam sirup. Jahe kristal mirip dengan
manisan jahe kering, perbedaannya adalah dalam proses pengolahan. Manisan kering jahe
dibuat tanpa melalui proses fermentasi pikel di dalam larutan garam. Kristal jahe dibuat dari
jahe yang telah diolah menjadi pikel manis.
Sirup Jahe
Manfaat jahe sebagai obat seringkali diperoleh setelah seseorang mengkonsumsi jahe dengan
cara ditambahkan ke dalam bahan makanan (sebagai bumbu), sebagai lalapan atau diseduh
dengan air panas dan diminum pada waktu cuaca dingin untuk menghangatkan badan selain
itu juga membantu pencernaan. Untuk tujuan yang sama, sebaiknya jahe diolah menjadi
bentuk yang lebih praktis digunakan. Salah satu bentuk praktis tersebut adalah sirup jahe,
sehingga penggunaan untuk minuman hanya dengan cara pengenceran saja.
Sirup ini selain dibuat dengan menambahkan sari jahe juga dapat dibuat dengan menambahkan
sari buah-buahan atau esens. Setelah dibotolkan, sirup merupakan salah satu bahan yang awet.
Penambahan natrium benzoat lazim dilakukan pada produk sejenis sirup ini dengan
penggunaan maksimum 0,1%.
Ampas jahe yang diperas tadi dapat digunakan untuk membuat enting-enting jahe sebagai
berikut:
1. Ampas jahe ditumbuk sampai halus
2. Siapkan gula merah sebanyak 750 gram dan gula pasir 250 gram kemudian larutkan
3. Setelah itu masukkan ampas jahe yang telah ditumbuk tadi
4. Aduk-aduk hingga merata di atas api kecil selama 30 menit
5. Setelah itu di angin-anginkan di atas tampah lalu dipotong-potong sesuai dengan
keinginan
Jahe Instant
Jahe instant adalah bentuk olahan jahe melalui pengeringan sari jahe sehingga terbentuk bubuk
sari jahe dan dikonsumsi dengan cara melarutkan bubuk jahe di dalam air. Tujuan pengolahan
jahe instant adalah untuk mempermudah konsumsi sari jahe dan memperpanjang masa
simpannya.
Bahan aktif jahe dapat diekstraksi dengan menggunakan air atau alkohol. Dari hasil percobaan
Yuliani et al., (2002), dilakukan proses ekstrasi bahan aktif jahe dengan menggunakan air 4%
dan 6% serta alkohol 0.4% dan 0.6%. Hasil ekstraksi kemudian diformulasi untuk pembuatan
granul ekstrak jahe berkarbonat dengan menambahkan asam sitrat dan sodium bikarbonat.
Formula granul berkarbonasi yang disenangi adalah formula yang dibuat dari ekstrak alkohol
0.6% dan penambahan asam sitrat 2%. Formulasi jahe seperti ini akan memperluas
pemanfaatannya, karena lebih praktis dan mempunyai masa simpan yang lebih panjang.
Anggur Jahe
Anggur adalah sejenis minuman beralkohol yang dibuat secara fermentasi dari sari buah-
buahan oleh sejenis ragi. Sari jahe juga dapat digunakan untuk pembuatan anggur sebagai
pengganti sari buah. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan anggur jahe adalah jahe
gajah, karena jenis ini mempunyai rasa yang tidak pedas, kandungan minyak atsiri yang
rendah dan seratnya tidak terlalu kasar.
Seperti halnya buah anggur, jahe juga akan menghasilkan wine jika difermentasi. Cara yang
digunakan untuk memproduksi minuman beralkohol dari sari jahe sama dengan cara produksi
wine dari buah anggur. Perbedaannya ialah ekstraksi gula dan bahan-bahan terlarut dari jahe
daripada dari anggur, dan kandungan gula dalam sari jahe lebih rendah daripada buah anggur.
Sebelum inokulasi dan fermentasi, sari jahe diberi perlakuan untuk menghilangkan
mikroorganisme yang tidak dikehendaki, antara lain dengan pasteurisasi pada suhu 85°C
selama 30 detik, atau sterilisasi melalui penyaringan (filter sterilization). Pada umumnya
kontrol mikroorganisme sari buah umumnya dilakukan dengan cara menambahkan SO2.
Jumlah SO2 yang ditambahkan tergantung pada pH sari jahe, oksigen terlarut dan konsentrasi
senyawa yang mengikat SO2 dalam sari jahe. Setelah ditambahkan SO2 sari jahe dibiarkan
,
satu malam. Sari jahe harus mengandung paling sedikit 30 ppm SO2 pada pH 3.5, dan pada pH
yang lebih tinggi kebutuhan SO2 juga lebih tinggi.
Sari jahe diinokulasi dengan galur Saccharomyces cerevisae. Galur yang digunakan sebaiknya
merupakan kultur murni, Galur yang baik adalah kultur murni, stabil dan mempunyai daya
flokulasi yang baik, tahan terhadap SO2 dan tidak mampu memproduksi metabolit-metabolit
yang tidak diinginkan seperti H2S dan diasetil. Sel kamir juga harus mampu mendegradasi
pektin (deesterified pectin) menjadi asam galakturonat, jika tidak maka pektin dalam sari jahe
akan tetap tidak berubah selama fermentasi.
Pada suhu 15-25°C fermentasi membutuhkan waktu sampai beberapa minggu. Fermentasi
dihentikan jika berat jenis telah mencapai sekitar 1.0002 dari berat jenis awal sekitar 1.037-
1.082. Selama atau setelah fermentasi khamir, bakteri asam laktat melakukan fermentasi kedua
(fermentasi malolaktat).
Proses pembuatan anggur jahe secara garis besar meliputi penghancuran rimpang jahe yang
diikuti penambahan air, penyaringan, penambahan gula dan nutrien, pembotolan, pasteurisasi,
penjernihan dan pemberian starter, fermentasi, penjernihan dan pemeraman.
Mutu dan karakteristik anggur jahe ditentukan oleh komposisi bahan baku, proses fermentasi
dan perubahan yang terjadi setelah proses fermentasi. Dalam pembuatan anggur jahe proses
fermentasi dapat berlangsung sekitar 14-20 hari dan banyaknya starter yang ditambahkan
adalah 2-5%. Lamanya waktu fermentasi dipengaruhi oleh kadar gula dan kadar alkohol yang
diinginkan. Suhu optimum untuk proses fermentasi adalah 22-27oC.
Proses pasteurisasi pada anggur jahe bertujuan untuk menonaktifkan enzim, membunuh
mikroba perusak dan membuat anggur lebih stabil selama penyimpanan. Anggur jahe yang
diperoleh dari hasil fermentasi biasanya berwarna keruh dengan bau khamir yang keras,
sehingga perlu dilakukan penjernihan dan penuaan. Penjernihan dilakukan dengan cara
menambahkam bahan penjernih, bahan penyaringan dan sentrifusi. Penuaan dilakukan dengan
cara menyimpan anggur hingga 1 tahun yang bertujuan untuk meningkatkan kejernihan dan
membuat aroma anggur lebih spesifik, karena terjadinya pengendapan sel khamir dan fraksi
pigmen dan tanin yang belum stabil. Perubahan aroma disebabkan oleh proses oksidasi yang
berlangsung secara lambat selama proses penuaan.
Sejarah peradaban bangsa-bangsa di dunia ini menunjukkan bahwa berbagai upaya yang
dilakukan berbagai bangsa untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya pada
awalnya berbasis pada sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Demikian halnya dengan
nenek moyang kita. Mereka telah mempunyai pengalaman panjang dan turun temurun dalam
menyeleksi berbagai sumberdaya hayati disekitarnya, yang mereka anggap dan yakini
bermanfaat bagi peningkatan kesehatan dan terapi penyakit.
Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat
yang alami, maka bahan pangan yang kini banyak diminati bukan saja bahan pangan dengan
komposisi gizi yang lengkap serta dengan cita rasa dan penampilan yang menarik, tapi juga
harus memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh yang lazim disebut pangan fungsional.
Kecenderungan masyarakat untuk mengkonsumsi makanan sebagai sumber zat gizi serta
untuk menjaga kesehatan semakin meningkat baik di negara maju maupun negara berkembang
termasuk Indonesia. Kecenderungan ini telah dimanfaatkan oleh industri farmasi dan makanan
untuk mempromosikan produknya melalui pencatuman klaim kesehatan pada label produk
ataupun iklannya.
Berbagai jenis pangan fungsional yang beredar di pasaran seperti produk susu probiotik
tradisional seperti yoghurt, kefir dan coumiss sampai produk susu rendah lemak siap
dikonsumsi yang mengandung serat larut, serta produk yang mengandung ekstrak serat yang
bersifat larut yang berfungsi menurunkan kolesterol dan mencegah obesitas. Untuk minuman
tersedia berbagai minuman berkhasiat menyehatkan tubuh yang mengandung komponen aktif
rempah-rempah seperti kunyit asam, sari jahe, sari temulawak, beras kencur dan bandrek.
Kemajuan iptek pangan dan farmasi yang pesat telah memberikan bukti ilmiah bahwa
sebagian besar jenis-jenis pangan yang diyakini nenek moyang kita bermanfaat untuk
peningkatan kesehatan dan pengobatan. Sebagian besar zat-zat bioaktif bahan-bahan tersebut
juga telah dapat diidentifikasi dan diisolasi.
Salah satu jenis pangan yang zat-zat bioaktifnya sudah banyak diidentifikasi dan diisolasi serta
sudah terbukti khasiatnya secara ilmiah untuk kesehatan dan pengobatan adalah jahe.
Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa pengembangan jahe di Indonesia sampai saat ini
masih cukup berprospek dan berpeluang baik. Hal ini didasarkan pada kondisi iklim dan tanah
yang sesuai dan didukung dengan masih terbukanya pasar baik untuk dalam negeri maupun
luar negeri.
Areal penanaman jahe akhir-akhir ini semakin meluas. Umumnya lahan pertanaman jahe
mengalami peningkatan sebanyak 20% per tahun. Selain itu, penggunaan komoditas jahe juga
mengalami peningkatan. Hingga saat ini total penggunaan jahe untuk kebutuhan sehari-hari
dapat mencapai 90% dari total volume jahe. Secara umum, jahe digunakan untuk bumbu dapur
dan rempah-rempah. Selain itu, jahe dapat digunakan untuk industri makanan dan minuman
serta obat-obatan. Meluasnya penggunaan jahe tersebut menyebabkan ada peningkatan
serapan pasar dan volume perdagangan baik untuk pasar dalam negeri maupun luar negeri.
Tabel 51. Analisis Usahatani Budidaya Jahe Sistem Keranjang (Hapsoh et al, 2008a)
No. Uraian Unit Satuan Harga Jumlah
satuan (Rp.) (Rp.)
1.
Biaya Produksi 70 Kg 17.000 1.190.000
a. Benih jahe merah 300 Goni 12.000 3.600.000
b. Media tanam 500 Buah 4.000 2.000.000
c. Keranjang bambu 150 Batang 1.000 150.000
d. Bibit ubi kayu 1 Kg 25.000 25.000
e. Benih jagung 3 Botol 75.000 225.000
f. Pestisida organik cair 2 Botol 50.000 100.000
g. Pemupukan 1 Buah 250.000 250.000
h. Sewa mesin kompressor untuk panen
i. Tepas untuk persemaian 4 Lembar 25.000 100.000
2. Upah Tenaga Kerja
a. persiapan lahan 6 HOK 35.000 210.000
b. penyemaian jahe 5 HOK 35.000 175.000
c. penanaman ubi kayu dan jagung 2 HOK 35.000 70.000
d. penanaman jahe keranjang 5 HOK 35.000 175.000
e. pemeliharaan
- pemupukan 5 HOK 35.000 175.000
- pengendalian HPT 5 HOK 35.000 175.000
- penyiangan 4 HOK 35.000 140.000
f. panen 10 HOK 35.000 350.000
3. Total biaya 9.110.000
4. Pendapatan 5000 kg 5.000 25.000.000
5. Keuntungan
15.890.000
(Rp. 25.000.000 – Rp. 9.110.000)
Catatan: 1. Analisis usahatani tersebut untuk budidaya jahe sebanyak 500 keranjang.
2. Dalam analisis usahatani ini mesin kompressor disewa, tetapi untuk kegiatan budidaya jahe
keranjang selanjutnya mesin kompressor dibeli (disediakan) supaya dapat dimanfaatkan untuk
budidaya jahe secara berkesinambungan.
3. Harga jual berfluktuasi tergantung kondisi pasar (Rp. 5.000 – 10.000 per kg jahe segar). Dalam
analisis usahatani ini diasumsikan 1 keranjang menghasilkan 10 kg jahe segar dengan harga Rp.
5.000 per kg jahe segar.
4. B/C rasio = 1,744
Saat ini permintaan akan jahe oleh negara importir terus mengalami peningkatan, akan tetapi
permintaan tersebut belum semuanya dapat dipenuhi mengingat produksi jahe masih terserap
oleh kebutuhan dalam negeri. Dilihat dari segi harga, dari tahun 1991 hingga saat ini fluktuasi
harga jahe basah maupun kering boleh dikatakan stabil. Dilihat dari segi permintaan, stabilitas
harga serta produksi jahe dalam negeri prospek agribisnis jahe sangat cerah.
Di Indonesia, komoditas jahe (Zingiber officionalle Rosc.) yang memiliki demand cukup
tinggi baik di pasar domestik, disesuaikan dengan bentuk, ukuran dan warna rimpangnya. Tiga
jenis jahe yang berprospek adalah jahe putih besar (jahe gajah), jahe putih kecil dan jahe
merah. Di antara ketiga jenis jahe tersebut, jahe gajahlah yang mempunyai demand terbesar,
baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Demand jahe dalam negeri terus meningkat dari
tahun ke tahun seiring dengan trend peningkatan konsumsinya, yaitu dengan pertumbuhan
18,71% setiap tahunnya selama periode 1984- 1990.
Demand jahe gajah di pasar domestik, seperti catatan koperasi BPTO (Kobapto) Kabupaten
Tawangmangu, Jawa Tengah, berkisar 5.000 ton per tahun. Hampir semua industri obat
tradisional di Jawa Tengah membutuhkan jahe gajah sebagai bahan baku produksinya, seperti
PT Sidomuncul membutuhkan sekitar 15 ton per bulan, PT Air Mancur 15 ton per bulan, CV
Temu Kencono 10- 12 ton per tahun dan PT Indotraco 40 ton per bulan (Tabel 44). Rimpang
jahe juga banyak dimanfaatkan oleh 10 industri besar obat tradisional dan 12 industri obat
tradisional menengah pada tahun 1995- 1999, yaitu sebanyak 1.364.270 kg. Sedangkan
menurut Survey Subdit Aneka Tanaman (2001), jumlah kebutuhan jahe dalam negeri adalah
36.200 kg/bulan. Untuk kebutuhan lokal, demand komoditas jahe gajah yang meningkat
seiring dengan semakin banyaknya pabrik jamu, farmasi, dan kosmetik banyak dimanfaatkan
sebagai bahan baku obat tradisional (jamu), bahan makanan, minuman dan kosmetik (Pusat
Studi Biofarmaka, 2007).
Tabel 52. Jenis Biofarmaka yang Dominan Dipasok Negara Industri Farmasi
No. Komoditas Nama ilmiah Bagian tanaman Negara tujuan
yang digunakan ekspor
1. Tapak dara Catharanthus roseus Daun Amerika Serikat
2. Kina Catharanthus roseus Kulit Batang Jepang
3. Kecubung Datura metel Daun Federal Republik
4. Wortel Caphaelis ipecacuantha Umbi Ghana
5. Liquorice Glyzirizha glabra Akar Perancis
6. Jahe Zingiber officinale Rimpang Switzerland
7. Pulai Pandak Rauwolfia vomitoria Akar United Kingdom
8. valerian Valerian officinalis Akar
Sumber: Pusat Studi Biofarmaka (2007).
Pada Tabel 56 terlihat, bahwa market share Indonesia dalam perdagangan jahe dunia adalah
sebesar 4,52%. Market share ini masih kecil jika dibandingkan dengan potensi sumberdaya
alam yang dimiliki oleh Indonesia. Jika dilihat dari total produksi jahe Indonesia pada tahun
2000, yaitu sebesar 71 900 dan masih tersedianya tanah pertanian yang cukup luas maka
market share tersebut masih memiliki peluang untuk dikembangkan karena umumnya
budidaya jahe tidak membutuhkan persyaratan tanaman yang spesifik.
Dari uraian di atas, jika dilihat dari prospek biofarmaka maka pemasaran jahe sebenarnya
bukanlah masalah, karena pasar domestik dan internasional cukup terbuka lebar. Namun
kenyataannya, Indonesia belum dapat memenuhi demand pasar internasional yang terus
meningkat tersebut. Jahe gajah yang harganya US $ 300/ton, Indonesia baru men-supply 10%
dari permintaan dunia yang berjumlah 30.000 ton/tahun.
Pembuatan Kompos
Budidaya jahe sistem keranjang membuka peluang bisnis pembuatan kompos karena budidaya
ini memerlukan kompos sebagai media tanam dalam jumlah yang besar. Untuk menghemat
biaya produksi dan meningkatkan pendapatan petani maka kompos dapat dibuat dari sampah
rumah tangga dan limbah pertanian yang tersedia di sekitar lokasi. Analisis Biaya Pembuatan
Kompos tersaji pada Tabel 55.
Biaya 57.000.000
Tabel 56. Analisis Kelayakan Usaha Kompos Selama 3 Tahun (Hapsoh et al, 2008b)
1. Mesin (Pencacah,
Penjahit Karung,
29380 - - - - - - - - - - - -
Prees Plastik)
2. Peralatan 1912,5 - - - - - - - - - - - -
(Timbangan,
Termometer)
3. Tempat/Lahan 13600 - - - - - - - - - - - -
(Bangunan Tempat
Pembuatan
Kompos, Bak
a. Bantuan Teknik
dan Manajemen
- - 570 570 570 570 570 570 570 570 570 570 19380
b. Bunga Modal - - 570 570 570 570 570 570 570 570 570 570 19380
c. Penyusutan/ - - 1978,24 1978,24 1978,24 1978,24 1978,24 1978,24 1978,24 1978,24 1978,24 1978,24 67260.16
Angsuran
Pengambilan
Modal Perguliran
5. Biaya Bahan 12107,5 12107,5 12107,5 12107,5 12107,5 12107,5 12107,5 12107,5 4774.26 12107,5 12107,5 12107,5 510120
Baku/Pembuatan
6. Biaya Tenaga 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 1000 36000
Kerja
7. Biaya Lainnya - - - - - - - - - - - - -
II Penjualan Kotor 10500 21000 21000 21000 21000 21000 21000 21000 21000 21000 21000 21000 745500
III Laba Kotor -2607,5 7892,5 4774.26 4774.26 4774.26 4774.26 4774.26 4774.26 4774.26 4774.26 4774.26 4774.26 167609.84
Selain itu dalam budidaya jahe terbuka peluang usaha olahan jahe antara lain jahe kering,
simplisia, bubuk jahe, sirup jahe, manisan jahe, minyak atsiri dan oleoresin, dan pada
budidaya jahe system keranjang terbuka peluang usaha pembuatan keranjang sebagai tempat
bertanam jahe, terutama pada lokasi yang banyak terdapat pohon bambu.
Cerahnya prospek jahe sebagai bahan baku pada produk pangan fungsional maupun produk
biofarmaka juga ditunjang oleh semakin majunya penelitian dan pengembangan eksplorasi
komponen bioaktif dalam tanam rempah dan obat. Selain itu, kemajuan teknologi pengolahan
pangan telah mampu menghasilkan produk-produk makanan dan minuman yang secara
organoleptik disukai konsumen serta mengandung komponen-komponen yang berguna bagi
kesehatan. Dibandingkan dengan mengkonsumsi suplemen pangan, penggunaan pangan
fungsional seperti sari jahe instant atau sirup jahe lebih menguntungkan bagi konsumen karena
suplemen hanya mengandung komponen jenis tertentu, bukannya komponen fitokimia yang
secara alami terdapat pada produk pangan.
Agromedia Pustaka. 2007. Petunjuk Praktis Bertanam Jahe. Kiat Mengatasi Permasalahan
Praktis. Redaksi AgroMedia. 56 halaman.
Ahmad, F., 1995. Studi interaksi gulma pada tanaman jahe (Zingiber officinalle Rosc.), Tesis
S2 Pda Progaram Pasca Sarjana IPB, Bogor. Tidak dipublikasikan.
Anonimous, 2007. Pasar domestik dan ekspor produk tanaman obat (Biofarmaka). Pusat Studi
Biofarmaka, IPB-Bogor. http://. Diakses tanggal 19 Maret 2008.
Asiamaya. 2008. Jahe (Zingiber officinale). http://www.asiamaya.com. Diakses tanggal 19
Maret 2008.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2001. Kajian proses standarisasi produk pangan
fungsional di badan Pengawas Obat dan makanan. Lokakarya Kajian Penyusunan
Standar Pangan Fungsional. Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.
Baker, K. F. and R. J. Cook, 1993. Biological Control of Plant Pathogen. Freeman & Co, San
Francisco.
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 1997. Jahe. PT Elknusa Tbk.
http://www.jkpelnusa-gdl. Diakses tanggal 19 Maret 2008.
Balai Pengembangan Teknologi Tepat Guna (BPTTG) LIPI, 2001. Alat-alat teknologi
pedesaan spesifikasi produk.
Balfas, R., Supriadi, M. Iskandar dan E. Sugandhi. 1997. Oviposisi dan Perkembangan Lalat
Rimpang Mimegralla coeruleifrons (Micropezidae; Diptera) pada Tanaman Jahe.
Jurnal Penelitian Tanaman Industri 3(4):140-144.
Balfas, R., Supriadi, N. Karyani dan E. Sugandhi. 2000. Serangan Mimegralla coeruleifrons
Macquart dan peranannya dalam membawa patogen layu. Jurnal Penelitian Tanaman
Industri 5(4):123-127.
Balfas,R. 2002. Status lalat rimpang pada tanaman jahe dan strategi penanggulangannya.
Jurnal Litbang Pertanian 21 (1): 32-37.
Balitbang, 2002. Uji tanah untuk pemupukan berimbang spesifik lokasi. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Pertanian 24(2). http://www.pustaka-
deptan.go.id/publ/warta/w2425.htm. 20 juni 2005.
Bambang G., M., Hasanudin dan Y. Indriani, 2006. peran pupuk N dan P terhadap serapan N,
efisiensi N dan hasil tanaman jahe di bawah tegakan tanaman karet. Jurnal Ilmu- Ilmu
Pertanian Indonesia Volume 8(1) Program Studi Ilmu Tanah fakultas Pertanian
Universitas Bengkulu. Hal. 61-68.
Bermawie, N., B.Martono, N. Ajijah, S.F. Syahid dan Hadad, E.A., 2003. Status Pemuliaan
Tanaman Jahe. Perkembangan Teknologi TRO XV (2): 39-56.
Bode, A., 2003. Ginger is an effective inhibitor of HCT116 human colorectal carcinoma in
vivo. Paper presented at the Frontiers in Cancer Prevention Research Conference,
Phoenix, AZ, October 26–30, 2003.
Abiotik : Tak hidup, tidak memiliki ciri hidup seperti iklim dan
tanah dalam budidaya jahe
Anti oksidan : Senyawa organik yang lebih cepat mengalami oksidasi
dari pada suatu bahan sehingga apabila ditumbuhkan
menghambat atau menghentikan peristiwa oksidasi
sendiri bahan itu
Anti inflamasi : Sesuatu zat yang dapat menghambat terjadinya
pembengkakan
Anti kanker : Zat yang digunakan dalam pengobatan untuk
mengalami tumbuhnya kanker
Anti mikroba : Sesuatu yang menghambat atau merusak reproduksi
mikroba
Antitusif : Sesuatu zat yang bahan aktifnya dapat menghambat
batuk
Bedengan : Pengangkatan tanah pada lahan yang akan ditanami dan
dengan tujuan agar tidak tergenang air pada saat hujan
turun. Permukaan bedengan dibuat rata baik pinggir
dan tengah dan dibatasi parit pada sebelah kiri dan
kanan.
Biotik : Berkaitan dengan hidup atau makhluk hidup
Bokashi : Salah satu pupuk organik dalam proses pembuatan
menggunakan mikroorganisme untuk memprcepat
proses fermentasi.
Budidaya Jahe Sistem Keranjang : Metode atau cara pertanaman jahe dalam wadah bakul
besar yang anyamannya kasar-kasar.
Efek farmakologis : Khasiat bahan obat dari segi kandungan senyawa kimia
bahan obat
Jahe kering : Irisan rimpang jahe yang telah dikeringkan
Jahe merah/jahe sunti : Jahe dengan ukuran kecil berlapis-lapis, daging
rimpang berwarna merah jingga sampai merah, rasa
pedas
Jahe putih/jahe gajah/jahe badak : Jahe dengan ukuran rimpang lebih besar dan gemuk
dibandingkan dengan jenis jahe lain, warna daging
rimpang putih kekuningan, aroma kurang tajam dan
rasa kurang pedas.
Jahe putih/jahe emprit/jahe sunti : Jahe dengan struktur rimpang kecil-kecil dan berlapis,
warna daging rimpang putih kekuningan, rasa lebih
pedas dibandingkan dengan jahe gajah dan serat lebih
tinggi
Karminatif : Peluruh kentut
Karsinogenesis : Proses yang menghasilkan karsinogen yaitu zat yang
menimbulkan atau yang mendorong pembentukan
karsinogen = bahan yang dapat merangsang
pembentukan kanker, seperti jenis virus, abses dan
bahan-bahan beradioaktif
Minyak atsiri : Minyak menguap (volatile oil) dan merupakan suatu
komponen yang memberikan bau yang khas
C Halia, 2
Hama, iv, 23, 36, 48, 106, 107
CaCl2, 84 harmster, 16
CaCO3, 84 Hayati, 101, 106
Cahaya matahari, 21, 67 heksan, 83
Caprylic acid, 19 hidrolase, 69
Capsaicin, 19 HL-60, 16, 103
I Makroskopis, 75
malonaldehida, 15
Idioblas, 75 Manfaat, iv, 11, 13, 29, 87
Iklim, iv, 20 Manisan, v, 84, 85, 86, 87, 103
impotensia, 14 Maserasi, 83
Infeksi, 40 Matahari, 66, 73, 74
inhalasi, 80 Media, iv, vi, vii, 27, 28, 43, 44, 45, 47, 56, 58, 93, 102,
in-vitro, 15, 16 103
Isolat, vi, 39, 50 mesh, 77, 83
isopropanol, 83 Mikoriza, 106
Mikroba, vi, 39, 40, 76
J Minyak Atsiri, v, vii, 57, 62, 63, 71, 73, 74, 79, 82, 103
mitokondrial, 16
Jahe emprit, 58 Monocotyledoneae, 2
Jahe gajah, 4, 6, 96 Monokultur, 31, 37, 109
Jahe instan, 88 morning sickness, 17
Jahe Instant, v, 88 mual/muntah, 14
Jahe kering, 65, 108 Mutu, v, vi, vii, 8, 24, 61, 62, 68, 74, 75, 79, 82, 90, 106
Jahe kristal, 87
Jahe merah, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 13, 108 N
Jahe muda, 78
Jahe putih, 3, 4, 6, 7, 9, 10, 11, 108 Naungan, viii, 30, 42
Jamu, 95 neral, 12
neurotransmitter katekolamin, 18
K nusea, 17
nutrien, 90
Kaca arloji, 62
Kalium, vi, 35, 103 O
kanker, 14, 15, 16, 108, 109
karbohidrat, 12, 78 obat luka, 80
KCl, 29, 34, 52, 53, 54, 55, 104 oksidase, 69, 72
Keranjang, iv, vii, viii, 42, 43, 44, 45, 46, 52, 58, 93, 102, Oleoresin, v, 13, 16, 83, 109
108 oral, 15, 17, 18
keseleo, 14 Organik, vi, vii, 28, 45, 56, 102, 103
Ketel, 80, 81, 82 Organoleptik, 68, 75
khamir, 76, 89, 90 Oven, 73, 74
Khasiat, 17
kolesterol, 14, 18, 91 P
Komoditas, 80, 92, 94
Kompos, v, vii, 96, 97 Panen, v, vi, 31, 32, 45, 57, 58, 59, 109
kosmetik, 65, 94 paradols, 12
kromatografi, 15 Pasca panen, 69
Krus Gooch, 63 Pasir, 6
kurkumin, 12 pasteurisasi, 89, 90
Pati, 62, 63
L Patogenitas, vi, 39
pedas, 4, 5, 11, 12, 13, 14, 75, 77, 78, 89, 108
labu didih, 63 Pembumbunan, iv, 33, 47
Lahan, iv, vi, 21, 22, 26, 27, 39, 41, 58 Pengairan, iv, 48
Lai, 103 Pengapuran, 28
Lanset, 8 Pengemasan, 75, 85, 86, 87
larutan luff, 64 Pengering, 67
Latosol, 22, 55 Pengeringan kemoreaksi, 103
lemak, 12, 16, 63, 91 Penggulaan, 84, 85, 86, 87
Leukemia, 103 Penyakit, iv, vi, viii, 23, 36, 37, 38, 40, 48, 49, 101, 105,
lilin, 12 106, 107
Limone, 19 penyaringan, 89, 90
linalool, 12 Penyebaran, iv, 1, 38
lipoksigenase, 15, 19 Penyiangan, 33, 47
lotion, 80 Penyiraman, iv, 26, 41, 48
lulur, 80 Penyulingan, 63, 81, 82
R Tanah, iv, vi, 20, 21, 27, 34, 44, 45, 100, 103, 104
tekanan darah, 18
racun ular, 14 Tekstur, 22
Radikal bebas, 106 Temperatur, 21
Ralstonia solanacearum, iii, 23, 37, 38, 48, 49, 101, 102, Tepas, 93
106 Termometer, 97
Reactive Oxygen Species, 15 terpen, 12
rematik, 14, 17 therapeutis, 14
Rempah-rempah, 14 tikus, 15, 16, 58
Rhizobakteria, 102 Timbangan, 97
Rimpang, iii, vi, vii, viii, 3, 4, 8, 9, 10, 11, 12, 14, 18, 22, tipe rak, 66, 67
23, 24, 25, 26, 28, 29, 31, 34, 35, 36, 39, 45, 51, 54, tipe terowongan, 66, 68
55, 56, 58, 60, 61, 62, 65, 66, 78, 79, 80, 84, 85, 94, Tradisional, vii, 68, 95
100, 107 tumor, 16, 103, 104
rotary extractor, 83
Ruas, 3 V
S vaniloid, 16
Vinegar, 79
sabun mandi, 80 vitamin A, 12, 69
Sekam, vi, 37 vitamin E, 15
sekoteng, 11, 14
Sel, 89 X
serotonin, 17
sesquiterpen, 12 xenobiotik, 17
shagaol, 12
shampo, 80 Z
Shogaol, 12
shrinkage, 78 Zingiber, iii, vii, 1, 2, 3, 4, 5, 14, 27, 29, 45, 52, 94, 95,
Simplisia, v, viii, 68, 69, 74, 75, 106, 109 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107
sintesis DNA, 17 Zingiberaceae, 1, 2, 3, 103
Sirup, v, 78, 87 Zingiberales, 2