Abstrak
Di tengah perbenturan dua arus utama yang saling tarik menarik antara arus
sekulerisme-liberal Barat dan arus fundamentalisme-radikal Timur Tengah, Islam
Nusantara—dengan berbagai macam karakteristiknya—berhasil mempertahankan
warna kemoderatannya. Sikap mengambil jalan tengah dalam segala dimensi
kehidupan keberagamaan sangat selaras dengan watak dan karakteristik umat
Islam Indonesia yang sangat fleksibel, toleran dan terbuka dalam menerima dan
mensikapi segala perbedaan tradisi, pandangan dan keyakinan keberagamaan,
sehingga melahirkan kearifan lokal (local wisdom), serta corak dan warna Islam
Nusantara yang sangat khas, berupa Islam yang ramah, toleran, dan pluralistik.
Karakteristik Islam Indonesia yang toleran, ramah, smiling, dan flowering ini
bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba, akan tetapi merupakan hasil sebuah
proses panjang yang telah dilalui umat Islam Indonesia, menyangkut profil para
tokoh pendakwah Islam, metode yang digunakan dalam penyebaran Islam di
Nusantara, sarana dan media penyebaran Islam, juga relasinya dengan kekuasaan
politik. Beberapa hal inilah yang turut mempengaruhi begitu kokohnya warna
moderatisme Islam di Nusantara. Kini, Islam Nusantara telah banyak melahirkan
warisan peradaban sebagai harta peninggalan yang tak ternilai harganya,
sekaligus sebagai bukti otentik betapa Islam telah ikut memberi corak dan warna
bagi kemajuan peradaban masyarakat Muslim Indonesia maupun dunia.
Kata Kunci: Islam Moderat, Kearifan Lokal, Warisan Peradaban Nusantara.
Abstract
In the midst of the clash between two mainstreams; ‘liberal-secularism’ of the West
mainstream and radical-fundamentalism of Middle East mainstream, Islam
Nusantara—with its various characteristics—managed to maintain its moderate
color. The attitude to choose moderate way in every dimension of religious life is in
line with the nature and characteristics of Indonesian muslim community which is
flexible, tolerant, and open minded to receive and respond with the various of
traditions, views, and religion belief to create local wisdom, characteritistics, and
the distinctive type of Islam Nusantara that shows friendly, tolerant, and pluralistic
Islam. The characteristics of Indonesian muslims which are tolerant, friendly,
smiling, and flowering do not suddenly appear, but it is the result of a long process
experienced by Indonesian muslim community, including the profile of Islamic
figures, method used to spread Islam in Nusantara, infrastructure and media of
spreading Islam, and its relation with political power. These factors influence the
strength of moderation of Islam in Nusantara. Currently, Islam Nusantara has
created civilization heritage as precious inheritance, as well as authentic evidence
showing that Islam has contributed to the civilization progress of Indonesian
muslim community specifically, and the world population generally.
Keywords: Moderate Islam, Local Wisdom, Nusantara Civilization Heritage.
1
Mata Kuliah Umum (MKU) dan Ilmu Agama Islam (IAI) Universitas Negeri Jakarta.
78 Al-Turāṡ Vol. XXI, No. 1, Januari 2015
saja, mereka tetap saja lebih memilih (memelihara tradisi yang baik dan
untuk mengedepankan pendekatan mengambil hal-hal baru yang lebih
persuasif dalam dakwahnya baik) telah mendarah daging di benak
dibandingkan dengan cara-cara setiap warga Nahdliyin sebagai acuan
radikal. 16 Sehingga banyak masyarakat mereka dalam meyakini
mau menerima dakwah mereka dan diperbolehkannya tradisi sebagai bagian
bahkan gerakan ini tetap bisa eksis dari praktik-praktik ibadah dan syariah.
sejak berdirinya di awal abad ke-20 Mereka memiliki argumentasi teologis
hingga sekarang ini. Terhadap tradisi dalam memegang teguh keyakinan ini.
lokal, mereka tetap memberikan ruang Menurut mereka, pada masa Nabi
dan menerimanya sebagai bagian dari Muhammad SAW, Islam hadir dengan
praktik keberagamaan sepanjang tidak suasana dialogis dengan budaya lokal
ada nash yang jelas dan tegas melarang masyarakat Arab, sehingga ia tidak
tradisi tersebut. Akan tetapi jika berdiri sendiri.
terdapat nash yang jelas melarangnya, Beberapa praktik ritual keagamaan
mereka akan meninggalkannya, terlebih seperti tawȃf, ṣalat istisqȃ’, dan
yang berkaitan dengan praktik ibadah sebagainya adalah tradisi Arab yang
mahdhah. Inilah yang oleh sudah ada sebelum Islam dibawa Nabi
Muhammadiyah disebut sebagai Muhammad. Oleh karena itu, menurut
Dakwah Kultural, yaitu menjadikan mereka, Islam sesungguhnya dibesarkan
budaya sebagai sarana dakwah, seperti oleh lokalitas. Dengan kata lain, Islam
pribumisasi Islam yang pernah dan lokalitas harus dikawinkan.17
dilakukan Walisongo. Dalam analisis Nurcholish
Berbeda dengan Muhammadiyah, Madjid, hasil peradaban maupun
organisasi tradisionalis Nahdlatul pemikiran manusia akan lebih tangguh
Ulama (NU) sejak berdirinya telah jika ia memiliki akar pada tradisi,
mendeklarasikan dirinya sebagai mengandung orisinalitas (al-aṣlah), dan
organisasi pelestari tradisi. Doktrin al- bersifat relevan (mu‘ṣarah, up to
muhȃfaẓatu ‘alȃ al-qadȋmi al-ṣȃlih wa date). 18 Akulturasi timbal balik antara
al-akhdzu bi al-jadȋd al-aṣlah Islam dan budaya lokal—ilmu Ushul al-
Fiqh disebut juga ‘urf—sangat
Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia dimungkinkan dan diakui dalam suatu
(Jakarta: LP3ES, 1996).
16
Gerakan Paderi (1803-1834 M) di Sumatera
17
Barat sempat menerapkan cara-cara radikal Lihat Post Tradisionalisme Islam; Wacana
dalam usaha purifikasi agama. Gerakan yang Intelektualisme dalam Komunitas NU,
dipimpin trio haji, yaitu Haji Piobang, Haji (Jakarta: Dirjen Pendidikan Islam Depag RI,
Sumanik dan Haji Miskin banyak 2007), h. 300. Kalangan Nahdliyin menyebut
dipengaruhi ajaran Wahhabi sepulang mereka gagasan pembumian nilai-nilai Islam ke
dari Tanah Hijaz pada tahun 1803. Namun dalam tradisi lokal Indonesia sebagai Islam
pada akhirnya terjadi rekonsiliasi antara Pribumi. Gagasan ini bertujuan menghindari
ulama Paderi dengan tokoh kaum adat yang klain otensitas, bahwa Islam yang otentik
menghasilkan sebuah kesepakatan, adat adalah Islam Timur Tengah, sehingga tercipta
basandi syara, syara basandi kitabullah, yang pola-pola keberagamaan yang sesuai dengan
menggambarkan keselarasan antara tradisi konteks lokal. Islam tidak lagi dipandang
dan syariat agama yang berlaku untuk secara tunggal, melainkan beraneka ragam.
masyarakat Minangkabau. Uraian detail Islam Indonesia, dengan segala macam
tentang Gerakan Paderi lihat M.D. Mansoer, pernak-perniknya, juga adalah Islam.
18
Sedjarah Minangkabau (Jakarta: Bhratara:, Orasi ilmiah Nurcholish Madjid dalam acara
1970), Murodi, Melacak Asal-usul Gerakan pembukaan Muktamar pemikiran Islam NU di
Paderi di Sumatera Barat (Jakarta: Logos, Ponpes Salafiyah Syafi‘iyah Sukorejo,
1999). Situbondo, 5 Oktober 2003.
Zakiya Darajat : Warisan Islam … 83
kaidah ushul fiqh, bahwa al-‘Adah akan muncul dikotomi antara tradisi dan
muhakkamah (adat dan kebiasaan modernitas.
‘budaya lokal’ adalah sumber hukum- Selanjutnya, Cak Nur menegaskan
dalam Islam). bahwa memang kedatangan Islam akan
Cak Nur menambahkan bahwa membawa sebuah perubahan dan
budaya lokal yang bisa dijadikan perombakan masyarakat (transformasi
sumber hukum adalah yang tidak sosial) menuju kea arah yang lebih baik.
bertentangan dengan prinsip-prinsip Akan tetapi, di saat yang sama,
Islam dan tidak melanggar ajaran hadirnya Islam tidak harus bersifat
tauhid, seperti tahayul, mitologi, disruptive atau memotong suatu
feodalisme, tata sosial tanpa hukum masyarakat dari masa lampaunya
(laotik), ketidakperdulian terhadap semata, namun bisa ikut melestarikan
rakyat kecil, pengingkaran hak asasi, dan mempertahankan sesuatu yang baik
perlawanan terhadap prinsip persamaan dari masa lampau tersebut.21 Inilah yang
umat manusia, dan sebagainya. telah dilakukan Walisongo dengan
Karakteristik jahiliyah ini harus diganti konsep Pribumisasi Islam, yang banyak
dengan prinsip-prinsip ajaran tauhid, melahirkan kearifan dan budaya lokal,
seperti tertib hukum, rasionalitas, seperti yang terlihat dalam tradisi
penghargaan terhadap sesama manusia, sekatenan di pusat-pusat kekuasaan
keadilan sosial, persamaan antarumat Islam seperti di Yogyakarta, Solo,
manusia (al-musȃwah, egalitarianisme), Demak, Cirebon, dan sebagainya, juga
dan sebagainya.19 bangunan-bangunan masjid yang masih
Untuk bisa membedakan mana mempertahankan bangunan aslinya.
budaya lokal yang baik dan mana yang
tidak baik, tentu saja harus B. Pembahasan
dikembangkan sikap kritis dari umat
Islam demi terjadinya sebuah Beberapa Warisan Islam Nusantara
transformasi sosial yang baik. Untuk Keberhasilan perkawinan antara
itu, Cak Nur membedakan antara tradisi lokal dan Islam yang
“tradisi” dan “tradisionalitas”. menghasilkan berbagai local wisdom
Menurutnya, dalam suatu tradisi (kearifan lokal) bisa disaksikan dalam
belum tentu semuanya tidak baik. Oleh banyak dimensi kehidupan masyarakat
karena itu, perlu sikap kritis dan Muslim Indonesia. Berbagai
ketelitian untuk memilah mana yang peradaban 22 Nusantara hasil akulturasi
baik dan perlu dipertahankan, dan mana
yang tidak. Sementara itu,
tradisionalitas merupakan sikap tertutup 21
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan
akibat pemutlakan terhadap tradisi Peradaban, h. 551.
22
secara keseluruhan, tanpa sikap kritis Budayawan Kuntjaraningrat menjelaskan
bahwa wujud budaya ada tiga, pertama adalah
mana yang baik dan mana yang buruk, wujud benda. Peradaban adalah salah satu
dan karena itu, tradisionalitas pasti tidak wujud atau bentuk budaya yang berupa
baik.20 Jika ini dipahami, niscaya tidak benda, di dalamnya termasuk sistem
teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem
kenegaraan, dan sebagainya. Wujud budaya
yang kedua menurut Kuntjaraningrat adalah
19
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan berupa ide-ide, norma, gagasan, peraturan,
Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2000), IV, hukum, dan sebagainya, dan wujud budaya
h. 550. ketiga berupa tingkah laku. Dengan kata lain,
20
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan peradaban adalah bagian dari budaya, tapi
Peradaban, h. 553. tidak sebaliknya.
84 Al-Turāṡ Vol. XXI, No. 1, Januari 2015
dengan Islam antara lain terlihat dalam tradisi bangunan lokal China
berbagai bangunan masjid yang dipadupadankan dengan tradisi Islam.
mencerminkan perkawinan budaya yang Selain bangunan-bangunan
sangat serasi. masjid, warisan Islam Nusantara
Di Kudus, Masjid Agung Kudus lainnya adalah lahirnya mushaf Al-
menjadi saksi bisu betapa antara Islam Qur’an Nusantara yang berbeda
dan budaya Hindu bisa saling karakteristiknya dengan mushaf Al-
berasimiliasi tanpa saling mengalahkan Qur’an Timur Tengah. Fadhal AR
satu sama lain. Menara masjid dibiarkan Bafadhal dan Rosihan Anwar mencatat
seperti apa adanya berbentuk candi. bahwa aktifitas penulisan mushaf telah
Begitu juga Masjid Agung Demak yang berlangsung sejak abad ke-13 pada
dibangun oleh Walisongo, dibangun masa Kerajaam Samudera pasai.
dengan memadukan unsur lokalitas Selanjutnya, sejarah mencatat bahwa
Jawa dengan ruh ajaran Islam. geliat penulisan mushaf Al-Qur’an
Arsitekturnya masih bergaya Hindu, Nusantara pada abad 16 hingga abad 20
sedangkan atapnya yang berundak tiga banyak disponsori oleh kerajaan,
dimaksudkan untuk mencerminkan tiga pesantren, dan elit sosial. Mushaf Al-
bangunan suci ajaran Islam yaitu iman, Qur’an Nusantara ini memiliki
Islam dan ihsan. 23 Bentuk bangunan karakteristik yang unik, antara lain
beratap susun terdapat pada relief-relief terdapat catatan tambahan seperti
candi di Jawa Timur, seperti candi- tajwid, dan kaligrafi yang digunakan
candi di Surawana, Jawa dan jago. sederhana.
Pijper bahkan berasumsi bahwa bentuk Ada yang menggunakan khat
atap susunan masjid merupakan Naskhi untuk ayat, dan khat Tsuluts
kelanjutan tradisi (survival) dari meru.24 untuk penulisan juz. Ada pula yang
Tidak hanya welcome dengan menggunakan kaligrafi floral atau gaya
nilai-nilai keislaman yang muncul dari tulisan lokal, sedangkan mushaf Timur
Timur Tengah, lokalitas Nusantara juga Tengah menggunakan gaya hias
bisa berbaur dengan tradisi budaya geometris. Mushaf Al-Qur’an
bangsa lain. Bangunan Masjid Cheng Nusantara kuno ini banyak ditemukan
Ho di beberapa daerah25 mencerminkan di bekas pusat kerajaan lama dan di
betapa Muslim Nusantara juga sangat antaranya masih tersimpan di beberapa
akomodatif terhadap budaya luar (baca: pesantren, seperti Pesantren Telagasari,
China). Begitu juga Masjid Lao Tze Ponorogo, Buntet Cirebon, dan
26
yang dibangun komunitas China sebagainya.
Muslim di Jakarta, yang mengadopsi Warisan Islam Nusantara lainnya
yang tak ternilai harganya tentulah
23
munculnya banyak ulama Nusantara
Uraian detail tentang berbagai masjid yeng beserta maha karyanya yang hingga kini
bersejarah lihat Abdul Baqir Zein, Masjid-
Masjid bersejarah di Indonesia (Jakarta:
terus menjadi mata air pengetahuan dan
Gema Insani Press, 1999).
24 26
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Fadhal AR Bafadhal dan Rosihan Anwar,
Peradaban Arkeologi dan Islam di Indonesia Mushaf-Mushaf Kuno di Nusantara, disarikan
((Jakarta:Pulit Arkenas, 1998), h. 259. dari “Pasang Surut Penulisan Mushaf
25
Masjid Cheng Ho ada di Semarang, Surabaya Nusantara”, Republika, 7 September 2014.
dan Palembang. Masjid Cheng Ho di Museum Baitul Qur’an di Taman Mini
Palembang disebut juga Masjid Cheng Ho Indonesia Indah (TMII) menyimpan ragam
Sriwijaya, didesain dengan perpaduan mushaf Al-Qur’an dari berbagai daerah di
akulturasi antara Tiongkok, Timur Tengah Nusantara dengan berbagai karakteristik dan
dan lokal Palembang. ukuran.
Zakiya Darajat : Warisan Islam … 85
fikih, syariah, hadits dan tafsir, juga Sementara itu, Abdurrauf al-
berkarir di dunia politik dengan menjadi Sinkili yang kemudian melanjutkan
mufti (Syaikh al-Islam) di Kerajaan karir Al-Raniry sebagai mufti pada
Aceh Darussalam pada masa masa kekuasaan Sultanah Tajul Alam
pemerintahan Sultan Iskandar Tsani (1641-1674) berhasil melakukan
(1637-1641M) (lihat buku 100 tokoh). rekonsiliasi antara para penganut
Karya Nuruddin al-Raniry di bidang sufisme falsafi dengan para penganut
fikih, Ṣirȃṭ al-Mustaqȋm merupakan sufisme akhlaqi. Beberapa karya yang
kitab fikih ibadah pertama dalam ditorehkan Abdurrauf al-Sinkili antara
Bahasa Melayu. Di bidang hadith, karya lain kitab Mir’ȃt al-Ṭulȃb yang
nya berjudul Hidȃyȃt al-Habȋb fȋ al- merupakan kitab fikih muamalat
Targhȋb wa al-Tarhȋb dianggap sebagai pertama dalam Bahasa Melayu. Karya
kitab hadith pertama dalam Bahasa al-Sinkili yang lain antara lain kitab
Melayu. Kitab yang diperkirakan ditulis Tarjumȃn al-Mustafid, sebuah karya
pada 6 Syawal 1045 H/14 Maret 1636 ilmiah bidang tafsir berbahasa Melayu
M ini berisi 831 buah hadith dari pertama yang penyusunannya banyak
berbagai sumber, seperti kitab Bukhȃrȋ, diilhami Tafsir al-Jalȃlayn karya al-
Muslim, Turmudhȋ, dan sebagainya.32 Suyȗṭȋ.34
Pada masa karirnya menjadi Selain kedua ulama ini, beberapa
Syaikh al-Islam, Nuruddin al-Raniry ulama Nusantara yang telah mewariskan
pernah berpolemik dengan Hamzah al- karyanya bagi Muslim Nusantara adalah
Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani Dawud bin Abdullah al-Fattani (w.
yang mengembangkan ajaran sufisme 1847 M), yang menulis kitab di bidang
falsafi. Menurut al-Raniry, ajaran yang hadith berjudul Farȃ’id Fawȃ’id al-Fikr
dikembangkan kedua organisasi ini fi al-Imȃm al-Mahdi. Meskipun kitab
berupa ajaran wihdatul wujud sebagai ini merupakan karya terjemahan dari
paham yang sesat dan membahayakan kitab Shaikh Mirghȃni ibn Yȗsuf
aqidah, dan karena itu harus diberangus. dengan judul yang sama, namun kitab
Lewat kekuasaan yang dimilikinya, ia yang selesai ditulis pada tahun 1215
melakukan aksi radikal dan H/1800 M ini dianggap sebagai kitab
revolusioner dengan membakar semua hadith berbahasa Melayu pertama yang
karya Hamzah al-Fansuri dan secara khusus membicarakan tentang
Syamsuddin al-Sumatrani di depan Imam Mahdi.35
Masjid Baiturrahman, Aceh dan Sementara itu, beberapa ulama
menghukum keduanya sebagai murtad. Nusantara pada akhirnya memutuskan
Dalam karyanya yang berjudul al-Fath untuk tidak kembali ke tanah air dan
al-Mubȋn ‘ala al-Mulhidȋn memilih berkarir di Tanah Haramayn.
(kemenangan terhadap golongan atheis), Syaikh Nawawi al-Bantani, Mahfudz al-
al-Raniry bahkan menduduh al-Fansuri Tarmasy, dan Ahmad Khatib al-
sebagai ulama zindiq.33 Minangkabawi adalah beberapa anggota
komunitas ulama Jawi yang melakukan
hal ini. Nawawi bin Umar binn Arabi
32
atau yang lebih dikenal sebagai Nawawi
Oman Fathurahman, “Tradisi Penulisan Kitab al-Bantani merupakan ulama asal Desa
Hadis di Dunia Melayu-Nusantara”.
33
Shalahuddin Hamid dan Iskandar Ahza, 100
34
Tokoh Islam paling Berpengaruh di Indonesia Oman Fathurahman, “Tradisi Penulisan Kitab
(Jakarta; Nusantara Lestari ceriapratama, Hadis di Dunia Melayu-Nusantara”.
35
2004), 138. Lihat juga Azyumardi Azra, Oman Fathurahman, “Tradisi Penulisan Kitab
Jaringan Ulama, h. 169. Hadis di Dunia Melayu-Nusantara”.
Zakiya Darajat : Warisan Islam … 87