Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Fikih yang
diampu oleh Hasyim Amrullah, MA.
Oleh:
Oktober, 2021
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan … 2
BAB II
PEMBAHASAN
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan … 13
DAFTAR PUSTAKA … 14
1
BAB I
PENDAHULUAN
Islam adalah agama dan cara hidup berdasarkan syari' pada Allah yang termasuk dalam
kitab Al Quran dan sunnah Rasulullah . Mengatur Tiap orang yang mengintegrasikan dirinya
kepada Allah dan sluruh anggota kehidupannya berdasarkan syari' pada yang termaktub
dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.Hal tersebut sebagaimana mestinya ? olehYusuf Qardhawi,
syari' pada Ilahi yang tertuang dalam Al-Qur'anan dan sunnah merupakan doa pilar kekuatan
masyarakat Islam danagama Islam merupakan suatu hidup dan tata sosial yang memiliki
hubunganintegral, tidak utuh secara menyeluruh dengan kehidupan idealnya Islam ini
tergambardalamdinamika hukum Islam yang merupakan suatu hukum yang serba mencakup.
Masalah-masalah yang muncul di zaman modern ini membutuhkan satu bentuk
penyimpulan hukum yang tepat. Hal ini menuntut adanya sisi fleksibilitas dalam hukumIslam.
Tetapi di sisi lain, tidak dapat penolakan adanya prinsip dan asas yang harusdipegang teguh
agar kesimpulan hukum yang didapatkan sesuai dengan koridor Islam.Berdasarkan fakta-
fakta di atas, maka penulis akan membahas lebih mendalam terkait prinsip dan tujuan pena
syariahhukum Islam. Hal ini diharapkan mampu menjadi sesuatu yang diperhatikan dengan
perhatian penuh, terutama bagi para ulama yang akanmelakukan ijtihad hukum.
1.3 Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum pembahasan lebih lanjut mengenai tujuan pensyariatan hukum Islam, maka perlu
diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan hukum Islam. Kata hukum secara
etimologi berasal dari akar kata bahasa Arab, yaitu ُيَُ ييُ – َيْح مُ م hakama-yahkumu1 yang
berarti ” menolak kezhaliman/penganiayaan atau dengan arti menetapkan. Hukum secara
bahasa menurut pandangan Abu Zahrah adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan
perbuatan orang-orang mukallaf baik berupa iqtida (tuntutan perintah atau larangan), takhyir
(pilihan) maupun berupa wadh ’ i (sebab akibat). Ketetapan Allah dimaksudkan pada sifat
yang telah diberikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan orang
mukallaf2.
Hukum Islam adalah kitab (firman) Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan
mukallaf baik berupa tuntutan, pilihan atau ketetapan. Dalam redaksi lain, hukum Islam ialah
seperangkat aturan yang ditetapkan secara langsung oleh Allah SWT atau ditetapkan pokok-
pokoknya untuk mengatur hubungan antara manusia dan tuhannya, manusia dengan
sesamanya dan manusia dengan alam semesta. Hukum islam merupakan koleksi para fuqoha
dalam menerapkan syariat islam sesuai dengan kebutuhan manusia yang bersumber kepada
Al-Qur’an, As-Sunnag, ijma’ para sahabat dan tabi’in.
Terdapat satu kaidah umum yang berkaitan dengan tujuan umum syari ’ , yaitu “ bahwa
tujuan umum syari ’ dalam mensyariatkan hukum, adalah merealisir kemaslahatan manusia
dalam kehidupan ini, menarik keuntungan untuk mereka, dan melenyapkan bahaya dari
mereka3”
1
Rohidin. 2016 . Pengantar Hukum Islam Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books Hal 1
2
Zahrah, Abu. 1994. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus hal. 26
3
Khallaf, Abdul Wahhab. 1989. Kaidah-kaidah hukum Islam : (Ilmu Ushulul Fiqh). Jakarta: Rajawali hal. 331
3
Tujuan pensyariatan hukum islam adalah terpeliharanya tiga macam kebutuhan manusia
yaitu dharuriyat (kebutuhan pokok), hajiyat (kebutuhan sekunder), dan tahsiniyat (kebutuhan
pelengkap). Penjelasannya sebagai berikut:
a. Kebutuhan Dharuriyat
1) Agama diturunkan Allah sebagai pedoman hidup manusia dalam hubungan dengan
Allah (hablum minallah) dan hubungan dengan manusia (hablum minannas) sehingga
terwujudnya ketentraman di dunia maupun di akhirat. Contoh memelihara agama
adalah kita harus menegakkan perintah Allah yaitu sholat, puasa, zakat, haji dan
sebagainya. Dan meninggalkan larangan Allah.
2) Memelihara jiwa merupakan kewajiban manusia. Contoh dari memelihara jiwa adalah
larangan membunuh sesama manusia. Adanya hukum qishas (setimpal), diyat (denda),
dan kafarat (tebusan) tethadap orang yang menganiaya jiwa. Selain itu, terdapat
syariat untuk menegakkan jiwa berupa makanan pokok, minuman, pakaian dan tempat
tinggal.
3) Akal merupakan anugerah Allah yang tidak diberikan kepada makhluk lain selain
manusia. Dalam rangka untuk memelihara akal, Islam mengharamkan khomr (arak =
4
Koto, Alaiddin. 2012. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada hal. 49
4
jenis minuman keras) dan setiap yang memabukkan, menghukum orang yang
meminumnya, atau menggunakan jenis apa saja yang dapat merusak akal.
4) Untuk memelihara keturunan atau kehormatan, Islam mensyariatkan had (dera) bagi
lelaki atau perempuan yang berzina. Juga had bagi al-qodzif (penuduh berbuat zina).
Islam juga melarang kita untuk berzina. Salah satu letak kerhormatan manusia adalah
bagaimana manusia mematuhi aturan tentang cara regenerasi.
5) Harta merupakan salah satu sarana dalam beribadah dan pemenuhan kebutuhan
primer manusia. Untuk memelihara harta, Islam menetapkan hukuman potong tangan
bagi pencuri. Selain itu, Islam juga memerintahkan umatnya untuk berupaya mencari
dan mendapatkan harta melalui cara-cara yang halal.
b. Kebutuhan Hajiyat
Kebutuhan hajiyat merupakan kebutuhan yang bersifat sekunder yang diperlukan oleh
manusia untuk mempermudah dalam kehidupan dan menghilangkan kesulitan maupun
kesempitan. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terjadi kesulitan dan kesempitan yang
implikasinya tidak sampai merusak kehidupan, melainkan hanya akan menimbulkan kesulitan
saja.
Dalam penerapannya dapat digolongkan dalam tiga macam ketentuan, yaitu ibadah, mu’
amalat dan pidana. Dalam hal ibadah, Islam memberi keringanan (rukhshah) apabila seorang
mukallaf mengalami kesulitan dalam menjalankan suatu kewajiban ibadahnya. Islam
membolehkan berbuka pada siang hari pada bulan Ramadhan bagi orang yang sakit atau di
dalam perjalanan (musafir) dan meringkas (qoshor) shalat empat rakaat bagi musafir dan
sholat dengan duduk bagi orang yang tidak kuat berdiri. Islam juga memperbolehkan
tayamum bagi orang yang tidak menemukan air, dan sholat di atas kendaraan meskipun tidak
menghadap kiblat dan hukum rukhsoh yang lain yang disyariatkan untuk menghilangkan
kesempitan manusia dalam melaksanakan ibadah.
Dalam bidang mu ’ amalat, Islam mensyariatkan banyak macam akad (kontrak) dan
urusan (tasharuf) yang menjadi kebutuhan manusia. Seperti membolehkan jual beli pesanan
(ishtishna ’ ). Dalam bidang pidana, Islam menetapkan kewajiban membayar denda (diyat)
bagi yang melakukan pembunuhan tidak sengaja. Islam juga menolak pelaksanaan hukum
had karena kesamaran (belum jelas) dan memberikan hak kepada wali (orang tua) terbunuh
untuk mengampuni pelaksanaan hokum qishosh terhadap pembunuh.
5
c. Kebutuhan Tahsiniyat
Aspek tahsiniyat dalam bidang ibadah, misalnya kewajiban membersihkan diri dari najis,
menutup aurat, berhias bila hendak ke masjid, dan melakukan amalan-amalan sunnah dan
bersedekah. Sedangkan dalam bidang muamalah, Islam mengharamkan memperdaya,
memalsu, menipu, melampaui batas (boros) dan kikir terhadap diri sendiri. Islam juga
melarang menggunakan setiap yang najis dan berbahaya. Dalam lingkup pidana, Islam
mengharamkan membunuh para pendeta, anak-anak dan kaum wanita dalam
peperangan.Melarang penyiksaan dan khianat. Melarang membunuh orang tidak bersenjata,
dan membakar orang hidup-hidup atau sesudah mati.
Dapat kita simpulka bahwa ketiga jenis kebutuhan manusia (dharuriyat, hajiyat, dan
tahsiniyat) di atas, dalam mencapai kesempurnaan kemaslahatan yang diinginkan syara’ sulit
untuk dipisahkan satu sama lain. Intinya ketiganya memiliki peranan penting dan saling
melengkapi dalam tercapainya tujuan syar’i dalam pensyariatan hukum Islam.
5
Rosyada, Dede. 1993. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: CV Rajawali hal. 29
6
maslahat secara terminologi adalah perolehan manfaat dan penolakan terhadap kesulitan.
Maslahat adalah dasar semua kaidah yang dikembangkan dalam hukum Islam. Ia memiliki
landasan yang kuat dalam al-Quran.
Tujuan syariat Islam adalah mewujudkan kemaslahatan individu dan masyarakat dalam
dua bidang; dunia dan akhirat. Inilah dasar tegaknya semua syariat Islam, tidak ada satu
bidang keyakinan atau aktivitas insani atau sebuah kejadian alam kecuali ada pembahasannya
dalam syariat Islam, dikaji dengan segala cara pandang yang luas dan mendalam.
Ulama menyimpulkan bahwa prinsip ini meraih kemaslahatan dan menolak
kemafsadatan adalah inti atau prinsip paling utama dalam pensyariatan hukum Islam. Karena
itulah syariat Islam diturunkan Allah bertujuan untuk mengatur supaya seluruh perilaku
manusia berdampak pada kemaslahatan mereka di dunia mapun di akhirat. Dalam mencapai
kemaslahatan itu, ada tiga tingkatan yang harus diperhatikan, yaitu kemaslahatan pada yang
diperbolehkan (mubah), kemaslahatan pada yang dianjurkan (mandub atau sunnah),
kemaslahatan pada yang diwajibkan (wajib). Sedangkan kemafsadatan memiliki dua
tingkatan, yaitu makruh dan haram.6
b. Memberikan kemudahan dan menolak kesukaran
Ulama menetapkan salah satu kaidah pokok lainnya yaitu bagaimana pun semua hal
yang membuat segala sesuatu menjadi sempit dan sulit harus dihilangkan karena agama
diturunkan oleh Allah bukan untuk menimbulkan kesulitan bagi manusia. Melainkan untuk
memberikan kemudahan bagi mereka.7 Kaidah pokok itu adalah ( المشقة تجلب التيسيرKesulitan
itu mendatangkan kemudahan). Dasar dari kaidah tersebut adalah Qur’an surat Al-Haj ayat
78,
Artinya :
… dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…. (Q.S.
Al-Haj[22]: 78)
Sedangkan ada 3 prinsip lain selain 2 prinsip pokok yang telah disebutkan, yaitu:
a. Menyedikitkan beban
6
Rosyada, Dede. 1993. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: CV Rajawal hal. 147
7
Rosyada, Dede. 1993. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: CV Rajawal hal. 149
7
Al-Haraj memiliki beberapa arti, diantaranya sempit, paksa, berat. Adapun arti
terminologinya adalah segala sesuatu yang menyulitkan badan, jiwa atau harta secara
berlebihan, baik sekarang maupun di kemudian hari.
Dalam mengadakan aturan-aturan untuk manusia, selalu diusahakan oleh Tuhannya agar
aturan-aturan tersebut mudah dilaksanakan dan tidak merepotkan, meskipun hal ini berarti
tidak harus menghapuskan aturan (perintah-perintah) sama sekali, sebab dengan perintah-
perintah itu dimaksudkan agar keruncingan jiwa manusia terhadap perbuatan yang buruk
dapat dibatasi. Jadi, maksudnya dengan menyedikitkan hukum Islam, ialah yang berlebih-
lebihan dan yang menghabiskan kekuatan badan dalam melaksanakannya.
Nabi melarang sahabat untuk banyak bertanya tentang masalah yang belum ada
hukumnya. Nabi justru menganjurkan agar mereka memetik dari kaidah-kaidah umum.
Dalam Al-Qur ’ an, ayat tentang hukum hanya sedikit, sehingga memberikan ruang untuk
berijtihad bagi manusia. Dengan demikian, hukum Islam tidaklah kaku, keras, dan berat bagi
manusia.8
b. Ditetapkan secara bertahap
Tiap-tiap masyarakat tentu memiliki adat kebiasaan tersendiri, baik tradisi itu baik
maupun tradisi yang membahayakan mereka sendiri. Tradisi tersebut ada yang berakar dan
mendarah daging.
Dalam sosiologi Ibnu Khaldun dinyatakan bahwa “ suatu masyarakat (tradisional atau
yang tingkat intelektualnya rendah) akan menentang apabila ada sesuatu yang baru dalam
kehidupannya. Lebih-lebih apabila sesuatu yang baru tersebut bertentangan dengan tradisi
yang ada.”
Menanggapi hal ini, Al-Qur ’ an turun dengan berangsur-angsur, surat demi surat, ayat
demi ayat sesuai dengan peristiwa, kondisi dan situasi yang terjadi. Dengan cara demikian,
hukum yang diturunkannya lebih disenangi dan lebih mendorong ke arah mentaatinya serta
bersiap-siap meninggalkan ketentuan lama dan menerapkan ketentuan yang baru. Hal ini
dapat dicontohkan seperti pengharaman khomr yang bertahap
..... اِ يوِمْح مم مِ يما َ ي حَْي مر مِ حْ َي حْ مَ مِ يما ْحَيلموَيَي يَ مْ حالَ حيم مر يو حال يم حيس ممر ُم حَ ِمي مِ يما ِمْح رُ يَْم ر
ير يو يِنياِم مُ مللنن م
8
Djamil, Fatchurrahman. 1999. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu hal. 68
& 69.
8
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah:
"Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi
dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". … (Q.S. Al-Baqarah[2]: 219).
Dan ayat di atas tidak menjelaskan tuntutan untuk meninggalkannya, meskipun
dengan ayat ini seseorang yang jiwanya dalam lagi mengetahui rahasia tasyri ’ akan
memahaminya, karena sesuatu yang banyak dosanya, sesuatu itu haram dilakukannya
karena perbuatan-perbuatan itu hanya mengandung keburukan-keburukan sematamata,
sedang tempat berputarnya pengharam dan penghalalnya adalah memenangkan
kebaikan atas keburukan. Kemudian Allah menurunkan titahnya yang mengatakan
bahwa kepada mereka yang mabuk dilarang untuk solat. Allah berfirman :
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam
Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula
hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja,
hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari
tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah
mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
(Q.S. An-Nisa’[4]: 43)
9
Larangan ini tidaklah membatalkan kepada yang pertama bahkan yang
menguatkannya. Kemudian Al-Quran menjelaskan larangan sebagai keputusan secara
tegas kepada suatu hukum, dengan firman Allah,
9
Ahmad Hanafi. 1991. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang hal. 29
10
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (Q.S. Al-Maidah[5]: 8)
11
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
12
DAFTAR PUSTAKA
Djamil, Fatchurrahman. 1999. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Hanafi, Ahmad. 1991. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Khallaf, Abdul Wahhab. 1989. Kaidah-kaidah hukum Islam : (Ilmu Ushulul Fiqh).
Jakarta: Rajawali
Koto, Alaiddin. 2012. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Rohidin. 2016 . Pengantar Hukum Islam Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books
Rosyada, Dede. 1993. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: CV Rajawali
Shidiq, Ghofar. Teori Maqashid Asy Syariah dalam Hukum Islam. Universitas Islam
Islam Sultan Agung.
Zahrah, Abu. 1994. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus
13