Anda di halaman 1dari 3

Dalam Al-Qur`an Al-Karim, Allah 

‘Azza wa Jalla berfirman,
ْ ‫ال َع‬
‫ش ٍر‬ ٍ ‫ َولَ َي‬ .‫َوا ْل َف ْج ِر‬
“Demi fajar, dan malam yang sepuluh.” [Al-Fajr: 1-2]
Setelah menyebutkan sejumlah ucapan ulama tafsir tentang ayat di atas, seorang
mufassir ternama, lbnu Jarir rahimahullâh, dalam Tafsir-nya, menyimpulkan
bahwa “malam yang sepuluh” tersebut adalah malam sepuluh Dzulhijjah berdasarkan
kesepakatan para ulama tafsir tentang hal tersebut.[1]
Ibnu Katsir rahimahullâh juga menguatkan hal tersebut sembari berkata, “Yang
dimaksud dengan “malam yang sepuluh” adalah sepuluh Dzulhijjah sebagaimana
perkataan Ibnu ‘Abbâs, Ibnu Az-Zubair, Mujahid, dan ulama salaf (terdahulu) dan khalaf
(belakangan) selain mereka ….”
Allah Subhânahû wa Ta’âlâ berfirman pula,
‫اس َم هَّللا ِ فِي أَ َّي ٍام‬
ْ ‫ش َهدُوا َم َناف َِع لَ ُه ْم َو َي ْذ ُك ُروا‬ ٍ ‫ضام ٍِر َيأْتِينَ مِنْ ُكل ِّ َف ٍّج َعم‬
ْ ‫لِ َي‬ .‫ِيق‬ َ ِّ ‫اس ِبا ْل َح ِّج َيأْ ُتو َك ِر َجااًل َو َعلَى ُكل‬
ِ ‫َوأَ ِّذنْ فِي ال َّن‬
‫ت‬ٍ ‫َم ْعلُو َما‬
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang
kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari
segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi
mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan
….” [Al-Hajj: 27-28]
Menurut lbnu Katsir rahimahullâh, yang dimaksud dengan “hari-hari yang telah
ditentukan” dalam ayat di atas adalah sepuluh hari Dzulhijjah. Beliau menukil hal
tersebut dari Ibnu ‘Abbâs, Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallâhu ‘anhumâ, Mujâhid,
Qatâdah, ‘Athâ`, Sa’îd bin Jubair, Al-Hasan, Adh-Dhahhâk, ‘Athâ` Al-Khurasâny, dan
lbrahim An-Nakha’iy, serta merupakan pendapat Madzhab Asy-Syâfi’iy dan yang
masyhur dari Ahmad –semoga Allah merahmati mereka seluruhnya-.
Berdasarkan keterangan-keterangan dari dua ayat di atas, bisa disimpulkan bahwa
sepuluh hari Dzulhijjah merupakan hari-hari yang memiliki fadhilah yang sangat besar
bagi kaum muslimin.

Selain itu, bila kita memperhatikan berbagai ibadah yang disyariatkan pada sepuluh hari
Dzulhijjah ini, akan tampak dengan jelas berbagai keistimewaan sepuluh hari tersebut.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullâh berkata, “Yang tampak adalah bahwa keistimewaan
sepuluh hari Dzulhijjah adalah karena (hari-hari itu merupakan) tempat berkumpulnya
pokok-pokok ibadah, yaitu shalat, puasa, shadaqah dan haji, yang hal tersebut tidaklah
terjadi pada (hari-hari) lain.”[2]
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan keutamaan sepuluh hari
pertama Dzulhijjah. Hal tersebut dijelaskan oleh Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu
‘anhumâ bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ ‫سول‬ُ ‫يل هَّللا ِ َف َقال َ َر‬ َ ‫سول َ هَّللا ِ َوالَ ا ْل ِج َها ُد ف ِْي‬
ِ ِ‫سب‬ ُ ‫ َف َقالُوا َيا َر‬.‫ش ِر‬ْ ‫ب إِلَى هَّللا ِ مِنْ َه ِذ ِه األَ َّي ِام ا ْل َع‬ ُّ ‫الصالِ ُح فِي ِهنَّ أَ َح‬َّ ُ ‫ َما مِنْ أَ َّي ٍام ا ْل َع َمل‬ 
َ َ َ ْ ‫هَّللا‬
َ ِ‫يل ِ إِالَّ َر ُجل ٌ َخ َر َج بِ َنفسِ ِه َو َمالِ ِه فل ْم َي ْر ِج ْع مِنْ ذلِ َك ب‬
ٍ‫ش ْىء‬ ِ ِ‫سب‬ ْ
َ ‫سل َم َوالَ ال ِج َها ُد ف ِْي‬ َّ َ
َ ‫صلى هللاُ َعل ْي ِه َو‬ َّ َ ِ ‫هَّللا‬
“Tiada suatu hari pun yang amal shalih pada hari-hari itu lebih dicintai oleh Allah
daripada sepuluh hari ini. (Para shahabat) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, tidak pula
(dilebihi oleh) jihad di jalan Allah?’ Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menjawab,
‘(Ya), tidak (pula) jihad di jalan Allah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa
dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun dari hal tersebut.’.” [3]
Hadits di atas merupakan hadits pokok yang menjelaskan keutamaan sepuluh hari awal
Dzulhijjah yang mengandung beberapa pelajaran, di antaranya:

Pertama, menunjukkan keutamaan beramal kebaikan pada sepuluh hari awal Dzulhijjah
sehingga keutamaan beramal pada hari-hari tersebut tidak terkalahkan oleh amalan
apapun pada selain hari-hari itu, termasuk amalan jihad di jalan Allah yang tidak
mengakibatkan seseorang mati syahid karenanya. Oleh karena itulah, para ulama salaf
sangat mengagungkan hari-hari Dzulhijjah ini.
Abu Utsman An-Nahdy[4] rahimahullâh berkata, “Sesungguhnya mereka (shahabat dan
tabi’in) mengagungkan tiga sepuluh: sepuluh (hari) terakhir dari Ramadhan, sepuluh
(hari) awal dari Dzulhijjah, dan sepuluh (hari) awal dari Muharram.”[5] Oleh karena itu,
ini adalah suatu nikmat dan anugerah Allah kepada kaum muslimin agar mereka
memanfaatkan sepuluh hari Dzulhijjah tersebut dengan sebaik mungkin.
Kedua, keterangan bahwa amalan shalih pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah lebih
utama daripada amalan shalih yang bukan pada hari-hari tersebut menunjukkan bahwa
segala amalan shalih pada sepuluh hari tersebut pahalanya dilipatgandakan.
Ketiga, frasa “amal shalih” yang dimaksud adalah sebuah konteks umum yang meliputi
segala jenis amalan shalih, baik amalan shalih yang syariat dan tuntunannya dalam
bulan Dzulhijjah telah tetap, seperti pelaksanaan haji, puasa ‘Arafah, hari An-Nahr (‘Idul
Adha), berqurban, berpuasa, dan memperbanyak takbir, maupun amalan shalih yang
merupakan hal yang disyariatkan atas setiap muslim pada segala keadaan, seperti
ibadah-ibadah wajib, ibadah sunnah, shalat malam, membaca Al-Qur`an, menyambung
silaturahmi, dan berbakti kepada orang tua.
Keempat, dalam hal memperbandingkan antara sepuluh hari awal Dzulhijjah dan
sepuluh malam akhir Ramadhan, terjadi silang pendapat di kalangan ulama tentang
yang paling utama antara keduanya.
Ibnul Qayyim menukil dari gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh, bahwa
Syaikhul Islam menyatakan, “Fashlul khithâb ‘pendapat yang menuntaskan perselisihan’
adalah bahwa malam-malam sepuluh terakhir Ramadhan lebih utama daripada malam-
malam sepuluh (hari) awal Dzulhijjah karena Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
sallam bersungguh-sungguh dalam hal menunaikan ibadah pada malam-malam tersebut
dengan kesungguhan yang tidak beliau lakukan terhadap malam-malam lain, sedangkan
hari-hari sepuluh awal Dzulhijjah lebih utama daripada hari-hari sepuluh terakhir
Ramadhan berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbâs ini dan sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa
sallam, ‘Hari yang paling agung di sisi Allah adalah hari An-Nahr’ [6] serta keutamaan
yang datang dalam hari ‘Arafah[7].”[8]
Demikian pula keterangan Al-Mubarakfury rahimahullâh [9].
Dari Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim rahimahullâh juga menukil jawaban yang semakna,
dengan redaksi yang lebih ringkas, sembari menyifatkan jawaban itu sebagai jawaban
yang sangat memuaskan lagi mencukupi. Beliau juga menyatakan bahwa siapa saja
yang menjawab bukan dengan rincian beliau, ia tidak mungkin membawakan argumen
yang benar.[10]
Namun, Ibnu Rajab rahimahullâh memandang bahwa pendapat di atas adalah pendapat
yang jauh dari kebenaran. Bagi beliau, hadits-hadits tentang lebih utamanya sepuluh
hari awal Dzulhijjah berlaku umum untuk malam dan siang hari[11].
Wallâhu A’lam.

[1] Jâmi’ul Bayân 12/559.
[2] Fathul Bâry 2/460.
[3] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 969, Abu Dâwud no. 2438, At-Tirmidzy no. 756
(lafazh hadits adalah milik beliau), dan Ibnu Mâjah no. 1727.
[4] Beliau adalah Abdurrahman bin Mull, salah seorang ulama tabi’in yang wafat pada
tahun 95 H.
[5] Diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dalam Ash-
Shalâh sebagaimana dalam Ad-Durr Al-Mandzûr 8/502 karya As-Suyuthy. Baca
pulalah Lathâ’if Al-Ma’ârif hal. 31 karya Ibnu Rajab (cet. Maktabah Ar-Riyadh Al-
Haditsiyah).
[6] Takhrîj-nya akan disebutkan.
[7] hadits tentang keutamaan hari ‘Arafah akan disebutkan.
[8] Demikian nash ucapan Ibnu Taimiyah yang dinukil oleh muridnya, Ibnul Qayyim,
dalam Tahdzîb As-Sunan 6/315.
[9] Bacalah kitab beliau, Tuhfatul Ahwâdzy, pada penjelasan hadits no. 506 dari Sunan
At-Tirmidzy (Abwâb Ash-Shiyâm Bab fi Amal fi Ayyâm At-Tasyrîq).
[10] Bacalah Badâ`i’ul Fawâ`id 3/683.
[11] Bacalah keterangan beliau dalam Lathâ`if Al-Ma’ârif hal. 282.

Anda mungkin juga menyukai