Anda di halaman 1dari 48

PANDUAN

PELAYANAN PASIEN HEMODIALISIS

OLEH :
TEAM POKJA PAP

RSU dr. SUYUDI PACIRAN 2019


Jl. Raya Deandles Paciran Kab. Lamongan
Telp. (0322)661412, Fax. 0322666293, Hp. 081330758300
Email : rsu.suyudi@gmail.co

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah :

1. Suatu kondisi kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih,
yang didefinisikan sebagai abnormalitas struktural atau fungsional ginjal,
dengan atau tanpa penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang
bermanifestasi sebagai kelainan patologis atau kerusakan ginjal; termasuk
ketidakseimbangan komposisi zat di dalam darah atau urin serta ada atau
tidaknya gangguan hasil pemeriksaan pencitraan
2. LFG yang kurang dari 60 mL/menit/1,73 m2 lebih dari 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal

Hemodialisis (HD) adalah salah satu terapi pengganti ginjal yang menggunkan
alat khusus dengan tujuan mengatasi gejala dan tanda akibat laju filtrasi
glomelurus yang rendah sehingga diharapkan dapat memperpanjang usia dan
meningkatkan kualitas hidup pasien.

Unit Hemodialisis adalah tempat pelayanan hemdialisis yang terdiri dari minimal
4 mesin dialisis, didukung dengan unit permurnian air (water treatment) dan
peralatan pendukung serta mempunyai tenaga medis, minimal terdiri dari 2
Perawat`Mahir HD, 1 Dokter bersertifikat HD, yang diawasi oleh 1 orang Dokter
Internis bersertifikat HD dan disupervisi oleh 1 orang Internis-Konsultan Ginjal
Hipertensi (KGH).

Falsafah

Pada keadaan gagal ginjal, pasien membutuhkan terapi pengganti fungsi ginjal
untuk memperpanjang dan mempertahankan kualitas hidup yang optimal. Terapi
pengganti ginjal terdiri dari hemodialisis, CAPD dan transpalasi. Terapi gagal
ginjal yang ideal adalah transplantasi ginjal. Akan tetapi karena masih terdapat
kendala faktor biaya dan keterbatasan donor maka di Indonesia dialisis masih
merupakan Terapi Pengganti Ginjal (TPG) yang utama. Terapi pengganti ginjal
ini merupakan sebagian dari pengobatan pasien gagal ginjal. Selain TPG masih
dibutuhkan pengobatan lain seperti vitamin D, eritropoetin, obat pengikat fosfor,
dll.

Pasien hemodialisis mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya komplikasi


kardiovaskular. Oleh karena itu penanganannya harus dilakukan oleh seorang
Dokter yang memiliki kualifikasi Subspesialis (Konsultan Ginjal

2
Hipertensi/KGH) atau oleh Dokter Internis yang memiliki kompetensi dibidang
Hemodialisis.

Tindakan dialisis ( Hemodialisis dan CAPD) merupakan prosedur kedokteran


yang memerlukan teknologi tinggi dan biaya tinggi sehingga menjadi tanggung
jawab bersama pemerintah dan masyarakat. Dialisis potensial menimbulkan
risiko, oleh karena itu keselmatan pasien serta kualitas pelayanan harus selalu
diperhatikan

Mengingat keterbatasan yang ada sekarang maka diperlukan suatu mekanisme


pengembangan pelayanan yang efektif dan efisien dengan pengawasan yang dapat
menjamin kualitas pelayanan.

Pengorganisasian

Struktur Organisasi

Struktur Organisasi Unit Layanan Hemodialisis di dalam Rumah Sakit dari aspek
kompetensi, SDM, fasilitas sarana serta kepemilikan menyebabkan bervariasinya
pengelolaan layanan mulai dari organisasi sampai pembiayaan di rumah sakit.

Ketenagaan
Ketenagaan pelayanan hemodialis terdiri dari :
• Tenaga medis (Supervisor, Dokter Sp.PD yang bersertifikat HD,
Dokter bersertifikat HD).
• Perawat (Perawat Mahir dan Perawat Biasa)
• Teknis
• Tenaga administrasi
• Dan tenaga lainnya yang mendukung program
Kompetensi
• Supervisor hemodialisis adalah Dokter Sp.PD-KGH
• Dokter penanggung jawab hemodialisis adalah Dokter Sp.PD-
KGH dan atau Dokter Sp.PD yang telah mempunyai sertifikat
pelatihan hemodialisis di pusat pendidikan yang diakreditasi dan
disahkan oleh PB.PERNEFRI
• Dokter pelaksana hemodialisis adalah Dokter bersertifikat HD
yang telah dilatih di pusat pendidikan yang diakreditasi dan
disahkan oleh PB.PERNEFRI
• Perawat mahir hemodialisis adalah Perawat yang bersertifikat
pelatihan HD di pusat pendidikan yang diakreditasi dan disahkan
oleh PB.PERNEFRI
• Perawat adalah lulusan Akademi Keperawatan

3
Klasifikasi dan Uraian Tugas
 Supervisor
Seorang Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Ginjal Hipertensi
(Dokter Sp-PD-KGH) yang diakui oleh Pernefri, dan bertugas sebagai Pengawas
Supervisor. Disamping itu dapat juga bertugas sebagai Dokter Penanggung Jawab
Unit Dialisis dan atau Dokter Pelaksana Unit Hemodialisis.
 Penanggung Jawab
Seorang dokter Spesialis Penyakit Dalam (Dokter Sp.PD) yang telah
mendapat pelatihan dialisis di Pusat Pelatihan Dialisis yang diakui atau dikreditasi
oleh Pernefri dan bertugas sebagai Penanggung Jawab Unit Dialisis. Disamping
itu dapat juga bertugas sebagai Dokter Pelaksana Unit Hemodialisis
 Dokter Pelaksana
Seorang dokter yang telah mendapat pelatihan dialisis di Pusat Pelatihan
Dialisis yang diakreditasi oleh Pernefri dan bertugas sebgai Dokter Pelaksana Unit
Hemodialisis
 Perawat Mahir
Perawat yang telah menempuh pendidikan khusus dialisis dan perawat
ginjal insentif di pusat pelatihan dialisis yang diakui Pernefri
 Perawat
Seorang lulusan Akademi Keperawatan yang memberikan asuhan
keperawatan dan membantu tugas perawat mahir HD.
 Teknisi
Minimal SMU/STM atau perawat dengan pelatihan khusus mesin dialisis
dan perlengkapannya. Bertugas : menyiapkan mesin dan perlengkapannya,
menjalankan dan merawat mesin dialisis dan pengolah air, bekerjasama
dengan teknisi pabrik pembuatnya (produsen/agen).
Perijinan
Perijinan Unit Hemodialisis di Rumah Sakit Umum dr. Suyudi mengikuti ijin
rumah sakit dengan disertai verifikasi dari PERNEFRI setelah unit hemodialisis
memenuhi persyaratan yang diperlukan.
Pelayanan Hemodialisis
A.Konsep Pelayanan Hemodialisis
 Dilakukan secara komprehensif
 Pelayanan dilakukan sesuai standar
 Peralatan yang tersedia harus memenuhi ketentuan
 Semua tindakan harus terdokumentasi dengan baik
 Harus ada sistem monitor dan evaluasi
B. Prosedur Pelayanan Hemodialisis
 Tindakan Inisiasi Hemodialisis (HD pertama) dilakukan setelah melalui
pemeriksaan/konsultasi dengan konsultan atau dokter spesialis penyakit
dalam (dokter Sp.PD) yang telah bersertifikat HD.
 Setiap tindakan Hemodialisis terdiri dari :

4
a. Persiapan pelaksanaan Hemodialisis : 30 menit
b. Pelaksanaan Hemodialisis : 5 jam
c. Evaluasi pasca Hemodialisis : 30 menit

Alur Pasien dalam Pelayanan Hemodialisis


Pasien Hemodialisis Rumah Sakit Umum dr. suyudi dapat berasal dari :
 Instalasi Rawat Jalan
 Insatalasi Rawat Inap (termasuk ruang gawat intensif)
 Instalasi Gawat Darurat
 Rujukan dari Rumah Sakit/Institusi kesehatan lainnya
Kegiatan selanjutnya adalah :
 Pemeriksaan / Penilaian / asessmen tim
 Hemodialisis
 Bisa dikembalikan ke tempat semula/ Dokter pengirim

5
ALUR PELAYANAN DAN RUJUKAN PASIEN HEMODIALISIS
RSU dr. SUYUDI PACIRAN

Pasien Lama HD Pasien Baru HD

Tidak Gawat Gawat Darurat Gawat Darurat Tidak GawatDarurat

UGD
Rawat Rawat

Stabil Tidak Stabil

ICU

Konsultasi dengan dokter Ginjal


dan Hipertensi

HEMODIALISA

1. Tindakan yang dilakukan:


2. 1.Visite dokter
3. 2.Pemberian Therapy
4. 3.Pemeriksaan Laboratorium
5. 4. Pemberian Asuhan
Keperawatan

PULANG
Kasir

6
1. Bangunan dan Prasarana

1. Unit hemodialisis Rumah Sakit Umum dr. Suyudi Paciran mempunyai


bangunan dan prasarana sbb.:
a. Ruangan Hemodialisis
 Ruangan hemodialysis sementara mempunyai kapasitas untuk 4
mesin hemodialisis.
 Setiap ruangan mempunyai wastafel untuk cuci tangan
b. Ruangan Pemeriksaan/konsultasi.
c. Ruangan dokter.
d. Ruangan perawat.
e. Ruangan reuse.
f. Ruangan pengolahan air.
g. Ruangan sterilisasi alat.
h. Ruangan Penyimpanan obat.
i. Ruangan administrasi.
j. Ruangan pendaftaran/penerimaan pasien dan rekam medik.
k. Ruang penunjang non medik yang terdiri dari pantry, gudang
peralatan, tempat cuci.
l. Ruang tunggu keluarga pasien.
m. Toilet yang masing-masing terdiri dari toilet untuk petugas, pasien
dan penunggu pasien.
n. Spoelhook.
2. Seluruh ruangan memenuhi persyaratan minimal untuk kebersihan, ventilasi,
penerangan dan mempunyai sistem keselamatan kerja dan kebakaran.
3. Mesin hemodialisis yang dipergunakan untuk memberikan pelayanan dilakukan
kalibrasi berkala sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4. Mempunyai fasilitas listrik dan penyediaan air bersih (water treatment) yang
memenuhi persyaratan kesehatan.
5. Mempunyai sarana untuk mengolah limbah dan pembuangan sampah sesuai
peraturan yang berlaku (septic tank besar/rujukan limbah padat infeksius).
6. Memiliki fasilitas akses untuk dapat mengirim laporan berkala ke Supervisor
dan PERNEFRI Pusat (Register PERNEFRI).

Sistem Pembiayaan
1. Sumber
 Biaya sendiri (out of pocket).
 Asuransi ; BPJS
 Perusahaan
 Lain-lain.
Pola tarif terdiri dari :
 Konsul dokter

7
 Tindakan ;
 Jasa medik
 Jasa rumah sakit
 Bahan dan Alat
Waktu pelayanan
Senin sampai sabtu (termasuk hari libur) :
 Shift pagi : 07.00 – 14.00 WIB
 Shift sore : 14.00 - 21.00 WIB

 Shift malam khusus cito/darurat

Sistem Pengolahan Air

Sistem pengolahan air menggunakan system Reverse Osmosis (RO) sehingga


menghasilkan air yang memenuhi persyaratan untuk  keperluan Haemodialisis.

Dilakukan pemeriksaan kualitas air secara berkala sehingga melindungi pasien


dari mineral yang berlebih dan mikroorganisme.

Pengendalian Limbah
Mengikuti pengendalian limbah di rumah sakit.
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
 Mengacu pada kewaspadaan universal yang ketat dalam
pencegahan transmisi.
 Penataan ruang, aksesibilitas, penerangan dan pemilihan material
sesuai dengan ketentuan yang mengacu pada patient safety.
 Isolasi mesin hemodialisis hanya pada pengidap virus hepatitis B
(VHB), tidak pada pengidap virus hepatitis (VHC) dan HIV.
 Pemakaian dialiser proses ulang hanya diperkenankan pada pasien
pengidap VHC dan HIV dengan kewaspadaan khusus, akan tetapi
dilarang pada pengidap VHB.
Pencatatan dan Pelaporan
 Dalam rekam medis dicatat diagnosis medik (berdasarkan ICD X)
untuk pelaporan ke Dinas Kesahatan yang kemudian diteruskan ke
Departemen Kesehatan.
 Mengirim laporan ke pusat Registrasi PERNEFRI secara berkala
tiap bulan.
Sistem rujukan
Pengertian Rujukan
adalah suatu upaya pelimpahan tanggung jawab dan wewenang secara
timbal balik dalam pelayanan kesehatan untuk menciptakan suatu pelayanan
kesehatan paripurna.

8
Kegiatan rujukan mencakup :
 Rujukan Pasien (internal dan eksternal)
Rujukan internal adalah rujukan antar spesialis dalam suatu ruangan
rumah sakit.
Rujukan eksternal adalah rujukan antar spesialis keluar rumah sakit
dengan mengikuti sistim rujukan yang ada.
 Rujukan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, termasuk peningkatan
kemampuan tenaga hemodialisis serta sumber daya kesehatan
lainnya (dana, alat dan sarana).
 Pembinaan manajemen.

A. Tujuan
Tujuan penyusunan pedoman ini adalah sebagai acuan dalam melaksanakan
pelayanan hemodialisis di Rumah Sakit Umum dr. Suyudi Paciran terutama
bagi tenaga kesehatan unit hemodialisis Rumah Sakit Umum dr. Suyudi
Paciran, tenaga non medis dan pengambil kebijakan di tingkat manajerial.

B. Manfaat
Pedoman hemodialisis Rumah Sakit Umum dr. Suyudi Paciran ini diharapkan
bermanfaat bagi semua pihak terutama pengelola unit pelayanan hemodialisis.

9
BAB II
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

A. Pengertian

Chronic Kidney Disease ( CKD ) merupakan gangguan fungsi ginjal yang


progresif dan irreversible, yang menyebabkan kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan maupun elektrolit,
sehingga timbul gejala uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah).

B. Etiologi

Chronic Kidney Disease ( CKD ) terjadi setelah berbagai macam penyakit yang
merusak nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit parenkim ginjal difus
dan bilateral.

 Infeksi : Pielonefritis kronik.


 Penyakit peradangan : Glomerulonefritis.
 Penyakit vaskuler hipertensif : Nefrosklerosis benigna,
nefrosklerosis maligna, stenosis arteri renalis.
 Gangguan jaringan penyambung : SLE, poli arteritis nodosa,
sklerosis sistemik progresif.
 Gangguan kongenital dan herediter : Penyakit ginjal polikistik,
asidosis tubuler ginjal.
 Penyakit metabolic : DM, gout, hiperparatiroidisme,  amiloidosis.
 Nefropati obstruktif : Penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale.
 Sal. Kemih bagian atas : Kalkuli, neoplasma, fibrosis, 
netroperitoneal.
 Sal. Kemih bagian bawah: Hipertrofi prostate, striktur uretra,
anomali congenital pada leher kandung kemih dan uretra.

C. Patofisiologi

Patofisiologi umum CKD

1. Sudut pandang tradisional

Semua unit nefron telah terserang penyakit namun dalam stadium yang berbeda-
beda dan bagian spesifik dari nefron yang berkaitan dengan fungsi tertentu dapat
saja benar- banar rusak atau berubah struktur.

10
1. Hipotesis Bricker (hipotesis nefron yang utuh)

“Bila nefron terserang penyakit maka seluruh unitnya akan hancur, namun sisa
nefron yang masih utuh tetap bekerja normal”. Uremia akan timbul bila jumlah
nefron sudah sedemikian berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit
yang tidak dapat dipertahankan lagi.

Jumlah nefron turun secara progresif

Ginjal melakukan adaptasi (kompensasi)

-sisa nefron mengalami hipertropi

-peningkatan kecepatan filtrasi, beban solute dan reabsorbsi

tubulus dalam tiap nefron, meskipun GFR untuk seluruh massa nefron menurun di
bawah normal

Kehilangan cairan dan elektrolit dpt dipertahankan

Jk 75% massa nefron hancur

Kecepatan filtrasi dan beban solute bagi tiap nefron meningkat

Keseimbangan glomerulus dan tubulus tidak dapat dipertahankan

Fleksibilitas proses ekskresi & konversi solute &air ↓

Sedikit perubahan pada diit mengakibatkan keseimbangan terganggu

Hilangnya kemampuan memekatkan/mengencerkan kemih

11
BJ 1,010 atau 2,85 mOsml (= konsentrasi plasma)

poliuri, nokturia, nefron tidak dapat lagi mengkompensasi dgn tepat

terhadap kelebihan dan kekurangan Na atau air

Toksik Uremik

Gagal ginjal tahap akhir

↓GFR

Kreatinin ↑           Prod. Met. Prot. Tertimbun         ↑ phosphate serum

Dalam darah                               ↓ kalsium serum

Sekresi parathormon

Tubuh tdk berespon dgn N

Kalsium di tulang ↓

Met.aktif vit D↓

Perub.pa tulang/osteodistrofi ginjal

3. Klasifikasi CKD (Chronic Kidney Disease)

Stage Gambaran kerusakan ginjal GFR (ml/min/1,73 m2)


1 Normal atau elevated GFR ≥ 90
2 Mild decrease in GFR 60-89
3 Moderate decrease in GFR 30-59
4 Severe decrease in GFR 15-29
5 Requires dialysis ≤ 15

5. Tanda Dan Gejala

12
1. Kelainan hemopoesis, dimanifestasikan dengan anemia
1. Retensi toksik uremia → hemolisis sel eritrosit, ulserasi
mukosa sal.cerna, gangguan pembekuan, masa hidup
eritrosit memendek, bilirubuin serum meningkat/normal, uji
comb’s negative dan jumlah retikulosit normal.
2. Defisiensi hormone eritropoetin

Ginjal sumber ESF (Eritropoetic Stimulating Factor) → def. H eritropoetin


→Depresi sumsum tulang → sumsum tulang tidak mampu bereaksi terhadap
proses hemolisis/perdarahan → anemia normokrom normositer.

1. Kelainan Saluran cerna

 Mual, muntah, hicthcup

dikompensasi oleh flora normal usus → ammonia (NH3) → iritasi/rangsang


mukosa lambung dan usus.

 Stomatitis uremia

Mukosa kering, lesi ulserasi luas, karena sekresi cairan saliva banyak
mengandung urea dan kurang menjaga kebersihan mulut.

 Pankreatitis

Berhubungan dengan gangguan ekskresi enzim amylase.

 Kelainan mata

 Kardiovaskuler :
 Hipertensi
 Pitting edema
 Edema periorbital
 Pembesaran vena leher
 Friction Rub Pericardial

Kelainan kulit

 Gatal

Terutama pada klien dgn dialisis rutin karena:

13
a).      Toksik uremia yang kurang terdialisis

b).     Peningkatan kadar kalium phosphor

c).      Alergi bahan-bahan dalam proses HD

Kering bersisik

Karena ureum meningkat menimbulkan penimbunan kristal urea di bawah kulit.

1. Kulit mudah memar


2. Kulit kering dan bersisik
3. rambut tipis dan kasar
4. Neuropsikiatri
5. Kelainan selaput serosa
6. Neurologi :

-              Kelemahan dan keletihan

-              Konfusi

-              Disorientasi

-              Kejang

-              Kelemahan pada tungkai

-              rasa panas pada telapak kaki

-              Perubahan Perilaku

 Kardiomegali.

Tanpa memandang penyebabnya terdapat rangkaian perubahan fungsi ginjal yang


serupa yang disebabkan oleh desstruksi nefron progresif. Rangkaian perubahan
tersebut biasanya menimbulkan efek berikut pada pasien : bila GFR menurun 5-
10% dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien menderita apa
yang disebut SINDROM UREMIK

Terdapat dua kelompok gejala klinis :

 Gangguan fungsi pengaturan dan ekskresi ; kelainan volume cairan dan


elektrolit, ketidakseimbangan asam basa, retensi metabolit nitrogen dan
metabolit lainnya, serta anemia akibat defisiensi sekresi ginjal.

14
 Gangguan kelainan CV, neuromuscular, saluran cerna dan kelainan
lainnya

MANIFESTASI SINDROM UREMIK


Sistem tubuh Manifestasi
Biokimia  Asidosis Metabolik (HCO3 serum 18-20 mEq/L)
 Azotemia (penurunan GFR, peningkatan BUN,
kreatinin)
 Hiperkalemia
 Retensi atau pembuangan Natrium
 Hipermagnesia
 Hiperurisemia
Perkemihan& Kelamin  Poliuria, menuju oliguri lalu anuria
 Nokturia, pembalikan irama diurnal
 Berat jenis kemih tetap sebesar 1,010
 Protein silinder
 Hilangnya libido, amenore, impotensi dan sterilitas
Kardiovaskular  Hipertensi
 Retinopati dan enselopati hipertensif
 Beban sirkulasi berlebihan
 Edema
 Gagal jantung kongestif
 Perikarditis (friction rub)
 Disritmia
Pernafasan  Pernafasan Kusmaul, dispnea
 Edema paru
 Pneumonitis
Hematologik  Anemia menyebabkan kelelahan
 Hemolisis
 Kecenderungan perdarahan
 Menurunnya resistensi terhadap infeksi (ISK,
pneumonia,septikemia)
Kulit  Pucat, pigmentasi
 Perubahan rambut dan kuku (kuku mudah patah, tipis,
bergerigi, ada garis merah biru yang berkaitan dengan
kehilangan protein)
 Pruritus
 “kristal” uremik
 kulit kering
 memar

15
Saluran cerna  Anoreksia, mual muntah menyebabkan penurunan BB
 Nafas berbau amoniak
 Rasa kecap logam, mulut kering
 Stomatitis, parotitid
 Gastritis, enteritis
 Perdarahan saluran cerna
 Diare
Metabolisme intermedier  Protein-intoleransi, sintesisi abnormal
 Karbohidrat-hiperglikemia, kebutuhan insulin menurun
 Lemak-peninggian kadar trigliserida
Neuromuskular  Mudah lelah
 Otot mengecil dan lemah
 Susunan saraf pusat :
 Penurunan ketajaman mental
 Konsentrasi buruk
 Apati
 Letargi/gelisah, insomnia
 Kekacauan mental
 Koma
 Otot berkedut, asteriksis, kejang
 Neuropati perifer :
 Konduksi saraf lambat, sindrom restless leg
 Perubahan sensorik pada ekstremitas – parestesi
 Perubahan motorik – foot drop yang berlanjut menjadi
paraplegi
Gangguan kalsium dan  Hiperfosfatemia, hipokalsemia
rangka  Hiperparatiroidisme sekunder
 Osteodistropi ginjal
 Fraktur patologik (demineralisasi tulang)
 Deposit garam kalsium pada jaringan lunak (sekitar
sendi, pembuluh darah, jantung, paru-paru)
 Konjungtivitis (uremik mata merah)

6. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
 Pemeriksaan penurunan fungsi ginjal
-         Ureum kreatinin.
-         Asam urat serum.

1. Identifikasi etiologi gagal ginjal

16
-         Analisis urin rutin
-         Mikrobiologi urin
-         Kimia darah
-         Elektrolit
-         Imunodiagnosis
1. Identifikasi perjalanan penyakit
-         Progresifitas penurunan fungsi ginjal
-         Ureum kreatinin, klearens kreatinin test
GFR / LFG dapat dihitung dengan formula Cockcroft-Gault:
Laki-laki :
(140 – umur ) X BB (kg)
CCT =
72 x kreatinin serum ( mg/dL )
Wanita : 0,85 x CCT
Perhitungan terbaik LFG adalah dengan menentukan bersihan kreatinin yaitu :
Kreatinin urin (mg/dL)xVol.urin (mL/24 jam)
Bersihan kreatinin :
Kreatinin serum ( mg/dL ) x 1440 menit
Nilai normal :
Laki-laki : 97 – 137 mL/menit/1,73 m3 atau
0,93 – 1,32 mL/detik/m2
Wanita    : 88-128 mL/menit/1,73 m3 atau
0,85 – 1,23 mL/detik/m2
-         Hemopoesis   : Hb, trobosit, fibrinogen, factor pembekuan

-         Elektrolit        : Na+, K+, HCO3-, Ca2+, PO42-, Mg+

-         Endokrin        :  PTH dan T3,T4

-         Pemeriksaan lain: berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk   ginjal,


misalnya: infark miokard.

1. Diagnostik
 Etiologi CKD dan terminal
-         Foto polos abdomen.
-         USG.
-         Nefrotogram.
-         Pielografi retrograde.
-         Pielografi antegrade.
-         Mictuating Cysto Urography (MCU).
 Diagnosis pemburuk fungsi ginjal

17
-         RetRogram
-         USG.

7. Managemen Terapi

1. Terapi Konservatif

Perubahan fungsi ginjal bersifat individu untuk setiap klien Cronic renal Desease (
CKD ) dan lama terapi konservatif bervariasi dari bulan sampai tahun.
Tujuan terapi konservatif :
1)     Mencegah memburuknya fungsi ginjal secara profresi.
2)     Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksi asotemia.
3)     Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal.
4)     Memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.

Alur manajemen terapi pada klien Cronic Kidney Desease (CKD) dan terminal 
sebagai berikut;
CKD
Terapi konservatif
Penyakit ginjal terminal
meninggal                 Dialisis                HD di RS, Rumah, CAPD
gagal
Transplantasi ginjal                              berhasil
Prinsip terapi konservatif :
1)      Mencegah memburuknya  fungsi ginjal.
a)      Hati-hati dalam pemberian obat yang bersifat nefrotoksik.
b)     Hindari keadaan yang menyebabkan diplesi volume cairan ekstraseluler dan
hipotensi.
c)      Hindari gangguan keseimbangan elektrolit.
d)     Hindari pembatasan ketat konsumsi protein hewani.
e)      Hindari proses kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi.
f)      Hindari instrumentasi dan sistoskopi tanpa indikasi medis yang kuat.
g)      Hindari pemeriksaan radiologis dengan kontras yang kuat tanpa indikasi
medis yang kuat.
2)      Pendekatan terhadap penurunan fungsi ginjal progresif lambat
a)      Kendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular.
b)     Kendalikan terapi ISK.
c)      Diet protein yang proporsional.
d)     Kendalikan hiperfosfatemia.
e)      Terapi hiperurekemia bila asam urat serum > 10mg%.
f)      Terapi hIperfosfatemia.
g)      Terapi keadaan asidosis metabolik.

18
h)     Kendalikan keadaan hiperglikemia.
3)      Terapi alleviative gejala asotemia
a)      Pembatasan konsumsi protein hewani.
b)     Terapi keluhan gatal-gatal.
c)      Terapi keluhan gastrointestinal.
d)     Terapi keluhan neuromuskuler.
e)      Terapi keluhan tulang dan sendi.
f)      Terapi anemia.
g)      Terapi setiap infeksi.
1. Terapi simtomatik
1)      Asidosis metabolik
Jika terjadi harus segera dikoreksi, sebab dapat meningkatkan serum K +
( hiperkalemia ) :
a)      Suplemen alkali dengan pemberian kalsium karbonat 5 mg/hari.
b)      Terapi alkali dengan sodium bikarbonat IV, bila PH < atau sama dengan
7,35 atau serum bikarbonat < atau sama dengan 20 mEq/L.
2)      Anemia
a)      Anemia Normokrom normositer

Berhubungan dengan retensi toksin polyamine dan defisiensi hormon eritropoetin


( ESF : Eritroportic Stimulating Faktor ). Anemia ini diterapi dengan pemberian
Recombinant Human Erythropoetin ( r-HuEPO ) dengan pemberian30-530 U per
kg BB.

b)      Anemia hemolisis

Berhubungan dengan toksin asotemia. Terapi yang dibutuhkan adalah membuang


toksin asotemia dengan hemodialisis atau peritoneal dialisis.

c)      Anemia Defisiensi Besi

Defisiensi Fe pada CKD berhubungan dengan perdarahan saluran cerna dan


kehilangan besi pada dialiser ( terapi pengganti hemodialisis ). Klien yang
mengalami anemia, tranfusi darah merupakan salah satu pilihan terapi
alternatif ,murah dan efektif, namun harus diberikan secara hati-hati.

Indikasi tranfusi PRC pada klien gagal ginjal :

 HCT < atau sama dengan 20 %


 Hb  < atau sama dengan 7 mg5
 Klien dengan keluhan : angina pektoris, gejala umum anemia    dan high
output heart failure.

19
Komplikasi tranfusi darah :

 Hemosiderosis
 Supresi sumsum tulang
 Bahaya overhidrasi, asidosis dan hiperkalemia
 Bahaya infeksi hepatitis virus dan CMV
 Pada Human Leukosite antigen (HLA) berubah, penting untuk rencana
transplantasi ginjal.

3)      Kelainan Kulit

a)      Pruritus (uremic itching)

Keluhan gatal ditemukan pada 25% kasus CKD dan terminal, insiden meningkat
pada klien yang mengalami HD.

Keluhan :

 Bersifat subyektif
 Bersifat obyektif : kulit kering, prurigo nodularis, keratotic papula dan
lichen symply

Beberapa pilihan terapi :

 Mengendalikan hiperfosfatemia dan hiperparatiroidisme


 Terapi lokal : topikal emmolient ( tripel lanolin )
 Fototerapi dengan sinar UV-B 2x perminggu selama 2-6 mg, terapi ini bisa
diulang apabila diperlukan
 Pemberian obat

Diphenhidramine 25-50 P.O

Hidroxyzine 10 mg P.O

b)      Easy Bruishing

Kecenderungan perdarahan pada kulit dan selaput serosa berhubungan denga


retensi toksin asotemia dan gangguan fungsi trombosit. Terapi yang diperlukan
adalah tindakan dialisis.

20
4)      Kelainan Neuromuskular
Terapi pilihannya :
a)      HD reguler.
b)      Obat-obatan : Diasepam, sedatif.
c)      Operasi sub total paratiroidektomi.

5)      Hipertensi
Bentuk hipertensi pada klien dengan GG berupa : volum dependen hipertensi, tipe
vasokonstriksi atau kombinasi keduanya. Program terapinya meliputi :
1).     Restriksi garam dapur.
2).     Diuresis dan Ultrafiltrasi.
3).     Obat-obat antihipertensi.

1. Terapi pengganti

Adalah terapi yang menggantikan fungsi ginjal yang telah mengalami kegagalan
fungsi ginjal baik kronik maupun terminal. Pada masa sekarang ini ada dua jenis
terapi :
1)      Dialisis yang meliputi :
a)      Hemodialisa
b)      Peritoneal dialisis, yang terkenal dengan Continous Ambulatory Peritoneal
Dialisis ( CAPD ) atau Dialisis Peritoneal Mandiri Berkesinambungan
( DPMB ).
2)      Transplantasi ginjal atau cangkok ginjal.

8. Komplikasi

1. Hipertensi.
2. Hiperkalemia.
3. Anemia.
4. Asidosis metabolik.
5. Osteodistropi ginjal.
6. Sepsis.
7. Neuropati perifer.
8. Hiperuremia.

21
BAB III
HEMODIALISIS

2. Latar Belakang

Hemodialisis atau hemodialisa (haemodialysis) adalah suatu metode yang


diperuntukkan bagi para penderita gagal ginjal yang berfungsi untuk membuang
produk sisa metabolisme seperti potasium dan urea dari darah. Sisa metabolisme
yang tidak dibuang dan menumpuk dalam darah akan menjadi racun bagi tubuh.
Pada penderita gagal ginjal, ginjal mereka sudah tidak dapat membersihkan darah
dari sisa metabolisme. Sehingga dibutuhkan terapi pengganti ginjal untuk
menggantikan fungsi ginjal. Saat ini hemodialisis merupakan terapi pengganti
ginjal yang paling banyak dilakukan.
Tahapan gagal ginjal kronik dibagi beberapa cara, salah satunya dengan
memperhatikan faal ginjal yang masih tersisa. Bila faal ginjal yang masih tersisa
sudah minimal sehingga usaha-usaha pengobatan konservatif yang berupa diet,
pembatasan minum, obat-obatan, dan lain-lain tidak memberi pertolongan yang
diharapkan lagi, keadaan tersebut diberi nama gagal ginjal terminal (GGT). Pada
stadium ini terdapat akumulasi toksin uremia dalam darah yang dapat
membahayakan kelangsungan hidup pasien. Pada umumnya faal ginjal yang
masih tersisa, yang diukur dengan klirens kreatinin (KKr), tidak lebih dari 5
mL/menit/1,73 m2. Pasien GGT, apa pun etiologi penyakit ginjalnya, memerlukan
pengobatan khusus yang disebut pengobatan atau terapi pengganti (TP).
Peralatan untuk terapi hemodialisis terdiri dari dializer, water treatment,
larutan dialisat (konsentrat) serta mesin hemodialisis dengan sistem monitor.
Berikut bagan pada proses hemodialisa :

22
Gambar 1. Alur hemodialisis

Prinsip-prinsip dasar yang digunakan saat proses hemodialisis ada 2, yaitu


dialisis dan ultrafiltrasi (konveksi). Dialisis adalah suatu proses dimana komposisi
zat terlarut dari satu larutan diubah menjadi larutan lain melalui membran
semipermiabel. Molekul-molekul air dan zat-zat terlarut dengan berat molekul
rendah dalam kedua larutan dapat melewati poripori membran dan bercampur
sementara molekul zat terlarut yang lebih besar tidak dapat melewati barier
membran semipermiabel. Proses penggeseran (eliminasi) zat-zat terlarut (toksin
uremia) dan air melalui membran semipermiabel atau dializer berhubungan
dengan prose difusi dan ultrafiltrasi (konveksi).
 Proses difusi
Proses difusi adalah proses pergerakan spontan dan pasif zat terlarut.
Molekul zat terlarut dari kompartemen darah akan berpindah kedalam
kompartemen dialisat setiap saat bila molekul zat terlarut dapat melewati
membran semipermiabel demikian juga sebaliknya. Kecepatan proses difusi zat
terlarut tergantung kepada koefisien difusi, luas permukaan membran dializer dan
perbedaan konsentrasi.

 Proses ultrafiltrasi
Proses ultrafiltrasi adalah proses pergeseran zat terlarut dan pelarut secara
simultan dari kompartemen darah kedalam kompartemen dialisat melalui

23
membran semipermiabel. Proses ultrafiltrasi ini terdiri dari ultrafiltrasi hidrostatik
dan osmotik.
a. Ultrafiltrasi hidrostatik
1. Transmembrane pressure (TMP)
TMP adalah perbedaan tekanan antara kompartemen darah dan
kompartemen dialisat melalui membran. Air dan zat terlarut didalamnya
berpindah dari darah ke dialisat melalui membran semipermiabel adalah
akibat perbedaan tekanan hidrostatik antara kompertemen darah dan
kompartemen dialisat. Kecepatan ultrafiltrasi tergantung pada
perbedaan tekanan yang melewati membran.
2. Koefisien ultrafiltrasi (KUf)
Besarnya permeabilitas membran dializer terhadap air bervariasi
tergantung besarnya pori dan ukuran membran. KUf adalah jumlah
cairan (ml/jam) yang berpindah melewati membran per mmHg
perbedaan tekanan
(pressure gradient) atau perbedaan TMP yang melewati membran.
b. Ultrafiltrasi osmotik
Dimisalkan ada 2 larutan “A” dan “B” dipisahkan oleh membran
semipermiabel, bila larutan “B” mengandung lebih banyak jumlah partikel
dibanding “A” maka konsentrasi air dilarutan “B” lebih kecil dibanding
konsentrasi larutan “A”. Dengan demikian air akan berpindah dari “A” ke
“B” melalui membran dan sekaligus akan membawa zat -zat terlarut
didalamnya yang berukuran kecil dan permiabel terhadap membran,
akhirnya konsentrasi zat terlarut pada kedua bagian menjadi sama.

1.2 Peralatan Pada Mesin Hemodialisis


1.2.1 Dializer
Dializer adalah tempat dimana proses HD berlangsung sehingga
terjadi pertukaran zat-zat dan cairan dalam darah dan dialisat. Material
membran dializer dapat terbuat dari Sellulose, Sellulose yang disubstitusi,
Cellulosynthetic dan Synthetic. Spesifikasi dializer dinyatakan dengan
Koefisient ultrafiltrasi (Kuf) disebut juga permeabilitas air. Kuf adalah
jumlah cairan (ml/jam) yang berpindah melewati membran per mmHg
perbedaan tekanan (pressure gradient) atau perbedaan TMP yang
melewati membran. Besarnya permeabilitas membran dializer terhadap air
bervariasi, tergantung besarnya pori dan ukuran membran.
KoA dializer merupakan koefisien luas permukaan. Transfer adalah
kemampuan penjernihan dalam ml/menit dari urea pada kecepatan aliran
darah dan kecepatan aliran dialisat tertentu. KoA ekuivalen dengan luas
permukaan membran, makin luas permukaan membran semakin tinggi
klearensi urea.

24
Dializer ada yang memiliki high efficiency atau high flux. Dializer
high efificiency adalah dializer yang mempunyai luas permukaan membran
yang besar. Dializer high flux adalah dializer yang mempunyai pori-pori
besar yang dapat melewatkan molekul yang lebih besar, dan mempunyai
permeabilitas tinggi terhadap air.
Ada 3 tipe dializer yang steril dan bersifat disposibel yaitu bentuk
hollow-fiber (capillary) dialyzer, parallel flat dialyzer dan coil dialyzer.
Setiap dializer mempunyai karakteristik masing-masing untuk menjamin
efektifitas proses eliminasi dan menjaga keselamatan penderita. Yang
banyak beredar dipasaran adalah bentuk hollow-fiber dengan membran
selulosa.

Gambar 2. Skema Proses Hemodialisis


1.2.2 Water treatment
Air yang dipergunakan untuk persiapan larutan dialisat haruslah air
yang telah mengalami pengolahan. Air keran tidak boleh digunakan
langsung untuk persiapan larutan dialisat, karena masih banyak
mengandung zat organik dan mineral. Air kran ini akan diolah oleh water
treatment sistem bertahap. Berikut gambar sistematika water treatment:
 Feed Water System
 Intake Pump
 Sand Filter
 Carbon Filter
 Ion-exchange system
 Micron-Filters
 Purifier
 Ultra Violet Sterilizer
 Ultra Micron filtration
 Water Pumps
 Circulation System

25
Gambar 3. Water Treatment

1.2.3 Larutan dialisat


a. Dialisat asetat
Dialisat asetat telah dipakai secara luas sebagai dialisat standar
untuk mengoreksi asidosis uremikum dan untuk mengimbangi
kehilangan bikarbonat secara difusi selama proses hemodialisis. Dialisat
asetat tersedia dalam bentuk konsentrat yang cair dan relatif
stabil.Dibandingkan dengan dialisat bikarbonat, maka dialisat asetat
harganya lebih murah tetapi efek sampingnya lebih banyak. Efek
samping yang sering muncul seperti mual, muntah, kepala sakit, otot
kejang, hipotensi, gangguan hemodinamik, hipoksemia, koreksi asidosis
menjadi terganggu, intoleransi glukosa, meningkatkan pelepasan sitokin.
Adapun komposisi dialisat asetat dan bikarbonat adalah sebagai berikut
(tabel : 1 )
Dialisat asetat Dialisat bikarbonat (mEq/l)
Komponen
(mEq/l) Lar. asam Lar. bikarbonat Lar. final
Natrium 143 80 60 140,0
Kalium 2,0 2,0 - 2,0
Kalsium 1,75 1,75 - 1,75
Magnesium 0,75 0,75 - 0,75
Klorida 112 87 25 117,0
Bikarbonat - - 35 31,0
Asetat 38 - - 4,0
Asam asetat - 4 - -
Glukosa - 8,33 - 8,33

b. Dialisat Bikarbonat

26
Dialisat bikarbonat terdiri dari 2 komponen konsentrat yaitu larutan
asam dan larutan bikarbonat. Kalsium dan magnesium tidak termasuk
dalam konsentrat bikarbonat karena konsentrasi yang tinggi dari
kalsium, magnesium dan bikarbonat dapat membentuk kalsium dan
magnesium karbonat. Larutan bikarbonat sangat mudah terkontaminasi
mikroba karena konsentratnya merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri. Kontaminasi ini dapat diminimalisir dengan
waktu penyimpanan yang singkat. Konsentrasi bikarbonat yang tinggi
dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia dan alkalosis metabolik
yang akut. Namun dialisat bikarbonat bersifat lebih fisiologis walaupun
relatif tidak stabil. Biaya untuk sekali hemodialisis bila menggunakan
dialisat bikarbonat relatif lebih mahal dibandingkan dengan dialisat
asetat.
1.2.4 Mesin hemodialisis
Mesin hemodialisis terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan
larutan dialisat dan sistem monitor. Pompa darah berfungsi untuk
mengalirkan darah dari tempat tusukan vaskuler kepada dializer.
Kecepatannya antara 200-300 ml per menit. Untuk pengendalian
ultrafiltrasi diperlukan tekanan negatif. Lokasi pompa darah biasanya
terletak antara monitor tekanan arteri dan monitor larutan dialisat. Larutan
dialisat harus dipanaskan antara 34-390 C sebelum dialirkan kepada
dializer, karena suhu larutan dialisat yang terlalu rendah ataupun melebihi
suhu tubuh dapat menimbulkan komplikasi. Sistem monitoring setiap
mesin hemodilisis sangat penting untuk menjamin efektifitas proses
dialisis dan keselamatan penderita.

Gambar 4. Mesin Hemodialisis

1.2.5 Tusukan Vaskuler

27
Tusukan vaskuler (blood access) merupakan salah satu aspek
teknik untuk program HD akut maupun kronik. Tusukan vaskuler
merupakan tempat keluarnya darah dari tubuh penderita menuju dializer
dan selanjutnya kembali lagi ketubuh penderita. Ada 2 tipe tusukan
vaskuler yaitu tusukan vaskuler sementara dan permanen.

BAB IV
INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI HEMODIALISIS

28
Indikasi

Pasien yang memerlukan hemodialisis adalah pasien GGK dan GGA untuk
sementara sampai fungsi ginjalnya pulih. Pasien-pasien tersebut dinyatakan
memerlukan hemodialisa apabila terdapat indikasi :

1. Hiperkalemia ( K > 6 mEq/l)


2. Asidosis
3. kegagalan terapi konservatif
4. Kadar ureum/kreatinin tinggi dalam darah
5. Kelebihan cairan.
6. Perikarditis dan konfusi yang berat.
7. Hiperkalsemia dan hipertensi.

Indikator biokimiawi yang memerlukan tindakan hemodialisa


-          Peningkatan BUN > 20-30 mg%/hari
-          Serum kreatinin > 2 mg%/hari
-          Hiperkalemia
-          Overload cairan yang parah
-          Odem pulmo akut yang tidak berespon dengan terapi medis
 
Pada CRF:

1. BUN > 200 mg%


2. Creatinin > 8 mg%
3. Hiperkalemia
4. Asidosis metabolik yang parah
5. Uremic encepalopati
6. Overload cairan
7. Hb: < 8 gr% – 9 gr% siap-siap tranfusi

Kontraindikasi

Menurut Thiser dan Wilcox (1997) kontra indikasi dari hemodialisa adalah


hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium terminal, dan
sindrom otak organik. Sedangkan menurut PERNEFRI (2003) kontra indikasi
dari hemodialisa adalah tidak mungkin didapatkan akses vaskuler
pada hemodialisa, akses vaskuler sulit, instabilitas hemodinamik dan koagulasi.
Kontra indikasi hemodialisa yang lain diantaranya adalah penyakit alzheimer,
demensia multi infark, sindrom hepatorenal, sirosis hati lanjut dengan ensefalopati
dan keganasan lanjut (PERNEFRI, 2003).

29
BAB V
TUJUAN HEMODIALISIS

30
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari dilakukan hemodialisa antara lain
1) Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-
sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa
metabolisme yang lain.
2) Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
3) Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi
ginjal.
4) Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang
lain.
 

BAB VI
KOMPLIKASI HEMODIALISIS

31
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama
tindakanhemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain :
1. Kramotot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya
hemodialisa sampai mendeteksi waktu berakhirnya hemodialisa. Kram
otot seringkali terjadi pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat
dengan volume yang tinggi.

2. Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat,
rendahnya dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati
otonomik dan kelebihan tambahan berat cairan.

3. Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa,
penurunan kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat
berpengaruh terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.

4. Sindrom ketidakseimbangan dialisa


Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat
diakibatkan dari osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang
cepat dibandingkan dari darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik
diantara kompartemen-kompartemen ini. Gradien osmotik ini
menyebabkan perpindahan air ke dalam otak yang menyebabkan oedem
serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya terjadi pada pasien yang
menjalani hemodialisa pertama dengan azotemia berat.

5. Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu
dimonitor pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.

6. Pendarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat
dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin
selama hemodialisa juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.

7. Gangguanpencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang
disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai
dengan sakit kepala.

32
8. Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang
tidak adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.

BAB VII
PROSEDUR HEMODIALISIS

33
Setelah pengkajian pradialisis, mengembangkan tujuan dan memeriksa keamanan
peralatan, perawat sudah siap untuk memulai hemodialisis. Akses ke system
sirkulasi dicapai melalui salah satu dari beberapa pilihan: fistula atau tandur
arteriovenosa (AV) atau kateter hemodialisis dua lumen. Dua jarum berlubang
besar (diameter 15 atau 16) dibutuhkan untuk mengkanulasi fistula atau tandur
AV. Kateter dua lumen yang dipasang baik pada vena subklavikula, jugularis
interna, atau femoralis, harus dibuka dalam kondisi aseptic sesuai dengan
kebijakan institusi.

 
Jika akses vaskuler telah ditetapkan, darah mulai mengalir, dibantu oleh pompa
darah. Bagian dari sirkuit disposibel sebelum dialiser diperuntukkan sebagai aliran
“arterial”, keduanya untuk membedakan darah yang masuk ke dalamnya sebagai
darah yang belum mencapai dialiser dan dalam acuan untuk meletakkan jarum:
jarum “arterial” diletakkan paling dekat dengan anastomosis AV pada vistula atau
tandur untuk memaksimalkan aliran darah. Kantong cairan normal salin yang di
klep selalu disambungkan ke sirkuit tepat sebelum pompa darah. Pada kejadian
hipotensi, darah yang  mengalir dari pasien dapat diklem sementara cairan normal
salin yang diklem dibuka dan memungkinkan dengan cepat menginfus  untuk
memperbaiki tekanan darah. Tranfusi darah dan plasma ekspander juga dapat
disambungkan ke sirkuit  pada keadaan ini dan dibiarkan untuk menetes, dibantu
dengan pompa darah. Infus heparin dapat diletakkan baik sebelum atau sesudah
pompa darah, tergantung peralatan yang digunakan.
Dialiser adalah komponen penting selanjutnya dari sirkuit. Darah mengalir ke
dalam kompartemen darah dari dialiser, tempat terjadinya pertukaran cairan dan
zat sisa. Darah yang meninggalkan dialiser melewati detector udara dan foam
yang mengklem dan menghentikan pompa darah bila terdeteksi adanya udara.
Pada kondisi seperti ini, setiap obat-obat yang akan diberikan pada dialysis
diberikan melalui port obat-obatan. Penting untuk diingat, bagaimanapun bahwa

34
kebanyakan obat-obatan ditunda pemberiannya sampai dialysis selesai kecuali
memang diperintahkan.
Darah yang telah melewati dialysis kembali ke pasien melalui “venosa” atau
selang postdialiser. Setelah waktu tindakan yang diresepkan, dialysis diakhiri
dengan mengklem darah dari pasien, membuka selang aliran normal salin, dan
membilas sirkuit untuk mengembalikan darah pasien. Selang dan dialiser dibuang
kedalam perangkat akut, meskipun program dialisis kronik sering membeli
peralatan untuk membersihkan dan menggunakan ulang dialiser.

Tindakan kewaspadaan umum harus diikuti dengan teliti sepanjang tindakan


dialysis karena pemajanan terhadap darah. Masker pelindung wajah dan sarung
tangan wajib untuk digunakan oleh perawat yang melakukan hemodialisis.

BAB VIII
TATA LAKSANA HEMODIALISA

35
A. Perawatan sebelum hemodialisa

1. Sambungkan selang air dari mesin hemodialisa.


2. Kran air dibuka.
3. Pastikan selang pembuka air dan mesin hemodialisis sudah masuk keluar
atau saluran pembuangan.
4. Sambungkan kabel mesin hemodialisis ke stop kontak.
5. Hidupkan mesin.
6. Pastikan mesin pada posisi rinse selama 20 menit.
7. Matikan mesin hemodialisis.
8. Masukkan selang dialisat ke dalam jaringan dialisat pekat.
9. Sambungkan slang dialisat dengan konektor yang ada pada mesin
hemodialisis.
10. Hidupkan mesin dengan posisi normal (siap).

B. Menyiapkan sirkulasi darah.

1. Bukalah alat-alat dialisat dari setnya.


2. Tempatkan dialiser pada holder (tempatnya) dan posisi ‘inset’ (tanda
merah) diatas dan posisi ‘outset’ (tanda biru) dibawah.
3. Hubungkan ujung merah dari ABL dengan ujung ‘inset’ dari dialiser.
4. Hubungkan ujung biru dari UBL dengan ujung ‘outset’ adri dialiser dan
tempatkan buble tap di holder dengan posisi tengah.
5. Set infuse ke botol NaCl 0,9%-500 cc.
6. Hubungkan set infuse ke slang arteri.
7. Bukalah klem NaCl 0,9%. Isi slang arteri sampai keujung selang lalu
klem.
8. Memutarkan letak dialiser dengan posisi ‘inset’ dibawah dan ‘ouset’
diatas, tujuannya agar dialiser bebas dari udara.
9. Tutup klem dari slang untuk tekanan arteri, vena, heparin.
10. Buka klem dari infuse set ABL, UBL.
11. Jalankan pompa darah dengan kecepatan mula-mula 100 ml/mnt,
kemudian naikkan secara bertahap sampai 200 ml/mnt.
12. Isi buble tap dengan NaCl 0,9% sampai 3/4 cairan.
13. Memberikan tekanan secara intermitten pada UBL untuk mengalirkan
udara dari dalam dialiser, dilakukan sampai dengan dialiser bebas udara
(tekanan tidak lebih dari 200 mmHg).
14. Melakukan pembilasan dan pencucian dengan NaCl 0,9% sebanyak 500 cc
yang terdapat pada botol (kalf). Sisanya ditampung pada gelas ukur.
15. Ganti kalf NaCl 0,9% yang kosong dengan kalf NaCl 0,9% baru.
16. Sambungkan ujung biru UBL dengan ujung merah ABL dengan
menggunakan konektor.

36
17. Menghidupkan pompa darah selama 10 menit. Untuk dialiser baru 15-20
menit, untuk dialiser reuse dengan aliran 200-250 ml/mnt.
18. Mengembalikan posisi dialiser ke posisi semula dimana ‘inset’ diatas dan
‘outset’ dibawah.
19. Menghubungkan sirkulasi darah dengan sirkulasi dialisat selama 5-10
menit siap untuk dihubungkan dengan pasien (soaking).

C. Persiapan pasien.

1. Menimbang BB
2. Mengatur posisi pasien.
3. Observasi KU
4. Observasi TTV
5. Melakukan kamulasi/fungsi untuk menghubungkan sirkulasi, biasanya
mempergunakan salah satu jalan darah/blood akses seperti dibawah ini:

 Dengan interval A-V Shunt/fistula simino


 Dengan eksternal A-V Shunt/schungula.
 Tanpa 1-2 (vena pulmonalis).

BAB IX
PROSES KEPERAWATAN

37
Pengkajian

Pengkajian Pre HD

 Riwayat penyakit, tahap penyakit


 Usia
 Keseimbangan cairan, elektrolit
 Nilai laboratorium: Hb, ureum, creatinin, PH
 Keluhan subyektif: sesak nafas, pusing, palpitasi
 Respon terhadap dialysis sebelumnya.
 Status emosional
 Pemeriksaan fisik: BB, suara nafas, edema, TTV, JVP
 Sirkuit pembuluh darah.
Pengkajian Post HD

 Tekanan darah: hipotensi


 Keluhan: pusing, palpitasi
 Komplikasi HD: kejang, mual, muntah, dsb
 
I. Diagnosa Keperawatan yang muncul pada klien yang menjalani
hemodialisa
Pre HD
1. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang familier dengan sumber
informasi.
2. Cemas b.d krisis situasional
Intra HD
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kelemahan proses
pengaturan.
2. Ketidakberdayaan berhubungan dengan perasaan kurang kontrol,
ketergantungan pada dialysis, sifat kronis penyakit
3. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive
Post HD
1. Resiko cedera berhubungan dengan akses vaskuler dan komplikasi
sekunder terhadap penusukan
2. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan dirumah

BAB X
ADEKUASI HEMODIALISIS

38
Keberhasilan hemodialisis berhubungan dengan adekuatnya suatu tindakan
hemodialisis disebut adekuasi hemodialisis. Banyak parameter yang berpengaruh
dalam hal ini. Menurut The Renal Physicians Associations (RPA) di tahun 1993
membuat acuan parameter sebagai berikut :
 Umur lebih dari 18 tahun.
 Hemodialisis dilakukan 3 kali per minggu selama 3 hingga 4 jam
 Residual fungsi tidak diperhitungkan
 Kt/v diukur tiap bulan minimal 1,2; Urea Reduction Ratio (URR)
lebih dari 65%
 Perlu persamaan pengambilan sampel darah
 Pemberian dosis saat hemodialisis
 Dializer re-use
 Kenyamanan / kepatuhan pasien
Sedangkan menurut National Kidney Foundation-Dialisys Outcomes
Quality Initiative (NKF – DOQI) pada tahun 1995, membuat tujuan hemodialisis
untuk :
 Kepentingan klinik
 Perbaikan pelayanan
 Hasil yang lebih baik
Secara klinis hemodialisis reguler dikatakan adekuat jika keadaan umum
dan nutrisi penderita dalam keadaan baik, tidak ada menifestasi uremi serta
diupayakan rehabilitasi penderita kembali pada aktivitas seperti sebelum
menjalani hemodialisis. Adapun kriteria klinis adekuasi hemodialisis adalah
sebagai berikut:
1. Keadaan umum dan nutrisi yang baik
2. Tekanan darah normal.
3. Tidak ada gejala akibat anemia.
4. Tercapai keseimbangan air, elektrolit dan asam basa.
5. Metabolisme Ca, dan P terkendali serta tidak terjadi osteodistrofi renal.
6. Tidak didapatkan komplikasi akibat uremia.
7. Tercapai rehabilitasi pribadi, keluarga dan profesi.
8. Kualitas hidup yang memadai.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi adekuasi hemodialisis adalah :
 Aliran larutan dengan molekul besar dengan High Flux
 Membran biocompatibility
 Inisiasi HD
 Dosis HD / Nutrisi
 Pemeriksaan Kt/v; URR rutin (minimal setiap bulan)
 Kualitas hidup
Adekuasi hemodialisis diukur dengan menghitung Urea Reduction Ratio
(URR) dan (Kt/V). Kt/V urea digunakan untuk merencanakan peresepan

39
hemodialisis serta menilai adekuasi hemodialisis, sedangkan Urea reduction ratio
(URR) atau Rasio Reduksi Urea (RRU) merupakan pedoman yang sederhana dan
praktis untuk menilai adekuasi hemodialisis. 
National Cooperative Dialysis Study (NCDS), merupakan penelitian
prospektif skala luas pertama yang menilai adekuasi hemodialisis. Dalam
penelitian ini disimpulkan bahwa urea merupakan pertanda yang memadai untuk
penilaian adekuasi hemodialisis, dan tingkat kebersihan urea dapat dipakai untuk
prediksi keluaran (outcome) dari penderita. Lowrie dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa blood urea-nitrogen (BUN) yang tinggi menyebabkan
meningkatnya morbiditas.

1. Menghitung Adekuasi Hemodialisis


1.1 Rumus Logaritma Natural Kt/V
RRU dihitung dengan mencari rasio hasil pengurangan kadar urea
predialisis dibagi kadar urea pasca dialisis. RRU adalah prosentase dari urea yang
dapat dibersihkan dalam sekali tindakan hemodialisis. RRU merupakan cara
paling sederhana dan praktis untuk menilai adekuasi hemodialisis, tetapi tidak
dapat dipakai untuk merencanakan dosis hemodialisis.
Kt pada Kt/V urea adalah jumlah bersihan urea dari plasma per satuan
waktu dan V merupakan volume distribusi dari urea dalam satuan liter. K adalah
klearensi dalam satuan L/menit, diperhitungkan dari KoA dializer serta kecepatan
aliran darah dan kecepatan aliran dialisat, t adalah waktu tindakan hemodialisis
dalam satuan menit. Kt/V akan bernilai lebih dari 1,2 saat evaluasi menandakan
bahwa sudah mencukup syarat normal. Kt/V menjadi metode pilihan untuk
mengukur dosis dialisis yang diberikan karena lebih akurat menunjukkan
penghilangan urea, bisa dipakai untuk mengkaji status nutrisi pasien dengan
memungkinkan perhitungan angka katabolisme protein yang dinormalisir, dan
bisa dipakai untuk peresepan dialisis untuk penderita yang memiliki fungsi renal
residual.5,20. Dalam menggunakan rumus ini diasumsikan bahwa konsep yang
dipakai adalah model single-pool urea kinetik. Cara ini merupakan
penyederhanaan dari perhitungan Model Kinetic Ureum (MKU), dimana Kt
merupakan jumlah bersihan urea dari plasma dan V merupakan volume distribusi
dari urea. K dalam satuan L/menit, diperhitungkan dari KoA dializer serta
kecepatan aliran darah dan kecepatan aliran dialisat, t adalah waktu tindakan HD
dalam satuan me nit, sedangkan V dalam satuan liter. Rumus yang dianjurkan
oleh NKF-DOQI adalah generasi kedua yang dikemukakan oleh Daugirdas.

Kt/V = -Ln (R - 0,008 x t) + (4 - 3,5 x R) x UF/W

40
Dimana :
1. Ln adalah logaritma natural.
2. R adalah BUN setelah dialisis dibagi BUN sebelum dialisis
3. t adalah lama waktu dialisis dalam jam.
4. UF adalah volume ultrafiltrasi dalam liter.
5. W adalah berat pasien setelah dialisis dalam kg.
Penghitungan dilakukan sesuai dengan Rumus Linier Daugirdas yang lebih
sederhana berupa:
Kt/V = 2,2 – 3,3  (R-0,03) - UF/W)
Dimana :
1. R adalah BUN setelah dialisis dibagi BUN sebelum dialisis.
2. UF adalah volume ultrafiltrasi dalam liter.
3. W adalah berat pasien setelah dialisis dalam kilogram.
4. Re-evaluasi dari data NCDS menunjukkan bahwa Kt/V kurang dari 0,8
dihubungkan dengan meningkatnya morbiditas, sedangkan Kt/V1,0-1,2
dihubungkan dengan mortalitas yang rendah. Batasan minimal Kt/V
ialah lebih dari 1,2 untuk penderita yang menjalani hemodialisis 3 kali
seminggu. Sedangkan untuk kelompok penderita diabetes, Collins
menganjurkan menaikkan Kt/V menjadi 1,4. Hemodialisis 2 kali
seminggu hanya dilakukan untuk sementara dan hanya untuk penderita
yang masih mempunyai klirensia > 5 ml/menit.
Rumus-rumus sebelumnya :
- Kt/V = Ln(BUN sebelum HD/BUN sesudah HD) (Gotch,1985)
- Kt/V = 0,04 PRU-1,2 (Jindal,1987)
BUN sebelum HD – BUN sesudahHD
- Kt/V = (Barth, 1988)
BUN mid
- Kt/V = -ln(R-0,008t)- UF/W) (Daugirdas, 1989)
- Kt/V = -ln(R-0,03-UF/W) (Manahan, 1989)
- Kt/V = 0,026PRU-0,46 (Dugirdas, 1990)
- Kt/V = 0,023PRU-0,284 (Basile,1990)
- Kt/V = 0,062PRU-2,97 (Kerr, 1993)
PRU = Percent Reduction Urea = (BUN sebelum HD-BUN sesudah
HD) x 100/BUN sebelum HD

1.2 Rasio Reduksi Urea (RRU).


Cara lain untuk mengukur adekuasi hemodialisis adalah dengan mengukur
RRU. Rumus yang dianjurkan oleh Lowrie adalah sebagai berikut :

RRU (%) = 100 x (1-Ct/Co)


Keterangan : Ct adalah BUN setelah hemodialisis dan Co adalah BUN sebelum
hemodialisis.

41
Cara ini paling sederhana dan paling praktis digunakan untuk pengukuran
AHD. Banyak dipakai untuk kepentingan epidemiologi, dan merupakan prediktor
terbaik untuk mortalitas penderita HD reguler. Kelemahan cara ini karena tidak
memperhitungkan faktor ultrafiltrasi, protein catabolic rate (PCR) dan sisa klirens
yang masih ada. Cara ini juga tidak dapat dipakai untuk merencanakan dosis HD.
NKF-DOQI memakai batasan bahwa HD harus dilakukan dengan RRU > 65%.
Dalam sebuah penelitian dengan menggunakan RRU untuk mengukur dosis
dialisis, telah ditunjukkan bahwa penderita yang menerima RRU ³60% memiliki
mortalitas yang lebih rendah dari yang menerima RRU 50%.

1.3 Cara alternatif untuk menilai AHD.


 Percent Reduction Urea (PRU).
Perhitungan Kt/V dengan menggunakan PRU tidak dianjurkan oleh NKF-
DOQI karena dapat menyebabkan penyimpangan sampai 20%. Jika batasan
kesalahan terhadap MKU yang dapat ditoleransi sampai 5%, maka rumus dari
Jindal hanya akurat untuk Kt/V=0,9-1,1. Sedangkan untuk rumus dari Basile
hanya akurat untuk Kt/V= 0,6 sampai 1,3.
 Total Dialysate Collection.
Pengumpulan dialisat total, sebenarnya cara ini dapat menjadi standar baku
pengukuran HD, akan tetapi pengumpulan dialisat yang mencapai 90-150 liter
tidak praktis.

2. Waktu tindakan HD.


Waktu tindakan HD dapat dipakai sebagai pengukur AHD, independen
dari Kt/V ataupun RRU. Makin lama tindakan HD, klirens dari molekul yang
lebih besar dari urea diperkirakan akan lebih baik. Juga akan terjadi
intravaskuler euvolemia yang lebih baik dimana hal ini akan mengurangi
komplikasi kardiovaskuler. Meskipun data penunjang secara klinis belum
lengkap, lama HD yang dianjurkan minimal adalah 2,5 jam.

3. Urea removal indek (URI).


Adalah indek pembersihan dari urea merupakan cara baru untuk mengukur
AHD, dan masih sangat sedikit pengalaman klinis dalam penggunaannya.
Waktu tindakan hemodialisis dapat dipakai sebagai pengukur analisis
hemodialisis, independen dari Kt/V ataupun RRU. Semakin lama tindakan
hemodialisis, klirens dari molekul yang lebih besar dari ureum diperkirakan
akan lebih baik. Selain itu juga akan mengakibatkan terjadinya intravaskuler
euvolemia yang lebih baik dan dapat mengurangi komplikasi kardiovaskuler.
Hemodialisis dianggap adekuat, jika :
 Morbiditas / mortalitas menurun jangka pendek / panjang
 Pelaksanaan secara rutin
 Kualitas hidup baik

42
 Parameter :
Kt/v: 0,7 – 1,2
URR: 55 – 75% (rata-rata 65%)

Dosis adekuasi hemodialisis adalah sebagai berikut :


1. Setiap pasien diberi catatan program perkembangan dari awal hemodialisis
2. Penentukan Kt/v, dosis HD (Delivery Dose)
3. Target Kt/v 1,2; URR 65% dengan HD 3 kali per minggu selama 4 jam atau
HD 2 kali per minggu selama 4 hingga 5 jam
4. Kt/v URR setiap bulan

Untuk peritoneal dialisis :


1. Nilai Clearance
2. Target Kt/v minimal 1,7 per minggu
3. Target Creatinin Clearance 60 L per minggu pada high average. Sedangkan
pada low average 50 L per minggu

Ketika hemodialisis berlangsung, dilakukan pemantauan sebagai berikut:


1) Pengukuran Kt/v total mingguan Creatinin Clearance tiap 4minggu setelah
dialisis
2) Pengukuran Creatinin Clearance dan Kt/v, residual function harus diulang tiap
2 bulan pada APD dan tiap 4 – 6 bulan pada CAPD, bila :
 Volume urine menurun tajam
 Overload cairan
 Perburukan uremia secara klinis / biokemis.

Mengukur KT/V yang Diberikan


Secara individual semestinya kita harus selalu merencanakan dosis HD yang
akan dilakukan dalam setiap tindakan HD, adapun target minimal yang ditentukan
untuk Kt/V =1,2 atau setara dengan RRU ³65% (NKF- DOQI).
Dalam merencanakan dosis HD sebaiknya diperhitungkan Kt/V 1,3 atau
setara dengan RRU 70%, karena terdapatnya hal-hal yang berpengaruh :
a. Yang dilakukan lebih rendah dari yang direncanakan .
1. Aliran darah sebenarnya lebih lambat dari yang tertera dipanel.
2. Aliran darah dilambatkan karena alasan tertentu.
3. Resirkulasi.
4. Waktu tindakan HD yang sesungguhnya lebih pendek dari yang
direncanakan.
5. KoA dializer lebih rendah dari yang tertera dalam spesifikasi pabrik.
6. V penderita lebih besar dari pada yang tertera dalam normogram.
b. Yang dilakukan lebih tinggi dibanding yang direncanakan.

43
1. Blood urea-nitrogen (BUN) paska-HD lebih rendah karena tidak
tepatnya pengambilan sample seperti resirkulasi kardiopulmonari.
2. V dari penderita lebih kecil dari pada yang tertera dalam normogram.
3. Dializer lebih efisien, waktu tindakan HD lebih panjang.
Pada umumnya kita akan memberikan jumlah dialisis maksimum yang bisa
diterima penderita dalam waktu tertentu. Idealnya memakai dializer dengan nilai
KoA tinggi untuk seluruh penderita, bahkan untuk penderita kecil dan untuk
wanita. Pemakaian dializer KoA tinggi dan penggunaan larutan dialisis bikarbonat
tidak akan mengakibatkan peningkatan efek samping.
Dializer KoA tinggi biasanya relatif lebih mahal. Di beberapa tempat
dimana pemakaian ulang tidak tersedia, dan biaya yang tinggi melemahkan
pemakaian dialyzer ini. Juga dibeberapa tempat yang masih menggunakan larutan
dialisis asetat, pemakaian dializer KoA tinggi bisa meningkatkan efek samping.
Terlepas dari biaya, dializer KoA tinggi (KoA >700) perlu dipakai pada pasien
besar, terutama penderita pria yang besar yang padanya V yang ditafsirkan >45
liter. Pada penderita besar dialysis selama 4 jam, memakai dializer KoA rendah,
walaupun kecepatan aliran darah tinggi tidaklah mungkin memadai.11 Dializer
KoA tinggi juga perlu dipakai dalam dialysis singkat (<3,5 jam). Kecepatan aliran
darah yang tinggi dan menggunakan dialiser KoA rendah tidak akan memberikan
dialisis yang memadai.
Pemakaian kecepatan aliran darah yang tinggi, dialiser KoA tinggi, dan
durasi dialisis pendek bisa memberikan penghilangan ureum yang memadai tetapi
tidak selalu menjamin klearensi yang memuaskan dari bahan berat molekul yang
lebih besar, karena penghilangan bahan ini tidak meningkat dengan kecepatan
aliran darah yang tinggi. Pada saat ini banyak pusat dialisis yang memakai dializer
besar dengan membran fluks tinggi, yang memiliki klearensi molekul tengah yang
lebih tinggi dari pada dialiser yang lama. Beberapa pusat dialisis masih
mendukung pendekatan dialysis yang lama dan lambat dengan memakai dializer
KoA rendah serta kecepatan arus darah relatif rendah, dan lama dialisis 4 jam atau
lebih dan memberikan Kt/V ³1,0.
Dari beberapa penelitian menyatakan bahwa perlunya pemberian dosis HD
yang maksimum agar tercapai target AHD, seperti penelitian Port FK dkk
melaporkan bahwa penderita dengan RRU >75% dibanding RRU 70-75%
mempunyai resiko relatif lebih rendah daripada RRU 70-75% pada penderia berat
badan rendah dan sedang. Wood HF dkk membandingkan membran high-flux dan
membran low-flux polysulfone, mendapatkan bahwa membran high-flux
menurunkan resiko mortalitas pada penderita non diabetetes.

BAB XII

44
KEBIJAKAN REUSE HEMODIALISI RSI

A. Latar belakang
• Keterbatasan secara tehnik
• Pertimbangan biaya
• Priming dengan darah
• Volume dialyzer besar
• Memerlukan transfusi darah >>
• Disimpan dengan darah didalam dialyzer
• First use reaction : hipotensi, nyeri punggung, mual, muntah, nyeri dada,
wheezing, nafas pendek,; akibat aktifasi complement dan ethylen oxide.
• Reuse akan mengurangi aktifasi complement dan konsentrasi ethylen
oxide
• Saat ini 75 % dialysis menggunakan reuse
• Harus sesuai standard dari AAMI
• Terutama ditujukan untuk dialyzer-hollow fiber.
• Dapat dilakukan secara manual dan alat otomatis.
• Langkah2 reuse dialyzer :
1. Indentifikasi dialyzer,pembilasan (rinsing)
2. pembersihan (cleaning),pengujian fungsi
3. sterilisasi
4. pembersihan sterilant
5. pemeriksaan kualitas.

B. Identifikasi
• Hanya dipergunakan untuk satu pasien
• Identifikasi dengan jelas :
Nama
jumlah reuse
residual fiber bundle volume
pelaksana
C. Pembilasan (rinsing)
• Setelah dialyzer dipakai selanjutnya dibilas untuk membersihkan residu
darah untuk melihat keutuhan masing2 fiber dan menghilangkan bahan2
organik tersisa (cegah pertumbuhan bakteri).
• Dipergunakan air bebas pirogen dan bakteri
• Dikerjakan diruang terpisah
• Pembilasan pada kompartement darah dan dialisat.
• Harus konsisten ; tekanan air, kecepatan aliran, jenis aliran (terus menerus,
pulsatil), reverse ultrafiltration
• Dipergunakan bahan kimia : sodium hypochlorite atau hydrogen peroxide.
• Untuk pembersihan dan disinfectant

45
• Hati2 penggunaan sodium hypochlorite : perhatikan konsentrasi dan waktu
pemaparan. Konsentrasi > 2% atau waktu > 10 mnt menyebabkan
kerusakan membran celulose, konsentrasi > 1% dan waktu > 1 mnt pada
kondisi tertentu menyebabkan terlepasnya endapan lapisan protein
pelindung pada membran celulose
D. Pengujian (testing)
• Pengujian meliputi integritas struktur dan fungsi.
• Volume residual dalam hollow fiber (FBV, TCV), bila < 80% tidak
dipergunakan lagi.
• Pengujian terhadap kecepatan ultrfiltrasi, bila > 20% tidak dipergunakan
lagi.
• Pengujian kebocoran
• Pemeriksaan fisik, kebocoran, perubahan warna fiber, retak dll.
E. Sterilisasi
• Yang sering digunakan : formaldehyde, Renalin, glutaraldehyde.
• Formaldehyde minimum konsentrasi 4 %, < 4% dapat terjadi infeksi
atypical mycobacteria. Penyimpanan pada suhu tinggi (40 C)
meningkatkan efikasi formaldehyde meskipun dengan konsentrasi 2%
• Disinfectant harus tetap dalam dialyser untuk waktu tertentu, minnimum
24 jam untuk formaldehyde dan 11 jam untuk renalin.
• Pengujian disinfectant dengan menggunakan clinitest
Pembersihan sterilant
• Sebelum dialyser digunakan harus dibersihkan dari sterilant.
• Dialyser dibilas sebelum digunakan dengan salin dan kompartemen
dialysat dibilas dengan dialisat.
• Waktu pembilasan 15 – 45 menit,
• Residual desinfectant < 5 mg/L formaldehyde.( dgn reagen Schiff’s dan
metoda Hantzch)
F. Quality assurance dan Quality Control
• Quality assurance : verifikasi bahwa apa yng tertulis diprosedur dan
kebijaksanaan telah dikerjakan dengan benar.
• Quality control : menentukan bahwa material dan proses yang digunakan
untuk menyiapkan dialyser telah sesuai dengan spesifikasi bakku dari
dialyser.
• Harus ada protokol baku (sebagai dokumen) untuk setiap tahapan prosedur
ini.
• Air yg digunakan sesuai dengan standard baku untuk mencegah
kontaminasi dengan sat pirogen atau bakteri. (<200 CFU.mL dan <5 EU/ 1
ng/mL). Minamal 1 bulan sekali dilakukan pemeriksaan ini.
• Pengujian konsentrasi disinfektan
G. Kerugian penggunaan reuse dialyzer

46
• Penggunaan jangka panjang perlu perhatian terutama pada status
kesehatan pasien
• Dialisis yang tidak efektif akibat penurunan secara progresif permukaan
membran menyebabkan chronic underdialysis. Perlu pemeriksaan FBV
setiap kali selesai prosedur.
• Risiko terjadinya infeksi akibat sterilisasi yang tidak adekuat, pernah
dilaporkan terjadinya outbrake infeksi dengan mycobacterium, gram
negative bacteriemia, fungiemia.
• Reaksi pirogenik akibat formaldehyde dan renalin. Secara bermakna
berhubungan dengan berapa kali di proses ulang.
• Biokompatibel dializer lebih berisiko terjadinya infeksi
H. Toksisitas Kumulatif
• Kontroversi toksisitas pada pemakaian jangka panjang akibat residu
disinfektan
• Residu < 5 ppm
• Anti-N-like antibody
• Terjadinya hemolisis intravaskuler
• Kerusakan ginjal transplant bila tidak dihangatkan dahulu sebelum
dicangkokkan
• Karsinogenik baik untuk pasien dan pekerja dalam jangka panjang.
• Penting untuk pengujian residu

47
DAFTAR PUSTAKA

Price, Sylvia A and Willson, Lorraine M, 1996, Patofisiologi: Konsep Klinis


Proses-Proses penyakit, Edisi empat, EGC, Jakarta

Soeparman & Waspadji, 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II Edisi V,
FKUI, Jakarta

Widmann, 1995, Tinjauan Klinis Atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium, Edisi 9,


EGC, Jakarta
Hakim RM, Depner Ta, Parker III TF. Adequacy of hemodilaysis. Am J. of
Kidney Dis. 1992; 20: 107 – 123

Materi Pendidikan dan Pelatihan Dialisis untuk Dokter Umum dan Spesialis
RSUP Dr. Kariadi Semarang Periode Oktober 2013

Materi Pendidikan dan Pelatihan Dialisis untuk Perawat Angkatan XV RSUP Dr.
Sardjito Jogjakarta Periode Agustus 2013

48

Anda mungkin juga menyukai