OLEH :
TEAM POKJA PAP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1. Suatu kondisi kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan atau lebih,
yang didefinisikan sebagai abnormalitas struktural atau fungsional ginjal,
dengan atau tanpa penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yang
bermanifestasi sebagai kelainan patologis atau kerusakan ginjal; termasuk
ketidakseimbangan komposisi zat di dalam darah atau urin serta ada atau
tidaknya gangguan hasil pemeriksaan pencitraan
2. LFG yang kurang dari 60 mL/menit/1,73 m2 lebih dari 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal
Hemodialisis (HD) adalah salah satu terapi pengganti ginjal yang menggunkan
alat khusus dengan tujuan mengatasi gejala dan tanda akibat laju filtrasi
glomelurus yang rendah sehingga diharapkan dapat memperpanjang usia dan
meningkatkan kualitas hidup pasien.
Unit Hemodialisis adalah tempat pelayanan hemdialisis yang terdiri dari minimal
4 mesin dialisis, didukung dengan unit permurnian air (water treatment) dan
peralatan pendukung serta mempunyai tenaga medis, minimal terdiri dari 2
Perawat`Mahir HD, 1 Dokter bersertifikat HD, yang diawasi oleh 1 orang Dokter
Internis bersertifikat HD dan disupervisi oleh 1 orang Internis-Konsultan Ginjal
Hipertensi (KGH).
Falsafah
Pada keadaan gagal ginjal, pasien membutuhkan terapi pengganti fungsi ginjal
untuk memperpanjang dan mempertahankan kualitas hidup yang optimal. Terapi
pengganti ginjal terdiri dari hemodialisis, CAPD dan transpalasi. Terapi gagal
ginjal yang ideal adalah transplantasi ginjal. Akan tetapi karena masih terdapat
kendala faktor biaya dan keterbatasan donor maka di Indonesia dialisis masih
merupakan Terapi Pengganti Ginjal (TPG) yang utama. Terapi pengganti ginjal
ini merupakan sebagian dari pengobatan pasien gagal ginjal. Selain TPG masih
dibutuhkan pengobatan lain seperti vitamin D, eritropoetin, obat pengikat fosfor,
dll.
2
Hipertensi/KGH) atau oleh Dokter Internis yang memiliki kompetensi dibidang
Hemodialisis.
Pengorganisasian
Struktur Organisasi
Struktur Organisasi Unit Layanan Hemodialisis di dalam Rumah Sakit dari aspek
kompetensi, SDM, fasilitas sarana serta kepemilikan menyebabkan bervariasinya
pengelolaan layanan mulai dari organisasi sampai pembiayaan di rumah sakit.
Ketenagaan
Ketenagaan pelayanan hemodialis terdiri dari :
• Tenaga medis (Supervisor, Dokter Sp.PD yang bersertifikat HD,
Dokter bersertifikat HD).
• Perawat (Perawat Mahir dan Perawat Biasa)
• Teknis
• Tenaga administrasi
• Dan tenaga lainnya yang mendukung program
Kompetensi
• Supervisor hemodialisis adalah Dokter Sp.PD-KGH
• Dokter penanggung jawab hemodialisis adalah Dokter Sp.PD-
KGH dan atau Dokter Sp.PD yang telah mempunyai sertifikat
pelatihan hemodialisis di pusat pendidikan yang diakreditasi dan
disahkan oleh PB.PERNEFRI
• Dokter pelaksana hemodialisis adalah Dokter bersertifikat HD
yang telah dilatih di pusat pendidikan yang diakreditasi dan
disahkan oleh PB.PERNEFRI
• Perawat mahir hemodialisis adalah Perawat yang bersertifikat
pelatihan HD di pusat pendidikan yang diakreditasi dan disahkan
oleh PB.PERNEFRI
• Perawat adalah lulusan Akademi Keperawatan
3
Klasifikasi dan Uraian Tugas
Supervisor
Seorang Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Ginjal Hipertensi
(Dokter Sp-PD-KGH) yang diakui oleh Pernefri, dan bertugas sebagai Pengawas
Supervisor. Disamping itu dapat juga bertugas sebagai Dokter Penanggung Jawab
Unit Dialisis dan atau Dokter Pelaksana Unit Hemodialisis.
Penanggung Jawab
Seorang dokter Spesialis Penyakit Dalam (Dokter Sp.PD) yang telah
mendapat pelatihan dialisis di Pusat Pelatihan Dialisis yang diakui atau dikreditasi
oleh Pernefri dan bertugas sebagai Penanggung Jawab Unit Dialisis. Disamping
itu dapat juga bertugas sebagai Dokter Pelaksana Unit Hemodialisis
Dokter Pelaksana
Seorang dokter yang telah mendapat pelatihan dialisis di Pusat Pelatihan
Dialisis yang diakreditasi oleh Pernefri dan bertugas sebgai Dokter Pelaksana Unit
Hemodialisis
Perawat Mahir
Perawat yang telah menempuh pendidikan khusus dialisis dan perawat
ginjal insentif di pusat pelatihan dialisis yang diakui Pernefri
Perawat
Seorang lulusan Akademi Keperawatan yang memberikan asuhan
keperawatan dan membantu tugas perawat mahir HD.
Teknisi
Minimal SMU/STM atau perawat dengan pelatihan khusus mesin dialisis
dan perlengkapannya. Bertugas : menyiapkan mesin dan perlengkapannya,
menjalankan dan merawat mesin dialisis dan pengolah air, bekerjasama
dengan teknisi pabrik pembuatnya (produsen/agen).
Perijinan
Perijinan Unit Hemodialisis di Rumah Sakit Umum dr. Suyudi mengikuti ijin
rumah sakit dengan disertai verifikasi dari PERNEFRI setelah unit hemodialisis
memenuhi persyaratan yang diperlukan.
Pelayanan Hemodialisis
A.Konsep Pelayanan Hemodialisis
Dilakukan secara komprehensif
Pelayanan dilakukan sesuai standar
Peralatan yang tersedia harus memenuhi ketentuan
Semua tindakan harus terdokumentasi dengan baik
Harus ada sistem monitor dan evaluasi
B. Prosedur Pelayanan Hemodialisis
Tindakan Inisiasi Hemodialisis (HD pertama) dilakukan setelah melalui
pemeriksaan/konsultasi dengan konsultan atau dokter spesialis penyakit
dalam (dokter Sp.PD) yang telah bersertifikat HD.
Setiap tindakan Hemodialisis terdiri dari :
4
a. Persiapan pelaksanaan Hemodialisis : 30 menit
b. Pelaksanaan Hemodialisis : 5 jam
c. Evaluasi pasca Hemodialisis : 30 menit
5
ALUR PELAYANAN DAN RUJUKAN PASIEN HEMODIALISIS
RSU dr. SUYUDI PACIRAN
UGD
Rawat Rawat
ICU
HEMODIALISA
PULANG
Kasir
6
1. Bangunan dan Prasarana
Sistem Pembiayaan
1. Sumber
Biaya sendiri (out of pocket).
Asuransi ; BPJS
Perusahaan
Lain-lain.
Pola tarif terdiri dari :
Konsul dokter
7
Tindakan ;
Jasa medik
Jasa rumah sakit
Bahan dan Alat
Waktu pelayanan
Senin sampai sabtu (termasuk hari libur) :
Shift pagi : 07.00 – 14.00 WIB
Shift sore : 14.00 - 21.00 WIB
Pengendalian Limbah
Mengikuti pengendalian limbah di rumah sakit.
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
Mengacu pada kewaspadaan universal yang ketat dalam
pencegahan transmisi.
Penataan ruang, aksesibilitas, penerangan dan pemilihan material
sesuai dengan ketentuan yang mengacu pada patient safety.
Isolasi mesin hemodialisis hanya pada pengidap virus hepatitis B
(VHB), tidak pada pengidap virus hepatitis (VHC) dan HIV.
Pemakaian dialiser proses ulang hanya diperkenankan pada pasien
pengidap VHC dan HIV dengan kewaspadaan khusus, akan tetapi
dilarang pada pengidap VHB.
Pencatatan dan Pelaporan
Dalam rekam medis dicatat diagnosis medik (berdasarkan ICD X)
untuk pelaporan ke Dinas Kesahatan yang kemudian diteruskan ke
Departemen Kesehatan.
Mengirim laporan ke pusat Registrasi PERNEFRI secara berkala
tiap bulan.
Sistem rujukan
Pengertian Rujukan
adalah suatu upaya pelimpahan tanggung jawab dan wewenang secara
timbal balik dalam pelayanan kesehatan untuk menciptakan suatu pelayanan
kesehatan paripurna.
8
Kegiatan rujukan mencakup :
Rujukan Pasien (internal dan eksternal)
Rujukan internal adalah rujukan antar spesialis dalam suatu ruangan
rumah sakit.
Rujukan eksternal adalah rujukan antar spesialis keluar rumah sakit
dengan mengikuti sistim rujukan yang ada.
Rujukan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, termasuk peningkatan
kemampuan tenaga hemodialisis serta sumber daya kesehatan
lainnya (dana, alat dan sarana).
Pembinaan manajemen.
A. Tujuan
Tujuan penyusunan pedoman ini adalah sebagai acuan dalam melaksanakan
pelayanan hemodialisis di Rumah Sakit Umum dr. Suyudi Paciran terutama
bagi tenaga kesehatan unit hemodialisis Rumah Sakit Umum dr. Suyudi
Paciran, tenaga non medis dan pengambil kebijakan di tingkat manajerial.
B. Manfaat
Pedoman hemodialisis Rumah Sakit Umum dr. Suyudi Paciran ini diharapkan
bermanfaat bagi semua pihak terutama pengelola unit pelayanan hemodialisis.
9
BAB II
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
A. Pengertian
B. Etiologi
Chronic Kidney Disease ( CKD ) terjadi setelah berbagai macam penyakit yang
merusak nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit parenkim ginjal difus
dan bilateral.
C. Patofisiologi
Semua unit nefron telah terserang penyakit namun dalam stadium yang berbeda-
beda dan bagian spesifik dari nefron yang berkaitan dengan fungsi tertentu dapat
saja benar- banar rusak atau berubah struktur.
10
1. Hipotesis Bricker (hipotesis nefron yang utuh)
“Bila nefron terserang penyakit maka seluruh unitnya akan hancur, namun sisa
nefron yang masih utuh tetap bekerja normal”. Uremia akan timbul bila jumlah
nefron sudah sedemikian berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit
yang tidak dapat dipertahankan lagi.
tubulus dalam tiap nefron, meskipun GFR untuk seluruh massa nefron menurun di
bawah normal
11
BJ 1,010 atau 2,85 mOsml (= konsentrasi plasma)
Toksik Uremik
↓GFR
Sekresi parathormon
Kalsium di tulang ↓
Met.aktif vit D↓
12
1. Kelainan hemopoesis, dimanifestasikan dengan anemia
1. Retensi toksik uremia → hemolisis sel eritrosit, ulserasi
mukosa sal.cerna, gangguan pembekuan, masa hidup
eritrosit memendek, bilirubuin serum meningkat/normal, uji
comb’s negative dan jumlah retikulosit normal.
2. Defisiensi hormone eritropoetin
Stomatitis uremia
Mukosa kering, lesi ulserasi luas, karena sekresi cairan saliva banyak
mengandung urea dan kurang menjaga kebersihan mulut.
Pankreatitis
Kelainan mata
Kardiovaskuler :
Hipertensi
Pitting edema
Edema periorbital
Pembesaran vena leher
Friction Rub Pericardial
Kelainan kulit
Gatal
13
a). Toksik uremia yang kurang terdialisis
Kering bersisik
- Konfusi
- Disorientasi
- Kejang
Kardiomegali.
14
Gangguan kelainan CV, neuromuscular, saluran cerna dan kelainan
lainnya
15
Saluran cerna Anoreksia, mual muntah menyebabkan penurunan BB
Nafas berbau amoniak
Rasa kecap logam, mulut kering
Stomatitis, parotitid
Gastritis, enteritis
Perdarahan saluran cerna
Diare
Metabolisme intermedier Protein-intoleransi, sintesisi abnormal
Karbohidrat-hiperglikemia, kebutuhan insulin menurun
Lemak-peninggian kadar trigliserida
Neuromuskular Mudah lelah
Otot mengecil dan lemah
Susunan saraf pusat :
Penurunan ketajaman mental
Konsentrasi buruk
Apati
Letargi/gelisah, insomnia
Kekacauan mental
Koma
Otot berkedut, asteriksis, kejang
Neuropati perifer :
Konduksi saraf lambat, sindrom restless leg
Perubahan sensorik pada ekstremitas – parestesi
Perubahan motorik – foot drop yang berlanjut menjadi
paraplegi
Gangguan kalsium dan Hiperfosfatemia, hipokalsemia
rangka Hiperparatiroidisme sekunder
Osteodistropi ginjal
Fraktur patologik (demineralisasi tulang)
Deposit garam kalsium pada jaringan lunak (sekitar
sendi, pembuluh darah, jantung, paru-paru)
Konjungtivitis (uremik mata merah)
6. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan penurunan fungsi ginjal
- Ureum kreatinin.
- Asam urat serum.
16
- Analisis urin rutin
- Mikrobiologi urin
- Kimia darah
- Elektrolit
- Imunodiagnosis
1. Identifikasi perjalanan penyakit
- Progresifitas penurunan fungsi ginjal
- Ureum kreatinin, klearens kreatinin test
GFR / LFG dapat dihitung dengan formula Cockcroft-Gault:
Laki-laki :
(140 – umur ) X BB (kg)
CCT =
72 x kreatinin serum ( mg/dL )
Wanita : 0,85 x CCT
Perhitungan terbaik LFG adalah dengan menentukan bersihan kreatinin yaitu :
Kreatinin urin (mg/dL)xVol.urin (mL/24 jam)
Bersihan kreatinin :
Kreatinin serum ( mg/dL ) x 1440 menit
Nilai normal :
Laki-laki : 97 – 137 mL/menit/1,73 m3 atau
0,93 – 1,32 mL/detik/m2
Wanita : 88-128 mL/menit/1,73 m3 atau
0,85 – 1,23 mL/detik/m2
- Hemopoesis : Hb, trobosit, fibrinogen, factor pembekuan
1. Diagnostik
Etiologi CKD dan terminal
- Foto polos abdomen.
- USG.
- Nefrotogram.
- Pielografi retrograde.
- Pielografi antegrade.
- Mictuating Cysto Urography (MCU).
Diagnosis pemburuk fungsi ginjal
17
- RetRogram
- USG.
7. Managemen Terapi
1. Terapi Konservatif
Perubahan fungsi ginjal bersifat individu untuk setiap klien Cronic renal Desease (
CKD ) dan lama terapi konservatif bervariasi dari bulan sampai tahun.
Tujuan terapi konservatif :
1) Mencegah memburuknya fungsi ginjal secara profresi.
2) Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksi asotemia.
3) Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal.
4) Memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.
Alur manajemen terapi pada klien Cronic Kidney Desease (CKD) dan terminal
sebagai berikut;
CKD
Terapi konservatif
Penyakit ginjal terminal
meninggal Dialisis HD di RS, Rumah, CAPD
gagal
Transplantasi ginjal berhasil
Prinsip terapi konservatif :
1) Mencegah memburuknya fungsi ginjal.
a) Hati-hati dalam pemberian obat yang bersifat nefrotoksik.
b) Hindari keadaan yang menyebabkan diplesi volume cairan ekstraseluler dan
hipotensi.
c) Hindari gangguan keseimbangan elektrolit.
d) Hindari pembatasan ketat konsumsi protein hewani.
e) Hindari proses kehamilan dan pemberian obat kontrasepsi.
f) Hindari instrumentasi dan sistoskopi tanpa indikasi medis yang kuat.
g) Hindari pemeriksaan radiologis dengan kontras yang kuat tanpa indikasi
medis yang kuat.
2) Pendekatan terhadap penurunan fungsi ginjal progresif lambat
a) Kendalikan hipertensi sistemik dan intraglomerular.
b) Kendalikan terapi ISK.
c) Diet protein yang proporsional.
d) Kendalikan hiperfosfatemia.
e) Terapi hiperurekemia bila asam urat serum > 10mg%.
f) Terapi hIperfosfatemia.
g) Terapi keadaan asidosis metabolik.
18
h) Kendalikan keadaan hiperglikemia.
3) Terapi alleviative gejala asotemia
a) Pembatasan konsumsi protein hewani.
b) Terapi keluhan gatal-gatal.
c) Terapi keluhan gastrointestinal.
d) Terapi keluhan neuromuskuler.
e) Terapi keluhan tulang dan sendi.
f) Terapi anemia.
g) Terapi setiap infeksi.
1. Terapi simtomatik
1) Asidosis metabolik
Jika terjadi harus segera dikoreksi, sebab dapat meningkatkan serum K +
( hiperkalemia ) :
a) Suplemen alkali dengan pemberian kalsium karbonat 5 mg/hari.
b) Terapi alkali dengan sodium bikarbonat IV, bila PH < atau sama dengan
7,35 atau serum bikarbonat < atau sama dengan 20 mEq/L.
2) Anemia
a) Anemia Normokrom normositer
19
Komplikasi tranfusi darah :
Hemosiderosis
Supresi sumsum tulang
Bahaya overhidrasi, asidosis dan hiperkalemia
Bahaya infeksi hepatitis virus dan CMV
Pada Human Leukosite antigen (HLA) berubah, penting untuk rencana
transplantasi ginjal.
Keluhan gatal ditemukan pada 25% kasus CKD dan terminal, insiden meningkat
pada klien yang mengalami HD.
Keluhan :
Bersifat subyektif
Bersifat obyektif : kulit kering, prurigo nodularis, keratotic papula dan
lichen symply
Hidroxyzine 10 mg P.O
20
4) Kelainan Neuromuskular
Terapi pilihannya :
a) HD reguler.
b) Obat-obatan : Diasepam, sedatif.
c) Operasi sub total paratiroidektomi.
5) Hipertensi
Bentuk hipertensi pada klien dengan GG berupa : volum dependen hipertensi, tipe
vasokonstriksi atau kombinasi keduanya. Program terapinya meliputi :
1). Restriksi garam dapur.
2). Diuresis dan Ultrafiltrasi.
3). Obat-obat antihipertensi.
1. Terapi pengganti
Adalah terapi yang menggantikan fungsi ginjal yang telah mengalami kegagalan
fungsi ginjal baik kronik maupun terminal. Pada masa sekarang ini ada dua jenis
terapi :
1) Dialisis yang meliputi :
a) Hemodialisa
b) Peritoneal dialisis, yang terkenal dengan Continous Ambulatory Peritoneal
Dialisis ( CAPD ) atau Dialisis Peritoneal Mandiri Berkesinambungan
( DPMB ).
2) Transplantasi ginjal atau cangkok ginjal.
8. Komplikasi
1. Hipertensi.
2. Hiperkalemia.
3. Anemia.
4. Asidosis metabolik.
5. Osteodistropi ginjal.
6. Sepsis.
7. Neuropati perifer.
8. Hiperuremia.
21
BAB III
HEMODIALISIS
2. Latar Belakang
22
Gambar 1. Alur hemodialisis
Proses ultrafiltrasi
Proses ultrafiltrasi adalah proses pergeseran zat terlarut dan pelarut secara
simultan dari kompartemen darah kedalam kompartemen dialisat melalui
23
membran semipermiabel. Proses ultrafiltrasi ini terdiri dari ultrafiltrasi hidrostatik
dan osmotik.
a. Ultrafiltrasi hidrostatik
1. Transmembrane pressure (TMP)
TMP adalah perbedaan tekanan antara kompartemen darah dan
kompartemen dialisat melalui membran. Air dan zat terlarut didalamnya
berpindah dari darah ke dialisat melalui membran semipermiabel adalah
akibat perbedaan tekanan hidrostatik antara kompertemen darah dan
kompartemen dialisat. Kecepatan ultrafiltrasi tergantung pada
perbedaan tekanan yang melewati membran.
2. Koefisien ultrafiltrasi (KUf)
Besarnya permeabilitas membran dializer terhadap air bervariasi
tergantung besarnya pori dan ukuran membran. KUf adalah jumlah
cairan (ml/jam) yang berpindah melewati membran per mmHg
perbedaan tekanan
(pressure gradient) atau perbedaan TMP yang melewati membran.
b. Ultrafiltrasi osmotik
Dimisalkan ada 2 larutan “A” dan “B” dipisahkan oleh membran
semipermiabel, bila larutan “B” mengandung lebih banyak jumlah partikel
dibanding “A” maka konsentrasi air dilarutan “B” lebih kecil dibanding
konsentrasi larutan “A”. Dengan demikian air akan berpindah dari “A” ke
“B” melalui membran dan sekaligus akan membawa zat -zat terlarut
didalamnya yang berukuran kecil dan permiabel terhadap membran,
akhirnya konsentrasi zat terlarut pada kedua bagian menjadi sama.
24
Dializer ada yang memiliki high efficiency atau high flux. Dializer
high efificiency adalah dializer yang mempunyai luas permukaan membran
yang besar. Dializer high flux adalah dializer yang mempunyai pori-pori
besar yang dapat melewatkan molekul yang lebih besar, dan mempunyai
permeabilitas tinggi terhadap air.
Ada 3 tipe dializer yang steril dan bersifat disposibel yaitu bentuk
hollow-fiber (capillary) dialyzer, parallel flat dialyzer dan coil dialyzer.
Setiap dializer mempunyai karakteristik masing-masing untuk menjamin
efektifitas proses eliminasi dan menjaga keselamatan penderita. Yang
banyak beredar dipasaran adalah bentuk hollow-fiber dengan membran
selulosa.
25
Gambar 3. Water Treatment
b. Dialisat Bikarbonat
26
Dialisat bikarbonat terdiri dari 2 komponen konsentrat yaitu larutan
asam dan larutan bikarbonat. Kalsium dan magnesium tidak termasuk
dalam konsentrat bikarbonat karena konsentrasi yang tinggi dari
kalsium, magnesium dan bikarbonat dapat membentuk kalsium dan
magnesium karbonat. Larutan bikarbonat sangat mudah terkontaminasi
mikroba karena konsentratnya merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri. Kontaminasi ini dapat diminimalisir dengan
waktu penyimpanan yang singkat. Konsentrasi bikarbonat yang tinggi
dapat menyebabkan terjadinya hipoksemia dan alkalosis metabolik
yang akut. Namun dialisat bikarbonat bersifat lebih fisiologis walaupun
relatif tidak stabil. Biaya untuk sekali hemodialisis bila menggunakan
dialisat bikarbonat relatif lebih mahal dibandingkan dengan dialisat
asetat.
1.2.4 Mesin hemodialisis
Mesin hemodialisis terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan
larutan dialisat dan sistem monitor. Pompa darah berfungsi untuk
mengalirkan darah dari tempat tusukan vaskuler kepada dializer.
Kecepatannya antara 200-300 ml per menit. Untuk pengendalian
ultrafiltrasi diperlukan tekanan negatif. Lokasi pompa darah biasanya
terletak antara monitor tekanan arteri dan monitor larutan dialisat. Larutan
dialisat harus dipanaskan antara 34-390 C sebelum dialirkan kepada
dializer, karena suhu larutan dialisat yang terlalu rendah ataupun melebihi
suhu tubuh dapat menimbulkan komplikasi. Sistem monitoring setiap
mesin hemodilisis sangat penting untuk menjamin efektifitas proses
dialisis dan keselamatan penderita.
27
Tusukan vaskuler (blood access) merupakan salah satu aspek
teknik untuk program HD akut maupun kronik. Tusukan vaskuler
merupakan tempat keluarnya darah dari tubuh penderita menuju dializer
dan selanjutnya kembali lagi ketubuh penderita. Ada 2 tipe tusukan
vaskuler yaitu tusukan vaskuler sementara dan permanen.
BAB IV
INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI HEMODIALISIS
28
Indikasi
Pasien yang memerlukan hemodialisis adalah pasien GGK dan GGA untuk
sementara sampai fungsi ginjalnya pulih. Pasien-pasien tersebut dinyatakan
memerlukan hemodialisa apabila terdapat indikasi :
Kontraindikasi
29
BAB V
TUJUAN HEMODIALISIS
30
Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari dilakukan hemodialisa antara lain
1) Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-
sisa metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa
metabolisme yang lain.
2) Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang
seharusnya dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.
3) Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi
ginjal.
4) Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang
lain.
BAB VI
KOMPLIKASI HEMODIALISIS
31
Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama
tindakanhemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain :
1. Kramotot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya
hemodialisa sampai mendeteksi waktu berakhirnya hemodialisa. Kram
otot seringkali terjadi pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat
dengan volume yang tinggi.
2. Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat,
rendahnya dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati
otonomik dan kelebihan tambahan berat cairan.
3. Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa,
penurunan kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat
berpengaruh terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.
5. Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu
dimonitor pada pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.
6. Pendarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat
dinilai dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin
selama hemodialisa juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.
7. Gangguanpencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang
disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai
dengan sakit kepala.
32
8. Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang
tidak adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.
BAB VII
PROSEDUR HEMODIALISIS
33
Setelah pengkajian pradialisis, mengembangkan tujuan dan memeriksa keamanan
peralatan, perawat sudah siap untuk memulai hemodialisis. Akses ke system
sirkulasi dicapai melalui salah satu dari beberapa pilihan: fistula atau tandur
arteriovenosa (AV) atau kateter hemodialisis dua lumen. Dua jarum berlubang
besar (diameter 15 atau 16) dibutuhkan untuk mengkanulasi fistula atau tandur
AV. Kateter dua lumen yang dipasang baik pada vena subklavikula, jugularis
interna, atau femoralis, harus dibuka dalam kondisi aseptic sesuai dengan
kebijakan institusi.
Jika akses vaskuler telah ditetapkan, darah mulai mengalir, dibantu oleh pompa
darah. Bagian dari sirkuit disposibel sebelum dialiser diperuntukkan sebagai aliran
“arterial”, keduanya untuk membedakan darah yang masuk ke dalamnya sebagai
darah yang belum mencapai dialiser dan dalam acuan untuk meletakkan jarum:
jarum “arterial” diletakkan paling dekat dengan anastomosis AV pada vistula atau
tandur untuk memaksimalkan aliran darah. Kantong cairan normal salin yang di
klep selalu disambungkan ke sirkuit tepat sebelum pompa darah. Pada kejadian
hipotensi, darah yang mengalir dari pasien dapat diklem sementara cairan normal
salin yang diklem dibuka dan memungkinkan dengan cepat menginfus untuk
memperbaiki tekanan darah. Tranfusi darah dan plasma ekspander juga dapat
disambungkan ke sirkuit pada keadaan ini dan dibiarkan untuk menetes, dibantu
dengan pompa darah. Infus heparin dapat diletakkan baik sebelum atau sesudah
pompa darah, tergantung peralatan yang digunakan.
Dialiser adalah komponen penting selanjutnya dari sirkuit. Darah mengalir ke
dalam kompartemen darah dari dialiser, tempat terjadinya pertukaran cairan dan
zat sisa. Darah yang meninggalkan dialiser melewati detector udara dan foam
yang mengklem dan menghentikan pompa darah bila terdeteksi adanya udara.
Pada kondisi seperti ini, setiap obat-obat yang akan diberikan pada dialysis
diberikan melalui port obat-obatan. Penting untuk diingat, bagaimanapun bahwa
34
kebanyakan obat-obatan ditunda pemberiannya sampai dialysis selesai kecuali
memang diperintahkan.
Darah yang telah melewati dialysis kembali ke pasien melalui “venosa” atau
selang postdialiser. Setelah waktu tindakan yang diresepkan, dialysis diakhiri
dengan mengklem darah dari pasien, membuka selang aliran normal salin, dan
membilas sirkuit untuk mengembalikan darah pasien. Selang dan dialiser dibuang
kedalam perangkat akut, meskipun program dialisis kronik sering membeli
peralatan untuk membersihkan dan menggunakan ulang dialiser.
BAB VIII
TATA LAKSANA HEMODIALISA
35
A. Perawatan sebelum hemodialisa
36
17. Menghidupkan pompa darah selama 10 menit. Untuk dialiser baru 15-20
menit, untuk dialiser reuse dengan aliran 200-250 ml/mnt.
18. Mengembalikan posisi dialiser ke posisi semula dimana ‘inset’ diatas dan
‘outset’ dibawah.
19. Menghubungkan sirkulasi darah dengan sirkulasi dialisat selama 5-10
menit siap untuk dihubungkan dengan pasien (soaking).
C. Persiapan pasien.
1. Menimbang BB
2. Mengatur posisi pasien.
3. Observasi KU
4. Observasi TTV
5. Melakukan kamulasi/fungsi untuk menghubungkan sirkulasi, biasanya
mempergunakan salah satu jalan darah/blood akses seperti dibawah ini:
BAB IX
PROSES KEPERAWATAN
37
Pengkajian
Pengkajian Pre HD
BAB X
ADEKUASI HEMODIALISIS
38
Keberhasilan hemodialisis berhubungan dengan adekuatnya suatu tindakan
hemodialisis disebut adekuasi hemodialisis. Banyak parameter yang berpengaruh
dalam hal ini. Menurut The Renal Physicians Associations (RPA) di tahun 1993
membuat acuan parameter sebagai berikut :
Umur lebih dari 18 tahun.
Hemodialisis dilakukan 3 kali per minggu selama 3 hingga 4 jam
Residual fungsi tidak diperhitungkan
Kt/v diukur tiap bulan minimal 1,2; Urea Reduction Ratio (URR)
lebih dari 65%
Perlu persamaan pengambilan sampel darah
Pemberian dosis saat hemodialisis
Dializer re-use
Kenyamanan / kepatuhan pasien
Sedangkan menurut National Kidney Foundation-Dialisys Outcomes
Quality Initiative (NKF – DOQI) pada tahun 1995, membuat tujuan hemodialisis
untuk :
Kepentingan klinik
Perbaikan pelayanan
Hasil yang lebih baik
Secara klinis hemodialisis reguler dikatakan adekuat jika keadaan umum
dan nutrisi penderita dalam keadaan baik, tidak ada menifestasi uremi serta
diupayakan rehabilitasi penderita kembali pada aktivitas seperti sebelum
menjalani hemodialisis. Adapun kriteria klinis adekuasi hemodialisis adalah
sebagai berikut:
1. Keadaan umum dan nutrisi yang baik
2. Tekanan darah normal.
3. Tidak ada gejala akibat anemia.
4. Tercapai keseimbangan air, elektrolit dan asam basa.
5. Metabolisme Ca, dan P terkendali serta tidak terjadi osteodistrofi renal.
6. Tidak didapatkan komplikasi akibat uremia.
7. Tercapai rehabilitasi pribadi, keluarga dan profesi.
8. Kualitas hidup yang memadai.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi adekuasi hemodialisis adalah :
Aliran larutan dengan molekul besar dengan High Flux
Membran biocompatibility
Inisiasi HD
Dosis HD / Nutrisi
Pemeriksaan Kt/v; URR rutin (minimal setiap bulan)
Kualitas hidup
Adekuasi hemodialisis diukur dengan menghitung Urea Reduction Ratio
(URR) dan (Kt/V). Kt/V urea digunakan untuk merencanakan peresepan
39
hemodialisis serta menilai adekuasi hemodialisis, sedangkan Urea reduction ratio
(URR) atau Rasio Reduksi Urea (RRU) merupakan pedoman yang sederhana dan
praktis untuk menilai adekuasi hemodialisis.
National Cooperative Dialysis Study (NCDS), merupakan penelitian
prospektif skala luas pertama yang menilai adekuasi hemodialisis. Dalam
penelitian ini disimpulkan bahwa urea merupakan pertanda yang memadai untuk
penilaian adekuasi hemodialisis, dan tingkat kebersihan urea dapat dipakai untuk
prediksi keluaran (outcome) dari penderita. Lowrie dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa blood urea-nitrogen (BUN) yang tinggi menyebabkan
meningkatnya morbiditas.
40
Dimana :
1. Ln adalah logaritma natural.
2. R adalah BUN setelah dialisis dibagi BUN sebelum dialisis
3. t adalah lama waktu dialisis dalam jam.
4. UF adalah volume ultrafiltrasi dalam liter.
5. W adalah berat pasien setelah dialisis dalam kg.
Penghitungan dilakukan sesuai dengan Rumus Linier Daugirdas yang lebih
sederhana berupa:
Kt/V = 2,2 – 3,3 (R-0,03) - UF/W)
Dimana :
1. R adalah BUN setelah dialisis dibagi BUN sebelum dialisis.
2. UF adalah volume ultrafiltrasi dalam liter.
3. W adalah berat pasien setelah dialisis dalam kilogram.
4. Re-evaluasi dari data NCDS menunjukkan bahwa Kt/V kurang dari 0,8
dihubungkan dengan meningkatnya morbiditas, sedangkan Kt/V1,0-1,2
dihubungkan dengan mortalitas yang rendah. Batasan minimal Kt/V
ialah lebih dari 1,2 untuk penderita yang menjalani hemodialisis 3 kali
seminggu. Sedangkan untuk kelompok penderita diabetes, Collins
menganjurkan menaikkan Kt/V menjadi 1,4. Hemodialisis 2 kali
seminggu hanya dilakukan untuk sementara dan hanya untuk penderita
yang masih mempunyai klirensia > 5 ml/menit.
Rumus-rumus sebelumnya :
- Kt/V = Ln(BUN sebelum HD/BUN sesudah HD) (Gotch,1985)
- Kt/V = 0,04 PRU-1,2 (Jindal,1987)
BUN sebelum HD – BUN sesudahHD
- Kt/V = (Barth, 1988)
BUN mid
- Kt/V = -ln(R-0,008t)- UF/W) (Daugirdas, 1989)
- Kt/V = -ln(R-0,03-UF/W) (Manahan, 1989)
- Kt/V = 0,026PRU-0,46 (Dugirdas, 1990)
- Kt/V = 0,023PRU-0,284 (Basile,1990)
- Kt/V = 0,062PRU-2,97 (Kerr, 1993)
PRU = Percent Reduction Urea = (BUN sebelum HD-BUN sesudah
HD) x 100/BUN sebelum HD
41
Cara ini paling sederhana dan paling praktis digunakan untuk pengukuran
AHD. Banyak dipakai untuk kepentingan epidemiologi, dan merupakan prediktor
terbaik untuk mortalitas penderita HD reguler. Kelemahan cara ini karena tidak
memperhitungkan faktor ultrafiltrasi, protein catabolic rate (PCR) dan sisa klirens
yang masih ada. Cara ini juga tidak dapat dipakai untuk merencanakan dosis HD.
NKF-DOQI memakai batasan bahwa HD harus dilakukan dengan RRU > 65%.
Dalam sebuah penelitian dengan menggunakan RRU untuk mengukur dosis
dialisis, telah ditunjukkan bahwa penderita yang menerima RRU ³60% memiliki
mortalitas yang lebih rendah dari yang menerima RRU 50%.
42
Parameter :
Kt/v: 0,7 – 1,2
URR: 55 – 75% (rata-rata 65%)
43
1. Blood urea-nitrogen (BUN) paska-HD lebih rendah karena tidak
tepatnya pengambilan sample seperti resirkulasi kardiopulmonari.
2. V dari penderita lebih kecil dari pada yang tertera dalam normogram.
3. Dializer lebih efisien, waktu tindakan HD lebih panjang.
Pada umumnya kita akan memberikan jumlah dialisis maksimum yang bisa
diterima penderita dalam waktu tertentu. Idealnya memakai dializer dengan nilai
KoA tinggi untuk seluruh penderita, bahkan untuk penderita kecil dan untuk
wanita. Pemakaian dializer KoA tinggi dan penggunaan larutan dialisis bikarbonat
tidak akan mengakibatkan peningkatan efek samping.
Dializer KoA tinggi biasanya relatif lebih mahal. Di beberapa tempat
dimana pemakaian ulang tidak tersedia, dan biaya yang tinggi melemahkan
pemakaian dialyzer ini. Juga dibeberapa tempat yang masih menggunakan larutan
dialisis asetat, pemakaian dializer KoA tinggi bisa meningkatkan efek samping.
Terlepas dari biaya, dializer KoA tinggi (KoA >700) perlu dipakai pada pasien
besar, terutama penderita pria yang besar yang padanya V yang ditafsirkan >45
liter. Pada penderita besar dialysis selama 4 jam, memakai dializer KoA rendah,
walaupun kecepatan aliran darah tinggi tidaklah mungkin memadai.11 Dializer
KoA tinggi juga perlu dipakai dalam dialysis singkat (<3,5 jam). Kecepatan aliran
darah yang tinggi dan menggunakan dialiser KoA rendah tidak akan memberikan
dialisis yang memadai.
Pemakaian kecepatan aliran darah yang tinggi, dialiser KoA tinggi, dan
durasi dialisis pendek bisa memberikan penghilangan ureum yang memadai tetapi
tidak selalu menjamin klearensi yang memuaskan dari bahan berat molekul yang
lebih besar, karena penghilangan bahan ini tidak meningkat dengan kecepatan
aliran darah yang tinggi. Pada saat ini banyak pusat dialisis yang memakai dializer
besar dengan membran fluks tinggi, yang memiliki klearensi molekul tengah yang
lebih tinggi dari pada dialiser yang lama. Beberapa pusat dialisis masih
mendukung pendekatan dialysis yang lama dan lambat dengan memakai dializer
KoA rendah serta kecepatan arus darah relatif rendah, dan lama dialisis 4 jam atau
lebih dan memberikan Kt/V ³1,0.
Dari beberapa penelitian menyatakan bahwa perlunya pemberian dosis HD
yang maksimum agar tercapai target AHD, seperti penelitian Port FK dkk
melaporkan bahwa penderita dengan RRU >75% dibanding RRU 70-75%
mempunyai resiko relatif lebih rendah daripada RRU 70-75% pada penderia berat
badan rendah dan sedang. Wood HF dkk membandingkan membran high-flux dan
membran low-flux polysulfone, mendapatkan bahwa membran high-flux
menurunkan resiko mortalitas pada penderita non diabetetes.
BAB XII
44
KEBIJAKAN REUSE HEMODIALISI RSI
A. Latar belakang
• Keterbatasan secara tehnik
• Pertimbangan biaya
• Priming dengan darah
• Volume dialyzer besar
• Memerlukan transfusi darah >>
• Disimpan dengan darah didalam dialyzer
• First use reaction : hipotensi, nyeri punggung, mual, muntah, nyeri dada,
wheezing, nafas pendek,; akibat aktifasi complement dan ethylen oxide.
• Reuse akan mengurangi aktifasi complement dan konsentrasi ethylen
oxide
• Saat ini 75 % dialysis menggunakan reuse
• Harus sesuai standard dari AAMI
• Terutama ditujukan untuk dialyzer-hollow fiber.
• Dapat dilakukan secara manual dan alat otomatis.
• Langkah2 reuse dialyzer :
1. Indentifikasi dialyzer,pembilasan (rinsing)
2. pembersihan (cleaning),pengujian fungsi
3. sterilisasi
4. pembersihan sterilant
5. pemeriksaan kualitas.
B. Identifikasi
• Hanya dipergunakan untuk satu pasien
• Identifikasi dengan jelas :
Nama
jumlah reuse
residual fiber bundle volume
pelaksana
C. Pembilasan (rinsing)
• Setelah dialyzer dipakai selanjutnya dibilas untuk membersihkan residu
darah untuk melihat keutuhan masing2 fiber dan menghilangkan bahan2
organik tersisa (cegah pertumbuhan bakteri).
• Dipergunakan air bebas pirogen dan bakteri
• Dikerjakan diruang terpisah
• Pembilasan pada kompartement darah dan dialisat.
• Harus konsisten ; tekanan air, kecepatan aliran, jenis aliran (terus menerus,
pulsatil), reverse ultrafiltration
• Dipergunakan bahan kimia : sodium hypochlorite atau hydrogen peroxide.
• Untuk pembersihan dan disinfectant
45
• Hati2 penggunaan sodium hypochlorite : perhatikan konsentrasi dan waktu
pemaparan. Konsentrasi > 2% atau waktu > 10 mnt menyebabkan
kerusakan membran celulose, konsentrasi > 1% dan waktu > 1 mnt pada
kondisi tertentu menyebabkan terlepasnya endapan lapisan protein
pelindung pada membran celulose
D. Pengujian (testing)
• Pengujian meliputi integritas struktur dan fungsi.
• Volume residual dalam hollow fiber (FBV, TCV), bila < 80% tidak
dipergunakan lagi.
• Pengujian terhadap kecepatan ultrfiltrasi, bila > 20% tidak dipergunakan
lagi.
• Pengujian kebocoran
• Pemeriksaan fisik, kebocoran, perubahan warna fiber, retak dll.
E. Sterilisasi
• Yang sering digunakan : formaldehyde, Renalin, glutaraldehyde.
• Formaldehyde minimum konsentrasi 4 %, < 4% dapat terjadi infeksi
atypical mycobacteria. Penyimpanan pada suhu tinggi (40 C)
meningkatkan efikasi formaldehyde meskipun dengan konsentrasi 2%
• Disinfectant harus tetap dalam dialyser untuk waktu tertentu, minnimum
24 jam untuk formaldehyde dan 11 jam untuk renalin.
• Pengujian disinfectant dengan menggunakan clinitest
Pembersihan sterilant
• Sebelum dialyser digunakan harus dibersihkan dari sterilant.
• Dialyser dibilas sebelum digunakan dengan salin dan kompartemen
dialysat dibilas dengan dialisat.
• Waktu pembilasan 15 – 45 menit,
• Residual desinfectant < 5 mg/L formaldehyde.( dgn reagen Schiff’s dan
metoda Hantzch)
F. Quality assurance dan Quality Control
• Quality assurance : verifikasi bahwa apa yng tertulis diprosedur dan
kebijaksanaan telah dikerjakan dengan benar.
• Quality control : menentukan bahwa material dan proses yang digunakan
untuk menyiapkan dialyser telah sesuai dengan spesifikasi bakku dari
dialyser.
• Harus ada protokol baku (sebagai dokumen) untuk setiap tahapan prosedur
ini.
• Air yg digunakan sesuai dengan standard baku untuk mencegah
kontaminasi dengan sat pirogen atau bakteri. (<200 CFU.mL dan <5 EU/ 1
ng/mL). Minamal 1 bulan sekali dilakukan pemeriksaan ini.
• Pengujian konsentrasi disinfektan
G. Kerugian penggunaan reuse dialyzer
46
• Penggunaan jangka panjang perlu perhatian terutama pada status
kesehatan pasien
• Dialisis yang tidak efektif akibat penurunan secara progresif permukaan
membran menyebabkan chronic underdialysis. Perlu pemeriksaan FBV
setiap kali selesai prosedur.
• Risiko terjadinya infeksi akibat sterilisasi yang tidak adekuat, pernah
dilaporkan terjadinya outbrake infeksi dengan mycobacterium, gram
negative bacteriemia, fungiemia.
• Reaksi pirogenik akibat formaldehyde dan renalin. Secara bermakna
berhubungan dengan berapa kali di proses ulang.
• Biokompatibel dializer lebih berisiko terjadinya infeksi
H. Toksisitas Kumulatif
• Kontroversi toksisitas pada pemakaian jangka panjang akibat residu
disinfektan
• Residu < 5 ppm
• Anti-N-like antibody
• Terjadinya hemolisis intravaskuler
• Kerusakan ginjal transplant bila tidak dihangatkan dahulu sebelum
dicangkokkan
• Karsinogenik baik untuk pasien dan pekerja dalam jangka panjang.
• Penting untuk pengujian residu
47
DAFTAR PUSTAKA
Soeparman & Waspadji, 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II Edisi V,
FKUI, Jakarta
Materi Pendidikan dan Pelatihan Dialisis untuk Dokter Umum dan Spesialis
RSUP Dr. Kariadi Semarang Periode Oktober 2013
Materi Pendidikan dan Pelatihan Dialisis untuk Perawat Angkatan XV RSUP Dr.
Sardjito Jogjakarta Periode Agustus 2013
48