Anda di halaman 1dari 11

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Itik Tegal

Itik Tegal adalah telah mengalami domestikasi tetapi belum jelas tahun

masuk tetua tersebut ke wilayah Indonesia (Prasetyo et al., 2006). Itik ini berasal

dari domestikasi itik liar (Anas moscha) (Suharno dan Setiawan, 1999). Itik

memiliki kelebihan dibanding dengan unggas lain karena daya tahan tubuhnya

yang lebih tinggi dibandingkan dengan ayam (Rodenberg et al., 2006). Pada

umumnya itik lokal Indonesia dipelihara untuk tujuan produksi telur. Produksi

telur itik yang dipelihara secara tradisional lebih rendah dibandingkan itik yang

dipelihara secara intensif atau semi intensif (Hardjosworo et al., 2001).

Produktivitas itik lokal Indonesia cukup tinggi dapat mencapai 60 - 70%

dari populasi betina. Umur mulai bertelur 5 - 6 bulan dan masa bertelurnya 12 - 18

bulan (Ranto dan Sitanggang, 2009). Galur itik lokal yang banyak dipelihara

masyarakat di Pulau Jawa di antaranya itik Tegal, itik Mojosari, itik Magelang,

itik Cirebon, dan itik Cihateup, Kalimantan Selatan (itik Alabio), Sumatera (itik

Pegagan) di Bali (itik Bali) dan masih banyak lagi itik lokal lainnya yang tersebar

di seluruh Indonesia. Itik lokal memiliki nama sesuai dengan asal daerah atau

lokasi masing-masing (Matitaputty dan Suryana, 2010).

Itik bersifat omnivorus (pemakan segala) yaitu memakan bahan dari

tumbuhan dan hewan seperti biji-bijian, rumput-rumputan, ikan, bekicot dan

keong. Itik merupakan unggas yang mempunyai ciri-ciri kaki relatif lebih pendek
4

dibandingkan tubuhnya, jarinya mempunyai selaput renang; paruhnya ditutupi

oleh selaput halus yang sensitif, bulu berbentuk cekung, tebal dan berminyak; itik

memiliki lapisan lemak di bawah kulit, dagingnya tergolong gelap (dark meat);

tulang dada itik datar seperti sampan (Suharno dan Setiawan, 1999). Itik lokal

yang terdapat di Indonesia umumnya merupakan itik tipe lokal, mengalami

dewasa kelamin pada umur 20 - 22 minggu dengan lama produksi sekitar 15 bulan

(Hardjosworo dan Rukmiasih, 1999).

2.2. Pakan

Pakan adalah bahan pakan yang telah diramu dan biasanya terdiri dari

berbagai jenis bahan dengan komposisi tertentu. Pakan itik umumnya terbuat dari

bahan nabati dan hewani (Sudaro dan Siriwa, 2000). Bahan pakan yang sering

digunakan untuk menyusun pakan itik antara lain jagung kuning, dedak kasar,

bungkil kedelai, tepung ikan dan lain-lain. Penyusunan pakan dilakukan sesuai

dengan kebutuhan tiap periode dan pertumbuhan produksi (Wahju, 2004). Pakan

dasar dianggap telah memenuhi standar kebutuhan ternak apabila cukup energi,

protein, serta imbangan asam-amino yang tepat (Rasyaf, 1993).

NRC (1994) merekomendasikan standar kebutuhan pakan itik berdasarkan

tujuan pemeliharaan yaitu itik pedaging dan itik petelur. Untuk itik pedaging

kebutuhan protein dan energi umur 0 – 2 minggu adalah 22% dan 2.900 kkal/kg

sedangkan umur 0 – 7 minggu adalah 16% dan 2.900 kkal/kg. Itik petelur

membutuhkan imbangan protein dan energi sebesar 15% dan 2.900 kkal/kg.

Standar kebutuhan dan energi dapat dihitung berdasarkan pola konsumsi pakan
5

per hari (Wahju, 2004). Itik periode bertelur, pemberian pakan dengan kadar

protein tinggi 18% dapat memproduksi telur lebih baik dibandingkan pakan

dengan kadar protein lebih rendah 16%. Pemberian kadar protein yang lebih

rendah menyebabkan telur yang dihasilkan lebih kecil, sedangkan bila kadar

energi pakan yang lebih rendah akan menyebabkan penurunan produksi telur,

tetapi tidak mempengaruhi bobot telur (Wahju, 2004). Konsumsi akan meningkat

apabila itik diberi pakan dengan energi rendah dan sebaliknya akan menurun

apabila diberi energi tinggi. Srigandono (1997) berpendapat bahwa kisaran rasio

energi dan protein pada itik masa bertelur sebesar 145 – 160. Selain protein dan

energi, nutrien yang mempengaruhi produktivitas adalah mineral (NRC, 1994).

Kebutuhan zat kapur dan fosfor untuk itik yang sedang bertelur cukup tinggi

dalam pakannya yaitu berkisar 3,0% Ca dan 0,60% P. Penurunan zat kapur

hingga 1,25% dalam pakan menyebabkan penurunan produksi telur dan kerabang

telur yang lebih tipis. Kekurangan zat fosfor akan menurunkan nafsu makan dan

menyebabkan pertumbuhan terlambat, serta penurunan produksi dan bobot telur

(Wahju, 2004). Kebutuhan nutrien itik petelur dalam pakan terdapat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kebutuhan Nutrien Pakan pada Itik Petelur Lokal

Nutrien Pakan Umur Itik Petelur (Minggu)


0–8 9 – 20 >21
Protein kasar (%) 17-20 15-18 17-19
Energi metabolis (kkal EM/kg) 3.100 2.700 2.700
Metionin (%) 0,37 0,29 0,37
Lisin (%) 1,05 0,74 1,05
Ca (%) 0,60-1,00 0,60-1,00 2,90-3,25
P (%) 0,60 0,60 0,60
Sumber : Sinurat (2000)
6

2.3. Limbah Rumput Laut Gracilaria sp.

Rumput laut yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah Gracilaria

verrucosa karena mampu menghasilkan agar-agar tiga kali lipat dibanding jenis

lain (Meliandasari et al., 2013). Rumput laut memiliki kandungan nutrien yang

tinggi, antara lain polisakarida dan serat yang berperan memperlancar sistem

pencernaan makanan, mineral iodin, kalsium, protein tinggi, asam lemak omega 3

dan 6 (Suparmi dan Sahri, 2009).

Komposisi kimia rumput laut bervariasi sesuai dengan spesies dan kondisi

lingkungan hidupnya. Al-Zaablawy (2005) melaporkan bahwa dalam 100% BK

(bahan kering) Gracilaria sp mengandung 17% abu; 11% Protein; 54%

Carbohaydrate; 0,3% asam lemak; 4,1% Ca; 0,06% P. Mengandung asam amino

lysin sebesar 13,3%; leucin 6,8%; prolin 9,1%; threonine 9,7%; arginine 5,8%

dan histidine 8,4%. Situmorang et al. (2013) menyatakan bahwa rumput laut

mengandung kadar air 81,43%, lemak kasar 1,56%, serat kasar 11,26% dan

protein kasar 11,04%. Horhorrow et al. (2009) menambahkan kandungan rumput

laut yaitu metabolisme energi 1.627 kkal/kg, protein 7,11%, serat kasar 4,65%,

kalsium 4,197% dan fosfor 0,081%. Kandungan mineral esensial yang terkandung

dalam rumput laut menurut Haryanti et al. (2008) antara lain besi, iodin,

aluminum, mangan, kalsium, nitrogen dapat larut, fosfor, sulfur, klor. silikon,

rubidium, strontium, barium, titanium, kobalt, boron, tembaga, kalium.

Kelemahan penggunaan limbah rumput laut adalah kandungan serat kasar

yang tinggi, sehingga perlu pengolahan untuk menurunkan serat kasar dan

meningkatkan kandungan protein. Pemberian pakan yang mengandung limbah


7

rumput laut terfermentasi telah diteliti pada itik lokal dan dapat dimanfaatkan

hingga 10%. Namun pada level yang lebih tinggi justru menurunkan

kecernaannya dalam saluran pencernaan.

Penelitian terdahulu teknologi pengolahan limbah rumput sebagai bahan

pakan telah dilakukan. Menurut Padhi et al. (2003) melakukan percobaan

pemberian rumput laut sebesar 0; 2,5; 5,0 dan 7,5%, diperoleh hasil bahwa

penambahan rumput laut sampai level 7,5% tidak mengganggu kinerja produksi

telur, akan tetapi tidak berpengaruh nyata pada berat badan, konsumsi pakan dan

produksi telur. Situmorang et al. (2013) melaporkan bahwa perlakuan dengan

penggunaan tepung rumput laut Gracilaria sp. dengan level 2,5; 5 dan 7,5%

secara nyata berpengaruh menurunkan konsumsi protein, namun tidak

berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan, kecernaan protein kasar

dan rasio efisiensi protein. Namun pada level yang lebih tinggi justru menurunkan

kecernaannya dalam saluran pencernaan. Monica (2015) menyatakan bahwa

penggunaan tepung limbah rumput laut fermentasi sampai level 15% menurunkan

kecernaan protein, retensi nitrogen, dan pertambahan bobot badan, namun

menghasilkan masa protein daging dan efisiensi protein yang sama.

Limbah rumput laut Gracilaria sp. memiliki kandungan serat kasar berupa

polisakarida yang sulit dicerna oleh enzim dalam saluran pencernaan. Maka perlu

adanya suplementasi aditif enzim untuk membantu menurunkan kandungan serat

kasar dan meningkatkan daya cernanya dalam saluran pencernaan ternak pada

limbah rumput laut, sehingga dalam penelitian ini dilakukan suplementasi aditif

enzim dalam upaya menghilangkan antinutrisi limbah rumput laut dan


8

meningkatkan kecernaannya. Selain mampu meningkatkan keceranan penggunaan

multi enzim dalam ransum lebih mudah diaplikasikan jika dibandingkan dengan

pengolahan secara fermentasi. Limbah rumput laut memiliki kandungan

karagenan yang dominan bersifat mengikat air selain itu juga mengandung

makromineral dan mikromineral yang esensial untuk tubuh.

2.4. Enzim

Enzim adalah satu atau beberapa gugus polipeptida (protein) yang berfungsi

sebagai katalis (senyawa yang mempercepat proses reaksi tanpa habis bereaksi)

dalam suatu reaksi kimia (Hatta et al., 2010). Enzim juga dapat didefinisikan

sebagai molekul biopolimer yang tersusun dari serangkaian asam amino dalam

komposisi dan susunan rantai yang teratur dan tetap. Enzim diproduksi dan

digunakan oleh sel hidup untuk mengkatalisis reaksi antara lain konversi energi

dan metabolisme pertahanan sel (Richana et al., 2002). Enzim diproduksi oleh

organisme hidup untuk meningkatkan pengaturan reaksi kimia yang luas dan

beragam yang diperlukan untuk kehidupan. Mikroorganisme terlibat dalam semua

proses penting bagi kehidupan seperti replikasi DNA dan transkripsi, protein

sintesis, metabolisme dan transduksi sinyal (Li et al., 2012). Enzim membantu

menurunkan viskositas gel dalam saluran pencernaan, memperbaiki jalan masuk

enzim endogeneous kepada cadangan-cadangan nutrisi, dan membebaskan nutrisi-

nutrisi yang terperangkap (Pugh dan Chalfont, 1993). Penambahan enzim dalam

bahan pakan ternak biasanya dilakukan pada bahan pakan yang kecernaannya
9

rendah dengan tujuan meningkatkan nilai kecernaan dalam tubuh (Mastika,

2000).

Lim et al. (2001) menyatakan bahwa multienzim terdiri dari gabungan

beberapa enzim seperti xilanase, protease dan lipase. Multienzim mengandung

cellulase, xylanase, phytasee, protease, pectinase, lipase (Polii et al., 2015).

Suprijatna et al. (2008) menyatakan bahwa penambahan enzim selulase, protease,

fitase, dan lipase dalam pakan unggas berfungsi memperbaiki efisiensi pakan,

dapat mengoptimalkan proses pencernaan bahan pakan sehingga dapat

meningkatkan pertambahan berat badan. Enzim selulase dapat mengubah serat

kasar (selulosa) menjadi molekul yang lebih sederhana sehingga tidak lagi sebagai

polisakarida.

Beberapa penelitian pada ayam menunjukkan bahwa penggunaan

multienzim ini berdampak positif terhadap produksi telur dan kualitas telur.

Aderemi et al. (2006) menyatakan bahwa, penggunaan enzim komersial yang

mengandung multi enzim mampu memperbaiki penampilan produksi telur dan

efisiensi penggunaan pakan. Menurut Xuan et al. (2001) menyatakan bahwa

pemberian 0,10 - 0,30% multi enzim dalam pakan secara nyata dapat

meningkatkan kecernaan fosfor, pertumbuhan, dan efisiensi penggunaan pakan.

Enzim lipase mampu mengubah lemak menjadi asam lemak dan gliserol yang

berfungsi membantu proses pencernaan, sehingga proses penyerapan zat-zat

makanan dapat meningkat.


10

2.5. Konsumsi Pakan

Konsumsi pakan diketahui dari jumlah pakan yang dikonsumsi selama

penelitian atau dengan cara menimbang jumlah pakan yang diberikan dengan

dikurangi sisa pakan. Amrullah (2004), menyatakan bahwa untuk menduga

besarnya konsumsi pakan ternak unggas dengan mempergunakan data

sebelumnya dan memperhitungkan perubahan suhu lingkungan serta adanya

faktor lain yang mempengaruhi pada minggu berikutnya.

Beberapa faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan itik adalah kesehatan

itik, kandungan energi dalam pakan, macam bahan pakan dan kondisi pakan yang

diberikan, kebutuhan produksi dan hidup itik berdasarkan tingkat

pertumbuhannya serta selera dan metode pemberian pakan yang dipergunakan

peternak (Rasyaf, 1993). Amrullah (2004) menyatakan bahwa terdapat dua faktor

utama yang berpengaruh terhadap konsumsi harian pakan yaitu kandungan kalori

pakan dan suhu lingkungan.

Pemberian pakan dibagi menjadi tiga tingkatan usia, yaitu anak itik dan itik

yang sedang bertelur. Total konsumsi pakan itik yaitu lebih dari 170 gr/ekor/hari

(Ketaren, 2002), sementara konsumsi pakan itik Mojosari Alabio fase pertama

umur 20 - 43 minggu lebih rendah yaitu 154,56 g/ekor/hari (Ketaren dan Prasetyo,

2002). Tingginya konsumsi pakan tersebut diakibatkan oleh perilaku itik yang

cenderung langsung minum setelah makan, sehingga sebagian pakan yang masih

berada di dalam paruh larut dalam tempat air minum. Ada indikasi bahwa

kebutuhan gizi untuk itik pada fase produksi pertama (umur 20 - 43 minggu)

berbeda dengan pada fase produksi kedua (umur 44 - 67 minggu).


11

2.6. Hen Day Production (HDP)

Produktivitas itik petelur yang digembalakan hanya sekitar 26,9 – 41,3%

setara dengan 98 – 151 butir/ekor/tahun, sementara tingkat produksi telur itik

terkurung dapat mencapai 55,6% (203 butir/ekor/tahun) dan bahkan Ketaren dan

Prasetyo (2000) melaporkan bahwa produksi telur itik silangan Mojosari-Alabio

(MA) selama setahun mencapai 69,4% (253 butir/ekor/tahun). Menurut Bharoto

(2001) produksi telur itik Tegal dapat mencapai 200 - 250 butir per tahun, itik

Mojopura 180 - 185 butir per tahun, itik Bali 140 - 200 butir per tahun, itik Alabio

250 - 300 butir per tahun dan itik Brati atau Togri 180 - 225 butir per tahun.

Produksi yang tinggi dipengaruhi oleh pakan yang baik. Hal ini dapat

dicapai keseimbangan antara energi dan protein serta zat-zat makanan lainnya

seperti lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Itik umumnya mengalami usia

masak kelamin pada umur 20 - 22 minggu dan lama produksi selama 15 bulan.

Itik mengalami puncak produksi tertinggi pada umur 27 - 32 minggu (Septyana,

2008). Subiharta et al. (2001) melaporkan tinggal 25% itik Tegal yang

berkemampuan produksi di atas 65%, bahkan lebih dari 50% itik Tegal yang

produksinya kurang dari 50%.

Produktivitas telur itik dapat diketahui dengan menghitung produksi harian

atau Hen Day Production (HDP) dalam satu kelompok. Produksi telur tinggi

apabila nilai HDP tersebut lebih dari 60%. Itik mempunyai nilai HDP tinggi jika

dipelihara tidak lebih dari umur 18 bulan (Hardjosworo dan Rukmiasih, 1999).
12

2.7. Konversi Pakan

Konversi pakan adalah jumlah pakan (kg) yang dibutuhkan untuk

menghasilkan telur dalam ukuran yang sama (kg). Konversi pakan tergantung

pada jumlah pakan yang dikonsumsi, jumlah dan bobot telur yang dihasilkan.

Konversi pakan merupakan cara untuk mengukur efisiensi penggunaan pakan.

Nilai konversi pakan dapat diketahui dengan membandingkan antara jumlah

pakan yang dikonsumsi pada waktu tertentu dengan produksi yang dihasilkan

(pertambahan bobot badan atau jumlah telur) dalam kurun waktu yang sama.

Suprijatna et al. (2005) yang menyatakan bahwa konversi pakan sebagai tolak

ukur untuk menilai seberapa banyak pakan yang dikonsumsi itik menjadi jaringan

tubuh, yang dinyatakan dengan besarnya bobot badan adalah cara yang masih

dianggap terbaik. Semakin rendah nilai konversi pakan maka ternak tersebut

semakin efisien dalam merubah pakan menjadi jaringan tubuh.

Konversi pakan dapat digunakan sebagai gambaran untuk mengetahui

tingkat efisiensi produksi. Angka konversi pakan menunjukan tingkat efisiensi

pakan, artinya jika semakin tinggi angka konversi pakan maka semakin tidak

efisien pakan yang di konsumsi dalam menghasilkan produksi telur, sebaliknya

semakin rendah angka konversi pakan semakin efisien pakan yang digunakan

dalam menghasilkan produksi telur. Seperti yang dinyatakan Ketaren (2007)

bahwa penggunaan pakan yang tidak efisien pada itik petelur maupun pedaging

dapat diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain faktor genetik/bibit, banyaknya

pakan tercecer dan kandungan gizi pakan yang tidak sesuai kebutuhan.
13

2.8. Bobot Telur

Bobot telur biasanya digunakan sebagai ukuran telur (g/butir). Bobot telur

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu genetik, bangsa, umur dewasa kelamin,

obat-obatan, zat nurisi, tingkat protein dalam pakan, cara pemeliharaan dan suhu

lingkungan. Bobot itik saat pertama bertelur sangat berpengaruh terhadap berat

telur pertama, dimana itik yang memiliki bobot yang ringan saat pertama bertelur

cenderung akan menghasilkan berat telur pertama yang kecil pula, demikian

sebaliknya. Hal ini sesuai dengan pendapat Leeson dan Summers (2000) yang

menyatakan bahwa bobot badan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi

ukuran telur baik saat dewasa kelamin dan periode bertelur, bobot pertama

bertelur yang ideal merupakan salah satu kriteria untuk awal masa produksi.

Prasetyo et al. (2006), menyatakan bahwa bobot telur pertama itik Alabio,

Mojosari dan persilangannya berurutan 56,39 g; 53,69 g; dan 56,66 g/butir.

Bharoto (2001) mengatakan bahwa berat telur rata-rata itik Tegal adalah 70 - 75

g/butir dan itik Mojopura 60 - 65 g/butir.

Anda mungkin juga menyukai