Anda di halaman 1dari 22

Nama : Sugiantoro

NIM : 020526535
Kelas : TAP ADPU 01

1. SISTEM ADMINISTRASI NEGARA :  Administrasi Negara Sebagai Suatu


KESATUAN REPUBLIK Sistem
INDONESIA  Manajemen Administrasi Negara
Indonesia
     BMP ADPU4230 Edisi  Strategi Penyempurnaan Administrasi
Negara
 E-Government

 Administrasi Negara Sebagai Suatu Sistem


Penyelenggaraan administrasi Negara adalah penyelenggaraan administrasi
mengenai Negara dalam keseluruhan arti, unsur, dan dinamikanya yang dilakukan
oleh aparatur Negara. Dengan demikian sangatlah luas kajian topic penyelenggaraan
administrasi Negara. SANKRI sebagai suatu system terdiri atas subsistem-subsistem
yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Hubungan antar subsistem ini saling
bergantung sehingga apabila suatu subsistem tidak dapat menjalankan fungsinya
dengan baik maka akan mempengaruhi subsistem lainnya. Akibatnya system secara
keseluruhan tidak dapat bekerja secara maksimal yang justru merusak kewibawaan
system itu sendiri.
Sistem administrasi Negara suatu Negara mengacu pada konstitusi yang
berlaku di Negara yang bersangkutan. Dalam konteks ini, pengetahuan tentang
periodisasi perkembangan SANKRI diperlukan sebagai dasar untuk memahaminya.

A. PENGERTIAN DAN PRINSIP ADMINISTRASI


Para ahli sepaham bahwa yang disebut dengan administrasi adalah suatu proses
atau rangkaian kegiatan manusia untuk mencapai sesuatu tujuan. Upaya untuk mencapai
tujuan tersebut dilakukan melalui kerja sama antara individu-individu yang terlibat di
dalamnya.
Secara harfiah, administrasi berasal dari kata administration (bahasa Inggris) atau
administratie (bahasa Belanda). Istilah administrasi sebagaimana yang dikenal di Indonesia
dewasa ini, berasal dari Eropa Barat melalui penjajahan Belanda. Setelah ditelusuri istilah ini
berasal dari bangsa Romawi.Istilah administratif dari bahasa Belanda mempunyai dua arti:
1. Menunjuk pada kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang dalam pekerjaan pencatatan,
korespondensi, perhitungan, kearsipan dan semacamnya yang lazim dilakukan dalam
tugas kesekretariatan atau tata usaha suatu organisasi;
2. Menunjuk pada penyelenggaraan pemerintahan. Aktivitas mengendalikan pemerintahan
dikenal pula dalam istilah bestuur, yang ilmunya dikenal dengan sebutan bestuurskunde,
ilmu pemerintahan.Bestuurkunde adalah ilmu yang mempelajari cara yang setepatnya
untuk menyusun dan memimpin perangkat pemerintah, menentukan hubungan antara
sesama aparat dan antara aparat dengan warga negara melalui peraturan-peraturan
hukum yang disebut bestuursrecht atau hukum pemerintahan
Beberapa pengertian menurut para ahli:
1. Ulbert Silalahi (2005), yaitu berikut ini.
a. Administer = pembantu, abdi, kaki tangan, penganut;
b. Administratio = pemberian bantuan, pemeliharaan, perlakuan, pelaksanaan,
pimpinan, pemerintahan, pengelolaan;
c. Administro = membantu, mengabdi, memelihara, menguruskan, memimpin,
mengemudikan, mengatur;
d. Administrator = pengurus, pengelola, pemimpin.
2. Webster (1962) dijelaskan istilah administer berasal dari Perancis kuno, dan Latin,
administrare; dari ad + ministrare yang dalam bahasa Inggris berarti to serve.to
administer dapat berarti sebagai berikut:
a. To manage atau to direct, yaitu mengendalikan atau memimpin, seperti dalam
kalimat to administer a government, yang berarti mengendalikan pemerintahan.
b. To serve out to dispense, yaitu melayani, melaksanakan atau membagikan, seperti
pada kalimat to administer the sacraments.
3. Woodrow Wilson (Shafritz and Albert C. Hyde, 1987) yaitu “The Study of
Administration” Tahun 1887, melakukan hal yang tepat dengan efisiensi tinggi serta
dengan biaya serendah mungkin, baik berupa uang maupun energy;
4. Lepawsky (1960), administrasi dipergunakan secara luas yang meliputi organisasi dan
manajemen; administrasi adalah kemampuan menentukan tujuan, yang harus dicapai
oleh suatu organisasi dan manajemen.
5. Atmosudirdjo (1980), kegiatan memberi bantuan dalam mengelola informasi,
mengelola manusia, mengelola harta benda ke arah suatu tujuan yang terhimpun dalam
organisasi.
Secara fungsi, administrasi dapat dilihat dalam arti sempit dan luas. Administrasi
dalam arti sempit disebut juga tata usaha (clerical work, office work). Kegiatan tata
usaha ini meliputi kegiatan pengelolaan data dan informasi yang ke luar dari dan masuk
ke organisasi, sebagai satu keseluruhan rangkaian kegiatan yang terdiri atas
penerimaan, pencatatan, pengklasifikasian, pengolahan, penyimpanan, pengetikan,
penggandaan, pengiriman informasi dan data secara tertulis yang diperlukan oleh
organisasi (Ulbert Silalahi, 2003). Yang dirangkum dalam 3 kelompok, korespondensi
atau surat menyurat, ekspedisi, dan pengarsipan.
Sedangkan dalam pengertian luas menurut para ahli:
1. Menurut Dimock dan Dimock (1984), administrasi adalah aktivitas kelompok yang
bekerja sama;
2. Leonard D. White (1958), mengemukakan bahwa administrasi adalah proses yang umum
terdapat dalam setiap usaha kelompok, negara ataupun swasta, sipil maupun militer,
berskala besar maupun kecil;
3. Lepawsky (1960),
- Praktik-praktik dan teknik-teknik tertentu dalam masyarakat yang terbentuk secara
teratur diakui sebagai lapangan administrasi atau manajemen;
- Praktik-praktik administratif dan teknik-teknik manajerial ini memungkinkan
berbagai organisasi pemerintahan dan bisnis, klub sosial dan serikat pekerja untuk
memenuhi tanggung jawabnya dan melaksanakan program-programnya;
- Teknik-teknik administratif ini adalah menjadi bagian penting untuk mencapai hasil
akhir sebagai program nyata yang harus dilaksanakan.
Dimensi administrasi terdiri dari berikut ini.
1. Organisasi;
2. Manajemen;
3. Kepemimpinan;
4. Pengambilan keputusan;
5. Komunikasi atau hubungan aktivitas kerja manusia.
Fayol dalam Hodgetts (1975), telah meletakkan sejumlah prinsip-prinsip umum
administrasi:
1. Pembagian kerja (division of work), merupakan spesialisasi yang dipertimbangkan untuk
efisiensi dalam pekerjaan;
2. Wewenang dan tanggung jawab (authority and responsibility), Wewenang adalah hak
administrator untuk memberikan perintah dan memberikan pengaruh kepada
bawahannya. Wewenang merupakan sesuatu yang melekat dalam diri
administrator.Tanggung jawab adalah kewajiban seseorang untuk mencapai hasil-hasil
yang bersama-sama ditentukan melalui tindakan partisipasi antara atasan dan bawahan.
3. Disiplin (discipline), ketaatan pegawai dalam menghormati perjanjian kerja dengan
institusi di mana pegawai itu bekerja;
4. Kesatuan perintah (unity of command), Pegawai menerima perintah hanya dari satu
pimpinan;
5. Kesatuan arah dan tujuan (unit of direction), setiap kelompok kegiatan mempunyai
kesamaan tujuan, yang mempunyai seorang pimpinan dan rencana;
6. Mendahulukan atau mengutamakan dan menempatkan kepentingan organisasi di atas
kepentingan pribadi (subordination of individual to general interest);
7. Penggajian atau upah (remuneration), Layak dan proporsional sesuai dengan tanggung
jawab dan kedudukannya, dapat memuaskan semaksimal mungkin baik pegawainya
maupun pemimpinnya;
8. Sentralisasi (centralization), diberi tanggung jawab dapat menerapkan serta
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dalam unit kerjanya;
9. Skala hierarki (scalar cain), garis wewenang dan program yang diturunkan dari pimpinan
puncak ke pimpinan bawah dan pekerja;
10. Tata tertib (order), Segala sesuatu ditempatkan sesuai dengan situasi dan kondisi;
11. Keadilan (equity);
12. Stabilitas jabatan (stability of tenure);
13. Prakarsa atau inisiatif (initiative), pegawai perlu diberikan kebebasan untuk memikirkan
dan mengeluarkan pendapat tentang semua aktivitas, bahkan untuk mengevaluasi diri;
14. Solidaritas kelompok kerja (la esprit de corps).

B. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP ADMINISTRASI NEGARA


Administrasi negara berfokus pada fenomena penyelenggaraan negara atau
organisasi dan manajemen negara yang berkenaan dengan keseluruhan unsur dan interaksi
antarunsur negara (warga negara, wilayahnegara, dan pemerintahan negara), tujuan
bernegara, serta posisi dan peran negara dan warga negara (masyarakat) dalam keseluruhan
aktivitas di dalamnya.
Definisi administrasi negara dari ahli-ahli berikut:
1. Dwight Waldo, 1982, Public Administration adalah organisasi dan manajemen dari
manusia dan benda guna mencapai tujuan-tujuan pemerintah. Public Administration
adalah suatu seni dan ilmu tentang manajemen yang dipergunakan untuk mengatur
urusan-urusan Negara;
2. John M Pfeiffer dan Robert V. Presthus, 1960, suatu proses yang bersangkutan dengan
pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintah, pengaruh kecakapan-kecakapan dan
teknik-teknik yang tak terhingga jumlahnya yang memberi arah dan maksud terhadap
usaha-usaha sejumlah besar orang;
3. Felix A. nigro, 1970,
- Suatu kerja sama kelompok dalam lingkungan pemerintah;
- Mempunyai peranan penting dalam perumusan kebijakan umum/negara dan oleh
karenanya merupakan sebagian dari proses politik;
- Berbeda dengan administrasi privat;
- Berkaitan erat dengan berbagai macam kelompok swasta dan perorangan dalam
menyajikan pelayanan kepada masyarakat.
4. Gordon, 1982, studi tentang seluruh proses, organisasi dan individu yang bertindak
sesuai dengan peranan dan jabatan resmi sehubungan dengan pelaksanaan peraturan
perundangan yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan peradilan.
Nicholas Henry (1988) dengan memusatkan pengamatan atas lokus (tempat di mana
bidang itu berada) dan focus (kekhususan dari bidang ini) dari Ilmu Administrasi seperti yang
dianjurkan Golembiewsky, telah membagi perkembangan administrasi negara ke dalam 5
paradigma, khususnya di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Kelima paradigma itu
adalah berikut ini:
1. Dikotomi antara Politik dan Administrasi 1900-1926.
Nicholas Henry, 1980; Dwight Waldo, 1968, yaitu politik tidak tercampur dengan
administrasi; manajemen dapat menjadi bidang studi tersendiri; administrasi negara
dapat menjadi ilmu yang bebas nilai; periode di mana misi administrasi adalah ekonomi
dan efisiensi;
2. Prinsip-prinsip Administrasi, 1927-1937.
Nicholas Henry, 1980, yaitu prinsip-prinsip bekerja dalam suasana administrasi mana
pun, tanpa memandang budaya, fungsi, lingkungan, misi ataupun kerangka institusional
serta tanpa pengecualian-maka hal itu diikuti pula oleh kebenaran bahwa prinsip-prinsip
tersebut dapat diterapkan di mana pun juga dengan berhasil;
3. Administrasi Negara sebagai Ilmu Politik, 1950-1970.
Muncul kritik-kritik sebagai reaksi terhadap kelemahan yang tampak pada paradigma 1
dan 2, yang pada dasarnya meliputi 2 hal, yaitu:
a. Dikotomi antara politik dan administrasi tidak realistis (Fritz Morsten, 1946) (Gaus,
1950);
b. Prinsip-prinsip administrasi tidak konsisten dan tidak dapat berlaku universal (Simon,
1946 dan 1947; Dahl, 1946).
4. Paradigma 4, yaitu Administrasi Negara sebagai Ilmu Administrasi, 1956-1970.
Herbert A. Simon, 1947; Nicholas Henry, 1980. Secara tidak disadari pada waktu itu,
mengarah pada 2 hal yang terpisah tetapi bersifat komplementer. Seadngkan yang satu
adalah menimbulkan administrasi negara baru, yang satu lagi terjadinya perkembangan
program-program interdisipliner dalam ilmu pengetahuan, psikologi sosial, teknologi dan
kebijakan umum atau dalam terminologi yang lain;
5. Paradigma 5, yaitu Administrasi Negara sebagai Administrasi Negara 1970.
Paradigma ini mengidentifikasi diri dengan masalah dan kepentingan publik sebagai
lokus, dan teori administrasi, Ilmu Manajemen dan Kebijakan Publik sebagai fokus.
Menurut Buku SANKRI (2003), ditinjau dari segi unsurnya yang pokok dalam
kehadirannya sebagai disiplin dan sebagai sistem, ruang lingkup perhatian administrasi
negara tersebut meliputi pokok-pokok sebagai berikut:
1. Tata nilai, landasan falsafah dan etika serta pandangan hidup yang mendasari atau pun
nilai-nilai spiritual yang menghikmatinya;
2. Organisasi dan manajemen pemerintahan Negara, organisasi lembaga eksekutif
(pemerintah), legislatif (DPRD, DPR, DPD), yudikatif (badan peradilan) dan lembaga
negara lainnya yangdiperlukan serta saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan
negara; termasuk organisasi kesekretariatan lembaga-lembaga tersebut;
3. Manajemen pemerintah negara,;
4. Sumber daya aparatur negara;
5. Sistem dan proses kebijakan negara, hal-hal yang berkenaan dengan fungsi dan proses
(1) Perumusan kebijakan; (2) Penetapan kebijakan; (3) Pelaksanaan kebijakan; (4)
Pengawasan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan; (5) Penilaian hasil (evaluasi
kinerja) pelaksanaan berbagai kebijakan negara untuk menangani atau mengatasi
berbagai persoalan lingkungan administrasi Negara;
6. Posisi, kondisi, dan peran masyarakat bangsa dalam bernegara;
7. Hukum administrasi negara.

C. Perkembangan dan Peran Administrasi Negara


Berbagai kasus dalam proses pengembangan sistem administrasi negara, seperti
keterlambatan pengembangan sumber daya manusia di awal masa kemerdekaan, ternyata
mendapatkan jawaban pada fase kedua pembangunan nasional, yaitu antara Tahun 1970-an
sampai akhir Tahun 1990 an, sekalipun belum dilaksanakan secara terfokus. Fenomena
pembangunan pada fase kedua tersebut sangat diwarnai oleh pembangunan fisik,
infrastruktur-infrastruktur perekonomian, sosial dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
dasar masyarakat.
Tantangan yang dihadapi adalah ketidakmampuan birokrasi pemerintahan dalam
menciptakan kepemerintahan yang baik (good governance).
Menurut Nugroho D (2003), sistem administrasi negara (publik) yang efektif adalah
administrasi negara yang mengembangkan efektivitasnya dengan mengembangkan
kemampuan intinya (core competence). Menurutnya masalah ini dapat disetarakan dengan
pengelolaan keluarga dalam keluarga umumnya di Indonesia.
Menurut Mustopadidjaja (2003), strategi dan program aksi yang terarah pada proses
pencapaian sasaran dan tujuan pembangunan dalam rangka SANKRI memerlukan suntikan
aktivitas, pada pokoknya meliputi:
(a) aktualisasi tata nilai, yang melandasi dan menjadi acuan perilaku sistem dan proses
administrasi negara dan birokrasi, yang terarah pada pencapaian tujuan bangsa dalam
bernegara;
(b) penyesuaian struktur (tatanan kelembagaan negara dan masyarakat pada setiap satuan
daerah/wilayah);
(c) proses [manajemen dalam keseluruhan fungsinya, dalam dinamika kegiatan dan entitas
publik dan privat (business and society)];
(d) kualitas sumber daya aparatur yang berada pada struktur dengan posisi, hak, kewajiban,
dan tanggung jawab tertentu.
SANKRI dapat dirumuskan sebagai keseluruhan tatanan organisasi dan proses
manajemen dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa guna mewujudkan
cita-cita dan tujuan bernegara sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan yang
diamanatkan konstitusi negara.
Implementasi SANKRI dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan
pembangunan bangsa guna mewujudkan cita-cita dan tujuan bersama dalam bernegara
dilakukan melalui pengembangan dan kerja sama kelembagaan (antarindividu,
antarkelompok masyarakat, antarlembaga, antarsektor, antarwilayah, antara negara dengan
warga negara; serta antarnegara) dengan mengembangkan sistem dan proses kebijakan
yang partisipatif dalam berbagai bidang kehidupan.
D. Dimensi-dimensi Nilai dalam SANKRI
Pancasila akan bermakna nyata jika dalam implementasinya berfungsi sebagai the
living ideology, sebagai ideologi yang hidup dan nyata, dengan cara berikut ini:
a. Nilai-nilai Pancasila harus tercermin dalam tingkah laku penyelenggara dan warga
Negara;
b. Menjiwai dan terefleksi dalam setiap kebijakan administrasi negara, baik dalam interaksi
politik, ekonomi, budaya dan lainnya;
c. Dilaksanakan secara murni dan konsekuen serta taat asas sehingga menjadi culture of our
own yaitu budaya yang melekat pada perilaku kita (publik);
d. Harus dihindari praktik administrasi negara yang memperlihatkan gejala-gejala yang
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, seperti terlalu berorientasi pada kekuasaan,
orientasi materialisme yang serakah, neo feodalisme dan primordialisme, budaya santai,
ketimpangan mencolok dan rasa rendah diri sebagai warga negara;
e. Diperlukan kepemimpinan yang berwawasan luas, mau melayani publik secara prima
sehingga dalam penyelenggaraan sistem administrasi negara bertolak untuk mewujudkan
pelayanan publik, pemberdayaan masyarakat dan akselerasi pembangunan.
Dimensi-dimensi nilai SANKRI terkandung dalam bentuk dan sistem pemerintahan
negara yang ditetapkan dan tertuang dalam Pasal 1 UUD 1945. Di dalamnya tercantum
dengan jelas bentuk dan sistem pemerintahan negara Indonesia adalah menganut bentuk
negara kesatuan serta negara yang kedaulatannya ada di tangan rakyat (demokrasi). Di
samping itu, ditegaskan juga di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa Negara Indonesia
adalah negara hokum.

 Manajemen Administrasi Negara Indonesia

Arah pengembangan sistem administrasi negara dalam kerangka


penyelenggaraan negara pada dasarnya meliputi seluruh perangkat negara, yaitu
lembaga-lembaga negara beserta alat kelengkapannya yang ada dalam melaksanakan
dan menunjang keseluruhan proses penyelenggaraan kegiatan lembaga-lembaga
negara dimaksud, baik eksekutif, legislatif serta yudikatif, maupun lembaga lainnya
yang ada menurut UUD 1945.
Yang terpenting dalam pelaksanaan kegiatan sistem administrasi negara
adalah segi ketatalaksanaan atau manajemennya. Dilihat dari aspek manajemen,
administrasi negara mencakup seluruh tahapan dari manajemen dalam pemerintahan
yang mengandung aspek perencanaan/planning (termasuk penganggaran),
pengorganisasian/organizing, penggerakkan/actuating (termasuk pengarahan), dan
pengawasan/controlling (termasuk pengendalian) yang efektif dan efisien. Luther H
Gullick dan Lyndall Urwick dalam masalah manajemen atau ketatalaksanaan
menyampaikan 7 prinsip POSDCoRB, yaitu Planning (Perencanaan), Organizing
Pengorganisasian), Staffing (Kepegawaian), Directing (Pengarahan), Coordinating
(Koordinasi), Reporting (Pelaporan), dan Budgeting (Penganggaran).
 Perencanaan dan Penganggaran

Pasal 1, UUD No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan


Nasional (SPPN), perencanaan adalah suatu proses menentukan tindakan masa depan
yang tepat, melalui urutan pilihan dengan perhitungan sumber daya yang tersedia.

Luther H. Gullick dan Lyndall Urwick menyatakan perencanaan sebagai


kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan penyusunan garis-garis besar yang memuat
apa yang harus dikerjakan dan metode-metode untuk melaksanakan dalam rangka
mencapai tujuan organisasi.

Dalam Perencanaan terdapat aspek utama yaitu:


a. Tujuan serta sasaran yang ingin dicapau;
b. Permasalahan yang menunjukkan adanya keterkaitan antara tujuan dengan sumber-
sumber daya yang dimiliki;
c. Cara mencapai tujuan dan sasaran rencana yang telah ditetapkan;
d. Penjabaran perencanaan ke dalam program-program;
e. Penentuan jangka waktu pencapaian tujuan dan sasaran.

Perencanaan sebagai salah satu fungsi manajemen yang penting disebabkan:


a. Suatu alat efisiensi untuk menghindari pemborosan;
b. Memperkirakan hal-hal serta prospek-prospek perkembangan yang tidak pasti
nantinya;
c. Alat Pengukur dalam pengawasan dan penilaian.

Tahapan yang perlu dilakukan dalam perencanaan adalah:


a. Perincian tujuan secara lengkap dan jelas;
b. Perumusan kebijakan;
c. Analisis dan penetapan cara dan sarana;
d. Penunjukan pelaksana;
e. Penentuan sistem pengendalian.

A.M. Williams menyampaikan langkah-langkah pembanding dari perencanaan


sebagai berikut:
a. Menentukan maksud dengan jelas;
b. Menentukan alternatif, manajer harus memperhitungkan faktor-faktor yang akan
dihadapi;
c. Mengatur sumber-sumber yang dibutuhkan;
d. Menentukan organisasi, metode, dan prosedur;
e. Pembuatan rencana, mencakup penentuan tujuan, target yang akan dicapai, sunber-
sumber yang dibutuhkan, metode dan prosedur pelaksanaan rencana.

Dalam pemerintahan, perencanaan dibedakan menjadi perencanaan jangka


panjang, jangka menengah, dan jangka pendek. Selain berdasarkan waktu,
perencanaan dibedakan atas perencanaan kebijakan (policy planning) dan
perencanaan program (program planning).

Beberapa hambatan-hambatan dalam pelaksanaan perencanaan:


1. Kejadian yang tidak dapat diramalkan sebelumnya;
2. Kekurangan informasi;
3. Beberpa kebijakan yang diambil pemerintah belum mencapai tujuan yang
diharapkan;
4. Para pelaksana kebijakan memerlukan waktu relatif lama untuk mencapai sesuatu;
5. Perencanaan yang melibatkan lembaga terkadang ada kendala dalam mencapai
tujuan;
6. Menekankan segi kuantitatif akan mengurangi pertimbangan segi kualitatif;
7. Biaya lebih besar daripada yang direncanakan.
 Koordinasi
Pengertian koordinasi menurut para ahli:
- Sondang P. Siagian, proses kegiatan mempersatupadukan berbagai kegiatan yang
saling berbeda, tetapi tujuannya berhubungan;
- James D Mooney dan Alan C. Reilly, pencapaian usaha kelompok secara teratur dan
kestuan tindakan di dalam mencapai tujuan bersama (dalam Syafiie, 1999);
- D.E. Mc Erland, proses di mana pimpinan mengembangkan pola usaha kelompok
secara teratur di antara bawahannya dan menjamin kesatuan tindakan di dalam
mencapai tujuan bersama;
- LAN Indonesia, suatu sistem dan proses interaksi untuk mewujudkan keserasian dan
keterpaduan berbagai kegiatan inter antar lembaga-lembaga negara melalui
komunikasi dan dialog menggunakan sistem manajemen dengan teknologi
informasi;

Beberapa aspek mengenai arti penting dari suatu koordinasi yaitu:


a. Masing-masing unit kerja mempunyai tujuan umum organisasi yang sama
sehingga diperlukan hubungan kerja antara suatu unit dengan unit lainnya;
b. Adanya ketergantungan dalam masalah pekerjaan yang menimbulkan hambatan
dalam pelaksanaannya;
c. Keberhasilan organisasi secara keseluruhan harus menjadi suatu hal prioritas;
d. Terbatasnya sumber daya yang dimiliki.

Agar koordinasi berjalan dengan efektif perlu memperhatikan faktor kejelasan


penanggung jawab kegiatan, tujuan organisasi perlu memperhatikan tujuan satuan-
satuankerja, kejelasan wewenang, tanggung jawab dan tugas satuan-satuan kerja,
koordinasi dalam penyusunan anggaran, dan menjaga hubungan baik antar institusi.

Beberapa hambatan yang sering ditemukan sewaktu melakukan koordinasi


diantaranya:
a. Kurangnya pemahaman mengenai petingnya fungsi koordinasi;
b. Kurangnya kemampuan dalam menjalankan koordinasi;
c. Masing-masing pimpinan unit kerja memandang tugasnya sendiri paling penting;
d. Para pimpinan unit kurang menyaari bahwa koordinasi merupakan sebagian dari
tugas dan tanggung jawabnya;
e. Prosedur dan tata kerja kurang jelas dan berbelit-belit dan tidak diketahui semua
pihak dalam usaha kerja sama.

 Pengawasan dalam Administrasi Negara


Widodo, 2001 mengartikan pengawasan adalah suatu proses usaha untuk
melihat, menemukan apakah suatu kegiatan yang dilakukan sesuai dengan apa yang
direncanakan.

Tujuan dari pengawasan adalah:


a. Menjamin ketepatan pelaksanaan sesuai rencana, kebijakan, dan perintah;
b. Mencegah penyelewengan serta pemborosan anggaran;
d. Mensinkronisasi dan menertibkan koordinasi kegiatan-kegiatan;
e. Menjaga dan membina kepercayaan masyarakat akan kepemimpinan organisasi;
f. Menjamin terwujudnya kepuasan publik.
Jenis pengawasan dapat dirinci menjadi Pengawasan Melekat-Sistem
Pengendalian Internal (Waskat-SPI) dan pengawasan Fungsional (Wasnal). Dari segi
waktu terjadinya maka pengawasan dapat dibedakan menjadi pengawasan preventif
dan represif.

Pengawasan Fungsional (Wasnal) di bagi dalam pengawaan internal


pemerintah dan eksternal pemerintah. Kemudian ada pengawaan Legislatif
(Wasleg)/Pengawasan Politik (Waspol), dan Pengawasan Masyarakat (Wasmas).

Pemerintah mempunyai kewenangan dalam bidang pengawasan serta


pemberian perizinan tertentu bagi mereka yang akan melakukan suatu kegiatan atau
usaha. Pemerintah perlu mempertimbangkan dari berbagai segi misal aspek sosial,
ekonomi atau keamanan dalam memberikan perizinan.

 Strategi Penyempurnaan Administrasi Negara


Menurut Soelendro, (2000) tanda-tanda yang memperlihatkan kurang
cakapnya administrator negara dalam menjalankan tugasnya, antara lain:
1. Terjadinya korupsi yang tinggi;
2. Merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap instansi pemerintah;
3. ketiadaan good governance;
4. Adanya instansi pemerintah dengan programnya yang tidak bekerja optimal;
5. Ketertinggalan di bidang ekonomi.

Faktor penting terkait dengan kondisi administrasi negara saat ini menurut
Soelendro:
Pertama, faktor sistem pemerintahan, menyangkut tatanan, elemen-elemen dari
sistem administrasi, prosedur kerja, peralatan, sarana, dan prasarana pelayanan publik.
Oleh karena itu pembangunan sistem administrasi baik mikro maupun makro perlu
diarahkan terciptanya good governance. Penciptaan iklim yang memprioritaskan
mekanisme pasar yang berkeadilan, kepastian hukum, pemakaian praktek-praktek
yang terbaik di bidang administrasi, menyediakan sistem insentif yang sepadan agar
mekanisme pasar menjadi sehat, serta membuka partisipasi publik dalam merumuskan
kebijakan publik merupakan persyaratan yang harus dipenuhi menciptakan
kepemerintahan yang baik.
Kedua, faktor manusianya sebagai pelaku yang menjalankan sistem administrasi.
Yang mana pendekatan selama ini dipakai command and control, perencanaan
terpusat, kewenangan, dan pembagian kekuasaan terpusat, serta budaya pelaku
pejabat yang superior terhadap masyarakat yang dilayani.

Bryson menyatakan strategi adalah pola tujuan, kebijakan program keputusan


atau alokasi sumber daya yang dapat menentukan apakah sebuah organisasi itu, apa
yang dikerjakan, dan mengapa organisasi itu memiliki tujuan. Strategi merupakan
perpanjangan dari misi organisasi untuk menjembatani organisasi dengan
lingkungannya, dan strategi bisa bersifat jangka menengah atau jangka panjang.

Dalam menyikapi tuntutan reformasi di bidang penyelenggaraan pemerintahan


negara maka kebijakan yang berkenaan dengan penyempurnaan sistem administrasi
negaraditetapkan dalam GBHN (2000-2004), untuk memberikan arah
penyelenggaraan negara dengan tujuan mewujudkan kehidupan yang demokratis
berkeadilan sosial, melindungi hak asasi manusia, menegakkan supremasi hukum
dalam tatanan masyarakat bangsa yang beradab, berakhlak mulia, mandiri, bebas,
maju, dan sejahtera untuk kurun waktu 5 tahun ke depan.

Penyempurnaan administrasi negara tidak hanya berkutat pada aparatur negara


saja, tetapi juga mencakup sistem yang dipraktekkan dalam penyelenggaraan negara.
Penyempurnaan sistem ini didasarkan pada unsur-unsurpokok administrasi negara,
yaitu ditinjau dari dimensi-dimensi organisasi dan dimensi manajemen.

Dari dimensi organisasi, sistem organisasi administrasi negara harus mampu


mewujudkan format dan desain kelembagaan pemerintahan negara yang sesuai
dengan kebutuhan, yaitu sebagai wadah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
merupakan amanah bangsa melalui konstitusi, baik di tingkat pemerintahan pusat
maupun pemerintahan daerah.

Dari dimensi manajemen, sistem penyelenggaraan negara merupakan upaya


yang dinamis, namun tertib dan teratur dalam mengelola urusan pemerintahan beserta
sumber daya dan sistem pendukungnya. Pengembangan dimensi ini meliputi
manajemen kebijakan publik, manajemen ASN, manajemen keuangan negara,
manajemen pelayanan, manajemen hukum, serta pengawasan akuntabilitas, dengan
didukung teknologi informasi dan komunikasi yang berlandaskan prinsip-prinsip good
governance yang bermuara pada pelayanan publik yang prima.

Akuntabilitas menurut Deklarasi Tokyo merupakan kewajiban dari individu-


individu atau penguasa yang dipercayakan dalammengelola sumber-sumber daya
publik. Untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawaban fiskal,
manajerial, dan program. Dalam pengertian yang lebih luas menyangkut pengertian
pelayanan publik, yang berarti pertanggungjawaban pegawai pemerintah kepada
publik yang menjadi konsumen pelayanannya.

Peran-peran yang ada dalam governance adalah state, private sector, dan
society. State, memainkan peran, menjalankan peran, menciptakan lingkungan politik
dan hukum yang kondusif bagi unsur-unsur lain dalam governance. Private sector,
menciptakan lapangan kerja dan pendapatan. Society, mempunyai kompetensi untuk
memasuku lapangan kerja dan mempunyai pendapatan dalam menciptakan interaksi
sosial, ekonomi dan politik secara dinamis,konstuktif dan bermanfaat. Sehingga
mampu menciptakan akuntabilitas kinerjanya.

Pada penjelasan UU No. 28/1999 dinyatakan asas akuntabilitas adalah asas


yang menentukan setiap dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

 E-Government

E-government merupakan suatu istilah yang diberikan untuk pemerintahan


yang mengadopsi teknologi informasi dan komunikasi dalam administrasi
pemerintahan untuk melengkapi dan meningkatkan program dan pelayanannya. Pada
esensinya e-government adalah suatu interaksi dinamis antara pemerintah, swasta,
akademisi, masyarakat umum yang diberdayakan untuk mengakses infrastruktur
informasi lokal/nasional dari mana pun, kapan pun, sesuai dengan kebutuhan masing-
masing.

Beberapa manfaat dari pendayagunaanteknologi komunikasi dan informasi


dalam rangka administrasi pemerintahan, antara lain:
a. Pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat, informasi disediakan 24 jam sehari;
b. Peningkatan hubungan antara pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat umum;
c. Pemberdayaan masyarakat melalui informasi yang mudah diperoleh;
d. Pelaksanaan pemerintahan yang lebih efisien, koordinasi dapat dilakukan melalui
email atau bahkan video conferencing;
e. Menjadikan penyelenggaraan pemerintah lebih bertanggung jawab dan transparan
kepada masyarakat.

E-government dapat menjadi wahana efektif bagi akurasi pengambilan


keputusan dalam konteks perbedaan keadaan geografis, wilayah administratif, dan
level pemerintahan. Ada 6 pokok yang dapat menjadi titik tolak:
1. Akurasi, apakah dalam e-government akurasi pengambilan keputusan dapat
tercapai?;
2. Kecepatan, apakah dalam e-government kecepatan pengambilan keputusan dapat
dilakukan?;
3. Antardaerah apakah dalam e-government pengambilan keputusan, komunikasi,
jaringan antardaerah dapat dilakukan dengan akurat, cepat, murah, dan mudah?;
4. Antara pusat dan daerah, bagaimana bentuk hubungan antara pusat dan daerah
dalam e-government?;
5. Nasional, bagaimana koordinasi antar instansi pemerintah pusat dalam e-
government?;
6. Internasional, bagaimana hubungan pemerintah dengan dunia internasional dalam
konteks e-government?.

Konsep e-government menjadi lebih kompleks karena pada saat yang


bersamaan menstandarkan prosedur manual, sekaligus mengelektronikkannya. Dlam
hal ini pelayanan informasi maka otomasi dan sistem pelayanan dapat disatukan
dalam satu kesatuan pemahaman dan bahasan. E-government harus lebih banyak
memberikan perhatian kepada front-end (pengguna jasa) karena memang esensi
pemerintah adalah untuk itu, dan karena itu pemerintah ada, tanpa mengabaikan
kepentingan internalnya dalam rangka untuk dapat memberikan pelayanan terbaik.

Beberapa contoh inisiatif implementasi e-government di Indonesia:


1. Penayangan hasil Pemilu 2004 secara on-line dan real time;
2. RI-Net, sistem yang menyediakan email dan akses internet kepada para pejabat;
3. Portal nasional yang disediakan kementerian yang bertanggung jawab di bidang
informasi dan komunikasi;
4. Sistem informasi di masing-masing departemen dan nondepartemen;
5. Penggunaan berbagai media komunikasi elektronik di beberapa pemda di
Indonesia.

Inpres No. 3/2003 tentang kebijakan dan strategi nasional pengembangan e-


government menetapkan 6 strategi secara berturut-turut:
a. Mengembangkan sistem pelayanan yang handal dan terpercaya, serta terjangkau;
b. Menata sistem dan proses kerja pemerintah dan pemda secara holistik;
c. Memanfaatkan teknologi informasi secara optimal;
d. Meningkatkan peran serta dunia usaha dan mengembangkan industri
telekomunikasi dan teknologi informasi;
e. Mengembangkan kapasitas SDM, baik pemerintah pusat maupun pemda otonom,
disertai dengan meningkatkan e-literacy masyarakat;
f. Melaksanakan pengembangan secara sistematik melalui tahapan yang realistis dan
terukur.

Pengembangan e-government memiliki lingkup kegiatan yang luas dan


memerlukan investasi dan pembiayaan besar. Sehingga diperlukan siklus
perencanaan, pengalokasian, pemanfaatan, dan pengevaluasian anggaran
pengembangan e-government yang baik sehingga pelaksanaan strategi untuk
pencapaian tujuan strategis e-government dapat berjalan secara efektif.

2. KEBIJAKAN PUBLIK :  Identifikasi dan Perumusan Masalah


Kebijakan Publik
       BMP ADPU4410 Edisi 2  Menyusun Agenda Kebijakan
 Memformulasi Kebijakan
 Mengimplementasi Kebijakan
 Mengevaluasi Hasil dan Dampak
Kebijakan

 Identifikasi dan Perumusan Masalah Kebijakan Publik

A. Karakteristik Masalah Kebijakann

Menurut Charles O. Jones (1977) kemampuan mengidentifikasi masalah


kebijakan akan mempermudah dan memperlancar perumus kebijakan menemukan
alternatif pemecahan masalah kebijakannya.

Keberhasilan memecahkan maslah ditentukan oleh 2 hal, yaitu:


1. Mendefinisikan masalahnya dengan benar;
2. Menemukan alternatif solusinya yangbenar pula.

Karakteristik problema kebijakan menurut pandangan Dunn:


1. Saling ketergantungan masalah, masalah yang satu terkait dan tidak terpisahkan
dengan masalah lainnya;
2. Subyektif, masalah akan didefinisikan, diklasifikasi, dijelaskan, dan dinilai secara
selektif oleh masing-masing subyek;
3. Artifisial/buatan manusia, masalah merupakan kreasi manusia dan oleh karenanya
manusia pula yang harus mendefinisikan dan mengatasinya;
4. Dinamis, masalah dan solusinya selalu fluktuatif terus-menerus sehingga masalah
tidak pernah tuntas teratasi.

Hal di atas disebabkan karena proses kebijakan itu tidak berada dalam ruang
kosong (vacuum), tetapi sarat dipengaruhi oleh ruang dan waktu yang berubah-ubah.
Perubahan ini harus dicermati oleh perumus kebijakan sehingga ia dapat terhindar dari
kesalahan dalam merumuskan masalah kebijakannya.
B. Wilayah dan Ruang Lingkup Masalah Kebijakan

Charles O. Jones (1977) membedakan pengertian problem dengan issue, issue


diposisikan lebih tinggi dari problem dalam konteks kebijakan publik. Menurut Jones,
problems adalah kebutuhan manusia, bagaimanapun diidentifikasi, perlu dicarikan
cara untuk mengatasinya. Sedangkan issue adalah kontroversi yang terjadi pada
problem publik.

Francis G. Castle (1998) mencoba memahami perkembangan wilayah masalah


kebijakan di era pascaperang, agar bisa memahami faktor-faktor yang membentuk
dampak kebijakan pada masa itu, perlu mencermati pola-pola asosiasi antarvariabel,
pola-pola perubahan sepanjang waktu, dan pola-pola hubungan antarwilayah
kebijakan.

Luas dan kompleksnya bidang dan ruang lingkup masalah kebijakan publik
yang harus dihadapi oleh perumus kebijakan maka hal ini menuntut agar mereka
senantiasa meningkatkan kapasitas keahlian, pengetahuan, dan keterampilannya agar
mampu merumuskan masalah kebijakan dengan baik dan benar.

C. Merumuskan Masalah Kebijakan

Jones (1977) menamakan situasi atau kondisi yang disebut oleh Anderson
sebagai peristiwa. Menurut Jones, konsepsi peristiwa adalah aktivitas manusia dan
alam yang dipersepsi memiliki konsekuansi terhadap kehidupan sosial.

William N. Dunn (1981) menyebut ada 4 jenjang tipe masalah kebijakan,


yaitu:
1. Isu mayor atau besar, masalah yang tipikal diketemukan pada level tertinggi berada
dalam yurisdiksinya pemerintahan federal, negara bagian, dan lokal mencakup
masalah misi organisasi pemerintahan yang berkenaan dengan tupoksi utama
pemerintahan;
2. Isu sekunder, masalah terletak pada program di tingkat federal, negara bagian, dan
lokal, misalnya penetapan prioritas program, kelompok sasaran;
3. Isu fungsional, masalah pada program dan proyek misalnya masalah anggaran,
keuangan, pengadaan barang, dan sebagainya;
4. Isu minor atau kecil, masalah pada level proyek spesifik, misalnya masalah
kepegawaian, penetapan staf, gaji tambahan, waktu libur, jam kerja, prosedur kerja,
dan sebagainya.
Dunn juga membedakan 3 klasifikasi masalah kebijakan, yaitu:
1. Masalah yang terstruktur dengan baik;
2. Masalah yang agak terstruktur;
3. Masalah yang tidak jelas strukturnya.

Pandangan Hogwood & Gunn (1984) beberapa pendekatan dalam


mendefinisikan masalah dapat memberikan arahan kepada perumus kebijakan untuk
mendefinisikan masalah kebijakan dengan baik, yaitu:
1. Siapa yang mengatakan kita mempunyai masalah ? Mengapa ?;
2. Apakah hal itu benar-benar masalah ? Apakah pemerintah juga memperlakukan hal
itu sebagai masalah ?;
3. Apakah ada kesepakatan atau persetujuan tentang masalah tersebut ?;
4. Apakah mendefinisikan masalah itu bisa dilakukan dengan cepat/segera ?;
5. Apakah mereka yang sedang mendefinisikan masalah itu memiliki suatu frame
kebijakan khusus tertentu ?;
6. Apakah ada alternatif kerangka kebijakan yang lainnya ?;
7. Bagaimanakah tingkat agregasi/pengelompokan masalahnya ?;
8. Apakah telah dipahami adanya struktur sebab akibat dari suatu masalah ?;
9. Dapatkah implikasi masalah dispesialisasikan, dan bahkan dikuantifikasikan ?;
10. Kapan dan bagaimanakah masalah itu akan ditinjau kembali ?
Setiap perumus kebijakan dituntut memiliki kepekaan dan kejelian dalam
melihat suatu masalah agar dapat mengenalinya dengan cermat,
mengidentifikasikannya, dan mendefinisikannya dengan baik dan benar.

 Menyusun Agenda Kebijakan

A. Arti Agenda Kebijakan

Pendapat beberapa orang ahli tentang agenda kebijakan,


1. J. W. Kingdon (1984), daftar hal-hal atau masalah kepada apa para pejabat
pemerintah dan orang-orang yang terkait erat dengan pejabat tersebut, sedang
memberikan perhatian yang serius terhadap masalah itu pada suatu saat tertentu;
2. James E. Anderson (1979), tuntutan-tuntutan di mana pembuat kebijakan publik
benar-benar memilih atau merasa tertantang untuk memenuhi tuntutan atau
mengatasi masalah. Anderson juga menegaskan agenda kebijakan berbeda dengan
tuntutan politik;
3. T. A. Birkland (2007), sebuah kumpulan masalah, penyebab timbulnya masalah,
simbol-simbol, dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam masalah publik yang
mendapat perhatian dari publik dan pejabat pemerintah.
Birkland menjelaskan ada 4 tingkat agenda:
a. Agenda universe (totalitas populasi agenda), berisi gagasan yang kemungkinan
dapat dibawa masuk dan didiskusikan di masyarakat atau dalam sistem politik;
b. Systemic agenda (agenda sistemik), berisi masalah yang dipersepsi oleh anggota
komunitas politik sebagai suatu yang layak mendapatkan perhatian publik dan
termasuk ke dalam wilayah yurisdiksi resmi otoritas pemerintah;
c. Institutional agenda (agenda institusional), berisi daftar masalah yang tegas
mendapat pertimbangan yang aktif dan serius dari pembuat keputusan yang sah;
d. Decision agenda (agenda keputusan), berisi masalah yang siap dicarikan solusi
pemecahannya oleh pemerintah. Ini berarti hanya masalah yang sudah mencapai
tingkat agenda keputusan saja yang menjadi keputusan kebijakan (policy decision)
yang akan dilaksanakan untuk memecahkan masalah.

Lester dan Stewart (2000) menyebut ada beberapa jenis isu atau masalah pada
agenda sistemik atau institusional dan ada pula yang sudah mencapai agenda
keputusan, yaitu:
1. Subject issues, isu yang relatif luas dan besar seperti masalah polusi udara, air, dan
sebagainya;
2. Policy issues, isu yang berada di sekitar legislasi tertentu seperti masalah yang
telah diatur dalam UU Lingkungan Hidup, UU Ketenagakerjaan, dan sebagainya;
3. Project issues, isu terkait dengan proyek dan lokalitas tertentu, misalnya masalah
pembangunan gedung baru DPR RI, pembelian pesawat kepresidenan, pencabutan
subsidi BBM, dan sebagainya;
4. New issues, isu baru muncul seperti masalah hujan asam, radio aktif, dan
sebagainya;
5. Cyclical issues, isu terjadi secara reguler seperti masalah defisit anggaran, masalah
perlindungan hukum TKI/TKW, dan sebagainya;
6. Recurrent issues, isu yang muncul kembali karena kegagalan pilihan kebijakan
sebelumnya seperti masalah kemiskinan.

Menurut pendapat Puentes-Markides (2007) beberapa alasan mengapa isu bisa


masuk agenda kebijakan, yaitu:
1. Peristiwa yang menimbulkan dan mencapai tingkat krisis tertentu;
2. Informasi hasil evaluasi terhadap program yang ada memunculkan suatu situasi
yang membutuhkan perhatian;
3. Nilai, kepercayaan, dan dorongan yang dpat mengubah situasi menjadi masalah;
4. Tindakan bersama dari kelompok kepentingan, protes, lobi, dan gerakan sosial atas
masalah tertentu;
5. Peran media yang memperluas sebaran masalah;
6. Perubahan politik.
Sebaliknya beberapa alasan mengapa beberapa isu tidak dapat masuk agenda
kebijakan, yaitu:
1. Adanya konflik dan kesalahan dalam mendefinisikan masalah;
2. Pendesakan oleh masalah-masalah lain;
3. Tidak diakui sebagai masalah yang relevan;
4. Tidak dilihat menjadi urusan negara yang resmi;
5. Pemerintah tidak ingin membuat keputusan terhadap masalah tersebut.

Althaus, dkk (2007) berpendapat tentang persyaratan masuknya masalah


agenda ke agenda kebijakan, yaitu:
1. Harus ada persetujuan tentang suatu masalah tertentu yang membutuhkan koalisi
suara baik dari dalam maupun luar pemerintah;
2. Harus ada peluang untuk menemukan solusi, sedikit politisi tertarik pada masalah
yang akan gagal;
3. Setiap masalah harus sesuai dengan kemampuan dana pemerintah untuk
mengatasinya;
4. Masalah itu sebenarnya punya siapa ? Adanya kejelasan dan kepastian masalah itu
menjadi tanggung jawab siapa untuk mengatasinya.

B. Penyusunan Agenda Kebijakan

Thomas A. Birkland (2007) mengutip pendapat Hilgartner & Bosk (1988)


menyatakan penyusunan agenda adalah proses dengan mana masalah dan alternatif
pemecahannya telah mendapat atau kehilangan perhatian dari publik ataupun elit.

Proses penyusunan agenda kebijakan menurut pendapat Nelson dibagi ke


dalam 4 tahap, yaitu:
1. Issue recognition, masalah pertama dikenali kemudian dipersepsi sebagai sesuatu
yang memiliki potensi adanya aksi pemerintah di mana masalah itu harus cukup
penting bagi aktor pemerintah untuk mempertimbangkannya secara serius;
2. Issue adaption, keputusan dibuat untuk merespons atau tidak meresponsnya
sebagai masalah dalam kebijakan publik;
3. Issue prioritization, masalah diterima sebagai masalah yang potensial kemudian
agenda disusun kembali untuk mengakomodasi masalah baru;
4. Issue maintenance, masalah mendapat pertimbangan serius dari pembuat keputusan
kemudian dipertahankan di agenda institusional dan dilanjutkan pada tahap
pembuatan keputusan, sebaliknya bila gagal menarik perhatian pembuat keputusan
maka masalah itu tidak lagi dipertahankan di agenda institusional.

Menurut Cochran & Malone ada 22 model penyusunan agenda kebijakan,


yakni:
1. Model elitis, lebih menekankan pada peran elit yang memiliki kekuasaan dalam
menyusun agenda kebijakan;
2, Model pluralis, lebih melihat kekuasaan berada di tangan kelompok warga yang
aktif dalam politik terlibat dalam menyusun agenda kebijakan yang banyak
mendapat perhatian saat ini.

Penyusunan agenda digambarkan oleh Kingdon sebagai adanya aktivitas tiga


aliran atau arus berbeda menuju ke arah yang sama. Aliran itu adalah:
1. The problem stream, kondisi yang menimbulkan krisis yang dipilih pembuat
kebijakan dan diinterpretasikannya sebagai masalah yang potensial;
2. The policy stream, terdiri dari alternatif pemecahan masalah potensial yang telah
diterima publik sebagai solusi yang pas mengatasi masalah;
3. The political stream, adanya perhatian, kepentingan, dukungan dari pelbagai pihak.

C. Agenda Sistemik, Institusional, dan Kebijakan

Cobb dan Elder mendefinisikan masalah (issue) sebagai pertikaian atau


perdebatan yang terjadi antara dua kelompok atau lebih tentang masalah-masalah
terkait dengan prosedur dan substansi pendistribusian posisi dan sumber-sumber.
Ada 4 cara bagaimana masalah itu dikreasikan, yaitu:
1. Masalah diproduksi oleh satu atau lebih pihak melihat adanya bias yang tidak
diinginkan dalam pendistribusian posisi dan sumber-sumber, misalnya masalah
kesenjangan gaji antara buruh laki-laki dan perempuan;
2. Masalah diproduksi oleh seseorang atau kelompok untuk keuntungan mereka
sendiri, misalnya masalah prosedur pelamaran kerja menjadi pegawai negeri;
3. Masalah diproduksi oleh peristiwa yang tidak diperkirakan sebelumnya, misalnya
anak seorang polisi menembak bapaknya sehingga mendorong adanya
pengendalian senjata;
4. Masalah dimunculkan seseorang atau kelompok yang tidak memiliki posisi atau
sumber-sumber bagi kepentingan mereka, misalnya seseorang dengan
kesadarannya sendiri menanami pohon bakau agar tidak abrasi.
Disamping itu ada 5 jenis alat pemicu timbulnya masalah, yaitu:
1. Bencana alam;
2. Peristiwa yang tidak terantisipasi, seperti pembunuhan presiden, pembajakan
pesawat, dan sebagainya;
3. Perubahan teknologi, seperti pencemaran air, kemacetan transportasi, dan
sebagainya;
4. Distribusi sumber-sumber yang tidak adil, seperti protes hak-hak sipil, pemogokan
buruh, dan sebagainya;
5. Perubahan ekologi, seperti peledakan jumlah penduduk, urbanisasi, dan
sebagainya.
Agenda sistemik menurut Cobb & Elder terdiri dari semua masalah secara
umum dipersepsi anggota komunitas politik sebagai layak memperoleh atensi publik
dan punya kaitan dengan hal-hal yang berada dalam wilayah yurisdiksi otoritas
pemerintah yang ada.
Ada 3 persyaratan agar masalah memperoleh akses ke agenda sistemik, yaitu:
1. Adanya atensi atau kesadaran tentang signifikansi masalah;
2. Adanya persamaan persepsi dari sejumlah besar publik;
3. Adanya persepsi yang sama bahwa masalah perlu mendapat perhatian dari
pemerintah dan memang berada dalam kewenangannya.
Cobb & Elder mengartikan agenda institusional atau pemerintah atau formal
adalah serangkaian daftar masalah yang secara eksplisit memperoleh pertimbangan
yang aktif dan serius dari pemerintah lokal, provinsi, dan nasional akan masuk ke
dalam agenda institusional.
Isi agenda institusional dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu:
1. Daftar masalah lama (old items), kemunculannya sudah sering didiskusikan dan
kemunculannya tidak terlalu sering, periodik, dan tidak reguler;
2. Daftar masalah baru, masalah yang belum didefinisikan dan lentur pengertian dan
pengembangannya.

 Memformulasi Kebijakan

A. Model Perumusan Kebijakan Publik

Proses ini mempunyai kaitan dengan proses mengidentifikasi dan


mendefinisikan masalah serta proses memasukkan masalah ke dalam agenda
kebijakan.
Menurut Robert H. Simmons dan Eugene P. Dvorin (1977) secara tradisional,
kebijakan publik berasal dari proses yang terjadi di legislatif, kemudian dilaksanakan
eksekutif, dan dikawal yudikatif. Dalam masyarakat teknologi modern, proses
perumusan kebijakan publik muncul karena adanyajaringan proses interaksi dalam
sistempolitik admnistrasi da meliputi aspek-aspek formal dan informal.
Menurut Lester dan Stewart (2000) mengutip pandangan Anderson (1990)
formulasi kebijakan adalah proses kebijakan tindakan yang relevan dengan dan telah
diterima sehubungan dengan adanya masalah publik tertentu diidentifikasi dan
diusulkan menjadi hukum.
Menurut Deborah Stone (dalam Lester dan Stewart,2000) ada 5 macam solusi
kebijakan, yaitu:
1. Inducements, dorongan baik yang positif, misalnya kredit pajak ataupun yang
negatif, misalnya hukuman atas polusi;
2. Rules, sejumlah aturan yang harus dipatuhi, misalnya regulasi tentang polusi;
3. Facts, pemanfaatan informasi aktual untuk mendorong kelompok masyarakat
melakukan sesuatu dengan cara tertentu, misalnya info bahaya merokok
sembarangan;
4. Rights, memberikan hak-hak tertentu kepada masyarakat, misalnya hak
mengadukan keluhan pelayanan pemerintah;
5. Powers, kekuasaan yang diberikan kepada badan pembuat kebijakan untuk
meningkatkan kualitas kebijakannya, misalnya hak anggaran legislatif.
Dye (1978) membedakan 7 macam model perumusan kebijakan publik, yaitu:
1. Model institusional, kebijakan publik sebagai aktivitas yang penting harus
dijalankan lembaga-lembaga pemerintah;
2. Model kelompok, kebijakanpublik sebagai proses menyeimbangkan kepentingan
kelompok;
3. Model elit, proses kebijakan sebagai kegiatan memenuhi apa yang menjadi
kepentingan elit;
4. Model Rasional, proses perumusan kebijakan publik memperoleh hasil kebijakan
optimal dan efisien;
5. Model inkremental, proses perumusan kebijakan publik sekedar variasi atas
kebijakan yang ada di masa lalu;
6. Model permainan, proses perumusan kebijakan upaya memilih secara rasional
dalam situasi penuh persaingan;
7. Model sistem, proses perumusan kebijakan publik output dari proses mengonversi
input (tuntutan dan dukungan) dalam sistem politik.

B. Aktor-Aktor dalam Arena Perumusan Kebijakan

Menurut Smith dan Larimer (2009), berdasarkan teori segitiga besi (iron
triangle theories) ada 3 pihak yang kuat hubungannya dalam hal perumusan masalah
dan solusi kebijakan (tetapi sedikit memperhatikan kepentingan masyarakat), yaitu
legislatif, birokrasi dan kelmpok kepentingan. Teori ini mendapat kritik keras dari
teori subsistem yang menyatakan dimana keterlibatan peran organisasi publik dan
privat termasuk kelompok pemikir, lembaga penelitian, kelompok kepentingan, dan
warga negara bisa sangat besar dalam proses kebijakan.
Howlett dan Ramesh menyatakan bahwa aktor kebijakan dapat dibedakan
menjadi 5 kategori, pejabat yang dipilih, pejabat yang diangkat, kelompok
kepentingan, organisasi penelitian, dan media massa.
Anderson membagi perumus kebijakan menjadi 2 macam, yaitu:
1. Perumus kebijakan formal (the official policy makers), legislatif, eksekutif,
administrasi (birokrasi), dan hakim di pengadilan;
2. Perumus kebijakan informal (the unofficial participants), kelompok kepentingan,
partai politik,dan warga secara individual.
Howlett dan Ramesh menambahkan yaitu peran organisasi dan media massa.

C. Desain, Adopsi, dan Legitimasi Kebijakan

Menurut pandangan Schneider dan Ingram (2003), desain kebijakan memiliki


unsur sebagai berikut:
1. Tujuan dan masalah yang akan dipecahkan;
2. Populasi sasaran kebijakan (baik langsung ataupun tidak);
3. Alokasi biaya dan manfaat (baik materiil maupun nonmateriil);
4. Alat kebijakan (dipakai agar kebijakan bisa diterima);
5. Aturan-aturan (siapa harus melakukan apa, dengan sumber apa, kepada siapa):
6. Struktur implementasi (dinas pemerintah, kontaktor, pekerja garis depan);
7. Rasionalitas (logika, argumentasi sebab akibat, data, alat retorika);
8. Asumsi-asumsi sebagai dasar (implisit/eksplisit, disetujui atau dipertentangkan).
Smith dan Larimer (2009) mengingatkan para perumus kebijakan, analis
maupun pakar kebijakan dalam mendesai kebijakan harus banyak terlibat dalam ikut
mempertimbangkan aneka ragam pandangan masyarakat yang terkena dampak suatu
kebijakan tertentu. Karena demgan hal itu akan merefleksikan nilai-nilai yang ada
dalam diri warga dan menghindari pesan-pesan yang disengaja atau tidak yang dapat
menghalangi keterlibatan warga atau menghalangi kemampuannya dalam proses
kebijakan.
Adopsi kebijakan merupakan tahap dari penetapan agenda kebijakan. Menurut
Coper, dkk adopsi kebijakan itu merupakan suatu proses politik dari pada resolusi
analitis atau sebuah hasil rekayasa teknokratis.
Bagi Anderson proses adopsi kebijakan sama dengan proses legitimasi
kebijakan. Proses adopsi kebijakan adalah proses untuk mengembangkan dukungan
terhadap usulan kebijakan tertentu sehingga kebijakan itu dapa disahkan atau
diotorisasikan.
Terdapat banyak cara yang dilakukan untuk melegitimasi kebijakan publik,
yaitu:
1. Lewat forum publik seperti public meetings, public hearings;
2. Partisipasi badan penasihat warga;
3. Menjaring pendapat publik;
4. Pendapat kelompok kepentingan;
5. Perdebatan politik luas;
6. Mengembangkan analisis etis terhadap isu kebijakan.
Sebuah kebijakan dikatakan sebagai kebijakan yang baik (good policy) bila
memenuhi karakteristik sebagai berikut:
1. Kebijakan harus benar-benar menyentuh kepentingan mereka yang terkena dampak
atau manfaat kebijakan itu;
2. Kebijakan itu bersesuaian dengan dinamika perkembangan lingkungan yang ada;
3. Kebijakan itu realistik agar dapat dilaksanakan secara nyata dan menghasilkan
dampak yang diharapkan;
4. Kebijakan itu fleksibel untuk diubah sesuai adanya tuntutan dan harapan yang
berkembang di masyarakat;
5. Mendapatkan partisipasi yang luas dalam proses implementasinya;
6. Adanya jaringan antar aktor yang kuat dan koordinasi yang bagus antar aktor.

 Mengimplementasikan Kebijakan

A. Model Implementasi Kebijakan

Beberapa definisi tentang implementasi kebijakan menurut para ahli:


1. Peter Knoepfel,dkk (2007), semua aktivitas yang mencakup pelaksanaan legislasi
dan serangkaian proses setelah fase pemprograman yang ditujukan pada realisasi
tujuan suatu kebijakan publik;
2. J. Pressman dan A. Wildavsky (1984), suatu proses hubungan yang terjadi antara
penetapan tujuan dan tindakan-tindakan yang diarahkan untuk mencapainya. Ada 4
syarat implementasi kebijakan yangefektif, yaitu:
a. Tujuan jelas dan mudah dipahami;
b. Semua sumber yang diperlukan tersedia;
c. Rantai komando dapat menyatupadukan dan mengendalikan sumber yang ada;
d. Sistem implementasi dilaksanakan lewat komunikasi efektif dan dapat
mengendalikan individu dan organisasi yang terlibat.
3. C. L. Cochran dan E. F. Malone (1995), melaksanakan kebijakan atau
pengoperasian program-program.
Model implementasi kebijakan menurut beberapa pakar:
1. Derthick (1972); Pressman dan Wildavsky (1973); Bardach (1977), Model
kegagalan, analisis kegagalan implementasi kebijakan;
2. Van Meter dan Van Horn (1975); Hood (1976); Gunn (1978); Sabatier dan
Mazmanian (1979), Model atas bawah, analisis faktor-faktor yang menjadikan
keberhasilan implementasi;
3. Lipsky (1971); Wtherley dan Lipsky (1977); Elmore (1978,1979); Hjern, dkk
(1978), Model bawah atas, analisis pentingnya peran aktor lain dan interaksi
organisasi;
4. Majone dan Wilavsky (1978); Browne dan Wildavsky(1984); Lewis dan Flynn
(1978,1979); Hjern (1982); Hjern dan Porter (1981); Ripley dan Franklin (1982);
Sabatier (1986); Hughes (1994), Model Hibrida, analisis implementasi sebagai
evolusi, pembelajaran, kontinum kebijakan tindakan, analisis antar organisasi, tipr-
tipe kebijakan, bagian dari subsistem kebijakan, manajemen sektor publik.
Grindle dan Thomas (1991) menjelaskan ada 2 model implementasi kebijakan
untuk mereformasi kebijakan yang berlaku, yaitu:
1. Model linier, dikenal dengan istilah model pohon keputusan (Decision Three
Model) yang esensinya melihatkeputusan sebagai pilihan kritis dan menjadi fokus
perhatian utama para pembuat kebijakan dalam menganalisis kebijakan, sementara
proses implementasinya kurang diperhatikan;
2. Model interaktif, unsur utamanya dengan adanya inisiatif mengubah kebijakan pada
tahap manapun dalam proses kebijakan, baik pada tahap perumusanagenda maupun
implementasi kebijakan, berupa tekanan dan reaksi dari pihak-pihak yang menolak
kebijakan tersebut. Memandang perubahan kebijakan sebagai proses.
Thomas B. Smith (1973) mengembangkan model implementasinya dengan
menyatakan bahwa pada saat kebijakan diimplementasikan, baik yang melaksanakan
ataupun yang terkena dampaknya akan mengalami tekanan, gangguan, dan konflik
yang akan menyebabkan adanya transaksi berupa protes, bahkan tindakan fisik, serta
mendorong pembentukan intitusi-institusi baru untuk mencapai tujuan kebijakan.
Proses implementasi kebijakan terdiri dari 4 komponen berikut:
1. Kebijakan yang diinginkan;
2. Kelompok sasaran;
3. Organisasi pelaksana;
4. Faktor-faktor lingkungan.

B. Aktor Pelaksana Kebijakan

Berikut kelima aktor pelaksana kebijakan:


1. Badan Pemerintah (jajaran birokrasi)
Merupakan pelaksana utama kebijakan publik serta mempunyai peran sentral
dalam mewujudkan kebijakan untuk memberikan dampak yang optimal.
2. Badan Legislatif
3. Badan Yudikatif
4. Kelompok Kepentingan
5. Organisasi Kemasyarakatan

C. Instrumen Kebijakan dan Efektivitas Implementasi

Rene Bagchus (dalam Peters dan Nispen, 1998) ada 3 macam pendekatan
untuk memilih instrumen kebijakan, yaitu:
1. The Traditional Instrumental Approach, didasarkan pada rasionalitas tujuan dan
alat mencapai tujuan. Memberikan perhatian sedikit atau bahkan tidak sama sekali
terhadap konteks tempat instrumen kebijakan hendak didesain. Jumlah instrumen
alternatif tidaklah terbatas dan hanya tergantung pada tujuan yang telah ditetapkan;
2. The Refined Intrumental Approach, mengkaji pelbagai instrumen yang ada di satu
sisi dan prinsip-prinsip nilai, moral, dan etika yang universal di sisi lainnya.
Karakter intrinsiknya ditentukan agar ada hubungan antara konteks dengan
instrumen kebijakan;
3. The Institusional Approach, merupakan reaksi terhadap pendekatan instrumental.
Lebih menekankan hubungan antar proses dan instrumen kebijakan. Mendesain
instrumen kebijakan efektif tergantung 4 faktor, yaitu:
a. Karakter konteks;
b. Jenis instrumen;
c. Masalah kebijakan;
d. Kelompok sasaran.
Howlett dan Ramesh (1995) mengemukakan pemilihan instrumen kebijakan
dengan pendekatan:
1. Model Ekonomis, dikenal dengan aktivitas teknis yang ketat. Bersifat lebih
deduktif (menguji teori), tetapi kekurangan bukti empirik dalam mengkaji proses
pembuatan keputusan aktual yang dilakukan pemerintah;
2. Model Politis, berasumsi semua instrumen tidak perlu harus bersifat teknis.
Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn, 1984 menjelaskan perlunya
prakondisi bagi implementasi kebijakan yang sempurna, yaitu:
1. Kondisi lingkungan eksternal (fisik dan politik) tidak boleh merintangi proses
implementasi kebijakan;
2. Sumber harus tersedia cukup dan tepat waktu;
3. Kombinasi sumber harus siap dan dalm jumlah cukup;
4. Implementasi kebijakan didasarkan teori sebab akibat yang sahih;
5. Hubungan sebab akibat langsung dan sedikit variabel intervensinya;
6. Hanya satu agensi implementasi tunggal;
7. Ada pemahaman dan kesepakatan tujuan yang dicapai semua pihak yang terlibat;
8. Tugas yang dilaksanakan dirumuskan rinci, lengkap, dan tertata berurutan;
9. Unsur dan agensi yang terlibat berkomunikasi dan koordinasi sempurna;
10. Mempunyai otoritas menuntut kepatuhan pelaksana dan tidak boleh ada yang
menolak perintah.

 Mengevaluasi Hasil dan Dampak Kebijakan

A. Arti dan Jenis Evaluasi Kebijakan

Evaluasi kebijakan yaitu proses untuk menilai kinerja kebijakan juga


merupakan bagian proses kebijakan yang penting.

William N. Dunn (1981) mengungkapkan ciri-ciri utama evaluasi, sebagai


berikut:
1. Value-focus, terfokus penilaian mengenai apa yang diinginkan oleh program atau
kebijakan, menetapkan nilai kelayakan program;
2. Fact-value interdependence, evaluasi tergantung pada nilai dan fakta;
3. Present and past orientation, berorientasi pada dampak masa sekarang dan masa
lalu dari pada masa yang akan datang. Bersifat retrospektif (melihat masa lalu);
4. Value-duality, nilai yang ada pada evaluasi itu bersifat dualitas, yakni sebagai
tujuan dan alat untuk mencapai tujuan.
Smith dan Larimer (2009) membedakan jenis dan ruang lingkup evaluasi
kebijakan menjadi dua pasangan, yaitu:
1. Evaluasi formatif dan summatif, dibedakan dua hal, yaitu waktu dan maksud
mengapa seseorang melakukan evaluasi ini. Evaluasi formatif adalah evaluasi yang
dilakukan pada tahap awal proses kebijakan dan dimaksudkan untuk
mengembangkan program, dilakukan di tengahproses implementasi kebijakan.
Evaluasi summatif adalah untuk memutuskan apakah suatu kebijakan akan
diperluas, dihentikan, dikontrakkan, atau dilanjutkan. Jadi evaluasi ini dilakukan
ketika posisi kebijakan sudah siap dinilai;
2. Evaluasi proses dan dampak, evaluasi proses terfokus pada apa yang sedang benar-
benar dilakukan oleh kebijakan, sedang evaluasi dampak terfokus pada apa yang
benar-benar telah dicapai oleh kebijakan.
Pendapat Rossi, Freeman dan Wright (1979) yang lebih komprehensif tentang
tipologi evaluasi sebagai berikut:
1. Evaluasi perencanaan pengembangan program/kebijakan, dilakukan ketika
kebijakan itu sedang dirancang atau didesain yang kemudian dikenal ex-ante
evaluation;
2. Evaluasi dengan memonitor, dilaksanakan ketika proses implementasi kebijakan
dengan melakukan monitoring yang dikenal on-going evaluation;
3. Evaluasi dampak kebijakan, dilakukan dengan menilaidampak yang terjadi setelah
pelaksanaan kebijakan dikenal ex-post evaluation;
4. Evaluasi biaya-keuntungan dan biaya-efektivitas, dilakukan dengan menghitung
besarnya biaya yang dikeluarkan dibandingkan manfaat yang diperoleh dikenal
cost-benefits, cost-effectiveness evaluation.

Anda mungkin juga menyukai