Anda di halaman 1dari 26

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 Identitas
Nama : Tn. A
Usia : 24 tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Alamat : Prabumulih
Tanggal masuk RS : 22 Juli 2020
No.RM : 15xxxx

1.2 Anamnesis
Alloanamnesa tanggal 22 Juli 2020 Jam 11.00 WIB
 Keluhan Utama :
Bengkak pada seluruh tubuh sejak 4 minggu

 Riwayat Penyakit Sekarang :


± 6 minggu SMRS bengkak pada daerah kelopak mata dan muka terutama pada
pagi hari saat bangun tidur, dan bengkak berkurang saat siang dan sore hari.
Sesak disangkal. Cepat lelah disangkal.
± 4 minggu SMRS bengkak makin bertambah, menyebar ke daerah muka,
perut, dan kedua tungkai. Selama bengkak, os mengeluh BAK berbusa. Os
mengaku frekuensi BAK berkurang. Keluhan Riwayat sering terbangun pada
malam hari untuk BAK disangkal. Keluhan bengkak ini tidak disertai sesak
napas saat tidur dan os masih bisa tidur dengan satu bantal. Os tidak pernah
muntah-muntah, demam, dan kejang. Selama bengkak Os tidak pernah tampak
pucat, lemah, lesu atau kehilangan nafsu makan. Os masih bisa beraktivitas
ringan. Riwayat adanya bercak merah diwajah tidak ada. Os mengeluhkan nyeri
perut dan pegal pada pinggang. R/ sakit pada tenggorokan sebelum keluhan
bengkak disangkal. Riwayat bepergian ke zona merah covid disangkal, Riwayat
kontak dengan pasien confirmed covid disangkal.

5
 Riwayat Penyakit Dahulu :
Os pernah berobat dengan keluhan yang sama 1 tahun yang lalu ke RSMH.

 Riwayat Penyakit Keluarga :


Pada keluarga tidak ada keluhan seperti ini sebelumnya.

 Riwayat Pengobatan :
Os disarankan mengkonsumsi obat asam mikofenolat.

 Riwayat Alergi :
Alergi terhadap obat-obatan, makanan, cuaca tertentu disangkal.

 Riwayat Psikososial :
Os masih bisa beraktivas ringan dirumah. Os makan 3 kali sehari dengan sayur
dan lauk pauk.

1.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital
Suhu : 36,40C
Tek. Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 88 kali per menit
Pernafasan : 30 kali per menit

Status Generalis
Kepala : Normocephali.
Mata : Conjungtiva anemis -/-. Sklera ikterik -/-. Refleks pupil +/+
isokor. Edema palpebra +/+.
Leher : Pembesaran KGB (-)

6
Thoraks : Bentuk dan gerak simetris. Pernapasan Vesikuler antara kanan
dan kiri. Ronki -/-, Wheezing -/-. Bunyi Jantung I dan II murni
regular. Retraksi ICS (-)
Abdomen : Perut supel, distensi abdomen (-), Bising usus (+) normal,
hepar-lien tidak teraba, asites (+), suara timpani di seluruh
lapang abdomen.
Urogenital : Tidak tampak kelainan
Ekstremitas : Akral hangat +/+, CRT<2 dtk +/+, pitting edema +/+

1.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium tgl 22/07/20 jam
Kimia Darah
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Protein Total 3.4 6.3 – 8.3 g/dl
Albumin 1,9 3,5-5,0 g/dl
Globulin 2,5 1,5-3,0 g/dl
Ureum 52 10 – 50 mg/dl
Kreatinin 1.4 0.5 – 1.2 m/dl
As urat 7.9 3.5 – 7.2
GDS 98 <200 mg/dl
Kolesterol total 458 < 200 mg/dl
Trigliserida 223 40 – 160 mg/dl

Urinalisa
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Warna Kuning Tua Kuning
Kejernihan Agak keruh Jernih
Berat Jenis 1.010 1.015 – 1.025
pH 6.0 4.8 – 7.4
Protein +++ Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Lekosit Esterase Negatif Negatif

1.5 Diagnosis Banding :


Oedem anasarka e.c Sindrom nefrotik

7
Oedem anasarka e.c Glomerulonefritis Akut

1.6 Diagnosis Kerja


Sindrom Nefrotik + dispepsia

1.7 Penatalaksaanaan
Rencana Pemeriksaan Lanjutan :
Pemeriksaan darah rutin dan urin lengkap/ 24 jam
Tampung Urin output/ 24 jam
Asupan cairan input/ 24 jam
Observasi tanda vital/ 8 jam

Terapi :
- Istirahat sampai edema berkurang (pembatasan aktivitas)
- Pembatasan garam 1-2 gram/hari.
- Diet rendah kolesterol tinggi protein
- IVFD RL 12jam/ kolf
- Inj furosemide 3x2amp IV
- Inj ceftriaxone 1x2gr IV
- Inj metilprednisolon 2x125mg IV
- Inj pantoprazole 2x1amp IV
- Inj Ondansetron 2x1amp IV
- Albuminar 25% 1 kolf/hari
- Atorvastatin tab 1x20mg
- Spironolaktron tab 1x100mg
- Nucral syr 3x1c
- Neurodex tab 1x1

1.8 Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanatiam : dubia ad bonam

8
1.9 Follow Up

FOLLOW UP
Tanggal Catatan Instruksi
22-07-2020 S: Bengkak (+) BAK kurang, pegal A/ SN + dyspepsia
(+) P/ -Istirahat sampai edema
berkurang (pembatasan
O: KU : sedang aktivitas)
Sens: CM - Pembatasan garam 1-2
TD: 110/80 gram/hari.
RR: 22 - Diet rendah kolesterol
T: 36,3 - IVFD RL 12jam/ kolf
- Inj furosemide 3x2amp IV
- Inj ceftriaxone 1x2gr IV
- Inj metilprednisolon 2x125mg
IV
- Inj pantoprazole 2x1amp IV
- Inj Ondansetron 2x1amp IV
- Albuminar 25% 1 kolf/hari
- Atorvastatin tab 1x20mg
- Spironolaktron tab 1x100mg
- Nucral syr 3x1c
- Neurodex tab 1x1

9
Tanggal Catatan Instruksi
23-07-2020 S: Bengkak (+) namun dirasa mulai A/ SN + dyspepsia
berkurang. BAK kurang, pegal (+) P/ -Istirahat sampai edema
berkurang (pembatasan
O: KU : sedang aktivitas)
Sens: CM - Pembatasan garam 1-2
TD: 120/80 gram/hari.
RR: 22 - Diet rendah kolesterol
T: 37,3 - IVFD RL 12jam/ kolf
- Inj furosemide 3x2amp IV
Protein Total: 3.6 g/dl - Inj ceftriaxone 1x2gr IV
Albumin: 2.6 g/dl - Inj metilprednisolon 2x125mg
Globulin: 1.0 g/dl IV
Rasio Alb/glob: 2.6 g/dl - Inj pantoprazole 2x1amp IV
- Inj Ondansetron 2x1amp IV
- Albuminar 25% 1 kolf/hari
- Atorvastatin tab 1x20mg
- Spironolaktron tab 1x100mg
- Nucral syr 3x1c
- Neurodex tab 1x1

BAB II
PENDAHULUAN

2.1 Latar Belakang


Sindrom nefrotik merupakan kumpulan manifestasi klinis yang ditandai
dengan hilangnya protein urine secara masif (albuminuria), diikuti dengan
hipoproteinemia (hipoalbuminemia) dan akhirnya mengakibatkan edema. Dan hal
ini berkaitan dengan timbulnya hiperlipidemia, hiperkolesterolemia dan lipiduria.
Sindrom nefrotik pada anak dapat terjadi pada semua usia, tetapi lebih
banyak terjadi pada usia 1-2 tahun dan 8 tahun. Pada anakanak yang onsetnya

10
dibawah usia 8 tahun, ratio antara anak laki-laki dan perempuan bervariasi dari 2:1
hingga 3:2. Pada anak yang lebih tua, remaja dan dewasa, prevalensi antara laki-
laki dan perempuan kira-kira sama
Data dari International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC)
menunjukkan bahwa 66% pasien dengan minimal change nephrotic syndrome
(MCNS) dan focal segmental glomerulosclerosis (FSGS) adalah laki-laki dan
untuk membrano proliferative glomerulonephritis (MPGN) 65 % nya adalah
perempuan
Insidens sindrom nefrotik pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat
dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi
berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang insidensnya lebih
tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang
dari 14 tahun.
Sindrom nefrotik bukan merupakan penyakit yang berdiri sendiri, tetapi
merupakan suatu petunjuk awal adanya kerusakan pada unit filtrasi darah terkecil
(glomerulus) pada ginjal, dimana urine dibentuk. Sekitar 20% anak dengan
sindrom nefrotik dari hasil biopsi ginjalnya menunjukkan adanya skar atau deposit
pada glomerulus. Dua macam penyakit yang paling sering mengakibatkan
kerusakan pada unit filtrasi adalah Glomerulosklerosis Fokal Segmental (GSFS)
dan Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP). Seorang anak yang lahir
dengan kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya Sindrom nefrotik.
Etiologi sindrom nefrotik secara garis besar dapat dibagi 3, yaitu kongenital,
glomerulopati primer/ idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit sistemik seperti
pada purpura Henoch-Schonlein dan lupus eritematosus sitemik. Sindrom nefrotik
pada tahun pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia kurang dari 6 bulan,
merupakan kelainan kongenital (umumnya herediter) dan mempunyai prognosis
buruk.

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari
proteinuria massif (≥40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine
sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥2+), hipoalbuminemia (≤2,5 gr/dL), edema, dan
dapat disertai hiperkolestrerolemia (250 mg/uL).
Terdapat beberapa definisi/batasan yang dipakai pada Sindrom Nefrotik,
antara lain :
1. Remisi, yaitu proteinuria negatif atau trace (proteinuria <4 mg/m2 LBP/jam)
selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.

12
2. Relaps, yaitu proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥40 mg/m 2 LBP/jam) selama 3
hari berturut-turut dalam 1 minggu.
3. Relaps jarang, yaitu relaps yang terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan
pertama setelah respon awal, atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan.
4. Relaps sering (frequent relapse), yaitu relaps terjadi ≥2 kali dalam 6 bulan
pertama atau ≥ 4 kali dalam periode satu tahun.
5. Dependen steroid, yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis steroid
diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, dalam hal ini
terjadi 2 kali berturut-turut.
6. Resisten steroid, yaitu suatu keadaan tidak terjadinya remisi pada
pengobatan prednisone dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4
minggu.

3.2 Epidemiologi
Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita (2:1) dan
kebanyakan terjadi pada umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi paling muda
pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa. SNKM terjadi pada 85-
90% pasien dibawah umur 6 tahun dan paling; di Indonesia dilaporkan 6 kasus per
100.000 anak per tahun. Pada penelitian di Jakarta (Wila Wirya) menemukan
hanya 44,2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer
yang dibiopsi, sedangkan ISKDC melaporkan penelitiannya diantara 521 pasien,
76,4% merupakan tipe kelainan minimal.
Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak dibawah usia 18 tahun
diperkirakan berkisar 2-7 kasus per 100.000 anak per tahun, dengan onset tertinggi
pada usia 2-3 tahun. Hampir 50% penderita mulai sakit saat berusia 1-4 tahun, 75%
mempunyai onset sebelum berusia 10 tahun.

3.3 Etiologi
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Sindrom nefrotik primer (idiopatik)
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara
primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab
lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom

13
nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, salah satu jenis sindrom
nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia dibawah 1 tahun.
Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik
idiopatik. Sindrom nefrotik idiopatik terdiri dari 3 tipe secara histologis
:sindrom nefrotik kelainan minimal, glomerulonephritis proliferative (mesangial
proliferation), dan glomerulosklerosis fokal segmental. Ketiga gangguan ini
dapat mewakili 3 penyakit berbeda dengan manifestasi klinis yang serupa;
dengan kata lain, ketiga gangguan ini mewakili suatu spektrum dari satu
penyakit tunggal.

Klasifikasi
 Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)
Pada 85% dari kasus sindrom nefrotik pada anak, glomerulus terlihat
normal atau memperlihatkan peningkatan minimal pada sel mesangial dan
matriksnya. Penemuan pada mikroskop immunofluorescence biasanya
negatif, dan mikroskop elektron hanya memperlihatkan hilangnya epithelial
cell foot processes (podosit) pada glomerulus. Lebih dari 95% anak dengan
SNKM berespon dengan terapi kortikosteroid.

 Glomerulonephritis proliferative (Mesangial proliferation)


Pada 5% dari total kasus sindrom nefrotik ditandai dengan adanya
peningkatan sel mesangial yang difus dan matriks pada pemeriksaan
mikroskop biasa. Mikroskop immunofluorescence dapat memperlihatkan
jejak 1+ IgM mesangial dan/atau IgA. Mikroskop elektron memperlihatkan
peningkatan dari sel mesangial dan matriks diikuti dengan menghilangnya sel
podosit. Sekitar 50% pasien dengan lesi histologis ini berespon dengan terapi
kortikosteroid.

 Glomerulosklerosis fokal segmental (Focal segmental


glomerulosclerosis/FSGS)
Pada kasus 10% dari kasus sindrom nefrotik, glomerulus
memperlihatkan proliferasi mesangial dan jaringan parut segmental pada
pemeriksaan dengan mikroskop biasa. Mikroskop immunofluorescence

14
menunjukkan adanya IgM dan C3 pada area yang mengalami sklerosis. Pada
pemeriksaan dengan mikroskop elektron, dapat dilihat jaringan parut
segmental pada glomerular tuft disertai dengan kerusakan pada lumen kapiler
glomerulus. Lesi serupa dapat terlihat pula pada infeksi HIC, refluks
vesicoureteral, dan penyalahgunaan heroin intravena. Hanya 20% pasien
dengan FSGS yang berespon dengan terapi prednisone. Penyakit ini biasanya
bersifat progresif, pada akhirnya dapat melibatkan semua glomeruli, dan
menyebabkan penyakit ginjal stadium akhir (end stage renal disease) pada
kebanyakan pasien.

 Glomerulonefritis membrano proliferative (GNMP)


Ditandai dengan penebalan membrane basalis dan proliferasi seluler
(hiperselularitas), serta infiltrasi sel PMN. Dengan mikroskop cahaya, MBG
menebal dan terdapat proliferasi difus sel-sel mesangial dan suatu
penambahan matriks mesangial. Perluasan mesangium berlanjut ke dalam
kumparan kapiler perifer, menyebabkan reduplikasi membrane basalis
(“jejak-trem” atau kontur lengkap). Kelainan ini sering ditemukan pada
nefritis setelah infeksi streptococcus yang progresif dan pada sindrom
nefrotik. Ada MPGN tipe I dan tipe II.

 Glomerulopati membranosa (GM)


Penyakit progresif lambat pada dewasa dan usia pertengahan secara
morfologi khas oleh kelainan berbatas jelas pada MBG. Jarang ditemukan
pada anak-anak. Mengenai beberapa lobus glomerulus, sedangkan yang lain
masih normal. Perubahan histologik terutama adalah penebalan membrane
basalis yang terlihat baik dengan mikroskop cahaya maupun elektron.

2. Sindrom nefrotik sekunder


Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari
berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang
sering dijumpai adalah :

15
 Penyakit metabolic atau kongenital : diabetes mellitus, amiloidosis,
sindrom Alport, miksedema
 Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus,
AIDS
 Toksin dan allergen : logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun
serangga, bisa ular
 Penyakit sistemik imunologik : lupus eritematosus sistemik, purpura
Henoch-Schinlein, sarkoidosis
 Neoplasma : tumor paru, penyakit hodgin, tumor gastrointestinal

3.4 Patofisiologi
 Protenuria
Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar berasal
dari kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian kecil
berasal dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana
basalis glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang dieksresikan
dalam urin adalah albumin. Dalam keadaan normal membran basal glomerulus
(MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein.
Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan
yang kedua berdasarkan muatan listrik (change barrier). Pada SN kedua
mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain konfigurasi molekul
protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG. Proteinuria
dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul protein
yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila yang keluar terdiri dari
molekul kecil misalnya albumin. Sedangkan non-selektif apabila protein yang
keluar terdiri dari molekul besar seperti immunoglobulin. Selektivitas
proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur MBG.

 Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemi disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan
peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya
meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam
urin), tetapi mungkin normal atau menurun.

16
 Edema
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill. Teori
underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan
intestitium dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan
bergesernya cairan plasma terjadi hipovolemia dan ginjal melakukan
kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme
kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan
mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin
berlanjut.
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama.
Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat
sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan
ginjal akan menambah retensi natrium dan edema akibat teraktivasinya sistem
Renin-angiotensin-aldosteron terutama kenaikan konsentrasi hormone
aldosteron yang akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk mengabsorbsi
ion natrium sehingga ekskresi ion natrium (natriuresis) menurun. Selain itu juga
terjadi kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin yang
menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat, hal ini
mengakibatkan penurunan LFG dan kenaikan desakan Starling kapiler
peritubuler sehingga terjadi penurunan ekskresi natrium.

 Hiperlipidemia
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein
(HDL) dapat meningkat, normal, atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan
sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan
pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density
lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh
penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.

17
3.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan adalah edema yang
menyeluruh dan terdistribusi mengikuti gaya gravitasi bumi. Edema sering
ditemukan dimulai dari daerah wajah dan kelopak mata pada pagi hari, yang
kemudian menghilang, digantikan oleh edema di daerah pretibial pada sore hari.
Anak biasanya dating dengan keluhan edema ringan, dimana awalnya terjadi
di sekitar mata dan ekstremitas bawah. Sindrom nefrotik pada mulanya diduga
sebagai gangguan alergi karena pembengkakan periorbital yang menurun dari hari
ke hari. Seiring waktu, edema semakin meluas, dengan pembentukan asites, efusi
pleura, dan edema genital. Anoreksia, iritabilitas, nyeri perut, dan diare sering
terjadi. Hipertensi dan hematuria jarang ditemukan. Differensial diagnosis untuk
anak dengan edema adalah penyakit hati, penyakit jantung kongenital,
glomerulonefritis akut atau kronis, dan malnutrisi protein.
Asites sering ditemukan tanpa odem anasarka, terutama pada anak kecil dan
bayi yang jaringannya lebih resisten terhadap pembentukan edema interstisial
dibandingkan anak yang lebih besar. Efusi transudat lain sering ditemukan, seperti
efusi pleura. Bila tidak diobati edema dapat menjadi anasarka, sampai ke skrotum
atau daerah vulva.
Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan,
lingkar perut, dan tekanan darah. Tekanan darah umunya normal atau rendah,
namun 21% pasien mempunyai tekanan darah tinggi yang sifatnya sementara,
terutama pada pasien yang pernah mengalami deplesi volume intravaskuler berat.
Keadaan ini disebabkan oleh sekresi rennin berlebihan, sekresi aldosteron, dan
vasokonstriktor lainnnya, sebagai respon tubuh terhadap hipovolemia. Pada
sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) dan glomerulosklerosis fokal
segmental (GSFS) jarang ditemukan hipertensi yang menetap. Dalam laporan
ISKDC (Internasional Study of Kidney Disease in Children), pada SNKM
ditemukan 22% disertai hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan
32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat
bersementara. Pasien sindrom nefrotik perlu diwaspadai sebagai gejala syok
dikarenakan kekurangan perfusi ke daerah splanchnik atau akibat peritonitis.
Diagnosis banding antara lain Diabetic Nephropathy, Light Chain-Associated
Renal Disorders, Focal Segmental Glomerulosclerosis, Glomerulonephritis
akut/kronis, HIV Nephropathy, IgA Nephropathy.

18
3.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain :
 Urinalisis dan bila perlu biakan urin
 Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/ kreatinin
pada urin pertama pagi hari
 Pemeriksaan darah antara lain
o Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,
hematokrit, LED)
o Kadar albumin dan kolesterol plasma
o Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau
dengan rumus Schwartz
o Titer ASTO
o Kadar komplemen C3 bila dicurigai Lupus Eritematosus Sistemik,
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (Ana nuclear
antibody) dan anti ds-DNA

Indikasi biopsi ginjal :


- Sindrom Nefrotik dengan hematuri nyata, hipertensi, kadar kreatinin dan ureum
plasma meninggi, atau kadar komplemen serum menurun
- Sindrom Nefrotik resisten steroid
- Sindrom Nefrotik dependen steroid

3.7 Penatalaksanaan
Pada kasus sindrom nefrotik yang diketahui untuk pertama kalinya, sebaiknya
penderita di rawat di rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan
dan evaluasi pengaturan diet, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid,
dan edukasi bagi orang tua. Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan uji
Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH bersama steroid, dan bila

19
ditemukan tuberculosis (OAT). Perawatan pada sindrom nefrotik relaps dilakukan
bila disertai edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi
berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas
disesuaikan dengan kemampuan pasien.
Pemberian diet tinggi protein tidak diperlukan. Bahkan sekarang dianggap
kontra indikasi, karena akan menambah beban glomerolus untuk mengeluarkan
sisa metabolisme protein (hiperfiltasi) dan menyebabkan terjadinya sklerosis
glomerolus. Sehingga cukup diberikan diet protein normal sesuai dengan RDA
(Recommended Daily Allowances) yaitu 2gram/kgBB/hari. Diet rendah protein
akan menyebabkan malnutrisi energy protein (MEP) dan hambatan pertumbuhan
anak. Diet rendah garam (1-2gram/hari) hanya diperlukan jika anak menderita
edema.
a. Pengobatan Inisial
Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney
Diseases in Children) pengobatan inisial pada sindrom nefrotik dimulai
dengan pemberian prednisone dosis penuh (full dose) 60 mg/m2 LPB/hari
(maksimal 80mg/hari), dibagi dalam 3 dosis, untuk menginduksi remisi.
Dosis prednisone dihitung berdasarkan berat badan ideal (berat badan
terhadap tinggi badan). Prednisone dalam dosis penuh inisial diberikan
selama 4 minggu. Setelah pemberian steroid dalam 2 minggu pertama,
remisi telah terjadi pada 80% kasus, dan remisi mencapai 94% setelah
pengobatan steroid 4 minggu. Bila terjadi remisi pada remisi pada 4 minggu
pertama, maka pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua
dengan dosis 40mg/m2 LPB/hari (2/3 dosis awal) secara alternating (selang
sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan
steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten
steroid. (Gambar 1)

20
b. Pengobatan Relaps
Meskipun pada pengobatan inisial terjadi remisi total pada 94% pasien,
tetapi pada sebagian besar akan mengalami relaps (60-70%) dan 50%
diantaranya mengalami relaps sering. Skema pengobatan relaps dapat
dilihat di gambar 2, yaitu diberikan prednisone dosis penuh sampai remisi
(maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan prednisone dosis alternating
selama 4 minggu. Pada sindrom nefrotik yang mengalami proteinuria ≥ 2+
kembali tetapi tanpa edema, sebelum dimulai pemberian prednisone,
terlebih dahulu dicari pemicunya, biasanya infeksi saluran napas atas. Bila
ada infeksi, diberikan antibiotic 5-7 hari dan bila setelah pemberian
antibiotic kemudian proteinuria menghilang, tidak perlu diberikan
pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ 2+ disertai
edema, maka didiagnosis sebagai relaps, dan diberi pengobatan relaps.
Jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan pertama pasca pengobatan
inisial, sangat penting, karen dapat meramalkan perjalanan penyakit
selanjutnya. Berdasarkan relaps yang terjadi dalam 6 bulan pertama pasca
pengobatan steroid inisial, pasien dapat dibagi dalam beberapa
penggolongan, yaitu :
1. Tidak ada relaps sama sekali (30%)
2. Relaps jarang : jumlah relaps < 2 kali (10-20%)
3. Relaps sering : jumlah relaps ≥ 2 kali (40-50%)
4. Dependen steroid : yaitu keadaan dimana terjadi relaps saat dosis
steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan
dihentikan, dalam hal ini terjadi 2 kali berturut-turut.

21
c. Pengobatan Sindrom Nefrotik relaps sering atau dependen steroid
Pengobatan Sindrom Nefrotik relaps sering atau dependen steroid ada 4
pilihan, yaitu :
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian Levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin (pilihan terakhir)

Selain itu perlu dicari focus infeksi, seperti tuberculosis, infeksi di gigi
atau cacingan. Bila telah dinyatakan sebagai sindrom nefrotik relaps
sering/dependen steroid, setelah mencapai remisi dengan prednisone dosis
penuh, diteruskan dengan steroid alternating dengan dosis yang diturunkan
perlahan/ bertahap 0,2mg/kgBB sampai dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps yaitu antara 0,1-0,5mg/kgBB alternating. Dosis ini
disebut threshold dan dapat diteruskan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba
dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat mentolerir prednisone
0,5mg/kgBB dan anak usia pra sekolah sampai 1mg/kgBB secara
alternating.

22
Keterangan : prednisone dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu), dialnjutkan dengan prednisone alternating 40 mg/m2 LPB/hari dan
imunosupresan/sitostatik oral (siklofosfamid 2-3 mg/kgBB/hari) dosis
tunggal selama 8 minggu

Keterangan : prednisone dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4


minggu) dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan dosis 500-750
mg/m2 LPB diberikan melalui infuse 1x sebulan selama 6 bulan berturut-
turut dan prednisone alternating 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu.
Kemudian prednisone di-tapering-off dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama
1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5mg/kgBB/hari selama 1 bulan (lama
tapering-off 2 bulan).
Atau
prednisone dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal
selama 12 minggu dan prednisone alternating 40 mg/m2 LPB/hari selama 12
minggu. Kemudian prednisone di-tapering-off dengan dosis 1
mg/kgBB/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5mg/kgBB/hari selama
1 bulan (lama tapering-off 2 bulan).

d. Pengobatan Sindrom Neftrotik Resisten Steroid


1. Siklofosfamid
Sebagai alkylating agent, siklofosfamid bersifat sitotoksik dan
imunosupresif. Siklofosfamid menunjukan kemampuan memperpanjang
masa remisi dan mencegah kambuh sering. Indikasi penggunaan
siklofosfamid yaitu bila terjadi kegagalan mempertahankan remisi

23
dengan menggunakan terapi prednisone tanpa menyebabkan keracunan
steroid. Siklofosfamid diberikan 3 mg/kgBB/hari sebagai dosis tunggal
selama 12 minggu. Terapi prednisone selang sehari tetap diberikan
selama penggunaan siklofosfamid ini.
Selama pemberian siklofosfamid perlu diperhatikan efek samping yang
mungkin terjadi antara lain : leucopenia, gangguan gastrointestinal,
infeksi varicella disseminate, sistisis hemoragik, alopesia, keganasan,
azoospermia, dan infertilitas. Selama terapi dengan siklofosfamid, kadar
leukosit perlu diperiksa setiap minggu, dan pengobatan perlu dihentikan
dahulu bila kadar leukosit menjadi ≤ 5000/mm3.

2. Klorambusil
Klorambusil efektif bila dikombinasikan dengan terapi steroid dalam
menginduksi remisi pada penderita ketergantungan steroid dan kambuh
sering. Dosis yang umumnya digunakan adalah 0,2 mg/kgBB/hari
selama 8-12 minggu.

3. Levamisol
Levamisol sebenarnya merupakan obat antihelmentik. Obat ini juga
mempengaruhi fungsi sel T seperti imunosupresan lainnya, tetapi
sifatnya memberikan stimulasi terhadap sel T. Dosis levamisol 2,5
mg/kgBB diberikan selang sehari selama 4-12 bulan.

4. Siklosporin
Pemberian siklosporin (CyA) dilakukan sesudah remisi dicapai dengan
steroid. Umumnya terapi ini digunakan bila siklofosfamid kurang
efektif. Dosis awal yang digunakan yaitu 5 mg/kgBB/hari.
Dalam penggunaannya, kadar dalam darah perlu dikontrol karena
memberikan efek nefrotoksik. Siklosporin dapat menyebabkan kelainan
histologist bahkan pada penderita yang ginjalnya normal sekalipun.
Efek samping lain yang sering ditemukan yaitu hipertrikosis,
hyperplasia gusi, gejala gastrointestinal, dan hipertensi.

e. Penderita lama (pengobatan relaps)

24
 Relaps tidak frekuen : prednisone 2mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis,
diberikan 3 hari sampai ada remisi. Dilanjutkan dosis intermitten
dibagi dalam 3 dosis selama 4 minggu.
 Relaps frekuen : berikan prednisone dosis penuh sampai remisi,
kemudian dilanjutkan sitostatika atau imunosupresen, siklofosfamid
atau klorampusil bersama-sama dengan prednisone dosis intermiten
selama 8 minggu.

f. Penderita rawat jalan


 Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menimbang berat badan,
mengukur tinggi badan, tekanan darah, dan pemeriksaan tanda-
tanda lainnya
 Pemeriksaan penunjang yang harus dievaluasi adalah urin rutin,
darah tepi, kadar urin serta kreatinin darah 3-6 bulan sekali
tergantung pada situasi
Terapi yang dilakukan pada penderita rawat jalan antara lain remisi
total (tanpa terapi), remisi parsial/rest protein 1+ tanpa obat, proteinuria +/+
+ tanpa edema dan disertai gejala infeksi, berikan antibiotika (ampisillin
atau amoksisillin) 3-5 hari. Bila tetap ada proteinuria maka dianggap
sebagai relaps.

g. Pengobatan tambahan
 Mengatasi edema anasarka dengan memberikan diuretik, furosemid
1-2mg/kgBB/kali, 2 kali sehari peroral
 Edema menetap, berikan albumin (IVFD) 0,5-1g/kgBB atau plasma
10-20 ml/kgBB/hari, dilanjutkan dengan furosemid i.v. 1
mg/kgBB/kali
 Mengatasi renjatan yang diduga karena hipoalbuminemia (1,5g/dL)
berikan albumin atau plasma darah

3.8 Komplikasi
1. Infeksi

25
Pada sindrom nefrotik mudah terjadi infeksi dan paling sering adalah
selulitis dan peritonitis. Hal ini disebabkan karena terjadi kebocoran IgG
dan komplemen faktor B dan D di urin. Bila terjadi penyulit infeksi
bacterial (pneumonia pneumokokal atau peritonitis, selulitis, sepsis, ISK)
diberikan antibiotic yang sesuai dan dapat disertai pemberian
immunoglobulin G intravena. Untuk mencegah infeksi digunakan vaksin
pneumokokus. Pemakaian imunosupresan menambah resiko terjadinya
infeksi virus seperti campak, herpes. Bila terjadi peritonitis primer
(biasanya disebabkan oleh kuman gram negatif dan Streptococcus
pneumoniae) perlu sefalosporin generasi ketiga yaitu sefataksim atau
seftriakson, selama 10-14 hari.
2. Hiperlipidemia
Pada sindrom nefrotik relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan
kadar kolesterol LDL dan VLDL, trigliserida, dan lipoprotein (a) (Lpa)
sedangkan kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat
aterogenik dan trombogenik. Pada sindrom nefrotik sensitive steroid, karena
peningkatan zat-zat tersebut sementara, cukup dengan pengurangan diit
lemak.
3. Hipokalsemia
Terjadi hipokalsemia karena :
 Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis
dan osteopenia
 Kebocoran metabolit vitamin D
Oleh karena itu pada sindrom nefrotik relaps sering dan sindrom nefrotik
resisten steroid dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 500mg/hari dan
vitamin D. Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas
50mg/kgBB intravena.
4. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan sindrom
nefrotik relaps dapat mengakibatkan hipovolemia dengan gejala hipotensi,
takikardia, ekstremitas dingin dan sering disertai sakit perut.
Penyulit lain yang dapat terjadi diantaranya hipertensi, syok
hipovolemik, gagal ginjal akut, gagal ginjal kronik (setelah 5-15 tahun).

26
Penanganan sama dengan penanganan keadaan ini pada umumnya. Bila
terjadi gagal ginjal kronik, selain hemodialisis, dapat dilakukan transplantasi
ginjal.

3.9 Prognosis
Prognosis baik bila penderita sindrom nefrotik memberikan respons yang baik
terhadap pengobatan kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Prognosis jangka
panjang sindrom nefrotik kelainan minimal selama pengamatan 20 tahun
menunjukan hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada
glomerulosklerosis, 25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun, dan pada
sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal.

BAB IV
ANALISA KASUS

Tn. A, laki-laki, usia 24 tahun datang dengan keluhan bengkak pada seluruh
tubuh sejak 4 minggu yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Bengkak diawali pada
daerah kelopak mata dan muka sejak 6 minggu yang lalu, terutama pada pagi hari
saat bangun tidur, dan bengkak berkurang saat siang dan sore hari yang kemudian
menjalar ke daerah kaki sejak 4 minggu yang lalu sebelum masuk rumah sakit,

27
bengkak makin bertambah, menyebar ke daerah muka, perut, dan kedua tungkai.
Selama bengkak, os mengeluh BAK berbusa. Os mengaku frekuensi BAK
berkurang. Keluhan Riwayat sering terbangun pada malam hari untuk BAK
disangkal. Keluhan bengkak ini tidak disertai sesak napas saat tidur dan os masih
bisa tidur dengan satu bantal. Os tidak pernah muntah-muntah, demam, dan kejang.
Selama bengkak Os tidak pernah tampak pucat, lemah, lesu atau kehilangan nafsu
makan. Os masih bisa beraktivitas ringan. Riwayat adanya bercak merah diwajah
tidak ada. Keluhan ini tidak disertai dengan sesak napas, sakit perut hebat, atau
kemerahan pada kulit yang terasa nyeri.Os mengeluh pegal pada pinggang
Pada pemeriksaan fisik didapat keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, tekanan darah 11/80mmHG, frekuensi nadi 132 x/menit,
frekuensi pernafasan 38 x/menit. Suhu 36,8C. Pada wajah ditemukan edema
palpebra pada kedua mata. Pemeriksaan penunjang didapatkan:, albumin 1,9 g/dl,
globulin 1.5 g/dl, ureum 52 mg/dl, kreatinin 1.4mg/dl, kolesterol total 458 mg/dl,
protein urin 500 mg/dl, as urat 7.9.
Pasien datang dengan keluhan bengkak. Ada beberapa penyakit yang dapat
menyebabkan bengkak diantaranya adalah kelainan ginjal, penyakit jantung, hati,
alergi dan malnutrisi. Pada penyakit jantung bengkak diawali dari kedua tungkai
karena venous return yang berkurang dikarenakan gangguan aliran balik ke
jantung, pengaruh gaya gravitasi dan tahanan perifer pada tungkai yang tinggi
teruma fossa poplitea dan inguinal. Selanjutnya adalah organ hepar. Bengkak ini
diawali dari perut dikarenakan fibrosis pada hepar yang mengakibatkan bendungan
sehingga venous return berkurang dan terjadi hipertensi porta, penurunan sintesa
protein sehingga terjadi hipoalbuminemia yang menurunkan tekanan osmotik
intravaskular yang menyebabkan terjadinya ekstravasasi cairan. Lalu alergi juga
dapat menyebabkan bengkak tetapi hanya pada tempat tertentu yang sifatnya non
pitting edema dan tidak berlangsung lama. Selanjutnya malnutrisi, bengkak terjadi
diseluruh tubuh tanpa penyebab yang jelas biasanya pada kwashiorkor atau
marasmus kwashiorkor. Pada kelainan ginjal bengkak dimulai dari kelopak mata.
Hal ini dikarenakan pengaruh gaya gravitasi. Kelopak mata merupakan jaringan
yang banyak mengandung jaringan ikat longgar.
Pada pasien ini bengkak dimulai dari kelopak mata yang berlanjut hingga
terjadi edema pada seluruh tubuh. Hal ini menunjukan bahwa bengkak pada pasien
ini mengarah pada kelainan ginjal. Untuk membantu menegakkan diagnosa maka

28
dibutuhkan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium darah
lengkap, kimia darah dan urin lengkap.
Pemeriksaan penunjang didapatkan: albumin 1,9 g/dl, globulin 1.5 g/dl,
ureum 52 mg/dl, kreatinin 1.4mg/dl, kolesterol total 458 mg/dl, protein urin 500
mg/dl, asam urat 7.9.
Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium,
pasien ini didapatkan edema anaksarka, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia.
Maka pasien ini didiagnosa Sindrom Nefrotik karena memenuhi semua kriteria: 1.
Proteinuria masif (>40 mg/m2LPB/ jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+); 2.
Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL; 3. Edema 4. Dapat disertai hiperkolesterolemia >
200 mg/dL.
Os diberikan terapi berupa metilprednisolon 2x125mg IV , Inj pantoprazole
2x1amp IV, Inj Ondansetron 2x1amp IV, Albuminar 25% 1 kolf/hari, Atorvastatin
tab 1x20mg, Spironolaktron tab 1x100mg, Nucral syr 3x1c
Pemberian furosemide bertujuan untuk mengurangi edema yang dikeluhkan
oleh pasien. Pemberian spironolakton bersamaan dengan furosemide berperan
untuk mengurangi beban jantung. Spironolakton dapat menahan kalium sedangkan
furosemide sebaliknya. Konsumsi furosemide yang dikombinasikan dengan
spironolakton dapat berguna untuk menjaga keseimbangan elektrolit dalam tubuh.
Pemberian terapi berupa ondansetron, pantoprazole, dan nucral diberikan kepada
pasien untuk mengurangi keluhan nyeri ulu hati. Os lalu diberikan atorvastatin
untuk mengurangi kadar kolesterol. Albuminar 25% 1 kolf/hari diberikan untuk
mengatasi kondisi hipoalbuminemia yang dialami os.

DAFTAR PUSTAKA

1. Alatas, Husein dkk. 2005. Kosensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada
Anak. Unit Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta, h.1-18.
2. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom Nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI pp. 381-426

29
3. Travis L, 2002. Nephrotic syndrome. Emed J (on line) (20) : screens. Available from :
URL:http//www.emedicine.com/PED/topic1564.htm. akses : on September 8, 2009
th
4. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. 2007. Nelson Textbook of Pediatric 18 ed.
Saunders. Philadelpia.
5. Gunawan, AC. 2006. Sindrom Nefrotik: Pathogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin
Dunia Kedokteran No. 150. Jakarta, h.50-54
6. Mansjoer Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius : Jakarta
7. Pardede, Sudung O. 2002. Sindrom Nefrotik Infantil. Cermin Dunia Kedokteran No.
134. Jakarta, h.32-37
8. Markum, et.al. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
9. Noer MS, Soemyarso N. 2009. Sindrom Nefrotik. (on line) (1) : screens. Available
from : URL:http//www.pediatrik.com. Akses : 8 september 2009
10. Suraatmaja S, Soetjiningsih, Penyunting. Pedoman Diagnosis Terapi Ilmu Kesehatan
Anak RSUP Sanglah Denpasar. Cetakan ke-2. Denpasar:Lab./SMF Ilmu Kesehatan
Anak FK UNUD/RSUP Sanglah; 2000. h.159-162
11. Cohen Eric P. Nephrotic Syndrome: Differential Diagnoses & Workup. Update: Aug
25, 2009
12. Garna, Herry dkk. 2012. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak FK
UNPAD. Edisi ke-4. Bandung: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD.
h.601-606

30

Anda mungkin juga menyukai