Anda di halaman 1dari 5

Konsep Sehat-Sakit Dalam Perspektif  

Budaya

A.   Pendahuluan

Pembangunan kesehatan sebagai salahsatu upaya pembangunan nasional diarahkan


guna tercapainya kesadaran, kemauan,dan kemampuan untuk hidup sehat bagi
setiap penduduk agar dapat mewujudkanderajat kesehatan yang optimal. Dan
kesehatan yang demikian yang menjadidambaan setiap orang sepanjang hidupnya.
Tetapi datangnya penyakit merupakanhal yang tidak bisa ditolak meskipun
kadang-kadang bisa dicegah atau dihindari.Konsep sehat dan sakit sesungguhnya
tidak terlalu mutlak dan universal karenaada faktor-faktor lain di luar kenyataan
klinis yang mempengaruhinya terutamafaktor sosial budaya. Kedua pengertian
saling mempengaruhi dan pengertian yangsatu hanya dapat dipahami dalam
konteks pengertian yang lain.

B.    Pembahasan

Banyak ahli filsafat, biologi, antropologi, sosiologi,kedokteran, dan lain-lain


bidang ilmu pengetahuan telah mencoba memberikanpengertian tentang konsep
sehat dan sakit ditinjau dari masing-masing disiplinilmu. Masalah sehat dan sakit
merupakan proses yang berkaitan dengan kemampuanatau ketidakmampuan
manusia beradaptasi dengan lingkungan baik secara biologis,psikologis maupun
sosial budaya.

Konsep “Sehat” dapat diinterpretasikan orang berbeda-beda,


berdasarkankomunitas. Keanekaragaman kebudayaan, maka secara kongkrit akan
mewujudkan perbedaanpemahaman terhadap konsep sehat yang dilihat secara emik
dan etik. Sehatdilihat berdasarkan pendekatan etik, sebagaimana yang yang
dikemukakan olehLinda Ewles & Ina Simmet (1992) adalah sebagai berikut:

 Konsep sehat dilihat dari segi jasmani, yaitu dimensisehat yang paling nyata
karena perhatiannya pada fungsi mekanistik tubuh
 Konsep sehat dilihat dari segi mental, yaitu kemampuanberpikir dengan
jernih dan koheren. Istilah mental dibedakan dengan emosionaldan sosial
walaupun ada hubungan yang dekat diantara ketiganya
 Konsep sehat dilihat dari segi emosional, yaitukemampuan untuk mengenal
emosi, seperti takut, kenikmatan, kedukaan, dankemarahan, dan untuk
mengekspresikan emosi-emosi secara cepat
 Konsep sehat dilihat dari segi sosial, berartikemampuan untuk membuat dan
mempertahankan hubungan dengan orang lain
 Konsep sehat dilihat dari aspek spiritual, yaituberkaitan dengan kepercayaan
dan praktik keagamaan, berkaitan dengan perbuatanbaik, secara pribadi,
prinsip-prinsip tingkah laku, dan cara mencapai kedamaiandan merasa
damai dalam kesendirian
 Konsep sehat dilihat dari segi societal, yaituberkaitan dengan kesehatan
pada tingkat individual yang terjadi karenakondisi-kondisi sosial, politik,
ekonomi dan budaya yang melingkupi individutersebut. Adalah tidak
mungkin menjadi sehat dalam masyarakat yang “sakit” yangtidak dapat
menyediakan sumber-sumber untuk pemenuhan kebutuhan dasar
danemosional. (Djekky, 2001: 8)

Konsep sehat tersebut bila dikaji lebih mendalamdengan pendekatan “etik” yang
dikemukakan oleh Wold Health Organization (WHO)maka itu berart bahwa: Sehat
itu adalah “a state of complete physical,mental, and social well being, and not
merely the absence of disease orinfirmity” (WHO, 1981: 38). Dalam dimensi ini
jelas terlihat bahwasehat itu tidak hanya menyangkut kondisi fisik, melainkan juga
kondisi mental dan sosial seseorang. Rumusan yang relativistik mengenai konsep
ini dihubungkandengan kenyataan akan adanya pengertian dalam masyarakat
bahwa ide kesehatanadalah sebagai kemampuan fungsional dalam menjalankan
peranan-peranan sosialdalam kehidupan sehari-hari (Wilson, 1970: 12) dalam
Kalangie (1994: 38).

Namun demikian bila kita kaitkan dengan konteks sehat berdasarkan pendekatan
secaraemik bagi suatu komunitas yang menyandang konsep kebudayaan mereka,
adapandangan yang berbeda dalam menanggapi konsep sehat tadi. Hal ini
karenaadanya pengetahuan yang berbeda terhadap konsep sehat, walaupun secara
nyataakan terlihat bahwa seseorang secara etik dinyatakan tidak sehat, tetapi
masihdapat melakukan aktivitas sosial lainnya. Ini berarti orang tersebut
dapatmenyatakan dirinya sehat. Jadi hal ini berarti bahwa seseorang
berdasarkankebudayaannya dapat menentukan sehat secara berbeda seperti pada
kenyataanpendapat di bawah ini sebagai berikut:

Adalah kenyataan bahwa seseorang dapat menentukankondisi kesehatannya baik


(sehat) bilamana ia tidak merasakan terjadinya suatukelainan fisik maupun psikis.
Walaupun ia menyadari akan adanya kelainan tetapitidak terlalu menimbulkan
perasaan sakit, atau tidak dipersepsikan sebagaikelainan yang memerlukan
perhatian medis secara khusus, atau kelainan ini tidakdianggap sebagai suatu
penyakit. Dasar utama penetuan tersebut adalah bahwa iatetap dapat menjalankan
peranan-peranan sosialnya setiap hari seperti biasa.

Standard apa yang dapat dianggap “sehat” jugabervariasi. Seorang usia lanjut dapat
mengatakan bahwa ia dalam keadaan sehatpada hari ketika Broncitis Kronik
berkurang sehingga ia dapat berbelanja dipasar. Ini berarti orang menilai
kesehatannya secara subjektif, sesuai dengannorma dan harapan-harapannya. Inilah
salah satu harapan mengapa upaya untukmengukur kesehatan adalah sangat sulit.
Gagasan orang tentang “sehat” danmerasa sehat adalah sangat bervariasi. Gagasan-
gagasan itu dibentuk olehpengalaman, pengetahuan, nilai, norma dan harapan-
harapan. (Kalangie, 1994:39-40)

Sakit dapat diinterpretasikan secara berbedaberdasarkan pengetahuan secara ilmiah


dan dapat dilihat berdasarkan pengetahuansecara budaya dari masing-masing
penyandang kebudayaannya. Hal ini berartidapat dilihat berdasarkan pemahaman
secara “etik” dan “emik”. Secara konseptualdapat disajikan bagaimana sakit dilihat
secara “etik” yang dikutip dari Djekky(2002: 15) sebagai berikut:

Secara ilmiah penyakit (disease) diartikansebagai gangguan fungsi fisiologis dari


suatu organisme sebagai akibat terjadiinfeksi atau tekanan dari lingkungan, jadi
penyakit itu bersifat objektif.Sebaliknya sakit (illness) adalah penilaian individu
terhadap pengalamanmenderita suatu penyakit (Sarwono, 1993: 31). Fenomena
subjektif ini ditandaidengan perasaan tidak enak. Di negara maju kebanyakan
orang mengidap hypo-chondriacal,ini disebabkan karena kesadaran kesehatan
sangat tinggi dan takut terkenapenyakit sehingga jika dirasakan sedikit saja
kelainan pada tubuhnya, maka akanlangsung ke dokter, padahal tidak terdapat
gangguan fisik yang nyata. Keluhanpsikosomatis seperti ini lebih banyak
ditemukan di negara maju daripadakalangan masyarakat tradisional. Umumnya
masyarakat tradisional memandangseseorang sebagai sakit, jika orang itu
kehilangan nafsu makannya atau gairahkerjanya, tidak dapat lagi menjalankan
tugasnya sehari-hari secara optimal ataukehilangan kekuatannya sehingga harus
tinggal di tempat tidur (Sudarti, 1988).Sedangkan secara “emik” sakit dapat dilihat
berdasarkan pemahaman konsepkebudayaan masyarakat penyandang
kebudayaannya sebagaimana dikemukakan di bawahini:

 
Foster dan Anderson (1986) menemukan konsep penyakit (disease)
padamasyarakat tradisional yang mereka telusuri di kepustakaan-kepustakaan
mengenaietno-medicine, bahwa konsep penyakit masyarakat non-Barat, dibagi
atasdua kategori umum yaitu:

 Personalistik, munculnya penyakit (illness)disebabkan oleh intervensi dari


suatu agen yang aktif, yang dapat berupa mahluksupranatural (mahluk gaib
atau dewa), mahluk yang bukan manusia (hantu, rohleluhur, atau roh jahat)
maupun mahluk manusia (tukang sihir, tukang tenung).
 Naturalistik, penyakit (illness) dijelaskandengan istilah-istilah yang
sistematik dan bukan pribadi. Naturalistik mengakuiadanya suatu model
keseimbangan, sehat terjadi karena unsur-unsur yang tetapdalam tubuh
seperti panas, dingin, cairan tubuh berada dalam keadaan seimbangmenurut
usia dan kondisi individu dalam lingkungan alamiah dan
lingkungansosialnya, apabila keseimbangan terganggu, maka hasilnya
adalah penyakit (1986:63-70)

Sudarti (1987) menggambarkan secara deskriptifpersepsi masyarakat beberapa


daerah di Indonesia mengenai sakit dan penyakit;masyarakat menganggap bahwa
sakit adalah keadaan individu mengalami serangkaiangangguan fisik yang
menimbulkan rasa tidak nyaman. Anak yang sakit ditandai dengantingkah laku
rewel, sering menangis dan tidak nafsu makan. Orang dewasadianggap sakit jika
lesu, tidak dapat bekerja, kehilangan nafsu makan, atau”kantong kering” (tidak
memunyai uang). Selanjutnya masyarakatmenggolongkan penyebab sakit ke dalam
3 (tiga) bagian yaitu :

1.     Karena pengaruh gejala alam (panas, dingin) terhadaptubuh manusia

2.     Makanan yang diklasifikasikan ke dalam makanan panasdan dingin.

3.     Supranatural (roh, guna-guna, setan dan lain-lain.).

Untuk mengobati sakit yang termasuk dalam golonganpertama dan ke dua, dapat
digunakan obat-obatan, ramuan-ramuan, pijat, kerok,pantangan makan, dan
bantuan tenaga kesehatan. Untuk penyebab sakit yang ketiga harus dimintakan
bantuan dukun, kyai dan lain-lain. Dengan demikian upayapenanggulangannya
tergantung kepada kepercayaan mereka terhadap penyebab sakit.
 

Daftar Pustaka

Development ofIndicator for Monitoring Progress Towards Health for All by The
Year 2000, Geneva: WHO.

Djoht,Djekky R. (2002), Etnografi Papua: KebudayaanDan Kesehatan Perspektif


Antropologi, ModulKuliah Fakultas Kedokteran, Universitas Cenderawasih,
Jayapura: Jurusan Antropologi,Universitas Cenderawasih, [2002]

Foster, Anderson (1986). AntropologiKesehatan. Jakarta: Grafiti


Kalangie. Keesing, RogerM. (1992) Antropologi Budaya: Suatu Perspektif
Kontemporer. Jilid 1, 2.Jakarta: Erlangga.

Muzaham, Fauzi.(1995) Sosiologi Kesehatan. Jakarta: UI Press.

Nico S. (1994).Kebudayaan dan Kesehatan: Pengembangan Pelayanan Kesehatan


Primermelalui Pendekatan Sosiobudaya. Jakarta: PT. Kesaint Blanc Indah Corp.

Sarwono, S. (1993). SosiologiKesehatan: Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya.


Yogyakarta: Gajah MadaPress.

Sudarti, dkk.(1985). Persepsi Masyarakat Tentang Sehat-Sakit dan Posyandu.


Depok:Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia.

World Health Organization (WHO). (1981).

(Dikutip dan diselaraskan darihttp://susipurwati.blogspot.com/2010/10/konsep-


sehat-sakit-menurut-budaya.html)

Anda mungkin juga menyukai