Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH HUKUM ACARA PERDATA ISLAM

(Disusun Sebagai Tugas Dari Mata Kuliah Hukum Acara Perdata Islam)

Judul:

MEMAHAMI PENGETIAN ‘IDDAH DENGAN PERMASALAHANNYA DAN RUJUK


DENGAN PERMASALAHANNYA

Kelompok 7

Budi Pangestu (1921020297)

Chandra Hari Wibowo (1921020300)

DOSEN PENGAMPU :

RAMBONA PUTRA, S.H.I., MH.

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

FAKULTAS SYARIAH

TAHUN AJARAN 2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah Subhanna Wa Ta`ala yang telah memberikan kami kemudahan dalam
menyelesaikan makalah ini, shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
kita yaitu Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam yang kita nantikan syafaatnya kelah di
yaumul akhir nanti.

Penulis mengucapkan segala puji syukur kepada Allah Subhanahu wata'ala atas limpahan
nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik ataupun akal pikiran sehingga penulis dapat
menyelesaikan pembuatan makalah ini sebagai tugas dari mata kuliah Hukum Perdata Islam
dengan judul “Memahami ‘Iddah Dengan Permasalahannya Dan Rujuk Dengan
Permasalahannya”.

Penulis tentu sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak kesalahan serta kekurangan dalam pembuatanya. Untuk itu penulis mengaharapkan kritik
dan saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya akan menjadi makalah
yang lebih baik lagi.Demikian, apabila terdapat salah kata dalam penulisan makalah ini penulis
memohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Terima Kasih.

Bandar Lampung, 30 Oktober 2021.

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................I
DAFTAR ISI...................................................................................................................................II
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................1
C. Tujuan Masalah....................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................2
A. ‘Iddah....................................................................................................................................2
B. Batasan Iddah........................................................................................................................2
C. Hikmah Iddah.......................................................................................................................4
D. Rujuk.....................................................................................................................................5
E. Hikmah Rujuk.......................................................................................................................6
F. Tata Cara Rujuk....................................................................................................................6
BAB III PENUTUP.........................................................................................................................8
A. Kesimpulan...........................................................................................................................8
B. Saran.....................................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................9

II
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Iddah berasal dari kata al-add dan al-ihsha’ yang berarti bilangan. Artinya jumlah
bulan yang harus dilewati seorang perempuan yang telah di ceraikan (talak) atau
ditinggal mati oleh suaminya. Adapun makna Iddah secara istilah adalah masa
penantian seorang perempuan setelah diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya.
Akhir masa Iddah itu ada kalanya ditentukan dengan proses melahirkan, masa haid
atau masa suci dengan bilangan bulan.
Rujuk berasal dari bahasa Arab raja’a – yarji’u – ruju’, bentuk mashdar yang artinya
Kembali. Istilah ini kemudia dibakukan dalam hukum perkawinan di Indonesia.
Secara terminologis, rujuk adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan
istri yang telah dicerai raj’i

B. Rumusan Masalah.

a. Apa Itu Pengertian Iddah, Batasan Iddah, Problematika Iddah, dan Hikmah
Iddah ?.
b. Apa Itu Pengertian Rujuk, Rujuk Dalam UUP Dan KHI, Serta Hikmah Rujuk ?.

C. Tujuan Masalah.

a. Mengetahui Pengertian Iddah, Batasan Iddah, Problematika Iddah Dan Hikmah


Iddah.
b. Mengetahui Pengertian Rujuk, Rujuk Dalam UUP Dan KHI, Dan Hikmah Dari
Rujuk.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. ‘Iddah

Pengertian Iddah
Iddah berasal dari kata al-add dan al-ihsha yang berarti bilangan. Artinya jumlah
bulan yang harus dilewati seorang perempuan yang telah diceraikan (talak) atau
ditinggal mati oleh suaminya . Adapun makna iddah secara istilah adalah masa
penantian seorang perempuan setelah diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya.
Akhir masa iddah itu ada kalanya ditentukan dengan proses melahirkan, masa haid,
atau masa suci dengan bilanga bulan.
Menurut Ulama Hanafiyah iddah adalah ketentuan masa penantian bagi seorang
perempuan untuk mengkukuhkan status memorial pernikahan (atsar al-nikah) yang
bersifat material, seperti memastikan kehamilan atau untuk merealisasikan hal-hal
yang bersifat etika-moral, seperti menjaga kehormatan suami. Kalangan Maliiyah
memberikan definisi lain. Menurutnya iddah merupakan masa kosong yang harus
dijalani seorang perempuan, pada masa itu ia dilarang kawin disebabkan sudah
ditalak(cerai) atau ditinggal mati sang suami.
Menurut mazhab Syafi’iyyah iddah adalah masa menunggu bagi seorang Wanita
guna mengetahui apakah di dalam rahimnya ada benih janin dari sang suami atau
tidak. Iddah juga disimbolkan sebagai kesedihan seorang Wanita atas kematian
suaminya.
Sedangkan menurut kalangan mazhab Hambali, iddah adalah masa menunggu bagi
Wanita yang ditentukan oleh agama

D. Batasan Iddah

Adapun macam-macam waktu tunggu atau masa ‘iddah dapat dijelaskan sebagai
berikut:

2
1. Putus perkawinan karena ditinggal suami
Pasal 39 ayat (1) huruf a PP No.9/1975 menjelaskan “Apabila perkawina putus
karena kematian, waktu tunggu ditentukan selama 130 hari”. Ketentuan ini di dalam
kompilasi hukum Islam diatur dalam Pasal 153 ayat (2) huruf a. Ketentuan diatas
tersebut berlaku bagi istri yang ditinggal suamiya dalam keadaan tidak hamil, apabila
keadaan istri sedang hamil maka waktu tunggu mereka sampai melahirkan. Ini
dijelaskan dalam pasal 153 ayat (2) d “Apabila perkawinan putus karena kematian,
sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai
melahirkan”.

2. Putus perkawinan karena perceraian.


Istri yang dicerai suami ada beberapa kemungkinan waktu tunggu, sebagai berikut :
a. Dalam keadaan hamil
Apabila istri dicerai suaminya dalam keadaan hamil maka ‘iddah sampai ia
melahirkan, dijelaskan dalam pasal 153 KHI.\
b. Apabila ia dicerai suami setelah terjadi hubungan kelamin (dukhul) :
a) Bagi yang masih datang bulan, waktu tunggunya ditetapkan 3 kali suci
dan sekurang-kurangnya 90 hari. Dijelaskan dalam Pasal 153 Ayat (2)
huruf b.
b) Bagi yang tidak atau belum datang bulan, masa ‘iddahnya 3 bulan atau
90 hari. Dijelaskan dalam Pasal 153 ayat (2) huruf b.
c. Bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani masa ‘iddah tidak
haid karena sedang menyusui maka waktu ‘iddahnya 3 kali waktu suci.
Dijelaskan dalam Pasal 153 ayat (5).
d. Dalam keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka ‘iddahnya selama
satu tahun akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut haid Kembali,
maka ‘iddahnya menjadi 3 kali waktu suci.

3. Putusnya perkawinan karena khulu’, li’an, dan Fasakh


Waktu ‘iddah bagi janda yang putus perkawinanya karena khulu’ (cerai gugat atas
dasar tebusa atau ‘iwadl dari istri). Fasakh (putus perkawinan misalnya karena salah
satunya murtad atau sebab lain yang seharusnya dia tidak dibenarkan kawin), atau

3
li’an, maka waktu tunggu berlaku seperti ‘iddah karena talak. (Dijelaskan dalam Pasal
154 -155 KHI).

4. Tenggang waktu hitungan masa ‘iddah


Sebagaimana dikemukakan terdahulu bahwa salah satu prinsip atau asas yang
ditekankan Hukum Perkawinan Islam di Indonesia adalah mempersulit adanya
perceraian, maka perceraian hanya dapat dilakukan di depan siding Pengadilan
Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil kedual belah
pihak. (Pasal 115 KHI) . Maka dijelaskan dalam Pasal 153 ayat (4) KHI : “Bagi
perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak
jatuhnya Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
sedangkan bagi suami perkawinan yang putus karena kematian, maka tenggang
waktu dihitung sejak kematian suami”.

E. Hikmah Iddah

Diantara Hikmah yang ada di dalam konsep iddah adalah sebagai berikut :
1. Memberi kesempatan yang cukup bagi kedua belah pihak untuk merajut ikatan
perkawinan yang sebelumnya terberai. Karena terkada rasa sesal datang di
kemudian hari sehingga masa iddah menjadi ajang me-review keputusan
bercerai.
2. Terdapat nilai-nilai transdental berupa ajaran agama yang bernuansa ibadah.
3. Agar istri dapat merasakan kesedihan yang dialami oleh keluarga suaminya
dan juga anak-anak mereka serta menepati permintaan suami. Hal ini jika
iddah tersebut dikarenakan oleh kematian suami.

Problematika ‘Iddah antara lain sebagai berikut :

1.

F. Rujuk

Pengertian Rujuk
Rujuk berasal dari bahasa Arab raja’a – yarji’u – ruju’, bentuk mashdar yang artinya
Kembali. Istilah ini kemudia dibakukan dalam hukum perkawinan di Indonesia.

4
Secara terminologis, rujuk adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan
istri yang telah dicerai raj’i , dan dilaksanakan selama istri masih dalam masa ‘iddah.
Rujuk dapat dikategorikan sebagai Tindakan hukum yang terpuji, karena setelah
pasangan suami istri itu mengalami masa-masa kritis konflik di antara mereka di
akhiri dengan perceraian, timbul kesadaran baru dan napas baru untuk merajut tali
perkawinan yang pernah putus guna merenda hari esok yang lebih baik lagi. Mereka
Kembali pada keutuhan ikatan perkawinan, yang disemangati oleh hasil koreksi
terhadap kekurangan diri masing-masing dan bertekad untuk memperbaikinya. Dari
sisi ini, perceraian merupakan media evaluasi bagi diri masing-masing suami istri
untuk menatap secara jernih, komunikasi, saling pengertian, dan romantika
perkawinan mereka jalani.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan pada BAB XVIII Pasal 163, 164,
165 dan 166.
Pasal 163 KHI :
1. Seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa ‘iddah.
2. Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal :
a. Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali
atau talak yang dijatuhkan qabla al-dukhul.
b. Putusnya perkawinan berdasar Putusan Pengadilan dengan alasan atau
alasan-alasan selain zina dan khulu’.

Melakukan rujuk tidak berbeda dengan akad nikah artinya, istri yang akan
dirujuknya menyetujuinya dan disaksikan oleh dua orang saksi (Pasal 164 KHI).
Dalam Pasal 165 KHI menjelaskan : “Seorang Wanita dalam ‘iddah talah raj’I
berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya di hadapan
Pengawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi.”

Dalam hal ini rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk
yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.
Apabila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat
dimintakan duplikatnya kepada instansi yang mengeluarkannya semula. (Pasal 166
KHI).

5
G. Hikmah Rujuk

Adapun hikmah atau tujuan disyariatkannya rujuk antara lain adalah sebagai berikut
:
1. Bertobat dan menyesali kesalahan-kesalahan yang lalu dan bertekad
memperbaikinya.
2. Untuk menjaga keutuhan keluarga dan menghindari perpecahan keluarga.
Terlebih lagi adalah untuk menyelamatkan masa depan anak, bagi pasangan
yang telah mempunyai keturunan. Kiranya tidak perlu dibuktikan, bahwa
pecahnya hubungan perkawinan orang tua akan membawa pengaruh negatif
bagi pertumbuhan jiwa dan perkembangan si anak.
3. Mewujudkan ishlah dan perdamaian. Meski hakikatnya hubungan perkawinan
suami-istri bersifat antarpribadi, namun hal ini sering melibatkan keluarga
besar masing-masing. Karena itu ishlah perlu mendapat penekanan.

H. Tata Cara Rujuk

Tata cara dan prosedur rujuk telah diatur dalam Peraturan Menteri Agama RI
Nomor 3 Tahun 1975 tentang Kewajiban Pegawain Pencatat Nikah dan Tata Cara
Kerja Pengadilan Agama dalam melaksanakan Peraturan Perundang-Undangan
Perkawinan bagi yang beragama Islam, kemudian dikuatkan dalam Kompilasi Hukum
Islam Pasal 167, 168, dan 169. Dalam Permenag RI tersebut, rujuk diatur dalam Pasal
32, 33, 34, dan 38.
Pasal 167 Kompilasi Hukum Islam Menjelaskan :
1. Suami yang hendak merujuk istrinya datang Bersama-sama istrinya ke
Pegawai Pencatat Nikah atau pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang
mewilayahi tempat tinggal suami istri dengan membawa penepatan tentang
terjadinya dan surat keterangan lain yang di perlukan.
2. Rujuk dapat dilakukan dengan persetujuan istri di hadapan Pegawai Pencatat
Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.
3. Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat memeriksa dan
menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat
merujuk menurut hukum munakahat, apakah tujuk yang akan dilakukan itu

6
masih dalam masa ‘iddah talak raj’I, apakah perempuan yang akan dirujuk itu
adalah istrinya.
4. Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang
bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.
5. Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah menasihati suami istri tentang hukum-hukum dan
kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk

7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Iddah berasal dari kata al-add dan al-ihsha yang berarti bilangan. Artinya jumlah
bulan yang harus dilewati seorang perempuan yang telah diceraikan (talak) atau
ditinggal mati oleh suaminya . Adapun makna iddah secara istilah adalah masa
penantian seorang perempuan setelah diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya.
Akhir masa iddah itu ada kalanya ditentukan dengan proses melahirkan, masa haid,
atau masa suci dengan bilanga bulan.
Rujuk berasal dari bahasa Arab raja’a – yarji’u – ruju’, bentuk mashdar yang
artinya Kembali. Istilah ini kemudia dibakukan dalam hukum perkawinan di
Indonesia. Secara terminologis, rujuk adalah kembalinya suami kepada hubungan
nikah dengan istri yang telah dicerai raj’i , dan dilaksanakan selama istri masih
dalam masa ‘iddah.

I. Saran

Semoga dengan ditulis atau dibuatnya makalah ini dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan tentang ‘iddah dan rujuk beserta aturan hukumnya, mungkin dalam
penulisan makalah ini masih banyak kekurangan maka dari itu pemakalah sangat
membutuhkan kritik dan saran dari para pembaca.

8
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A.2017.Hukum Acara Perdata Islam Di Indonesia Edisi
Revisi. Depok : Rajawali Pers.

http://eprints.walisongo.ac.id/id/eprint/6719/3/BAB%20II.pdf

http://etheses.uin-malang.ac.id/1595/11/07210048_Lampiran.pdf

file:///C:/Users/Lenovo/Downloads/UU%20Nomor%201%20Tahun%201974.pdf

Anda mungkin juga menyukai