Anda di halaman 1dari 8

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/340249878

FILSAFAT MANUSIA

Article · March 2020

CITATIONS READS
0 10,531

1 author:

Ariehta Eleison Sembiring


TRIFIDA at Law
25 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Rekonseptualisasi Visum dalam Sistem Pemidanaan Indonesia View project

All content following this page was uploaded by Ariehta Eleison Sembiring on 28 March 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


FILSAFAT MANUSIA
A. PENGANTAR
Dalam memperbincangkan Hak Asasi Manusia, tidak dapat melompat langsung kepada pembicaraan
tentang (jenis) hak asasi tanpa memperbincangkan apa sebenarnya manusia itu. Ada berjibun filsuf telah
mendefinisikan apa itu manusia. Ada berjibun agama yang telah meletakkan hakikat-hakikat manusia. Bahkan, di
dalam agama, manusia diposisikan sebagai mikrokosmos, bagian dari tatanan kosmos makro. Manusia diberikan
fungsi premium, dibandingkan dengan makhluk yang lain, maka semua hal di luar diri manusia merupakan obyek
yang akan dimanfaatkan untuk kebaikan manusia. Pandangan demikian memang terdengar sangat antroposentris.
Namun, bukankah hal itu yang memang terjadi? Kita, manusia, mempercayai bahwa kita diberi mandat untuk
menjaga bumi, bukan kuda nil, bukan panda, bukan pohon kurma, melainkan manusia.
Manusia lantas berketurunan secara luas, menguasai dunia, membuat peradaban, menghancurkan
peradaban, mempreservasi lingkungan, juga merusaknya pada saat yang sama. Manusia dan segala obyek di luar
dirinya berada dalam trajektori yang rumit. Manusia menciptakan nilai-nilai, melekatkannya pada obyek di luar diri,
untuk kemudian direlasikan dengan manusia itu sendiri. Ketika manusia terkagum akan matahari, manusia
menciptakan agama, lalu menyembahnya. Ketika manusia terkesima oleh lautan yang ganas, manusia menciptakan
sistem kepatuhan, menundukkan diri, dikuasai oleh ide yang direproduksi sendiri, lalu dengan kemampuan kognisi
menciptakan teknologi yang justru mengganggu harmonisnya hubungan manusia dan laut itu sendiri. Lihatlah berapa
banyak masyarakat yang percaya akan karisma magis sebuat pohon besar dan lihatlah angka deforestasi di seluruh
dunia.
Fenomena pemanasan global menceritakan apa yang telah disampaikan di atas. Pemanasan global
menunjukan kepada kita bahwa fenomena global ini diakibatkan oleh tangan manusia sendiri dalam merespons
kekayaan yang disediakan alam. Overkonsumsi dan overpenumpukan menjadi akar penyebab. Hewan tidak
mengenal penumpukan dan hanya mengkonsumsi apa yang dibutuhkan hari ini. Harimau hanya menyerang
kawanan rusa ketika mereka lapar dan membiarkan kawanan rusa memamah rumput dengan tenang ketika sudah
kenyang. Sementara, manusia menambang emas besar-besaran tidak untuk menciptakan emas yang dibutuhkan
bagi diri penambang itu sendiri. Manusia mengkomodifikasikan alam obyektif, dan dari sinilah mulanya kerusakan
lingkungan yang mengakibatkan pemanasan global.
Gas-gas yang tercatat sebagai pendorong atas pemanasan global bukan hasil dari laparnya buaya di
Sungai Nil atas rusa. CO2, N2O, CH4, CFCs, dsb, ialah gas yang masing-masing namanya diciptakan manusia
untuk menunjuk sejumlah gas yang memicu pemanasan global. 1 Yang memberi kode atas realitas gas-gas tersebut
toch manusia, namun yang menghasilkan gas-gas tersebut juga manusia. Dengan pembakaran bahan-bakar fosil,
sehingga terbentuklah efek rumah kaca yang memerangkap panas dan meningkatkan suhu bumi, mengakibatkan es
meleleh, permukaan air laut meningkat, suhu ekstrim, kekeringan panjang, hingga bencana demi bencana telah
memakan korban yang jumlahnya tidak terhitung. 2 Meski sudah demikian gamblang, manusia pula yang memilih
bersikap skeptis atas fenomena ini.
Manusia yang merusak lingkungan, manusia pula yang membentuk konsorsium-konsorsium penyelematan
bumi. Dalam konteks pemanasan global, manusia seluruh dunia mengirimkan perwakilannya untuk duduk
menginventarisir faktor penyebab, menekannya agar tidak terus dilakukan dengan skala yang lebih masif, hingga

1
https://climate.nasa.gov/causes/.
2
Vann R. Newkirk II, The Victims of Climate Change are Already Here,
https://www.theatlantic.com/politics/archive/2018/08/climate-change-global-climate-action-
summit/568069/.
membuat sanksi dan insentif atas perbuatan demi perbuatan di kemudian hari. Dimulai dari the Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC) pada 1990 hingga putaran UNFCCC terakhir di Katowice, Polandia, pada
Desember 20198 lalu,3 manusia (se-dunia) disibukkan untuk mengatur perangai manusia lain dalam mengelola
lingkungan hidupnya agar tidak semakin memperparah kerusakan dan pemanasan global yang terjadi.
Manusia menangis ketika dirinya atau orang yang dikasihinya terluka atau mati. Luka dan duka terbukti
tidak pernah indah. Namun, sejarah manusia justru menunjukkan sejarah tentang perang, yang memakan korban
jiwa tidak sedikit, yang tentu saja memunculkan luka dan kedukaan yang tidak main-main. Dalam Putusan
Nuremberg misalnya dapat kita temukan bagaimana petinggi militer dan politik NAZI, yang IQ-nya di atas rata-rata
itu, mendesain kamp pembantaian terhadap etnis Yahudi, hanya karena orang-orang yang dibantai tersebut beretnis
Yahudi. 4 Di sisi yang lain, kita tidak akan pernah menemukan cerita harimau Sumatera menjerat harimau-harimau
Kalimantan untuk disiksa dan dibunuh hanya karena harimau-harimau tersebut berasal dari Kalimantan.

Hak Cipta: Ariehta Eleison Sembiring

Gambar 1: Buku di Rak Sejarah di pameran buku Big Bad Wolf 2019 di Jakarta

Yuval Noah Harari dalam kuliah yang direkam oleh TedX menyampaikan perbedaan antara manusia dan
kera. Menurutnya, manusia menguasai dunia, bukan kera, sebagai hasil satu perilaku yang disebut kerjasama
(cooperation). Meski banyak juga hewan yang menunjukan abilitas untuk berkooperasi, namun kooperasi hewan
tersebut lemah dikarenakan bersifat terlalu rigid dan nihil improvisasi. Untuk hewan sosial seperti paus, lebah, atau
kera, meski mereka memiliki kooperasi yang lebih fleksibel dari hewan lainnya, namun kooperasi tersebut hanya
dapat bekerja untuk kelompok yang kecil. Di sisi lain, manusia dapat berkooperasi dalam skala kolektivis yang besar,
bahkan melampaui sekat geografis.
“We [human being] can work together to create this global exchange of ideas. This is something chimpanzees
cannot do”5

Pemikiran Yuval tentang manusia, yang ia sampaikan di dalam kuliah tersebut, patut diafirmasi. Namun,
sekaligus patut diuji. Ulasan lebih lanjut tentang pikiran Yuval atas manusia akan dibahas lebih jauh pada bab
selanjutnya, dengan membaca lebih dulu buku Sapiens karyanya. Meski demikian, dari kuliah tersebut dapat
digarisbawahi paradigma Yuval dalam menginterpretasikan manusia di antara hewan, dimana kooperasi menjadi titik
tekan. Afirmasi dapat diberikan, jika melihat bagaimana dalam rentang waktu sejarah, manusia melakukan transaksi-

3
https://unfccc.int/process/bodies/supreme-bodies/conference-of-the-parties-cop.
4 nd
Lihat International Military Tribunal in the Trial of German Major War Criminals Part 22 (22 August,
st
1946 to 1 October, 1946. Pada Putusan ini, Halaman 78 disebutkan, di Kamp Konsentrasi Auschwits
terdapat 2.500.000 korban meninggal beretnis Yahudi dan 500.000 korban meninggal karena sakit yang
dibiarkan.
5
https://www.youtube.com/watch?v=nzj7Wg4DAbs&t=892s.
transaksi lintas wilayah, yang kemudian hari dikenal sebagai kerjasama internasional. Perserikatan Bangsa-bangsa
ialah bentuk solid dari kooperasi secara masif tadi. Sebagai kontras, kita tidak akan pernah menemukan seekor
buaya menumpuk daging rusa hasil buruan untuk ditukarkan kepada kambing demi mendapatkan ttiga penyimpanan
yang hangat bagi telur-telurnya. Tukar-menukar antar hewan dalam spesies yang sama sekalipun hampir-hampir
tidak pernah terjadi.
B. MANUSIA: SEKELUMIT PERTANYAAN FILOSOFIS
Diskursus filsafat tentang manusia tersebar luas, dengan pelbagai sudut pandang pendekatan. Khusus
untuk tulisan ini, dari begitu jamaknya teori-teori filsafat tentang manusia tersebut akan dipilih tiga pemikir besar:
Plato, Hobes, dan Yuval Noah Harari (pemikir penting hari-hari ini). Alasan pemilihan para pemikir besar ini ialah
karena alasan pengaruh yang sangat signifikan dari pemikiran mereka, menurut hemat penulis, terhadap diskursus
ke-manusia-an hari ini.
B.1 Plato (420an SM – 340an SM)
Plato merupakan filsuf Yunani yang sangat berpengaruh hingga ribuan tahun sejak kelahirannya.
Meski tidak ada catatan otentik yang membuktikan bahwa Plato ialah murid langsung dari Sokrates –
bahkan sebagian orang menyebut Sokrates lebih sebagai tokoh imajiner Plato untuk menuliskan naskahnya
yang berisi dialog perdebatan itu. Di banyak tulisan digambarkan betapa Plato terpukul dengan hukuman
mati yang mendera gurunya tersebut. Plato juga terinspirasi dengan kuliah/pidato yang diberikan Sokrates
yang bertumpu pada keutamaan kebenaran, bahkan jika kebenaran itu akhirnya membawa nestapa bagi
orang yang menjunjungnya. Sokrates tidak memberi kuliah tentang hal yang ia tidak lakukan. Sokrates
merawat kebenaran, dimana ia lebih memilih untuk merengkuh hukuman mati di hadapannya dengan
berani alih-alih menerima tawaran dari para muridnya untuk kabur dari hukuman.
Membincangkan „manusia‟ dalam teori Plato akan mengantarkan kita pada buku „Republik‟ yang
fenomenal itu. Pada Bab VII, Plato banyak mengelaborasi apa itu manusia, kualitas apa yang penting
dimiliki seorang manusia di dalam hidup, serta hidup seperti apa yang hendaknya dituju. Plato, di dalam
banyak hal termasuk dalam mendefinisikan manusia, menggunakan postulat dualisme. Dualisme
memisahkan realitas obyektif materil dengan hakikat immateril. Tentang manusia, dualisme menyangkut
badaniah dan jiwa. Jiwa sendiri lantas dibaginya menjadi tiga yakni akal-pikir, dorongan badaniah, dan
keinginan (will). Akal pikir ialah mengenai utilisasi pikiran dalam merengkuh bentuk kebenaran tertinggi.
Dorongan badaniah berbentuk semacam gairah fisik dan biologis (makan dan seks di antaranya). Keinginan
ialah semacam manifestasi dari emosi, ambisi, semangat, kedukaan, agresi, digniti, dsb. 6
Bagi Plato, digambarkan di dalam dialog Sokrates dengan Thrasymachus, kebahagian manusia
bisa dicapai dengan menguji hidup (examined life) hingga pada akhirnya menemukan kebenaran yang
nyata (virtue/ arête). Kebenaran menjadi fundamen berkehidupan yang menuntun manusia untuk menjadi
manusia yang adil (just man) secara paripurna sehingga ia tidak hanya tampaknya adil tetapi memang
senyatanya adil. Jika kebenaran menjadi fundamen, maka ia akan mengejawantahkan dan mempraktikan
keadilan di dalam perilakunya.7 Terkait „menjadi adil‟ ini, bantah-berbantah terjadi antara Sokrates dengan
Thrasymachus. Bagi Thrasymachus, ketika seseorang itu nyatanya tidak adil tetapi mampu tampil menjadi
orang adil (seolah-olah adil di depan umum) maka hal ini adalah hal yang patut dikagumi mengingat itu
menunjukkan kualitas intelegensianya yang superior. Berpura-pura adil dan sok baik di dalam keadilan itu
sendiri merupakan cara yang paling jitu untuk menggapai pengakuan dibandingkan cara-cara keadilan.

6
Plato, The Republic, http://www.idph.net/conteudos/ebooks/republic.pdf, hlm. 373-400.
7
Pedro Blas Gonzales, Human Nature, Allegory, and Truth in Plato’s Republic,
https://kirkcenter.org/essays/human-nature-allegory-and-truth-in-plato-republic/.
Bagi para penjunjung moral tentu pendapat Thrasymachus ini tidak akan pernah diamini, entah
bagi para politisi. Moralis semacam Plato mengingatkan penulis kepada Soe-Hok Gie yang pernah
mengatakan di dalam bukunya berjudul „Catatan Seorang Demonstran‟ bahwa „lebih baik diasingkan
daripada menyerah pada kemunafikan.‟ Gie, entah bagaimana bisa senada dengan kisah Sokrates yang
menolak melarikan diri dari hukuman mati, mengambil posisi memperjuangkan kebenaran seutuh-utunya
dengan memilih berani menjalani hidup dalam pengasingan daripada menjadi manusia yang munafik.
Kebenaran yang dipegang Gie menuntunnya menjadi manusia yang melampaui sekat-sekat dan berhasil
memperjuangkan kemanusiaan sebaik-baiknya.

Kembali kepada Plato. Plato menerangkan


mengenai kebenaran dengan alegori
(perumpamaan) manusia di dalam goa yang
melihat bayangan atas satu obyek dari luar gua
(gua yang gelap). Dikarenakan manusia-manusia
di dalam goa tidak mengejar cahaya kebenaran
tersebut, maka manusia itu justru menangkap
obyek yang berbeda dari obyek sebenarnya.
Orang-orang yang berada di dalam gua
tersebut tetap tinggal -dengan ketakutannya akan
kebenaran- di dalam penjara „kebebalan‟
(ignorance) dan membiarkan dirinya terekspos
Hak Cipta: oleh realitas pikir yang bias dari kebenaran.
https://www.researchgate.net/figure/Platos-allegory-of-the-cave-Adapted-from-Wall-2005_fig1_268405560
Kebenaran yang tampak (yang dalam gambar di
Gambar II: Alegori Plato tentang gua
samping membesar dari realitasnya) lantas
diterima sebagai „yang benar.‟

Ikhtiar menangkap kebenaran adalah upaya terus-menerus yang berlangsung bersama lintasan
waktu. Ada beberapa kebenaran yang dapat tersingkap dalam waktu yang singkat, namun sebagian
kebenaran membutuhkan keteguhan untuk ditemukan. Dengan rationalitas yang jernih maka seseorang
dapat memiliki jiwa yang mampu mengantarkannya pada kebenaran. Ketika hidup berada dalam lingkup
cahaya (kebenaran) maka seseorang tidak akan mengingini hidup yang ignoran lagi. Orang tersebut telah
mengetahui cara bersikap untuk tidak melakukan apa yang seharusnya tidak ia lakukan. Dalam hidup yang
seperti ini, seseorang akan diisi dengan kebahagian yang tertinggi (eudaimonia), dilingkupi oleh pencerahan
yang memuaskan hakikat teleologis dari eksistensi seseorang menjadi anak manusia.
B.2 Thomas Hobbes (1588-1679)
Thomas Hobbes merupakan seorang filsuf right law berkebangsaan Inggris yang membuat
interseksi dengan filsuf hukum moral yang mendominasi kala itu (dan kala sebelum Hobbes). Hobbes
memandang manusia sebagai serigala bagi manusia lain. Manusia akan selalu berkontestasi dan berusaha
memenangkan kontestasi itu atas harga yang ditanggung manusia lain. Hobbes menderivasi konsepnya
soal „serigala‟ dari Bibel (Matius 10:16).8 Hobbes tampaknya seorang yang taat beragama. Pula, membaca
Bibel dengan taat, sehingga tidak susah bagi pembaca buku Leviathan untuk menemukan interaksinya
dengan simbol-simbol Kristianitas.

8
Thomas Hobbes of Malmesbury, Leviathan (London: the Green Dragon in St. Pauls Church-yard, 1651),
hlm 312.
Baginya, manusia memiliki penderitaan di dalam hidup, sehingga setiap upaya yang ia lakukan
ditujukan untuk mengeliminasi penderitaan tersebut. Tendensinya ialah manusia akan membangun
justifikasi atas upaya-upayanya mengeliminasi penderitaan. Itulah mengapa Hobbes disebut sebagai filsuf
right law dan menolak kategori-kategori moral. Dalam artian, manusia mendasarkan aktivitasnya tidak pada
tanggung-jawab moral melainkan pada pemenuhan hak individu manusia itu sendiri. Hak di sini dibicarakan
sebagai kemanfaatan bagi diri sendiri untuk melakukan apa yang manusia tersebut kehendaki. Manusia,
menurut Hobbes, pada hakikatnya tidak untuk memusingkan kepentingan orang lain. Realitas ini yang
kemudian memunculkan keadaan kacau yang dipenuhi egoisme, individualisme, dan kesengsaraan.
“…when taking a journey, he arms himself and seeks to go well accompanied; when
going to sleep, he locks his doors; when even in his house he locks his chests…” 9
Keadaan kacau inilah yang menjadi alasan manusia lantas “bersosialisasi” dengan manusia lain
dalam wujud relasi kontrak sosial. Manusia menyerahkan dirinya untuk hendak diatur dalam hukum yang
disepakati bersama, hukum yang akan menindak siapapun yang membawa bahaya bagi orang lain.
Keadaan manusia yang semula “merdeka” berubah menjadi terikat oleh hukum. Manusia-manusia lalu
membentuk organisasi, yang disebut masyarakat (society) dan pranata-pranata, berinteraksi untuk
menyusun kontrak-kontrak sosial dan memastikan bahwa tidak ada satu pun yang telah dikontrakkan
tersebut akan dilanggar.
Dengan kata lain, Hobbes hendak menyampaikan bahwa masyarakat (society) bukanlah
keniscayaan –manusia tidak menginginkan masyarakat pada hakikatnya- melainkan dibentuknya
masyarakat berikut pranata-pranatanya -termasuk hukum- untuk memberi jaminan keamanan yang lebih
luas bagi diri manusia itu sendiri, tepat ketika ternyata manusia secara sendiri-sendiri tidak mampu
menciptakan keamanaan tersebut. Keamanan menjadi prasyarat yang harus terwujud agar hak-hak individu
manusia dapat terlindungi. Yang pada akhirnya, pragmatisme atas terlindunginya kebahagian individu
manusia melampaui apapun.
B.3 Yuval Noah Harari
Yuval Noah Harari, sebagaimana dinamakan di dalam website personalnya sebagai seorang
sejarawan, pemikir, pengajar, ialah seorang Yahudi yang telah menulis sejumlah buku yang sangat
berpengaruh di dunia saat ini.10 Dua buku utamanya yakni „Sapiens: A Brief History of Humankind‟ (2014)
dan „Homo Deus: A Brief History of Tomorrow‟ (2016) telah beredar luas hingga telah diterjemahkan ke
dalam sekitar 50 bahasa. Ia adalah dosen sekaligus peneliti pada Hebrew University, Israel. Ia baru saja
menerbitkan sebuah buku lagi, berjudul ‟21 Lessons for the 21st Century.‟ Pandangan Yuval dapat dikatakan
“ultrapositif”. Ia melihat keadaan dunia hari ini lebih baik dari sebelumnya, dan dengan begitu di masa
depan sangat dapat dibuat lebih baik lagi.
Untuk mengulas pemikiran Yuval mengenai manusia pada Bab ini, buku Yuval berjudul „Sapiens‟
menjadi rujukan utama. Harari mencatat bahwa manusia membuat persimpangan pemisah antara dirinya
dengan hewan ketika manusia berhasil menduduki posisi teratas dalam rantai makanan (sejak sekitar
100.000 tahun yang lalu). 11 Salah satu faktor yang amat penting memungkinkan hal ini terjadi ialah
dikarenakan volume otak manusia yang besar yang mampu membuat temuan dan perkakas, khususnya
hasil dari penggunaan api, untuk mendukung kehidupan manusia. Meski, Yuval mengatakan, otak yang

9
Ibid, hlm. 88.
10
https://www.ynharari.com/.
11
Yuval Noah Harari, Sapiens: Sejarah Ringkas Umat Manusia dari Zaman Batu hingga Perkiraan
Kepunahannya, Terj. Yanto Musthofa (Diterbitkan di Jakarta: PT Pustaka Alvabet, 2017), hlm. 13.
besar sekaligus menjadi tantangan mengingat semakin besar otak, semakin besar energi yang dibutuhkan
manusia, semakin banyak makanan yang dibutuhkan, maka semakin prevalen manusia dituntut untuk
berburu (menghadapi alam yang menakutkan).
Alam yang menakutkan, memang demikian penggambaran Yuval di dalam bukunya,
menempatkan manusia pada awalnya dalam posisi yang kalah. Kemudian hari, ketakutan dan kecemasan
akan kerasnya alam menuntut manusia untuk bertahan hidup di padang savana tempat ia hidup mula-mula.
Demi bertahan hidup dan dengan posisi yang lemah manusia dituntut untuk melipatgandakan kekejaman
dan kadar bahayanya di dalam pertarungan. 12 Dan dalam pertarungan bertahan hidup yang keras macam
ini, manusia sangat tertolong oleh kemampuannya dalam menggunakan api. Penggunaan api membuat
makanan masak dan lebih cepat dicerna. Ketika kera membutuhkan lima jam waktu khusus untuk makan
dan mencerna makanannya, manusia hanya butuh kurang dari seperlimanya. Efisiensi waktu ini
memberikan kesempatan bagi manusia untuk menata hidup lebih baik dari kera. 13
Otak atau akal memiliki peran sentral yang telah berfungsi positif bagi manusia sejak ribuan tahun
lalu. Hingga pada satu titik, yang disebut Yuval sebagai „Revolusi Saintifik‟ manusia melesat lebih jauh,
dengan invensinya atas teknologi. Mengetahui, bagi manusia, tidak lagi berakar pada dogma, melainkan
pada falsifikasi dan percobaan. Yuval menyebut tiga prinsip saintifik yakni [1] kesedian mengakui
kebodohan, yakni fase manusia memahfumi bahwa hal-hal yang sebelumnya kita ketahui ternyata bisa
salah (ignoramus) sehingga tiada kesakralan dalam teori dan konsep; [2] sentralitas observasi dan
matematika yakni ketika pengamatan terus menerus ditopang oleh kalkulasi probabilitas-matematis
beroperasi untuk mendapatkan pengetahuan baru; [3]. Perolehan kekuatan baru, fase dimana mengetahui
teori-teori saja menjadi insufisien dan menuntut ejawantah menjadi bentuk teknologi. 14
Kesadaran bahwa banyak hal yang manusia belum ketahui atau banyak hal yang manusia telah
ketahui menggairahkan manusia untuk melakukan eksperimen demi eksperimen. Ini lantas memosisikan
sains lebih fleksibel atas kemungkinan baru dibandingkan sistem pengetahuan lama seperti agama.
Manusia lantas mengkonstruksikan satu penerimaan bahwa tiada satu individu juga yang dapat mengklaim
sebagai penutup atas pengetahuan tertentu. Ini menunjukan bahwa utilisasi otak membuat manusia
berkembang dari manusia terdahulu (evolusi). Manusia menciptakan mitos, mengubahnya menjadi agama,
lalu mengkritisinya dengan sistem baru yang disebut ilmu pengetahuan. Sementara, hewan –apalagi
tumbuhan- tidak mengalami evolusi demikian.
Sirkumstansi saintifik menggandeng kekuatan (pengetahuan adalah kekuatan).15 Jika dahulu
manusia kuat apabila menaklukan singa dan merebut buruan dari mulut kawanan singa, kini kekuatan
berpindah dari keliatan otot menjadi pengetahuan. Pihak manapun yang menguasai pengetahuan maka
menguasai kekuatan. Kekuatan hasil pengetahuan bukan berarti tidak berdampak negatif bagi manusia.
Peristiwa perang dunia mengafirmasi argumentasi tersebut. Jerman merasa percaya diri untuk meneruskan
peperangan meski satu persatu sekutunya telah kalah berlandaskan alasan bahwa Jerman memiliki
ilmuwan yang dapat menjaga posisi Jerman dalam peperangan. Jerman menguasai biologi dan
menggunakannya untuk membangun argumentasi (saintifik) pembersihan etnis Yahudi dari wilayahnya.
Pengetahuan memang menghadirkan kekuatan, namun sekaligus menghasilkan konflik sesama spesies:
manusia melawan manusia.

12
Ibid.
13
Ibid, hlm. 14.
14
Ibid, hlm. 297.
15
Ibid, hlm. 307.
Apa yang Yuval tidak bicarakan –mungkin karena Yuval tidak menganggap hal ini penting- ialah
perihal korespondensi rantai makanan dengan kondisi kekinian manusia yang telah dilengkapi oleh
pengetahuan. Ketika dulu manusia terancam, takut, hingga berhasil “menaklukan” alam hingga
membuatnya berada di posisi teratas rantai makanan, maka saat ini survival of the fittest (dalam istilah
Charles Darwin) masih terjadi, hanya berubah wujud saja. Jika dulu manusia bertarung demi berada di
puncak rantai makanan, kini manusia berperang demi berada di puncak rantai penguasaan pengetahuan.
Supremasi sekelompok manusia satu atas kelompok manusia lainnya yang dibahan-bakari oleh
pengetahuan yang kita kenal dengan genosida, terorisme, perang, dsb.
Tampaknya Yuval tidak sama sekali absen dalam persoalan di atas. Di bab penutup bukunya, ia
dengan sinis memotret manusia yang tadinya menciptakan tuhan kini berubah menjadi tuhan itu sendiri.
Manusia menjadi tuhan, ingin menguasai segalanya, dengan hasrat yang tidak pernah puas dan rasa
bertanggung-jawab yang mini. Manusia menciptakan lantas menghancurkan. Kehancuran bagi manusia
yang sesama spesiesnya saja terjadi, maka kehancuran dan penderitaan bagi semesta alam (Yuval
membahasakannya sebagai „binatang-binatang‟) menjadi keniscayaan. 16
Pada titik inilah, melindungi manusia
dalam pradigma Hak Asasi Manusia, menurut
hemat penulis, kemudian muncul. Manusia bisa
menjadi leviathan dalam teori Hobbes dan bisa
tetap menjadi „kertas putih‟ dalam teori Locke.
Namun probabilitas selalu ada untuk manusia
menjadi leviathan bagi manusia lain sehingga
memunculkan keterinjakan hak manusia lain
yang lebih lemah –jika menggunakan
argumentasi Yuval maka manusia ini lemah
karena gagal menguasai pengetahuan- di satu
tangan dan tangan lainnya ialah glorifikasi bagi Kredit Gambar: Anne-Louis Girodet
manusia yang memiliki kuasa.
Gambar III: Kemarahan pemerintahan Napoleon Bonaparte atas revolusi di Kairo

---------------------------------------------------------------------arie sembiring--------------------------------------------------------------------

16
Ibid, hlm. 494.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai