Anda di halaman 1dari 15

Nama : Muhtadi Ansori

NPM : 100391
Jurusan : PAI
Semester : IV
Kelas :B

1. A. Realitas Mutu Pendidikan Islam


Sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, terutama pada penjelasan Pasal 37 Ayat (1) bahwa pendidikan agama
dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Untuk membentuknya
diperlukan pengembangan ketiga dimensi berikut secara terpadu, yaitu
Pertama, Moral Knowing
Kedua, Moral Feeling,
Ketiga, Moral Actionca,
a) Secara misi yang di emban oleh uu diatas maka substansi tujuan PAI telah sesuai
dengan ajaran Islam yaitu menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa pada
Alloh Swt.
b) Realitas Mutu Pendidikan Islam dalam Pengembangan kurikulum yang mengacu
pada Standar isi:

B. Pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) dapat diartikan scbagai:


(1) kegiatan menghasilkan kurikulum PAI; atau (2) proses yang mengaitkan satu
komponen dengan yang lainnya untuk menghasilkan kurikulum PAI yang lebih
baik; dan/atau (3) kegiatan penyusunan (desain), pelaksanaan, penilaian dan
penyempurnaan kurikulum PAI.

Chart tersebut menggambarkan bahwa seseorang dalam mengembangkan


kurikulum PAI dimulai dari kegiatan perencanaan kurikulum. Dalam menyusun
perencanaan ini didahului oleh ide-ide yang akan dituangkan dan dikembangkan
dalam program. 'de kurikulum bisa berasal dari:

1. Visi yang dicanangkan


Visi (vision) adalah the statement of ideas or hopes, yakni pernyataan
tentang cita-cita atau harapan-harapan yang ingin dicapai oleh suatu lembaga
pendidikan dalam jangka panjang.

2.Kebutuhan stakeholders (siswa, masyarakat, pengguna lulusan), dan


kebutuhan untuk studi lanjut.

3.Hasil evaluasi kurikulum sebelumnya dan tuntutan perkembangan ipteks &


zaman.
Pandangan-pandangan para pakar dengan berbagai latar belakangnya.
4.Kecenderungan era globalisasi, yang menuntut seseorang untuk memiliki etos
belajar sepanjang hayat, melek sosial, ekonomi, politik, budaya dan teknologi.

Kelima ide tersebut kemudian diramu sedemikian rupa untuk dikembangkan


dalam program atau kurikulum sebagai dokumen, yang an4.tara lain berisi:
informasi dan jenis dokumen yang akan dihasilkan; bentuk/format silabus; dan
komponen-komponen kurikulum yang harus dikembangkan. Apa yang tertuang
dalam dokumen tersebut kemudian dikembangkan dan disosialisasikan dalam
proses pelaksanaannya, yang dapat berupa pengembangan kurikulum dalam bentuk
satuan acara pembelajaran atau SAP, proses pembelajaran di kelas atau di luar
kelas, scrta evaluasi pembelajaran, sehingga diketahui tingkat efisiensi dan
efektivitasnya. Dari evaluasi ini akan diperoleh umpan balik (feed back) untuk
digunakan dalam penyempurnaan kurikulum berikutnya. Dengan demikian, proses
pengembangan kurikulum menuntut adanya evaluasi secara berkelanjutan mulai
dari perencanaan, implementasi hingga evaluasinya itu sendiri.

Karena itu, pengembangan kurikulum PAI perlu dilakukan secara terus


menerus guna merespons dan mengantisipasi perkembangan dan tuntutan yang ada
tanpa harus menunggu pergantian Menteri Pendidikan Nasional atau Menteri
Agama. Apalagi saat ini masyarakat sudah memasuki era globalisasi, baik di
bidang ipteks maupun sosial, politik, budaya dan etika. Hal ini akan berimplikasi
pada banyaknya masalah pendidikan yang harus segera diatasi, tanpa harus
menunggu-nunggu keputusan dari atas.
C.Proes Pembelajaran

a. Proses pembelajaran dan aplikasi pendidikan dalam pembelajaran


1) Materi

Materi Pendidikan Agama Islam yang diajarkan di MI dan di SD terdapat


perbedaan yang signifikan, kalau di MI Al-Qur’an Hadits, Aqidah Akhlak, ibadah,
Tarikh masing-masing 2 jam pelajaran, sedangkan di SD Pendidikan Agama Islam, Al-
Qur’an Hadits, Aqidah Akhlak, ibadah, Tarikh. Dijadikan satu (al-Islam) seminggu
hanya 2 jam pejajaran.

2) Metode

Tayar Yusuf dan Syaiful Anwar mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang
perlu diperhatikan dalam memilih dan mengaplikasikan sebuah metode pengajaran: 1).
Tujuan yang hendak dicapai, 2). Kemampuan guru, 3). Anak didik, 4). Situasi dan
kondisi pengajaran dimana berlangsung, 5). Fasilitas yang tersedia, 6). Waktu yang
tersedia, dan 7). Kebaikan dan kekurangan sebuah metode.

Metode-metode yang dapat dipakai dalam pendidikan dan pengajaran agama


Islam, dapat klasifikasikan sebagai berikut: Metode Pembiasaan, Metode Keteladanan,
Metode Pemberian Ganjaran, Metode Ceramah, Metode Tanya Jawab, Metode Diskusi,
Metode Sorogan, Metode Bandongan, Metode Mudzakarah, Metode Kisah, Metode
Karya Wisata, Metode Eksperimen, Metode Drill/Latihan, Metode Sosiodrama, Metode
Simulasi, Metode Kerja Lapangan, Metode Demontrasi, Metode Kerja Kelompok.

3) Media

Media pendidikan adalah alat,metode dan teknik yang digunakan dalam rangka
lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa dalam proses
pendidikan dan pengajaran di sekolah. Adapun fungsi media adalah sebagai berikut:
Edukatif, Sosial, Ekonomis, Politis, Seni budaya.

Menurut Encyclopedia of Educational Research, nilai atau manfaat media


pendidikan adalah sebagai berikut:
a) Meletakkan dasar-dasar yang kongkrit untuk berfikir dan oleh karena itu
mengurangi “verbalisme”.
b) Memperbesar perhatian para siswa.
c) Meletakkan dasar-dasar yang penting untuk perkembangan belajar dan oleh karena
itu membuat pelajaran lebih menetap.
d) Memberikan pengalaman yang nyata yang dapat menumbuhkan kegiatan berusaha
sendiri dikalangan siswa.
e) Menumbuhkan pemikiran yang teratur dan kontinu, hal ini terutama terdapat dalam
gambar hidup.
f) Membantu tumbuhnya pengertian dan dengan demikian membantu perkembangan
kemampuan berbahasa.
g) Memberikan pengalaman-pengalaman yang tidak mudah diperoleh dengan cara lain
serta membantu berkembangnya efesiensi yang lebih mendalam serta keragaman
yang lebih banyak dalam belajar.

Oemar Hamalik mengklasifikasikan Alat/Media Pembelajaran adalah sebagai


berikut: Papan tulis, bulletin board dan display, Gambar dan ilustrasi fografi, Slide dan
film strip, Film atau gambar hidup, Rekaman pendidikan, Radio pendidikan, Telivisi
pendidikan, Peta globe, Model, Pameran dan museum sekolah, Dramatisasi dan
demonstrasi.

D.Evaluasi pembelajaran
b. Manajemen MI

Madrasah merupakan terjemahan dari istilah sekolah dalam bahasa Arab.Namun,


konotasi madrasah dalam hal ini bukan pada pengertian etimologi tersebut, melainkan
pada kualifikasinya. Selama ini madrasah dianggap sebagai lembaga pendidikan Islam
yang mutunya lebih rendah daripada mutu lembaga pendidikan lainnya, terutama sekolah
umum, walaupun beberapa madrasah justru lebih maju daripada sekolah umum. Namun,
keberhasilan beberapa madrasah dalam jumlah yang terbatas itu belum mampu
menghapus kesan negatif yang sudah terlanjur melekat.
Ditinjau dari segi penguasaan agama, mutu siswa madrasah lebih rendah daripada
mutu santri pesantren. Sementara itu, ditinjau dari penguasaan materi umum, mutu siswa
madrasah lebih rendah daripada sekolah umum. Jadi, penguasaan baik pelajaran agama
maupun materi umum serba mentah (tidak matang).Itulah yang menyebabkan Mastuhu
menilai, "Madrasah menjadi semacam sekolah kepalang tanggung."

Dari segi manajemen, madrasah lebih teratur daripada pesantren tradisional


(salafiyah), tetapi dari segi penguasaan pengetahuan agama, santri lebih mumpuni.
Keadaan ini wajar terjadi karena santri tersebut hanya mempelajari pengetahuan agama,
sementara beban siswa mad rasah berganda. Demikian juga, menjadi wajar ketika dalam
hal penguasaan pengetahuan umum, siswa sekolah umum lebih menguasai daripada
siswa madrasah karena beban siswa sekolah umum tidak sebanyak siswa madrasah.

Perbandingan ini sesungguhnya tidak adil sehingga kesimpulan yang diperoleh


juga tidak valid.Sama-sama perbandingan yang tidak adil, madrasah justru berpeluang
lebih unggul dari pesantren dan sekolah jika objek perbandingannya dibalik. Dalam
penguasaan pengetahuan umum, siswa madrasah lebih pandai daripada santri pesantren,
sedangkan dalam penguasaan pengetahuan agama, siswa madrasah lebih bermutu
daripada siswa sekolah umum.

E. Realitas MPI:
Madrasah merupakan terjemahan dari istilah sekolah dalam bahasa Arab.Namun,
konotasi madrasah dalam hal ini bukan pada pengertian etimologi tersebut, melainkan
pada kualifikasinya. Selama ini madrasah dianggap sebagai lembaga pendidikan Islam
yang mutunya lebih rendah daripada mutu lembaga pendidikan lainnya, terutama sekolah
umum, walaupun beberapa madrasah justru lebih maju daripada sekolah umum. Namun,
keberhasilan beberapa madrasah dalam jumlah yang terbatas itu belum mampu
menghapus kesan negatif yang sudah terlanjur melekat.

Ditinjau dari segi penguasaan agama, mutu siswa madrasah lebih rendah daripada
mutu santri pesantren. Sementara itu, ditinjau dari penguasaan materi umum, mutu siswa
madrasah lebih rendah daripada sekolah umum. Jadi, penguasaan baik pelajaran agama
maupun materi umum serba mentah (tidak matang).Itulah yang menyebabkan Mastuhu
menilai, "Madrasah menjadi semacam sekolah kepalang tanggung."

Dari segi manajemen, madrasah lebih teratur daripada pesantren tradisional


(salafiyah), tetapi dari segi penguasaan pengetahuan agama, santri lebih mumpuni.
Keadaan ini wajar terjadi karena santri tersebut hanya mempelajari pengetahuan agama,
sementara beban siswa mad rasah berganda. Demikian juga, menjadi wajar ketika dalam
hal penguasaan pengetahuan umum, siswa sekolah umum lebih menguasai daripada
siswa madrasah karena beban siswa sekolah umum tidak sebanyak siswa madrasah.

Perbandingan ini sesungguhnya tidak adil sehingga kesimpulan yang diperoleh


juga tidak valid.Sama-sama perbandingan yang tidak adil, madrasah justru berpeluang
lebih unggul dari pesantren dan sekolah jika objek perbandingannya dibalik. Dalam
penguasaan pengetahuan umum, siswa madrasah lebih pandai daripada santri pesantren,
sedangkan dalam penguasaan pengetahuan agama, siswa madrasah lebih bermutu
daripada siswa sekolah umum.

2. Kedala kendala dalam mewujudkan Mutu Pendidikan Islam.

Apabila diamati secara mendalam, ada banyak faktor yang membuat kualitas
madrasah rendah. Di antara faktor tersebut adalah kualitas pengelola, sistem feodalisme,
kondisi kultur masyarakat, kebijakan politik negara, dan terlalu banyak beban yang harus
dijalani siswa.

Pengelola atau pimpinan lembaga pendidikan memang memiliki posisi dan fungsi
strategis selaku pengendali lembaga tersebut.Mereka memiliki political power
(kekuasaan politis), suatu kekuasaan yang tidak dimiliki oleh para guru.Melalui
kekuasaan itu, mereka memiliki kewenangan uniuk mengadakan pembaruan. Apalagi jika
kewenangan itu didukung dengan political will (kehendak politis) atau good will
(kehendak baik) dari para pimpinan.

Oleh karena itu, wajar sekali terjadi ketika suatu madrasah mengalami
kemunduran maka kepala madrasah yang banyak mendapat kritikan. M. Arifin
menegaskan bahwa titik lemah madrasah, pada semua jenjang, terletak pada tenaga
pengelolanya, karena mereka kurang berorientasi pada profesionalisme. Meskipun
demikian, tidak bisa dikatakan bahwa para guru dan tenaga administratif di madrasah
negeri saat ini hanyalah kaum amatir yang menangani madrasah sambil lalu.

Perilaku pimpinan atau pengelola memiliki pengaruh yang signifikan terhadap


maju-mundurnya sebuah madrasah.Perilaku positif dan proaktif dapat mendukung
kemajuan madrasah. Sebaliknya, perilaku negatif dan kontraproduktif justru menghambat
kemajuan. Perilaku negatif ini terkait dengan tradisi kurang baik yang berlangsung dan
berkembang di suatu madrasah.

Praktik manajemen di madrasah sering menggunakan model manajemen


tradisional, yaitu model manajemen paternalistik atau feodalistik.Dominasi senioritas
jelas mengganggu perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan.Munculnya
kreativitas dan inovasi dari kalangan muda terkadang dipahami sebagai sikap yang tidak
menghargai senior. Kondisi ini mengarah pada penilaian negatif, sehingga muncul kesan
bahwa meluruskan atau mengoreksi kekeliruan langkah senior dianggap sebagai sikap su'
al-addb (tabiat jelek).

Anggapan demikian, sebenarnya, merupakan pengaruh budaya lokal, bukan


pengaruh ajaran agama.Islam memang mengajarkan kode etik dalam pergaulan antara
orangtua dan muda.Kalangan muda menghormati yang tua sedangkan yang tua mengasihi
yang muda. Namun, tidak ada larangan untuk meluruskan kesalahan orangtua, bahkan
dianjurkan.Konsep Islam tentang amar makruf nahi mungkar tidak pernah dibatasi pada
kalangan tertentu. Demikian juga anjuran untuk saling menasihati dalam kebenaran dan
kesabaran (wa tawashau bi al-haq wa tawashau bi al-shabr) sebagaimana tercantum
dalam surah al-Ashr yang juga tidak terbatas pada kalangan tertentu. Jadi, kecemburuan
senior terhadap teguran junior tidak lebih merupakan murni pengaruh budaya lokal yang
justru akan menghambat dinamika pendidikan.

Penghormatan yang berlebihan pada senior justru menimbulkan dua macam


kelemahan: Pertama, kalangan senior tidak merasa tertantang sehingga kreativitasnya
tidak terbangkitkan sama sekali; dan kedua, kalangan junior merasa ide, kreativitas,
gagasan, dan inisiatifnya terbelenggu, sehingga merasa pesimis dalam menghadapi
tantangan-tantangan lembaga pendidikan di masa depan yang semakin kompleks dan
multidimensi.

Selanjutnya, kondisi kultur di luar madrasah juga memengaruhi kualitas


madrasah. Kondisi ini bisa berupa pandangan atau penilaian masyarakat terhadap
madrasah.Selama ini madrasah dipersepsikan sebagai lembaga pendidikan kelas
ekonomi, tidak bermutu, hanya mengajarkan agama semata, jurusan akhirat, tempat
penampungan anakanak orang miskin, bersistem kolot, dan tidak bisa melanjutkan ke
sekolah umum atau perguruan tinggi umum negeri.

Semua anggapan tersebut merupakan hal yang salah kaprah karena tidak
berdasar.Meskipun demikian, anggapan itu tetap bertahan memengaruhi masyarakat
umum, yang selama ini memang jauh dari kehidupan madrasah.Mereka terpengaruh
lantaran tidak mengetahui realitas yang sebenarnya.Tentu saja, kondisi eksternal
madrasah yang demikian kurang menguntungkan bagi peningkatan mutu pendidikan
madrasah.

Di samping itu, kebijakan-kebijakan politik negara, terutama yang diterapkan oleh


pemerintah Orde Baru senantiasa melemahkan upaya peningkatan mutu madrasah. Dalam
setiap kebijakan dan keputusan yang menyangkut pendidikan, madrasah selalu
dianaktirikan oleh pemerintah Orde Baru. Sikap diskriminatif ini terutama sangat terlihat
dalam urusan pendanaan. Alokasi dana yang diperoleh madrasah negeri selalu jauh lebih
kecil daripada yang diperoleh sekolah negeri. Keadaan ini menjadi lebih parah lagi jika
sudah menyangkut madrasah swasta.Selama 32 tahun, pemerintah Orde Baru kurang
memerhatikan madrasah swasta, padahal sebagian besar madrasah berstatus swasta. Jadi,
nasib madrasah terlantar puluhan tahun akibat kebijakan pemerintah ini. Dan, sayangnya,
hingga sekarang pun madrasah belum memperoleh perlakuan yang sama dengan apa
yang diterima sekolah umum sehingga masih terdapat kesenjangan yang lebar dalam
urusan alokasi dana.

Perlakuan diskriminatif itu terjadi juga lantaran madrasah menjadi korban


permainan politik praktis. Madrasah dicurigai sebagai sarang keluarga yang berafiliasi
politik ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sementara pemerintah Orde Baru pada
waktu itu melancarkan politik belah bambu.Para pendukung Golongan Karya (Golkar)
dimanjakan, sedangkan pendukung PPP dan PDI selalu ditekan dan ditindas dalam
berbagai kebijakan pemerintah.

Ada banyak faktor lain yang juga menyebabkan mutu madrasah lemah, termasuk
masalah yang berhubungan dengan beban yang harus dijalani siswa. Beban yang
diwajibkan pada siswa madrasah jauh lebih berat daripada beban siswa sekolah
umum.Siswa sekolah madrasah wajib mempelajari semua mata pelajaran siswa di
sekolah umum, plus pelajaran rumpun agama yang meliputi bahasa Arab, Al-Quean-
hadis, akidah -akhlak, al-fiqih, dan sejarah kebudayaan Islam.Apalagi madrasah yang
berada dalam pesantren, beban siswa lebih berat lagi.Karena, di samping siswa mengikuti
pelajaran di madrasah juga mengikuti pelajaran pesantren.

Pada bagian lain, kita harus menyadari bahwa potensi siswa madrasah rata-rata
merupakan kelas menengah ke bawah.Secara intelektual kemampuan mereka lemah,
sebab biasanya siswa yang memiliki prestasi baik cenderung melanjutkan ke sekolah
umum.Secara ekonomi, posisi mereka juga berada pada kelas menengah ke bawah.
Demikian juga secara sosial, mereka berasal dari kalangan masyarakat biasa (grass root).
Intinya, potensi siswa madrasah rata-rata merupakan akumulasi kelas menengah ke
bawah baik secara intelektual, ekonomi, maupun sosial.Keadaan ini menunjukkan bahwa
kehadiran mereka di madrasah telah membawa sejumlah problem yang harus diselesaikan
karena ini juga berpengaruh pada kelangsungan pembelajaran.

Selanjutnya, dibandingkan sekolah umum, guru, sarana dan prasarana, serta


peralatan pembelajaran di madrasah juga masih tertinggal.Guru-guru di madrasah masih
banyak yang kurang profesional, baik dalam tingkat pendidikan maupun
keahliannya.Masih banyak guru madrasah yang mengampu mata pelajaran yang bukan
keahliannya.Demikian juga dengan sarana dan prasarana, perpustakaan, serta
laboratorium, yang mestinya menjadi jantung madrasah, ternyata tidak memadai, bahkan
terkadang tidak ada.Apalagi yang berhubungan dengan alat pembelajaran seperti OHP,
laptop, LCD, dan sebagainya sangat terbatas.Bahkan, madrasah tertentu tidak
memilikinya. Kekurangan pada tiga komponen ini berdampak negatif pada proses
pembelajaran.
Apabila kita menggunakan rumus input—proses—output untuk mengukur suatu
pendidikan, maka di madrasah ada masalah yang harus dipecahkan. Bila input-nya baik,
prosesnya baik, maka bisa dipastikan output-nya juga baik. Akan tetapi, bila input-nya
lemah, prosesnya jelek, maka output-nya juga lemah.Kondisi kedua ini menggambarkan
keadaan di madrasah pada umumnya, yang berarti ada banyak masalah yang harus
diselesaikan.Walau bagaimanapun madrasahterlepas dengan segala kekurangannya telah
memberikan kontribusi yang besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

3. Upaya/Strategi Dan Rekomendasi Untuk Mengatasi Kendala


a. Pencapaian visi, misi dan tujuan pendidikan Islam di madrasah dalam
pengembangan dimensi/potensi keber-Agamaan peserta didik
b. Pengembangan kurikulum
c. Proses pembelajaran dan aplikasi pendidikan dalam pembelajaran
1) Materi
2) Metode
3) media
d. Evaluasi pembelajaran
e. Manajemen pendidikan Islam

Sejumlah pemerhati dan praktisi mencoba menawarkan berbagai konsep untuk


mengatasi kelemahan-kelemahan madrasah.Tawaran konseptual ini merupakan bentuk
kepedulian mereka untuk berpartisipasi dalam membenahi, menyempurnakan, bahkan
meningkatkan mutu madrasah menjadi institusi yang maju dan unggul.

Tawaran konseptual tersebut dimulai dari pembenahan pada aspek manajemen


yang dipandang sebagai faktor penentu terhadap komponen madrasah lainnya.Husni
Rahim menegaskan bahwa lembaga madrasah pertama-tama dituntut untuk melakukan
perubahan-perubahan strategis dalam bidang manajemen.Pimpinan madrasah dituntut
untuk memiliki visi, tanggung jawab, wawasan, dan keterampilan manajerial yang
tangguh.la hendaknya dapat memainkan peran sebagai lokomotif perubahan menuju
terciptanya madrasah berkualitas.m Maka, kepala madrasah seharusnya menyandang dua
macam profesi, yaitu profesi keguruan dan profesi administratif (sebagai administrator).
Manajemen menjadi kunci pemecahan karena mengandung kaidah-kaidah
penataan secara rapi dan teratur walau sayangnya belum banyak dipraktikkan secara
serius dalam pengelolaan madrasah, kecuali dalam kasus-kasus yang terbatas.
Manajemen profesional telah menjadi andalan dalam pengembangan madrasah."Kaidah-
kaidah manajerial telah berkali-kali diujicobakan atau dipraktikkan dalam mengendalikan
lembaga pendidikan.Bahkan, dilakukan juga penyempurnaan-penyempurnaan
berdasarkan fenomenafenomena baru yang muncul di lapangan yang sebelumnya tidak
menjadi pertimbangan dalam kaidah-kaidah yang terdahulu.

Oleh karena itu, kaidah-kaidah manajerial tersebut muskan, tidak hanya


berdasarkan apriori (pengetahuan sebelum mengalami semacam ide-ide murni dan
gagasangagasan murni), melakukan juga berdasarkan aposteriori (pengetahuan yang
diperoleh berdasarkan pengalaman yang dialami seseorang atau lembaga
pendidikan).Kombinasi antara pengetahuan apriori dan aposteriori inilah yang dijadikan
pijakan dalam merumuskan kaidah-kaidah manajemen pendidikan Islam, agar suatu
lembaga pendidikan Islam dapat dikendalikan melalui strategi yang
komprehensif.Meskipun demikian, sebagai watak dari suatu disiplin ilmu, kita harus
terus-menerus melakukan pencermatan, jika ada hal-hal yang dapat menyempurnakan
kaidah-kaidah manajemen pendidikan Islam.

Dalam kasus madrasah, berdasarkan identifikasi penyebab kelemahan mutu


madrasah yang meliputi pihak pengelola, sistem feodalisme, kondisi kultural masyarakat,
kebijakan politik negara terutama yang menyangkut keuangan/ pendanaan, beban
pelajaran yang harus dijalani siswa, potensi input, keadaan sarana-pra.sarana, alat-alat
pembelajaran, maupun kondisi guru yang kurang profesional, maka banyak hal yang turut
bertanggung jawab terhadap rendahnya kualitas madrasah.

Akan tetapi, semua faktor itu merupakan akibat semata, atau dalam bahasa
penelitian disebut dependent variable (variabel tergantung).Sementara itu, yang menjadi
faktor penyebab atau independent variable (variabel bebas) justru para pengelola
madrasah. Jika mereka memiliki kemampuan dan keahlian dalam mengelola, maka
persoalan-persoalan lain seharusnya dapat diatasi dengan baik. Karena, para pengelola,
sebagai pihak yang memegang kendali, memiliki kekuatan eksekutif atau politik yang
dapat dijadikan sarana atau media dalam mengondisikan komponen-komponen lainnya.

Lebih lanjut, peran pengelola atau manajer madrasah tersebut pernah dilukiskan
Imam Suprayogo yang mendeskripsikan bahwa betapa besar dan strategisnya peran para
manajer dalam memajukan madrasah.Mereka adalah pimpinan di berbagai lapisan
madrasah itu.Mereka tidak saja memiliki kekuatan untuk mengarahkan, memberikan
bimbingan, mengontrol, dan mengevaluasi, melainkan juga menjadi kekuatan penggerak,
yaitu elemen yang selalu memperkuat dan memperbarui etos, cita-cita, dan imajinasi-
imajinasi secara terus-menerus.

Secara struktural, semua lapisan manajer harus bergerak dan bersinergi sesuai
dengan kewenangan masing-masing.Manajer puncak yang menentukan arah kebijakan,
manajer madya yang menerjemahkan arah kebijakan yang digariskan manajer puncak,
dan manajer terdepan yang berusaha mengondisikan pelaksanaan kebijakan itu.

Kekompakan kerja ketiganya merupakan modal besar untuk memajukan


madrasah.Suprayogo mengakui bahwa madrasah pada umumnya masih memiliki
beberapa kelemahan. Akan tetapi, kelemahan itu dapat diatasi jika semua elemen yang
terlibat dalam pengembangan ikut menanganinya secara sungguh-sungguh, sistematis,
terarah, dan profesional. Hanya saja, budaya kerja tersebut mungkin masih sangat sulit
dipraktikkan di Indonesia, khususnya di kalangan madrasah. Namun, dengan
pengondisian sejak awal, di bawah komando pimpinan atau manajer puncak yang benar-
benar bisa memberi teladan dalam semua aspek pengembangan, berbagai kesulitan dalam
madrasah tentu bisa diatasi. Tentu saja, hal ini membutuhkan waktu dan proses secara
kontinu yang cukup panjang.

Selanjutnya, Fadjar menyatakan bahwa apa pun perubahan yang ingin dicapai,
kebijakan mengembangkan madrasah perlu mengakomodasi tiga kepentingan berikut ini.

a. Bagaimana kebijakan itu pada dasarnya harus memberi ruang tumbuh yang wajar
bagi aspirasi utama umat Islam. Menghadirkan sistem madrasah dalam pentas
pendidikan di Indonesia merupakan wahana untuk membina rub atau praktik hidup
keislaman.
b. Bagaimana kebijakan itu memperjelas dan memperkukub keberadaan madrasah
sederajat dengan sistem sekolah, sebagai ajang membina warga negara yang cerdas,
berpengetahuan, berkepribadian, serta produktif.
c. Bagaimana kebijakan itu bisa menjadikan madrasah mampu merespons tuntutan-
tuntutan masa depan.

Berdasarkan tiga macam kepentingan itu, dapat dilakukan pemetaan sebagai


berikut.Kepentingan pertama mengemban misi dakwah, kepentingan kedua mengemban
misi pendidikan, sedangkan kepentingan ketiga mengemban misi pembaruan. Misi ketiga
inilah yang membingkai setiap upaya untuk melakukan pembaruan, peningkatan, maupun
pengembangan manajemen madrasah yang mengarah pada pencapaian kemajuan. Tanpa
misi ketiga itu tidak bisa dibedakan antara satu madrasah dengan madrasah
lainnya.Karena, semua madrasah memiliki misi dakwah dan misi pendidikan.

Berpijak pada misi pembaruan itulah, upaya perbaikan madrasah secara terus-
menerus difikirkan secara serius oleh para pakar atau praktisinya. Dari hasil pemikiran
itu, rahim menyatakan bahwa paradigma manajemen madrasah harus bergeser dari
paradigma lama ke paradigma baru. Rahim menawarkan 16 macam perubahan paradigma
manajemen madrasah, yaitu sebagai berikut.

a. Dari posisi subordinatif ke posisi otonom.


b. Dari strategi sentralistik ke strategi desentralistik.
c. Dari pengambilan keputusan otoritatif ke pengambilan keputusan partisipatif.
d. Dari pendekatan birokratik ke pendekatan profesional.
e. Dari model penyeragaman ke model keberagaman.
f. Dari langkah praktis kaku ke langkah praktis luwes.
g. Dari kebiasaan diatur ke kebiasaan berinisiatif.
h. Dari serba regulasi ke deregulasi.
i. Dari kemampuan mengontrol ke kemampuan memengaruhi.
j. Dari kesukaan mengawasi ke kesukaan memfasilitasi.
k. Dari ketakutan dengan risiko ke keberanian mengelola risiko.
l. Dari pembiayaan yang boros ke pembiayaan yang efisien.
m. Dari kecerdasan individual ke kecerdasan kolektif/team work.
n. Dari informasi tertutup ke informasi terbagi/terbuka.
o. Dari pendelegasian ke pemberdayaari.
p. Dari organisasi hierarkis ke organisasi egaliter.

Dengan perubahan paradigma manajemen ini, pimpinan madrasah dituntut untuk


melakukan langkah-langkah ke arah perwujudan visi madrasah: agamis, populis,
berkualitas, dan beragam. Langkah-langkah tersebut di antaranya dapat dijelaskan
sebagai berikut.
a. Membangun kepemimpinan madrasah yang kuat dengan meningkatkan koordinasi,
menggerakkan semua komponen madrasah, menyinergikan semua potensi,
merangsang perumusan tahapan-tahapan perwujudan visi dan misi madrasah, serta
mengambil prakarsa yang berani dalam pembaruan.
b. Menjalankan manajemen madrasah yang terbuka dalam pengambilan keputusan dan
penggunaan keuangan madrasah.
c. Mengembangkan tim kerja yang solid, cerdas, dan dinamis.
d. Mengupayakan kemandirian madrasah untuk melakukan langkah terbaik bagi
madrasah.
e. Menciptakan proses pembelajaran yang efektif, dengan ciri-ciri:
 Proses itu memberdayakan siswa untuk aktif dan partisipatif;
 Target pembelajaran sampai dengan pemahaman yang ekspresif;
 Mengutamakan proses internalisasi ajaran agama dengan kesadaran sendiri;
 Merangsang siswa untuk mempelajari berbagai cara belajar (learning how to
learn);
 Menciptakan semangat yang tinggi dalam menjalankan tugas.

Konsep paradigma manajemen baru berikut langkah-langkahnya yang ditawarkan


Rahim bagi madrasah begitu lengkap, tetapi masih ada beberapa hal yang dapat
ditambahkan untuk memperkuat konsep yang ditawarkan tersebut, yaitu sebagai berikut.

 Menyederhanakan beban studi.


 Membangun profesionalisme guru.
 Membangun kesadaran siswa.
 Memperkuat perpustakaan dan laboratorium.
 Membangun strategi pembelajaran yang akseleratif.
 Membangun asrama siswa.
 Menerapkan praktik berbahasa Arab dan Inggris secara ketat.

Anda mungkin juga menyukai