Anda di halaman 1dari 6

Obral Gelar Honoris Causa yang Sarat Akan Konflik Kepentingan dan Mengesampingkan

Integritas Perguruan Tinggi

Berdasarkan Undang-Undang nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pendidikan


tinggi merupakan jenjang pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program
sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta spesialis, yang
diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia. Dalam pasal 3
dijelaskan bahwa pendidikan tinggi diselenggarakan dengan berasaskan kebenaran ilmiah,
penalaran, kejujuran, keadilan, manfaat, kebajikan, tanggung jawab, kebhinekaan, dan
keterjangkauan. Salah satu fungsi pendidikan tinggi adalah mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa. Pendidikan tinggi memiliki peran yang sentral dalam membangun bangsa
Indonesia sehingga asas-asas yang telah dijelaskan melalui pasal tiga sebelumnya harus betul-
betul diamalkan guna tercapainya peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat. Setingkat
pendidikan tinggi perlu menjaga marwah dan integritasnya guna menjaga kualitasnya sebagai
penecetak generasi penerus bangsa.

Kata integritas berasal dari bahasa latin yaitu integer yang dapat diartikan sebagai arti
keseluruhan, lengkap, dan sempurna. Integritas berkaitan dengan sikap yang teguh dalam
mempertahankan prinsip, tidak mau korupsi, dan menjadi dasar yang melekat bagi diri sendiri
sebagai nilai-nilai moral. Dengan menerapkan integritas, kewibawaan dan kejujuran dapat
dipancarkan. Hal inilah yang dibutuhkan badan administrasi atau institusi pendidikan hari ini.
Menurut Oxford Dictionary, integritas dapat diartikan sebagai “quality of being honest and
having strong morality”. Ditambahkan oleh Tracey Bretag yang merupakan seorang profesor
dari University of South Australia yang terintegrasi dalam Pikiran Rakyat Online bahwa
integritas akademik merupakan tindakan yang didasarkan pada nilai kejujuran, kepercayaan,
keadilan, kehormatan, keberanian, dan tanggung jawab dalam proses pembelajaran, pengajaran,
dan penelitian. Institusi pendidikan yang berintegritas akan mengedepankan perilaku yang
beretika, seperti kejujuran, dapat dipercaya, dan kedisplinan. Apabila sekelas institusi pendidikan
cenderung menunjukkan perilaku yang melanggar etika, seperti ketidakjujuran, keserakahan,
perilaku korupsi, dan tidak menaati ataupun melanggar peraturan maka integritasnya wajib
dipertanyakan. Pelanggaran ini bersifat fatal karena selain mencederai integritas institusi
pendidikan, ia juga melanggar etika administrasi publik.

Etika administrasi publik merupakan filsafat dan profesional standar (kode etik) atau right
rules of conduct (aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi
pelayanan publik atau administrasi publik. Dalam kegunaannya, etika administrasi publik
berfungsi sebagai aturan atau standar pengelolaan yang merupakan arahan moral bagi
administrator publik dalam melaksanakan tugasnya. Terdapat beberapa nilai dalam etika
administrasi publik yang dapat digunakan sebagai acuan dan pedoman bagi penyelenggara
administrasi publik dalam menjalankaan tugas dan wewenangnya. Nilai-nilai tersebut terdiri dari
nilai efisiensi, nilai membedakan milik pribadi dengan milik kantor, nilai impersonal, nilai
merytal system. Pelaksanaan etika sangat penting dalam proses administrasi publik karena ia
memiliki peran yang sangat strategis. Etika berperan untuk menentukan keberhasilan ataupun
kegagalan dalam tujuan organisasi, struktur organisasi, dan manajemen publik. Namun, terdapat
banyak sekali pelanggaran-pelanggaran etika di tubuh badan-badan administrasi publik.
Pelanggaran itu dapat berupa tidak akuntabel dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan
tanggung jawab. Tindakan-tindakan ini disebut dengan maladministrasi. Maladministrasi adalah
suatu praktik administrasi yang menjauhkan dari pencapaian tujuan administrasi (Widodo, 2001:
259). Menurut Flippo (1983: 188), terdapat beberapa tindakan maladministrasi yang sering
dilakukan, seperti ketidakjujuran, perilaku yang buruk, melanggar peraturan perundang-
undangan, perlakuan yang tidak adil, tidak menghormati kehendak pembuat peraturan,
inefisiensi atau pemborosan, menutupi kesalahan, kegagalan mengambil prakarsa, pelanggaran
terhadap prosedur, dan konflik kepentingan. Tindakan-tindakan maladministrasi ini akan sangat
mencoreng integritas perguruan tinggi. Terutama dalam hal pelanggaran terhadap prosedur dan
ketidakjujuran dalam pemberian gelar honoris causa oleh pendidikan tinggi saat ini.

Berdasarkan Permenristekdikti No. 65 Tahun 2016 Tahun 2016, gelar doktor kehormatan
(Doctor Honoris Causa) merupakan gelar kehormatan yang diberikan perguruan tinggi yang
memiliki program doktor dengan peringkat akreditasi A atau unggul kepada perseorangan yang
layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau berjasa dalam bidang kemanusiaan. Gelar ini dapat
diberikan kepada seseorang tanpa perlu mengikuti dan lulus dari pendidikan yang sesuai dengan
bidangnya, tetapi harus tetap melewati beberapa persyaratan. Gelar ini muncul sebagai sebuah
kehormatan kepada orang-orang yang dianggap telah berjasa dan atau berkarya luar biasa bagi
ilmu pengetahuan dan umat manusia. Pemberiannya pun seharusnya tergolong sulit karena harus
melewati beberapa mekanisme. Secara prosedur legal formal, jalan menuju pemberiannya sangat
berat karena harus mendapatkan persetujuan banyak pihak. Hal ini disebabkan karena gelar ini
sangat sakral dan penting serta berharga. Seseorang yang mendapatkan gelar ini seharusnya
adalah orang-orang yang betul-betul memenuhi kriteria yang diatur oleh peraturan perundang-
undangan dan peraturan yang terdapat di univeritas yang memberikannya. Namun, saat ini
kesakralan gelar ini dicederai oleh praktik-praktik curang atau spoil system antara pendidikan
tinggi dan politikus. Pendidikan tinggi gagal mempertahankan integritasnya atas nama
kepentingan semata.

Penyematan gelar honoris causa saat ini sarat akan konflik kepentingan antara pemberi dan
penerimanya. Honoris causa merupakan gelar kesarjanaan yang diberkan oleh suatu perguruan
tinggi atau universitas yang memenuhi syarat dalam hal ini program doktor dengan akreditasi A
kepada seseorang yang berjasa dan atau berkarya luar biasa tanpa perlu mengikuti dan lulus dari
pendidikan yang sesuai dengan gelar keserjanaannya tersebut. Tidak semua perguruan tinggi bisa
memberikan gelar ini karena hanya perguruan tinggi/universitas yang memenuhi syaratlah yang
diberikan hak secara ekspilisit untuk memberikannya. Namun, syarat-syarat tersebut kini tidak
berarti akibat adanya kepentingan pihak-pihak tertentu. Penyematan gelar honoris causa terhadap
beberapa politikus dan pejabat publik dinilai paradoks karena dasar pemberiannya tidak jelas.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin mengatakan bahwa
pemberian gelar honoris causa seharusnya dilakukan dengan ketat. Ia mengatakan bahwa
pemberian gelar terhadap politikus wajib dipertanyakan karena gelar tersebut dapat dimanfaatkan
untuk pencitraan politik menjelang gelaran pemilu. Menurutnya, masyarakat dapat menganggap
pemberian gelar honoris causa diobral apabila persyaratan ketat untuk memberikan gelar
kehormatan tidak dimiliki oleh perguruan tinggi karena baginya pemberian gelar tersebut kepada
beberapa politikus dan pejabat berada di zona abu-abu. Motif-motif yang dapat dilihat dibalik
pemberian gelar ini dapat berupa balas budi dan mencari perhatian pemerintah. Hal inilah yang
sangat disayangkan dimana pendidikan tinggi yang seharusnya berintegritas bermain di wilayah
politik. Ujang mengatakan besar kemungkinannya gelar honoris causa diberikan karena pengurus
di pendidikan tinggi tertentu pernah diangkat menjadi pejabat oleh politikus bersangkutan.
Selaras dengan Ujang, Karen W. Arenson dalam tulisannya yang berjudul Recognizing
Achievement, Adding Glits mengatakan bahwa pemberian gelar honoris causa sering dijadikan
sebagai ajang perbururan capital dan publisitas. Pihak pemberi dan penerima gelar saling bekerja
sama untuk mendapatkan masing-masing keuntugan yang diharapkan dimana politikus
mendapatkan gelar kehormatan yang berguna bagi reputasi politiknya dalam mendapatkan
simpati publik dan perguruan tinggi yang mendapatkan pendanaan. Layaknya sebuah pelangaran,
setiap penyimpangan atau sebuah keputusan yang dinilai tidak layak akan mencuri perhatian
publik. Pemberian gelar honoris causa yang dianggap sebagai sebuah “permainan” untuk
kepentingan pemilu dan kepentingan lainnya tercium dan dapat dirasakan oleh publik. Terdapat
beberapa contoh kasus yang dinilai dasar pemberian gelar honoris causa sarat konflik kepetingan
sehingga beberapa aturan pun diterobos begitu saja.

1. Megawati
Megawati pernah menerima gelar honoris causa dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri
(IPDN). IPDN menilai Megawati berjasa dalam membangun kebijakan startegis
pemerintahan sehinnga dinilai layak mendapatkan gelar honoris causa dalam bidang
pemerintahan. Megawati diberikan gelar Doktor HC di bidang politik dan pemerintahan.
Namun, permasalahannya adalah program S3 ilmu pemerintahan IPDN berakreditasi B
yang artinya tidak sesuai dengan Permenristekdikti Nomor 65 Tahun 2016 dimana
pendidikan tinggi yang layak memberikan gelar tersebut memiliki program S3 yang
berakreditasi A. Berdasarkan situs resmi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi
(BAN-PT), Program S3 Ilmu Pemerintahan IPDN Jatinangor berakreditasi B. Nilai
tersebut berdasarkan pada Surat Keputusan (SK) Nomor 4517/SK/BAN-
PT/Akred/d/XI/2017 yang diterbitkan pada 2017 dan berlaku hingga 2022. Apabila
merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, pemberian gelar ini
bermasalah dan tidak berdasar. Dirjen Sumber Daya Iptek Dikti, Ali Ghufron Mukti
sependapat dan mengatakan gelar Doktor HC seharusnya tidak bisa diberikan perguruan
tinggi yang program S3-nya belum terakreditasi A. Namun, ia tidak menjawab ketika
ketika ditanyakan ihwal pemberian gelar Doktor HC oleh IPDN dalam wawancara
dengan Tirto. Dapat dilihat bahwa dari pihak pemerintah sendiri mendiamkan
pelanggaran administratif dan legalitas hukum dibalik pemberian gelar honoris causa
kepada Megawati. Hal ini juga menguatkan dugaan bahwa ada kepentingan dan motif
dibalik penyematan gelar ini.
2. Nurdin Halid
Nurdin Halid menerima gelar honoris causa dari Universitas Negeri Semarang (Unnes).
Unnes memberikan gelar tersebut kepada Nurdin Halid karena menganggap mantan
Ketua Persatuan Sepak Bola Indonesia (PSSI) itu berkontribusi besar dalam memajukan
industri olahraga, terutama sepak bola. Menurut rektor Unnes, Nurdin Halid berperan
mengantarkan Indonesia menuju industri olahraga yang modern dan berprestasi. Namun,
apabila dilihat rekam jejaknya banyak yang berpendapat di masa kepemimpinanya
selama 8 tahun di PSSI tidak berhasil memajukan prestasi Tim Nasional Indonesia di
kancah dunia. Dalam karirnya memimpin PSSI, Nurdin dipenuhi kecaman dan didemo
oleh masyarakat karena berbagai kebijakannya kontroversial sehingga harus diambil oleh
Kemenpora.. Selain itu, Nurdin Halid juga memiliki rekam jejak keluar masuk bui karena
korupsi. Pada 16 Juli 2004, ia ditahan sebagai tersangka penyelundupan gula impor
ilegal. Setelah itu, pada 13 Agustus 2007, Nurdin kembali terjerat kasus tindak pidana
korupsi dalam pengadaan minyak goreng dan divonis dua tahun penjara. Apabila
ditelisik, tidak ada sesuatu yang layak yang kemudian membuat Nurdin Halid pantas
mendapatkan gelar honoris causa. Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch
(ICW), Agus Sunaryanto mengatakan Nurdin tak layak karena ia tidak pernah
memberikan kontribusi atas ilmu pengetahuan atau ikut memberikan sumbangsih dalam
mengembangkan sesuatu untuk Unnes maupun Indonesia. Pemberian gelar honoris causa
yang diberikan Unnes kepadanya juga dinilai tidak sesuai dengan Permenristekdikti
Nomor. 65 Tahun 2016 dan Pertor Universitas Negeri Semarang Nomor 23 Tahun 2009
tentag Pedoman Pemberian Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa). Lima
dosen Unnes mengatakan bahwa pihak rektorat tidak pernah menggelar uji publik
terhadap kemampuan akademis Nurdin. Selain itu, terdapat tiga guru besar yang
mengatakan tak ada makalah ilmiah Nurdin yang diedarkan di Majelis Profesor
kumpulan guru besar Unnes. Lantas atas dasar apakah Nurdin Halid diberikan gelar
sekelas honoris causa bila bukan kepentingan tertentu. Keputusan ini pada akhirnya akan
merusak integritas Unnes. Presiden Mahasiswa BEM KM Unnes, Wahyu Suryono
Pratama juga menambahkan bahwa pemberian gelar itu hanya “obral gelar kehormatan”
3. Abdul Halim
Abdul Halim yang merupakan Menteri Desa Tertinggal menerima gelar honoris causa
rektor Universitas Negeri Yogyakarta. Diketahui bahwa tiga orang yang mengetahui
proses pemberian gelar kepada Halim mengatakan bahwa Rektor UNY, Sutrisna Wibawa
memberikan gelar tersebut karena berancang-ancang maju dalam Pilkada Kabupaten
Gunung Kidul, Yogyakarta. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kepentingan dan
politisasi dibalik penyematan gelar tersebut. Obral gelar honoris causa yang
dipertontonkan oleh UNY berdampak buruk bagi kredibilitas dan intergritasnya di mata
publik.
4. Rencana Pemberian Gelar Honoris Causa Oleh Universitas Negeri Jkarta (UNJ) Kepada
Maaruf Amin dan Erick Thohir
Universitas Negeri Jakarta (UNJ) berencana memberikan gelar honoris causa kepada
Maaruf Amin dan Erick Thohir. Rencana ini dianggap sarat akan konflik kepentingan
karena cenderung “dipaksakan” sehingga harus merevisi aturan yang sudah ditetapkan.
Presidium Aliansi Dosen UNJ geram dengan rektor dan jajaran petinggi UNJ karena
dinilai menyalahi aturan pemberian gelar honoris causa. Pasalnya, UNJ sudah pernah
menetapkan ketentuan baru terkait anugerah gelar doktor honoris causa dimana di poin
ketiga Pedoman Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan menyatakan bahwa UNJ
tidak akan memberikan gelar kehormatan tersebut kepada pejabat. Salah satu anggota
aliansi dosen tersebut, Ubedilah Badrun mengatakan bahwa aturan tersebut harus tetap
ditegakkan karena dinilai progresif di tengah banyaknya kampus memberikan gelar yang
sama kepada para pejabat. Ia menambahkan bahwa pemberian gelar honoris causa tidak
boleh dilakukan secara sembarangan dan digunakan untuk kepentingan tertentu karena
akan merusak muruah dan otonomi universitas. Namun, dibalik ketentuan tersebut,
terdapat petinggi UNJ yang mendorong diubahnya peraturan itu sehingga memperkuat
dugaan adanya konflik kepentingan. Aliansi Dosen UNJ menilai adanya kepentingan
non-akademik seperti politik balas budi atau kepentingan materiil lainnya di balik
pemberian gelar tersebut. Mereka pun akan menyesalkan apabila Senat UNJ tetap
mengubah aturan demi memberikan gelar Doktor HC tersebut. Jika, perubahan aturan ini
terjadi maka tanda bahaya terhadap kebijakan kampus dan masa depan universitas patut
dinyalakan.

Praktik obral gelar honoris causa seperti ini sangat menyakiti akademisi yang sudah susah
payah mendapatkan gelar doktoral. Selain itu, citra dan integritas pendidikan atau perguruan
tinggi juga memburuk sehingga tingkat kepercayaan publik kepada pendidikan dan perguruan
tinggi tersebut juga ikut memburuk. Unversitas yang sejatinya hadir sebagai penerang dari
kegelapan, pencerah rasionalitas dari episode barbarian, pengembang ilmu pengetahuan dari
kejumudan, pembanguan rasionalitas dari hegemoni doktrin dan dogma, penegak kebenaran
ilmiah dari pembenaran irrasionalitas, serta pembela demokrasi dan kemanusiaan dari
diktatorisme dan otoritarianisme kekuasaan dirusak marwahnya oleh pihak-pihak mengutamakan
kepentingannya. Hal ini mencederai idealitas sejarah hadirnya universitas pada abad pertengahan
eropa yang tercermi dalam kalimat magistrorum et scholarium atau komunitas terpelajar,
komunitas kaum intelektual, serta komunitas yang menumbuhkan dan merawat marwah
akademik. Keadaan ini pun membenarkan pernyataan Noam Chomsky melalui bukunya Who
Rules The World (2016) bahwa universitas diisi oleh ilmuwan yang disebut sebagai akademisi
teknokratif yang sangat administratif dan diam seribu bahasa terhadap ketikdakadilan dan
penindasan. Tidak hanya akademisi, Mendikbudristek pun yang memiliki kewenangan melalui
Pasal 4 Permenristekdikti Nomor 65 Tahun 2016 untuk mencabut gelar doktor kehormatan yang
tidak memenuhi persyaratan berdasarkan peraturan menteri diam tidak berkutik.
Mendikbudristek antara tidak dapat melakukan sesuatu atau menolak melakukan sesuatu
terhadap pelucutan integritas pendidikan tinggi saat ini. Tidak adanya tindakan membuktikan
bahwa Nadiem Makariem gagal mengurus konflik kepentingan dan penyinpangan-
penyimpangan yang terjadi di ruang lingkup wewenangnya.

Anda mungkin juga menyukai