Anda di halaman 1dari 9

KEBIJAKAN YANG TERKAIT PENGEMBANGAN LAHAN BASAH/RAWA

DI INDONESIA
Dosen Pengampu : Mira Yulianti, S.P., M.Si.

Oleh :
Judika Limbong
1910514120007

AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

Banjarbaru, 1 November 2021

Judika Limbong
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Lahan rawa ada hampir di seluruh dunia: di daerah pesisir, di dataran banjir
sungai, atau di depresi daratan. Lahan tersebut merupakan daerah sensitif dengan nilai
ekologis yang tinggi. Oleh karenanya sedapat mungkin lahan tersebut di preservasi
atau lebih baik dibiarkan sebagai area konservasi. Namun demikian terdapat tekanan
untuk mengembangkan hamparan lahan ini guna berbagai jenis penggunaan,
sekaligus berupaya untuk mencegah degradasi lingkungan (ekosistem) dalam rangka
mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Lahan rawa atau dataran rendah pesisir
sangat penting bagi eksistensi keaneka-ragaman hayati, baik itu hutan bakau, hutan
rawa, atau hutan rawa air tawar. Rawa memiliki potensi untuk mendukung
pembangunan di Indonesia dalam hal memenuhi target ketahanan pangan,
perkebunan, energi, dan produksi tanaman industri.
Pada saat ini semakin banyak orang yang hidup dan bekerja di lahan rawa dan
tampaknya kecenderungan ini tidak akan berubah. Lahan tersebut telah digunakan
untuk berbagai keperluan seperti untuk lahan pertanian, lahan perkotaan, lahan
industri, tempat rekreasi, lansekap alam, dan untuk perikanan. Lahan ini juga telah
digunakan dalam upaya peningkatan pertanian dan nilai tanaman, sebagai tempat
bangunan, fasilitas pengelolaan air, dan infrastruktur. Pemanfaatan dan reklamasi
pada lahan tersebut yang digunakan untuk area permukiman telah menunjukkan
kenaikan nilai properti perkotaan seperti bangunan dan infrastruktur, dimana
seyogyanya perlu memperhitungkan faktor resiko kekeringan dan banjir akibat
terganggunya keseimbangan ekologis kawasan hidrologi gambut. Kenaikan nilai
properti ini signifikan dan kelihatannya akan semakin meningkat.
Fenomena kebakaran hutan dan lahan rawa sepanjang tahun 2019 di Indonesia
mungkin layak dikatakan sebagai kondisi darurat, mengingat dampak dari bencana ini
sudah menyebabkan kerugian bagi rakyat. Kebakaran hutan dan lahan rawa telah
menyebabkan berbagai kerugian untuk masyarakat, mulai dari gangguan kesehatan,
sosial, ekologi, ekonomi, dan juga reputasi Pemerintah. Hal ini telah mendorong
Dewan Sumber Daya Air Nasional untuk kembali mengevaluasi pengelolaan lowland
atau lahan rawa dan menyiapkan masukan kepada Pemerintah.
Kebijakan pembangunan lahan rawa diharapkan mampu memberikan
kesejahteraan kepada seluruh masyarakat dan mendukung tercapainya ketahanan
pangan. Pengembangan sawah, perkebunan, kehutanan, dan penggunaan lain pada
lahan rawa lebak, pematang, dan rawa-gambut, dapat berimplikasi pada terjadinya
alih fungsi hutan rawa tersebut. Pemanfaatan hutan rawa terjadi karena meningkatnya
kebutuhan akan lahan yang luas sehingga ekosistem rawa ikut digunakan untuk
memenuhi kebutuhan ini. Pemanfaatan lahan rawa, selain mempengaruhi ekonomi
wilayah, juga menyebabkan berbagai isu lingkungan seperti kebakaran hutan dan
lahan, emisi CO2, penurunan keanekaragaman hayati, konflik lahan, dan lain
sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kebijakan Pengembangan Lahan Basah/Rawa Di Indonesia


Indonesia memiliki lahan rawa yang sangat luas, berkisar lebih kurang 34 juta
hektar dimana sekitar 20 juta ha merupakan lahan rawa pasang surut. Luas areal sisa
sekitar 13,4 juta ha merupakan lahan rawa non pasang surut di sepanjang sungai dan
lahan rawa lebak. Hampir lebih dari 4 juta ha dari lahan rawa pasang surut sudah di
reklamasi, sebagian oleh Pemerintah, dan sebagian lagi oleh Penduduk lokal.
Pengembangan lahan rawa di Pulau Sumatera dan Kalimantan dimulai pada awal
abad ke dua puluh oleh transmigran, transmigran spontan, atau bahkan sebelumnya
oleh masyarakat adat pada saat itu. Sedangkan reklamasi rawa oleh Pemerintah
dimulai pada tahun 1930 an. Pembukaan dengan skala yang besar disponsori oleh
Pemerintah pada tahun 1970 an dan 1980 an dengan tujuan menunjang program
transmigrasi dengan penempatan penduduk dari pulau padat seperti Jawa, Bali dan
Madura ke pulau yang jarang seperti Sumatera dan Kalimantan. Sekarang ini tujuan
utama dari pengembangan jaringan reklamasi rawa pasang surut adalah untuk
menunjang peningkatan produksi pangan guna mendukung program swasembada
pangan.
B. Permasalahan Lahan Rawa
Dalam beberapa kurun waktu terakhir, sebagian besar hutan rawa Indonesia di
Pulau Sumatera dan Kalimantan telah ditebang, dikeringkan, dan dikonversikan
menjadi perkebunan, atau dibiarkan terbengkalai tidak digunakan. Pengelolaan lahan
rawa merupakan permasalahan yang cukup rumit karena yang terlibat bukan hanya
satu instansi tetapi beberapa instansi baik di pusat maupun di daerah, serta multipihak
termasuk swasta dan masyarakat. Konsekuensinya, koordinasi lintas
kementerian/instansi/wilayah dan pemangku kepentingan lainnya yang terlibat harus
baik dalam arti selaras, sinergis, dan terintegrasi.
C.Strategi Pengembangan Lahan Rawa
Strategi Nasional Pengembangan Rawa sebagai contoh, proyek NLDS
(National Lowlands Development Strategy), kerangka Acuan untuk pengelolaan rawa
terpadu, yang menyoroti aspek-aspek kebijakan, hukum, dan kelembagaan, dan
strategi-strategi untuk konservasi, pertanian yang ada, dan pengembangan baru yang
berkaitan erat.
Diperlukan penilaian yang lebih terinci mengenai kerangka kebijakan-hukum-
kelembagaan saat ini untuk mengidentifikasikan kesenjangan-kesenjangan dan
kontradiksi-kontradiksi. Langkah pertama yang logis adalah memasukkan kebijakan-
kebijakan yang diusulkan mengenai pengelolaan rawa terpadu ke dalam peraturan-
peraturan yang dirancangkan. Pengelolaan rawa terpadu merupakan tujuan yang
ambisius, karena terdapat status rawa yang kritis di Indonesia. Dukungan politis pasti
diperlukan, dan arahan-arahan kebijakan merupakan hal yang vital dalam memandu
proses Strategi Nasional Pengembangan Rawa, dan pemilihan proses harus jelas.
Kebijakan umum dan aspek hukum yang terutama relevan dengan
pengelolaan lahan rawa adalah:
• Perencanaan tata ruang sebagai kunci ke perencanaan pemanfaatan ruang dan
strategi-strategi pengembangan,
• Desentralisasi dan reformasi, karena ini membidik ke arah lebih berperannya
pemerintah daerah dan masyarakat sebagai unsur mendasar proses pengelolaan rawa,
• Kebijakan dan pengaturan sektor, bilamana ini tidak lengkap, atau tidak konsisten
dengan perencanaan tata ruang, kebijakan desentralisasi dan reformasi, atau
kebutuhan rawa
Kebijakan Pengembangan Rawa Di Indonesia
Kebijaksanaan Pemerintah
Tahap Awal :
 Swasembada beras
 Transmigrasi
 Pengembangan wilayah
 Pemerataan pendapatan
 Keamanan daerah perbatasan
Tahap Lanjutan
 Swasembada beras
 Transmigrasi
 Pengembangan wilayah
 Pemerataan pendapatan
 Keamanan daerah perbatasan Strategi
Strategi
Tahap awal :
 Pembukaan daerah rawa baru
 Teknologi sederhana dengan biaya murah
 Usaha tani kecil dengan sawah tadah hujan dan palawija
 Peningkatan kesejahteraan petani.
Tahap lanjutan
 Rehabilitasi dan peningkatan prasarana pengairan
 Operasi dan pemeliharaan mantap
 Perkuatan kelembagaan
 Intensifikasi pertanian
 Peningkatan penyuluhan pertanian dan layanan sosial lainnya.
Prasarana Sumberdaya Air
Tahap awal
 Sistem drainase terbuka/alami dan pengamanan banjir
 Irigasi pasang surut bila memungkinkan
 Penyediaan tangki/bak penampungan air hujan
Tahap lanjutan
 Sistem drainase terkendali
 Perbaikan sistem pengelolaan tanah dan air.
 Peningkatan pengamanan banjir
 Pendekatan konservasi air
 Peningkatan fasilitas penyediaan air minum
Prasarana Lain
Tahap awal
 Fasilitas kesehatan dasar dan fasilitas sosial lainnya
 Aksesibilitasi/komunikasi melalui transportasi air
 Fasiltas pendukung dasar pertanian.
Tahap lanjutan
 Peningkatan layanan kesehatan dan layanan sosial lainnya
 Penyediaan jalan akses dan jalan usaha tani/pedesaan.
 Penyediaan pusat pengelolaan hasil pertanian dan pemasaran.
Kebijakan Pengelolaan Lahan Basah:
1. Konservasi, Rehabilitasi, dan Pemanfaatan yang bijaksana
2. Azas Manfaat dan Prioritas
3. Berbasis Masyarakat
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Daerah rawa sering diasosiasikan dengan keberadaan dari jenis tanah yang belum
matang dengan kandungan unsur racun yang dapat mengganggu pertumbuhan
tanaman dan lebih lanjut mengakibatkan rendahnya produktivitas usaha pertanian.
Oleh sebab itu, perlu adanya pertimbangan dan langkah yang cermat untuk mencegah
terjadinya hal-hal yang tidak dikehendaki. Untuk mengatasi masalah semacam itu,
maka pengelolaan air baik ditingkat jaringan primer dan sekunder (tata air makro)
maupun ditingkat jaringan petak tersier (tata air mikro) peranannya akan sangat
menentukan. Dan kebijakan yang ditentukan agar dilaksanakan, supaya
pengembangan lahan basah/rawa di Indonesia berjalan dengan lancer

Sumber : Jurnal Dasar Pengembangan Lahan Rawa Lambung Mangkurat University


Press 2019
Rekomendasi Pengelolaan Lahan Rawa Berkelanjutan Untuk Mendukung
Ketahanan Pangan 2020

Anda mungkin juga menyukai