Anda di halaman 1dari 30

CHRONIC HEART FAILURE

Oleh:
dr. Venny Herlena Permata Sari
NIP. 19920820 201903 2 003

UPT PUSKESMAS SEI PANCUR


DINAS KESEHATAN
KOTA BATAM

0
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul
Daftar Isi................................................................................................................1
BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................2
2.1 Anatomi Jantung ..............................................................................2
2.2 Fisiologi Jantung...............................................................................7
2.3 Chronic Heart Failure........................................................................8
2.3.1 Definisi....................................................................................8
2.3.2 Klasifikasi...............................................................................9
2.3.3 Etiologi....................................................................................10
2.3.4 Patofisiologi............................................................................11
2.3.5 Diagnosis.................................................................................14
2.3.6 Penatalaksanaan .....................................................................20
2.3.7 Prognosis ................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................30

1
BAB I
PENDAHULUAN

Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka


mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang
termasuk Indonesia. Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda
dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat.13
Gagal jantung adalah keadaan dimana jantung tidak dapat memompa cukup darah
keluar untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh atau hanya dapat melakukannya
jika tekanan pengisian jantung sangat tinggi. Gagal jantung akan menyebabkan rasa
lelah, sesak napas dan kelebihan volume. Hal ini dapat merupakan manifestasi akhir
dan paling berat dari hampir setiap bentuk penyakit jantung.10
Lebih dari 550.000 kasus baru didiagnosis setiap tahun di Amerika Serikat, dimana
prevalensi saat ini berjumlah sekitar 5,8 juta. Di indonesia sendiri, data riskesdas tahun
2013 menunjukan prevalensi gagal jantung di Indonesia sebanyak 0,3% dan mengalami
peningkatan pada tahun 2018 yaitu sebanyak 1,5% atau diperkirakan sekitar 29.550
orang.9
Di seluruh dunia, 2% hingga 17% pasien meninggal pada kali pertama mereka
masuk rumah sakit, dengan 17% hingga 45% kematian dalam 1 tahun rawatan, dan
>50% kematian dalam 5 tahun rawatan. Mengingat beban luar biasa yang diberikan
oleh gagal jantung kronis pada masyarakat, tidak hanya dalam hal mortalitas tetapi juga
morbiditas yang terkait dengan rawat inap yang berulang dan berkepanjangan,
pemahaman yang lebih besar tentang mekanisme patofisiologis yang berperan
membutuhkan penyelidikan yang cepat.4
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengangkat laporan kasus mengenai
Gagal Jantung.
1.2 Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Untuk dapat mengetahui dan memahami tentang penyakit Gagal Jantung.
1.2.2. Tujuan Khusus
Untuk dapat mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, factor resiko, patofisiologi,
manifestasi klinis atau gejala klinis, cara mendiagnosa, diagnosis banding, penatalaksanaan,
komplikasi dan prognosis dari penyakit Gagal Jantung.

2
1.3 Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari pembuatan laporan kasus ini antara lain sebagai
berikut;
1. Dapat memberikan khasanah ilmu pengetahuan tentang Gagal Jantung.
2. Dapat menjadi referensi dan rujukan untuk mendiagnosis serta melakukan
penatalaksanaan Gagal Jantutng bagi para tenaga medis.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Jantung


Jantung adalah organ otot yang berongga dan berukuran sebesar kepalan tangan.
Jantung merupakan organ utama dalam sistem kardiovaskular yang berfungsi untuk
memompa darah ke seluruh tubuh.3 Jantung memiliki berat 250-300 gram. Fungsi
utama jantung adalah memompa darah ke pembuluh darah dengan kontraksi ritmik
dan berulang. Jantung normal terdiri dari empat ruang, 2 ruang jantung atas
dinamakan atrium dan 2 ruang jantung di bawahnya dinamakan ventrikel, yang
berfungsi sebagai pompa. Dinding yang memisahkan kedua atrium dan ventrikel
menjadi bagian kanan dan kiri dinamakan septum.10

Gambar 2.1 Anatomi Jantung

Bagian kanan dan kiri jantung dipisahkan oleh septum yaitu septum interatrial di
antara kedua atrium, dan septum interventrikularis di antara kedua ventrikel. Di antara
atrium kanan dan ventrikel kanan terdapat katup yang memungkinan terjadinya
perpindahan darah antara atrium dan ventrikel (katup atrioventrikularis), yaitu katup
trikuspid dan diantara atrium kiri dan ventrikel kiri terdapat katup mitral (bicuspid).
Kedua katup tersebut menempel pada otot papilaris melalui chordae tendineae sehingga

4
katup mampu membuka dan menutup. Selain itu, di antaraventrikel dan
arteri besar terdapat katup semilunaris yaitu katup aorta di sisi kiri dan katup
pulmonal di sisikanan.
Terbuka dan tertutupnya katup jantung akan menghasilkan bunyi yang dapat
didengarkan melalui auskultasi menggunakan stetoskop sebagai bunyi
jantung. Bunyi jantung pertama (S1) dihasilkan pada awal sistol akibat
penutupan katup atrioventrikularis yaitu katup trikuspid dan mitral yang
terjadi saat kontraksi ventrikel dan terdengar paling keras di dekat apeks
jantung. Bunyi jantung kedua (S2) dihasilkan pada awal diastol akibat
penutupan katup semilunaris yaitu katup aorta dan pulmonal.10

Gambar 2.2 Katup jantung12

Sel-sel otot jantung dipasok dengan oksigen oleh A. coronaria kanan


dan kiri untuk dapat melakukan fungsinya dengan optimal. A. coronaria
terdiri dari A. coronaria dextra yang memperdarahi otot jantung kanan dan
sebagian otot ventrikel kiri, dan A. coronaria sinistra yang memperdarahi
otot jantung kiri. A. coronaria dextra berasal dari sinus aorta kanan dan
berjalan di sulcus coronarius ke tepi inferior, sementara A. coronaria sinistra
berasal dari sinus aorta kiri dan bercabang membentuk R. interventrikularis
anterior yang menuju ke apeks jantung dan R. circumflexus. Vena-vena
jantung mengumpulkan seluruh darah dari arteri coronaria melalui tiga
sistem mayor. 75% darah vena dikumpulkan di dalam sinus coronarius yang
kemudian dialirkan ke dalam atrium kanan. 25% darah vena dialirkan ke
dalam atrium dan ventrikel secara langsung melalui sistem transmural dan
endomural. Vena besar jantung adalah V. cardiaca magna.2

5
Gambar 2.3 Pembuluh darah arteri dan vena di jantung dilihat dari permukaan
sternocostal

Gambar 2.4 Pembuluh darah arteri dan vena di jantung dilihat dari permukaan

6
diafragma

2.2 Fisiologi Jantung

Siklus jantung terdiri dari periode relaksasi yang disebut diastole dan
periode kontraksi yang disebut sistole. Ada 5 fase pada siklus jantung, pada
sistole terdapat fase isovolumetric ventricular contraction dan ventricular
ejection, sedangkan pada diastole terdapat isovolumetric ventricular
relaxation, ventricular filling, dan atrial contraction.
Pada fase isovolumetric ventricular contraction terjadi penutupan
katup mitral dan katup trikuspid yang menyebabkan suara jantung 1, pada
fase ini terjadi peningkatan tekanan intraventrikuler, sampai tekanan dalam
ventrikel kiri dan kanan masing-masing melampaui tekanan dalam aorta dan
arteri pulmonal.
Fase ventricular ejection, dengan terbukanya katup aorta dan
pulmonal, mulailah fase ini, puncak tekanan ventrikel kiri adalah sekitar 120
mmHg dan ventrikel kanan sekitar 25 mmHg.
Fase isovolumetric ventricular relaxation terjadi penutupan pada
katup pulmonal dan katup aorta yang menyebabkan suara jantung 2, seluruh
otot ventrikel berelaksasi, tekanan pada ventrikel akan menurun tajam. Fase
ini berakhir ketika tekanan pada ventrikel turun di bawah tekanan pada
atrium dan katup atrioventrikuler membuka.
Fase ventricular filling, secara umum darah yang terisi ke ventrikel
terjadi secara pasif karena adanya gaya gravitasi, akan tetapi hal ini hanya
terjadi sekitar 80%.
Fase atrial contraction, pada fase ini atrium berkontraksi
memaksimalkan darah masuk ke ventrikel yang belum sepenuhnya masuk
ke ventrikel pada saat darah masuk secara pasif.6

7
Gambar 2.4 Fisiologi jantung

2.3 Chornic Heart Failure

2.3.1 Definisi

Gagal Jantung adalah suatu sindrom klinik yang kompleks yang disertai
keluhan gagal jantung berupa sesak nafas saat istirahat atau saat beraktifitas,
kelelahan, edema, dan tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan
istirahat.14
Gagal jantung adalah sindroma klinis yang ditandai dengan gejala yang
khas seperti; sesak napas, pembengkakan pergelangan kaki dan kelelahan
yang dapat disertai dengan tanda tanda seperti; tekanan vena jugularis yang
tinggi, radang pada paru dan edema perifer. Hal hal tersebut dapat
disebabkan oleh kelainan jantung struktural dan /atau fungsional yang
mengakibatkan penurunan curah jantung dan / atau peningkatan tekanan
intrakadiak saat istirahat atau selama stress.5
Chronic Heart Failure perlu dibedakan dari Acute Heart Failure
dimana gagal jantung kronik merujuk kepada kegagalan jantung yang secara
relatif lebih stabil tetapi dengan kondisi simptomatik, dalam beberapa kasus
dipertimbangkan sebagai compensated heart failure.10

2.3.2 Klasifikasi

8
Klasifikasi berdasarkan fraksi ejeksi

Terminologi yang dapat di gunakan untuk mendeskripsikan gagal jantung


adalah berdasarkan tentang pengukuran LVEF (Left Ventricular Ejection
Fraction).
Gagal jantung terdiri dari berbagai macam pasien, yaitu
1. HF dengan preserved ejection fraction(HFpEF) : LVEF ≥ 50%
2. HF dengan mid-range ejection fraction(HFmrEF) : LVEF 41-49%
3. HF dengan reduced ejection fraction (HFrEF) : LVEF ≤ 40%
Ekokardiografi adalah metode yang paling mudah di akses untuk
mengevaluasi LVEF. 5
Klasifikasi berdasarkan kelainan struktural jantung

1. Stadium A, memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal


jantung, tidak terdapat gangguan struktural atau fungsional jantung,
tidak terdapat tanda atau gejala.

2. Stadium B, telah terbentuk penyakit struktur jantung yang berhubungan


dengan perkembangan gagal jantung, tidak terdapat tanda atau gejala.

3. Stadium C, gagal jantung yang simtomatik berhubungan dengan


penyakit sttruktural jantung yang mendasari.

4. Stadium D, penyakit jantung struktural lanjut serta gejala gagal jantung


yang sangat bermakna saat istirahat walaupun sudah mendapat terapi
medis maksimal.13

Klasifikasi berdasarkan kapasitas fungsional (NYHA)

1. Kelas I, tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas fisik. Ktifitas


fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak
nafas.

2. Kelas II, terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat
istirahat, namun aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan,
palpitasi atau sesak nafas.

3. Kelas III, terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak terdapat keluhan


saat istirahat, tetapi aktifitas fisik ringan menyebabkan kelelahan,

9
palpitasi atau sesak.

4. Kelas IV, tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa keluhan. Terdapat
gejala saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas.13

2.3.3 Etiologi

Etiologi dari CHF itu sendiri dapat dibedakan dalam kelompok yang
terdiri dari kerusakan kontraktilitas ventrikel, peningkatan afterload, serta
kerusakan relaksasi dan pengisian ventrikel (kerusakan pengisian diastolik).

Kerusakan kontraktilitas dapat disebabkan oleh coronary artery disease


(miokard infark dan transient miokard iskemia), chronic volume overload
(mitral dan aorta regurgitasi), dan cardimyopathies.

Peningkatan afterload terjadi karena stenosis aorta, mitral regurgitasi,


hypervolemia, ventrikel septal defek, paten duktus arterious dan tidak
terkontrolnya hipertensi berat.

Kerusakan pengisian diastolic ventrikel disebabkan karena hipertrofi


ventrikel kiri, restrictive cardiomyopathy, fibrosis miokard, transient
myocardial ischemia, kontriksi pericardial atau tamponade.10

2.3.4 Patofisiologi

Gagal jantung kronis dapat terjadi akibat berbagai permasalahan


kardiovaskular. Penyebabnya dapat dikelompokkan menjadi (1) Kontraksi
ventrikel terganggu (2) meningkatnya afterload, atau (3) terganggunya
relaksasi dan pengisian ventrikel.
Gagal jantung dapat dibedakan menjadi systolic dysfunction dimana
terjadi kegagalan pengosongan ventrikel/ketidakmampuan jantung
memompa darah sehingga curah jantung menurun yang diakibatkan
terganggunya kontraksi ventrikel ataupun afterload yang berlebih dan
diastolic dysfunction dimana terjadi kegagalan pengisian ventrikel akibat
terganggunya relaksasi diastolik ataupun terjadi kekauan dinding ventrikel.10

10
Gambar 2.5 Patofisiologi Gagal Jantung

Beberapa mekanisme kompensasi alami terjadi pada pasien dengan


gagal jantung untuk mengatasi penurunan curah jantung dan membantu
menjaga tekanan darah yang cukup untuk menyuplai organ vital.
Kompensasi ini termasuk.10

1. Mekanisme Frank-Starling

Gagal jantung yang disebabkan oleh gangguan fungsi kontraksi


ventrikel kiri akan mengakibatkan pada setiap preload, volume
sekuncup akan menurun dibandingkan dengan normal. Penurunan
volume sekuncup menyebabkan pengosongan ruangan yang tidak
sempurna, sehingga volume darah yang terakumulasi dalam ventrikel
selama diastol menjadi lebih besar pada kontraksi berikutnya.

Meningkatnya regangan pada serat miokard ini kemudian bertindak


sesuai mekanisme Frank-Starling dan menginduksi volume sekuncup
yang lebih besar pada kontraksi berikutnya, yang akan membantu

11
pengosongan ventrikel kiri dan menjaga aliran curah jantung.

Jika ventrikel yang terdilatasi mampu untuk mempertahankan


cardiac output pada tingkatan yang dapat menyesuaikan kebutuhan
tubuh, pasien dikatakan memiliki compensated heart failure. Tetapi,
peningkatan dilatasi akan meningkatkan tegangan dinding ventrikel,
yang akan meningkatkan kebutuhan oksigen dari miokardium.
Sejalannya waktu, miokardium yang mengalami kegagalan tidak dapat
lagi memompakan darah yang cukup untuk mencapai kebutuhan tubuh,
walaupun saat istirahat. Pada keadaan ini, pasien telah memasuki fase
yang disebut decompensated heart failure.

2. Perubahan Neurohormonal

Beberapa mekanisme kompensasi neurohormonal yang penting


diaktifkan pada gagal jantung dalam menanggapi penurunan curah
jantung. Tiga faktor penting meibatkan (1) sistem saraf adrenergik, (2)
sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan (3) peningkatan produksi
hormon antidiureik (ADH). Mekanisme ini berfungsi untuk
meningkatkan resistensi pembuluh darah sistemik, yang membantu
untuk mempertahankan perfusi arteri ke organ vital, bahkan saat
penurunan curah jantung terjadi.

Hal ini terjadi karena tekanan darah adalah produk dari curah
jantung (cardiac output,CO) dan resistensi perifer total (total
peripheral resistance, TPR). Kenaikan TPR disebabkan oleh
mekanisme kompensasi yang hampir dapat menyeimbangkan
penurunan CO dan pada tahap awal dari gagal jantung, menjaga TD
yang normal. Selain itu, pengaktifan neurohormonal akan menyebabkan
retensi garam dan air, yang pada gilirannya akan meningkatkan volume
intravaskular dan preload ventrikel kiri, yang kemudian akan
memaksimalkan volume sekuncup melalui mekanisme Frank-Starling.

3. Hipertrofi ventrikel dan remodeling

Regangan dinding sering meningkat pada gagal jantung karena


dilatasi LV (radius ruang meningkat) atau kebutuhan untuk

12
menghasilkan tekanan sistolik yang tinggi untuk mengatasi afterload
yang berlebihan (misalnya pada stenosis aorta atau hipertensi).
Peningkatan dinding yang berkelanjutan (bersamaan dengan perubahan
akibat neurohormonal dan sitokin) akan merangsang perkembangan
hipertrofi miokard dan perubahan matriks ekstraseluler.

Peningkatan massa serat otot berfungsi sebagai mekanisme


kompensasi yang membantu untuk mempertahankan kekuatan kontraksi
dan melawan peningkatan regangan dinding ventrikel. Namun,
peningkatan kekakuan dinding yang hipertrofi menyebabkan tekanan
ventrikel diastolik yang lebih tinggi dari normal, dan akan
ditransmisikan ke atrium kiri dan pembuluh darah paru.

Hipertrofi dan remodeling tersebut membantu mengurangi regangan


dinding dan mempertahankan kekuatan kontraksi, tapi pada akhirnya,
fungsi ventrikel dapat menurun lebih lanjut dan memungkinkan ruang
untuk meregang secara tidak proporsional terhadap ketebalan dinding.
Ketika hal ini terjadi, beban hemodinamik pada unit kontraktil akan
semakin memperburuk gejala gagal jantung10,

2.3.5 Diagnosis
1. Manifestasi Klinis5

Gejala
Typical
Sesak nafas
Ortopneu
Paroxysmal Nocturnal Dyspnoe
Toleransi aktivitas yang berkurang
Cepat lelah
Bengkak di pergelangan kaki
Less Typical
Batuk di malam hari

13
Mengi/wheezing
Rasa kembung/begah
Nafsu makan menurun
Perasaan bingung (terutama pada lansia)
Depresi
Palpitasi
Dizziness
Sinkop
Bendopnea
Tabel 2.1 Gejala Gagal Jantung

Tanda
Spesific
Peningkatan TVJ
Refluks Hepatojugular
Suara jantung S3 (gallop)
Apex jantung bergeser ke lateral
Less Spesific
BB bertambah ( > 2 kg/minggu)
BB menurun (pada stadium lanjut)
Kaheksia
Murmur jantung
Edema perifer
Krepitasi pulmonal
Efusi pleura
Takikardi
Denyut nadi ireguler
Takipnea
Cheyne stokes repiration
Hepatomegali
Asites
Ekstremitas dingin
Oliguria
Narrow pulse pressure
Tabel 2.2 Tanda gagal jantung

14
Berdasarkan kriteria Framingham, dapat dilihat pedoman klinis gagal
jantung meliputi:

Kriteria Mayor
Paroxysmal Nocturnal Dyspnea atau orthopnea
Distensi vena leher
Ronki basah
Edema paru akut
Kardiomegali
S3 gallop
Peningkatan tekanan vena jugularis
Refluks hepatojugular

Kriteria Minor
Edema tungkai bawah
Dyspnea on exertion
Hepatomegali
Batuk pada malam hari
Efusi pleura
Takikardia ( > 120 x/menit)
Tabel 2.3 Kriteria Framingham

Menurut kriteria Framingham, diagnosis gagal jantung kongestif


ditegakan jika ditemukan 2 mayor atau 1 mayor dan 2 minor pada pasien.11
Berikut gejala umum dan pemeriksaan fisik tegantung pada sisi jantung
yang mengalami gagal jantung10:

Gejala Temuan Fisik


Gagal Jantung Kiri
Dyspnea Diaforesis (berkeringat)
Orthopnea Takikardia, takipnea
Paroxymal nocturnal dyspnea Ronki basah halus
Kelelahan Bunyi P2 keras
Gallop S3 (Pada disfungsi sistolik)
Gallop S4 (Pada disfungsi diastolik)
Gagal Jantung Kanan

15
Edema perifer Distensi vena jugularis
Nyeri di kuadran kanan atas Hepatomegali
Edema perifer
Tabel 2.4 Gejala dan tanda gagal jantung kiri dan kanan

2. Pemeriksaan penunjang
a. EKG
Adanya gambaran abnormal pada elektrokardiografi (EKG)
meningkatkan kemungkinan diagnosis gagal jantung, tetapi memiliki
spesifisitas yang rendah. Beberapa kelainan pada EKG memberikan
informasi tentang etiologi (misalnya infark miokard), dan temuan pada EKG
mungkin memberikan indikasi untuk terapi (misalnya antikoagulasi untuk
AF, pacing untuk bradikardia, CRT jika kompleks QRS diperluas). HF
jarang terjadi pada pasien dengan EKG normal (sensitivitas 89%). Oleh
karena itu, penggunaan EKG secara rutin sangat disarankan untuk
menyingkirkan HF. 5

b. Foto Toraks
Pada foto toraks, sering ditemukan pembesaran jantung dan tanda-tanda
bendungan paru. Apabila telah terjadi edema paru, dapat ditemukan
gambaran kabut di daerah perihiler, penebalan interlobar fissure (Kerley's
line). Kasus yang berat dapat ditemukan efusi pleural.1

c. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung


adalah darah perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit,
kreatinin, laju filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan
urinalisis. Pemeriksaan tambahan lain dipertimbangkan sesuai tampilan
klinis. Gangguan hematologis atau elektrolit yang bermakna jarang dijumpai
pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang belum diterapi,
meskipun anemia ringan, hiponatremia, hiperkalemia dan penurunan fungsi
ginjal sering dijumpai terutama pada pasien dengan terapi menggunakan
diuretik dan/atau ACEI (Angiotensin Converting Enzime Inhibitor), ARB
(Angiotensin Receptor Blocker), atau antagonis aldosterone.13

16
d. Peptida Natriuretik

Peptida natriuretik adalah hormon alami “menguntungkan” yang


disekresi pada gagal jantung sebagai respon terhadap meningkatnya tekanan
intrakardial. Peptida natriuretik tipe B (BNP) tidak terdeteksi didalam
jantung normal, tetapi diproduksi ketika miokard ventrikel mengalami stres
hemodinamik (misalnya pada gagal jantung atau selama infark miokard).10

Cara kerja peptida natriuretik dimediasi oleh resptor natriuretik spesifik


dan bekerja berlawanan dengan sistem hormon lain yang diaktifkan pada
gagal jantung. Peptida ini menghasilkan ekskresi aldosteron dan vasopresin.
Meskipun efek in bermanfaat bagi pasien dengan gagal jantung, namun
biasanya tidak cukup adekuat untuk sepenuhnya melawan vasokontriksi dan
efek penambahan volume akibat pengakitfan sistem hormonal lainnya.10

Konsentrasi plasma peptida natriuretik (NP) dapat digunakan sebagai


tes diagnostik awal, terutama dalam keadaan non-akut ketika ekokardiografi
tidak segera tersedia. Peningkatan NP membantu menegakkan diagnosis
kerja awal, mengidentifikasi mereka yang membutuhkan pemeriksaan
jantung lebih lanjut; pasien dengan nilai di bawah cutpoint untuk
menyingkirkan disfungsi jantung penting, tidak memerlukan ekokardiografi.
Pasien dengan konsentrasi NP plasma normal cenderung tidak mengalami
gagal jantung. 5

Batas atas normal dalam pengaturan non-akut untuk peptida natriuretik


tipe-B (BNP) adalah 35 pg / mL dan untuk N-Terminal pro-BNP (NT-
proBNP) adalah 125 pg / mL; dalam keadaan akut, nilai yang lebih tinggi
harus digunakan [BNP, 100 pg / mL, NT-proBNP, 300 pg / mL]. Nilai
diagnostik berlaku serupa dengan HFrEF dan HFpEF; rata-rata, nilai untuk
HFpEF lebih rendah daripada untuk HFrEF. Penggunaan NP
direkomendasikan untuk menyingkirkan HF, tetapi tidak untuk menegakkan
diagnosis. 5

e. Ekokardiografi

Ekokardiografi adalah tes yang paling berguna dan tersedia secara luas

17
pada pasien dengan dugaan gagal jantung untuk menegakkan diagnosis.
Ini memberikan informasi langsung tentang volume ruang jantung, fungsi
sistolik dan diastolik ventrikel, ketebalan otot jantung, fungsi katup dan
hipertensi pulmonal. 5

Informasi yang diberikan oleh evaluasi klinis yang cermat dan tes yang
disebutkan di atas akan memungkinkan diagnosis kerja awal dan rencana
perawatan pada kebanyakan pasien. Tes lain umumnya diperlukan hanya
jika diagnosis tetap tidak pasti (misalnya jika gambar ekokardiografik
kurang optimal atau diduga ada penyebab gagal jantung yang tidak biasa).
5

18
Gambar 2.6 Algoritma Diagnosis Gagal Jantung

2.3.6 Penatalaksanaan

1. Tatalaksana Non-Farmakologi
a. Edukasi pasien mengenai gagal jantung dan strategi pengobatannya
untuk meningkatkan ketaatan pasien berobat sehingga menurunkan
morbiditas, mortalitas dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi
farmakologi maupun non-farmakologi. Edukasi pasien dalam upaya
untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap rejimen dan
intervensi medis, seperti panggilan telepon, pengingat, dan perawat di

19
rumah, untuk membantu pasien mengingat untuk minum obat.
Edukasi pasien dalam memahami tanda dan gejala yang
mengkhawatirkan, seperti sesak napas, kelelahan yang berlebihan,
kaki / pergelangan kaki bengkak, dll.
b. Konseling diet tentang natrium (2-3 gr / hari; <2 gram / hari pada
gagal jantung sedang sampai gagal jantung berat) dan pembatasan
cairan <2 L / hari dipertimbangkan pada pasien dengan gejala berat
disertai hiponatremia (serum Na < 130 mEq / L).
c. Perubahan gaya hidup sehat (diet tinggi serat dengan sayuran;
olahraga teratur dalam jumlah yang dapat ditoleransi di bawah
pemantauan program rehabilitasi jantung; mengonsumsi alkohol
dalam jumlah sedang dan tidak merokok); terutama, penelitian
terbaru telah menganjurkan pentingnya latihan olah raga untuk pasien
gagal jantung melalui peningkatan pengiriman O2 otot rangka,
sekaligus memperbaiki efisiensi mitokondria dan kontraktil.
d. Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat
kenaikan berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan
dosis diuretik atas pertmbangan dokter. Dan Pengurangan berat badan
pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal jantung
dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung,
mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup.
e. Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung
berat. Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor
penurunan angka kelangsungan hidup. Jika selama 6 bulan terakhir
berat badan > 6 % dari berat badan stabil sebelumnya tanpa disertai
retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai kaheksia. Status nutrisi
pasien harus dihitung dengan hati-hati.8

2. Tatalaksana Farmakologi

a. Tatalaksana pada pasien gagal jantung simptomatik dengan


fraksi ejeksi berkurang (HFrEF)

20
Tujuan pengobatan pada pasien gagal jantung adalah memperbaiki klinis,
kapasitas fungsional dan kualitas hidup, mengurangi kebutuhan rawat inap dan
mengurangi mortalitas. 5

Gambar 2.7 Algoritma Tatalaksana pada pasien gagal jantung simptomatik dengan
fraksi ejeksi berkurang (HFrEF)

 ACE inhibitors and angiotensin receptor antagonists


ACE inhibitors adalah terapi lini pertama pada gagal jantung dengan
fraksi ejeksi yang berkurang dan disfungsi ventrikel kiri tanpa gejala.
Penggunaannya menghasilkan penurunan absolut pada mortalitas sebesar
3,8% (relatif 20%), dan menurunkan kejadian infark miokard dan rawat

21
inap untuk pada gagal jantung. ACE inhibitors mengurangi efek maladaptif
dari aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron kronis, termasuk
mengurangi retensi natrium dan air, vasokonstriksi, dan hipertrofi jantung
dan fibrosis. Dari hasil penelitian, angiotensin reseptor blocker (ARB)
belum menunjukkan penurunan angka kematian yang konsisten. Oleh
karena itu, ARB dianggap sebagai pilihan kedua, dan diindikasikan hanya
pada pasien yang tidak toleran terhadap ACE inhibitors.7
Pengobatan harus dimulai segera setelah diagnosis, dengan dosis
terendah. Titrasi dengan menaikkan dosis disarankan jika tekanan darah
sistolik 90 mmHg atau lebih, dan harus mempertimbangkan juga gejala pada
pasien. Jika gejala hipotensi terjadi, vasodilator lain harus dikurangi atau
dihentikan terlebih dahulu dan, asalkan pasien tidak sesak, diuretik harus
dikurangi atau dihentikan sebelum mengurangi dosis inhibitor ACE. Fungsi
ginjal yang sedikit memburuk (penurunan hingga 30% dari perkiraan laju
filtrasi glomerulus secara umum masih dapat diterima. Peningkatan kecil
kalium bisa terjadi, tetapi dosis ACE inhibitors harus dikurangi setengahnya
jika konsentrasi kalium melebihi 5,5 mmol / L. Jika ACE-i menyebabkan
batuk kronis, pengobatan dapat diganti ke ARB setelah penyebab batuk lain
telah disingkirkan seperti edema paru atau penyakit paru-paru yang
mendasari. 5
 Beta Blockers
Beta blocker adalah terapi lini pertama penting lainnya untuk gagal
jantung dengan pengurangan fraksi ejeksi. Diberikan bersamaan dengan
ACE inhibitor, dapat terjadi penurunan absolut 4,3% (penurunan relatif
24%) pada semua penyebab kematian pada gagal jantung. Beta blocker
mengurangi kebutuhan oksigen miokard, melindungi dari iskemia, memiliki
efek antiaritmia, dan mengurangi kematian jantung mendadak. Hanya beta
blockers yang sudah terbukti efektif untuk gagal jantung yang harus
digunakan. Ini adalah bisoprolol, carvedilol, extended-release metoprolol
succinate, dan nebivolol jika pasien berusia lebih dari 70 tahun (karena obat
ini hanya dievaluasi pada orang tua). 7
Semua pasien dengan gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang

22
berkurang harus diberikan beta blocker. Mulailah segera setelah pemberian
ACE inhibitor, setelah pasien stabil secara klinis dan euvolemik. Pada
awalnya gejala gagal jantung bisa memburuk sehingga dosis terkecil harus
digunakan. Lakukan titrasi hingga dosis target atau dosis maksimum yang
dapat ditoleransi pasien. Denyut jantung, tekanan darah dan gejala kongesti
harus ditinjau ulang setelah setiap titrasi. 5
Kontraindikasi absolut untuk beta blocker termasuk atrioventricular
block derajat kedua atau ketiga. Jika ini terjadi, terapi pacu jantung atau
sinkronisasi ulang jantung harus dipertimbangkan untuk memungkinkan
terapi lanjutan. Asma hanyalah kontraindikasi relatif. Penyakit paru
obstruktif kronik harus dinilai dengan tes fungsi paru sebelum memutuskan
untuk tidak memberikan beta blocker. Jika tidak ada reversibilitas jalan
napas yang signifikan, pasien seharusnya dapat mentolerir beta blocker.
Biasanya dampak terapi beta blocker pada tes fungsi paru minimal dan
tanpa relevansi klinis.7
Dosis harus dinilai kembali jika terjadi kemunduran klinis atau denyut
jantung di bawah 50 kali/menit. Seperti ACE-i, hipotensi asimtomatik tidak
memerlukan perubahan terapi. Jika bergejala, pertimbangkan untuk
mengurangi vasodilator lain terlebih dahulu, atau dosis diuretik apa pun jika
tidak ada kemacetan, sebelum memutuskan untuk mengurangi dosis beta
blocker. Bisoprolol dan metoprolol memiliki efek vasodilatasi yang lebih
sedikit dan dapat ditoleransi dengan lebih baik jika tekanan darah berada di
ambang batas, namun efek vasodilatasi tambahan dari carvedilol dapat
mengimbangi perburukan awal gagal jantung.7
 Mineralocorticoid/aldosterone receptor antagonists
Antagonis aldosteron meningkatkan kelangsungan hidup di seluruh
spektrum gagal jantung dengan pengurangan fraksi ejeksi. Terdapat
penurunan absolut 11% (30% relatif) pada kematian pada gagal jantung
parah, penurunan absolut 7,6% (37% relatif) pada kematian dan rawat inap
kardiovaskular pada gagal jantung ringan, dan penurunan absolut 2,3%
(15% relatif) pada kematian pada pasien dengan gagal jantung setelah infark
miokard. Antagonis aldosteron memblokir efek merugikan dari aktivasi

23
aldosteron, yang meliputi reabsorpsi natrium dan air, dan fibrosis
kardiovaskular. Obat ini sangat jarang digunakan dan harus ditambahkan
pada ACE-i dan beta blockers pada semua pasien yang tetap bergejala.7
Dapat terjadi hiperkalemia serius, terutama pada pasien dengan
gangguan ginjal. Kalium serum harus dipantau secara ketat, pada satu
minggu dan satu, dua dan tiga bulan setelah memulai atau meningkatkan
dosis, kemudian setiap tiga bulan hingga 12 bulan, dan kemudian empat
bulanan setelahnya. Dosis awal dapat dikurangi setengahnya jika terdapat
diabetes atau gangguan ginjal. Dosis harus dikurangi setengahnya jika
kalium melebihi 5,5 mmol / L, dan dihentikan jika lebih dari 6,0 mmol/L.
Ginekomastia dapat terjadi pada pria, tetapi lebih jarang terjadi pada
eplerenon dibandingkan dengan spironolakton. 5
 Diuretics
Loop diuretik digunakan oleh sebagian besar pasien pada tahap tertentu
untuk mengontrol gejala gagal jantung. Obat ini harus digunakan sebagai
tambahan untuk penghambat ACE dan penghambat beta pada pasien dengan
gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang berkurang jika disertai gejala
kongesti. Diuretik seringkali dapat dikurangi jika dosis penghambat
neurohormonal ditingkatkan.8
Dosis kecil tiazid atau diuretik hemat kalium dapat ditambahkan ke
furosemid (frusemid) atau bumetanide untuk waktu yang singkat. Ini
memiliki efek diuretik sinergis untuk pasien dengan edema perifer yang
resisten terhadap pengobatan dengan diuretik loop. Fungsi ginjal dan kalium
perlu diawasi secara ketat.7
 Angiotensin receptor neprilysin inhibitor (ARNI)
Sacubitril dengan valsartan adalah kombinasi baru yang terbukti lebih
unggul dari enalapril, dengan pengurangan absolut kematian kardiovaskular
dan rawat inap gagal jantung sebesar 4,7% (pengurangan relatif 20%) .
Sacubitril adalah penghambat neprilysin. Ini menghambat degradasi peptida
vasoaktif termasuk peptida natriuretik, sehingga meningkatkan efek
menguntungkannya seperti vasodilatasi dan diuresis. Kombinasi tersebut
mengurangi tonus simpatis, aldosteron dan fibrosis miokard dan hipertrofi.7

24
Sacubitril dengan valsartan dapat menggantikan ACE inhibitor atau
ARB jika gejalanya menetap meski sudah mendapat terapi medis yang
optimal. Kombinasi ini dapat menjadi terapi pilihan pertama di masa
mendatang, mengingat kemanjurannya. Namun, saat ini harus digunakan
ketika pasien telah distabilkan dengan ACE inhibitor, beta blocker dan
antagonis aldosteron.7
Angioedema sebelumnya (karena sebab apapun) merupakan
kontraindikasi. Masa pencucian ACE-I dalam 36 jam merupakan
persyaratan mutlak untuk mengurangi risiko angioedema. Kombinasi
tersebut menurunkan tekanan darah lebih kuat dan karena itu dapat
menyebabkan hipotensi. Hal ini membaik seiring waktu, tetapi dapat diatasi
dengan mengurangi dosis vasodilator lain atau mengurangi separuh dosis
awal sakubitril dengan valsartan. 5
 Ivabradine
Denyut jantung istirahat yang meningkat merupakan penanda risiko
kardiovaskular. Ivabradine mengurangi denyut jantung dengan menghambat
nodus sinus, dan menghasilkan pengurangan absolut 5% (relatif 18%) dalam
risiko mortalitas kardiovaskular atau gagal jantung rawat inap. Obat ini
digunakan pada gagal jantung dengan ritme sinus saat ejeksi ventrikel kiri
fraksi kurang dari 35% sebagai tambahan untuk penghambat ACE,
antagonis aldosteron dan penghambat beta yang dapat ditoleransi secara
maksimal jika denyut jantung setidaknya 77 denyut per menit. Dan Ini juga
dapat digunakan jika pasien tidak dapat mentolerir penghambat beta.
Ivabradine hanya dapat digunakan pada irama sinus. Ini tidak
mempengaruhi tekanan darah, konduksi intrakardiak atau kontraktilitas
miokard. Ini dapat menyebabkan gejala visual yang tidak berhubungan
dengan kerusakan retina, dan yang biasanya hilang secara spontan. Hentikan
ivabradine jika fibrilasi atrium berkembang.7
 Digoxin
Digoxin berguna untuk mengontrol gejala gagal jantung pada ritme
sinus, tetapi hanya setelah terapi dengan ACE inhibitor, beta blocker,
antagonis aldosteron dan diuretik telah dioptimalkan. Ini adalah inotropik
positif yang lemah dan meningkatkan tonus vagus. Pada fibrilasi atrium,

25
digoksin memperlambat denyut jantung dengan mengurangi konduksi nodus
atrioventrikular. Digoxin tidak meningkatkan kelangsungan hidup, tetapi
dapat mengurangi rawat inap yang berhubungan dengan gagal jantung dan
memperbaiki gejala. Digoxin harus digunakan dengan dosis rendah dalam
ritme sinus. Toksisitas digoksin dapat terjadi akibat fungsi ginjal yang
memburuk atau dehidrasi, dengan gejala yang paling umum termasuk mual,
muntah, dan kantuk. Digoxin mungkin juga berguna untuk mengontrol
denyut dalam pengobatan fibrilasi atrium pada gagal jantung. 5
 Hydralazine plus isosorbide dinitrate (H-ISDN)
Hidralazin dosis tinggi merupakan vasodilator arteri. Isosorbide
dinitrate sebagian besar merupakan venodilator. Kombinasi tersebut dapat
digunakan dengan beta blockers jika pasien tidak toleran terhadap ACE-i
dan ARB.7

26
Tabel 2.5 Dosis Obat pada tatalaksana gagal jantung

b. Terapi pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal


(HFpEF)
Tujuan terapi pada gagal jantung dengan EF yang normal, mencakup
(1) perbaikan kongesti paru dan sistemik dan (2) mengatasi penyebab
gangguan fungsi diastolik (misalnya hipertensi, penyakit arteri koroner).
Diuretik mengurangi kongesti paru dan edema perifer tetapi harus
digunakan dengan hati-hati untuk menghindari berkurangnya pengsian
ventrikel kiri. Ventrikel kiri yang kaku akan bergantung pada tekanan yang
lebih tinggi dari normal untuk mencapai pengisian dan oleh karena itu
menyebabkan gangguan pada volume sekuncup dan curah jantung.10

Tidak seperti pasien dengan gangguan fungsi sistolik, penyekat beta,


inhibitor ACE, dan ARB belum menunjukkan manfaat dalam kelangsungan
hidup pasien dengan gagal jantung dengan EF yang normal. Antagonis
aldosteron (spironolakton) terbukti dapat mengurangi frekuensi rawat inap
utnuk gagal jantung dengan EF normal, tapi tidak meningkatkan angka

27
kelangsungan hidup. Karen fungsi kontraksi normal, maka inotropik tidak
memiliki peran terapi pada sindrom ini.10

2.3.7 Prognosis

Tanpa adanya penyebab dasar yang dapat diperbaiki maka prognosis


gagal jantung sangat buruk. Tingkat kematian 5 tahun setelah didiagnosis
berkisar 45% dan 60%, dengan laki-laki neniliki prognosis yang lebih buruk
daripada wanita. Pasien dengan gejala berat (misalnya, NYHA kelas III atau
IV) memiliki prognosis terburuk dengan kemungkinan hidup 1 tahun hanya
40%. Mortalitas terbesar adalah karena gagal jantung refrakter, tetapi banyak
pasien meninggal mendadak, yang kemungkinan terkait dengan aritmia
ventrikel. Pasien gagal jantung dengan EF yang normal memiliki angka
kejadian rawat inap, komplikasi saat perawatan di rumah sakit, dan tingkat
kematian yang sama seperti dengan EF yang menurun.10

DAFTAR PUSTAKA

1. Ashley, E. and Niebauer, J. 2004, Cradiology Explained. Remedica


Medical Education and Publishing, London.
2. Black & Hawks. Medical Surgical Nursing Clinical Management for
Positive Outcomes Ed.7. St. Louis: Missouri Elsevier Saunders. 2005
3. Boom, C. E. 2013. Panduan klinis perioperatif kardiovaskular anestesia.
Jakarta: Aksara Bermakna.
4. Dick, S. A. and Epelman, S. 2016, 'Chronic Heart Failure and
Inflammation What Do We Really Know ?', pp. 159–177. doi:
10.1161/CIRCRESAHA.116.308030.
5. European Society of Cardiology 2016, '2016 ESC Guidelines for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure', European
Society of Cardiology. doi: 10.1093/eurheartj/ehw128.
6. Ganong, William F. Fisiologi Kedokteran. Edisi 24. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC ; 2014.

28
7. Hopper, I. and Eaton, K. 2017, Chronic Heart Failure, NCBI. doi:
https://doi.org/10.18773/austprescr.2017.044.
8. Inamdar, A, A. and Inamdar, A, C. 2016, Heart Faiure: Diagnosis,
Management anf Utilization, NCBI. doi:
https://doi.org/10.3390/jcm5070062.
9. Kementerian kesehatan RI 2018, 'HASIL UTAMA RISKESDAS 2018',
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
RI.
10. Lily, L. 2016, Pathophysiology of Heart Disease. 6th edn. Wolters
Kluwer, Philadelphia.
11. Lofstrom, U., Hage, C., Savarese, G., Donal, E., Daubert, C, J., Lund, H,
L. and Linde, C. 2019, 'Prognostic impact of Framingham heart failure
criteria in heart failure with preserved ejection fraction', NCBI. doi:
https://dx.doi.org/10.1002%2Fehf2.12458.
12. Netter, Frank H. Atlas Human of Anatomy. 6th edition. Elsevier. 2014
13. Perhimpunan Dokter Spesialis and Kardiovaskular Indonesia 2015,
'Pedoman tatalaksana gagal jantung', Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia.
14. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid I. VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014

29

Anda mungkin juga menyukai