Anda di halaman 1dari 20

FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN OKTOBER 2021

CHOREOATHETOSIS

Disusun Oleh :
Nur Fachraeni Husain
C014202144

Pembimbing :
dr. Muh. Iqbal Basri, M.Kes, Sp.S

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:


Nama : Nur Fachraeni Husain
NIM : C014202144
Program Studi : Profesi Dokter
Universitas : Hasanuddin
Judul Referat : Choreoathetosis
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen Ilmu
Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 22 Oktober 2021


Residen Pembimbing Supervisor Pembimbing

dr. Billi dr. Muh. Iqbal Basri, M.Kes, Sp.S

2
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................................2
DAFTAR ISI.................................................................................................................3
DAFTAR TABEL.........................................................................................................4
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................................5
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................8
2.1 Definisi............................................................................................................8
2.2 Epidemiologi...................................................................................................9
2.3 Etiologi............................................................................................................9
2.4 Manifestasi Klinis.........................................................................................10
2.5 Patofisiologi..................................................................................................11
2.6 Pemeriksaan Penunjang................................................................................16
2.7 Tatalaksana...................................................................................................17
2.8 Komplikasi....................................................................................................18
2.9 Prognosis.......................................................................................................18
BAB III PENUTUP.....................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................20

3
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Etiologi Korea................................................................................................10

4
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 makroskopik bagian otak manusia.............................................................12

Gambar 2 representasi skema dari gabungan jalur langsung dan tidak langsung.......15

5
BAB I
PENDAHULUAN

Choreoathetosis merupakan suatu sindroma klinis berupa gerakan involuntar 


yang merupakan kombinasi dari gerakan khoreatik dan gerakan athetotik. Kedua
gerakan abnormal ini sering dikombinasikan pada satu gangguan. Choreoathetosis
dapat terjadi secara akut atau secara kronik, bersifat sementara atau bisa terjadi
seumur hidup. Gerakan ini mungkin dapat mengganggu kemampuan untuk berbicara,
menggunakan anggota badan, berjalan, atau berdiri. Gerakan mungkin hanya pada
satu sisi tubuh (hemichorea) dan kadang-kadang dapat menggabungkan dengan
hemiballismus, yang sebenarnya gangguan yang berbeda namun dapat terkait. Tonus
otot biasanya berkurang, tetapi kekuatan otot tidak terpegaruh (normal). Pasien
mungkin tidak dapat mempertahankan genggaman tangan yang kuat. Lidah biasanya
bisa melesat masuk dan keluar tidak teratur. 1

Choreoathetosis adalah gangguan gerakan tak sadar yang ditandai dengan


gangguan gerakan melempar dan memutar yang tidak berirama pada satu atau lebih
anggota badan. Perkembangan choreoathetosis telah dikaitkan dengan berbagai
etiologi, baik kelainan neurologis dan sistemik, seperti kelainan genetik dan
keturunan, penyakit serebrovaskular, lupus eritematosus sistemik, dan penyakit
jaringan ikat lainnya, hipertiroidisme, hipoparatiroidisme, infeksi poststreptokokus
(reumatik atau Sydenham chorea), infeksi otak fokal, hiperglikemia, cedera otak
postanoxic dan posttraumatic, dan lain-lain. Kasus obat-yang dapat menyebabkan
CAS telah jarang dilaporkan sampai saat ini.2
Chorea adalah suatu kondisi yang menyebabkan gerakan tubuh yang tidak
disengaja dan tidak dapat diprediksi yang tidak memiliki pola. Chorea distal dapat
muncul sebagai gerakan menjentikkan jari dan kaki disertai keadaan gelisah. Pada
ekstremitas proksimal terdapat gerakan lengan dan kaki yang dalam dan tidak
terkontrol yang dikenal sebagai gerakan balisme atau gerakan menggeliat pada batang

6
tubuh dan ekstremitas, yang sebelumnya disebut athetosis.3 Choreoathetosis sering
digunakan untuk menggambarkan pola umum chorea yang melibatkan seluruh tubuh,
khususnya ekstremitas distal. Ketika chorea terjadi  pada proksimal dan dengan
amplitudo besar, hal ini disebut balismus.4

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1 Definisi
Korea adalah sindrom motorik hiperkinetik yang ditandai dengan gerakan
yang tidak teratur, tidak bertujuan, dan berubah dengan lancar. Gerakannya
mungkin cepat dan tersentak-sentak, atau halus dan menggeliat. Gerakan
menggeliat yang halus dianggap athetotic, dan seringnya kombinasi antara
chorea dan athetosis telah menyebabkan penggunaan istilah choreoathetosis
secara umum. Dalam bentuknya yang paling ringan, orang dengan koreoatetosis
tampak gelisah. Dalam bentuk yang lebih parah, orang dengan koreoatetosis
seperti membentuk tarian yang dramatis.3 Individu dengan chorea dapat
menghasilkan apa yang disebut parakinesia, gerakan yang mencoba untuk
menutupi gerakan chorea yang tidak disengaja atau menggabungkannya ke
dalam gerakan yang tampaknya bertujuan, seperti menyentuh wajah.5

Athetosis didefinisikan sebagai gerakan yang lambat, menggeliat, terus


menerus, tidak disengaja. Ini mungkin secara historis disebut sebagai
koreoatetosis. Berbeda dengan distonia, di mana ada gerakan yang
berkelanjutan, memutar, berpola, athetosis biasanya merupakan bentuk gerakan
yang terus-menerus dan tidak berkelanjutan. Ini mungkin memiliki komponen
putar dengan fleksi dan ekstensi jari. Athetosis kadang-kadang terjadi sebagai
bagian dari kejang campuran, gangguan gerakan hiperkinetik pada anak-anak
dengan ensefalopati statis (cerebral palsy). Beberapa ahli melihat athetosis pada
spektrum dengan distonia dan korea.6

Athetosis terdiri dari gerakan memutar yang lambat, terus-menerus


berubah, dan tidak disengaja yang terutama mempengaruhi wajah, leher, dan
tungkai distal. Gerakan involunter tambahan dapat terjadi bersamaan dengan
athetosis. Misalnya, sentakan korea yang cepat atau putaran distonia yang kuat
dapat menandai atau mengganggu gerakan lambat athetosis.7

8
2 Epidemiologi
Tidak ada data yang tersedia mengenai kejadian chorea maupun
choreoathetosis. Penyakit huntington (HD) adalah penyakit yang paling sering
ditemukan. Penyakit ini terjadi akibat adanya gangguan neurodegeneratif
autosomal di mana gen yang rusak terletak pada lengan pendek kromosom 4.
Prevalensi  perkiraan HD di Amerika Serikat adalah 5-10 kasus per 100.000
orang.1,8
Penyakit wilson adalah autosomal resesif, penyakit multisistem yang
disebabkan oleh mutasi pada gen ATP7B, yang berada pada lengan panjang (q)
kromosom 13 (13q14.3). Ini kode gen untuk ATPase, yang terlibat dengan
transportasi Cu. Meskipun prevalensi gen (pembawa heterozigot yang
diwariskan hanya 1 gen abnormal) telah diperkirakan setinggi 1%, prevalensi
penyakit ini hanya 30 kasus per 1 juta orang.8
Benign Hereditary Chorea, gangguan yang cukup langka di mana sebagian
besar keturunan telah jelas menunjukkan menunjukkan warisan dominan,
memiliki prevalensi sekitar 1 kasus per 500.000 orang.8

3 Etiologi
Korea dapat disebabkan oleh gangguan neurodegeneratif seperti penyakit
Huntington (HD); Sindrom seperti penyakit Huntington (HDL) seperti HDL2
yang disebabkan oleh ekspansi cytosine thymidine guanine (CTG) pada gen
JPH3, SCA17; neuroacanthositosis (NA); dan korea familial jinak (BFC). Hal
ini juga dapat dikaitkan dengan gangguan inflamasi seperti lupus eritematosus
sistemik (SLE) dan korea Sydenham pasca infeksi, paparan obat neuroleptik
dan antikolinergik, dan gangguan metabolisme seperti hipoglikemia dan
penyakit Wilson.3
Tabel 1 Etiologi Korea2

Hereditary/Neuro Huntington’s disease


degenerative (in Huntington’s disease-like syndrome type 4 (HDL 4 or
order of spinocerebellar ataxia 17 (SCA 17)
frequency or C9orf72-related HD phenocopy

9
HDL 2 (sub-saharan Africa)
Benign hereditary chorea
ACDY5 related disorders
Chorea-acanthocytosis
Mc Leod syndrome
prevalence) HDL 1 (very rare)
Dentatorubro-pallidoluysian atrophy (DRPLA, mainly in
Japanese)
Neuroferritinopathy
Aceruloplasminemia
Sydenham’s chorea (immune/streptococcal infections)
Chorea gravidarum (pregnancy)
Antibodies (idiopathic, paraneoplastic)
Systemic lupus erythematosus
Antiphospholipid syndrome
Acquired hepatolenticular degeneration (liver failure)
Acquired Polycythemia rubra vera (elderly, mainly females)
Basal ganglia vascular lesions or tumors
Drug-induced (levodopa, neuroleptics, oral
contraceptives, phenytoin, cocaine, amphetamine)
Endocrine disorders (hyper/hypoparathyroidism,
hyperthyroidism)
Metabolic disorders (hyper [non ketotic]/hypoglycemia)

Athetosis sering dijumpai sebagai berbagai cerebral palsy, dan mungkin


tidak terlihat sampai anak usia dini. Paling sering athetosis hasil dari kombinasi
hiperbilirubinemia perinatal (kernikterus), hipoksia, dan prematuritas. Faktor
genetik tidak berpengaruh.7

4 Manifestasi Klinis
Korea biasanya melibatkan tangan, kaki, dan wajah. Hidung mungkin
berkerut, mata dapat terus bergerak, dan mulut atau lidah dapat terus bergerak.
Gerakannya tidak berirama, tetapi tampaknya mengalir dari satu otot ke otot
berikutnya dan mungkin tampak seperti menari. Gerakan-gerakan tersebut dapat
menyatu tanpa terasa menjadi tindakan yang bertujuan atau setengah bertujuan,
terkadang membuat korea sulit untuk diidentifikasi.9

10
Dalam kasus yang lebih ringan, chorea mungkin tampak bertujuan, karena
sering dimasukkan ke dalam gerakan sukarela yang normal. Pasien sering
tampak gelisah dan kikuk. Gerakan choreic dapat mempengaruhi satu atau
berbagai bagian tubuh, dan tergantung pada tingkat keparahannya dapat
mengganggu bicara, menelan, postur dan gaya berjalan. Gerakan abnormal ini
menghilang selama tidur dan intensitasnya dapat bervariasi dari satu saat ke saat
lainnya selama tahap terjaga. Pasien dengan chorea menunjukkan
ketidakgigihan motorik (yaitu, mereka tidak dapat mempertahankan postur yang
berkelanjutan). Ketika mencoba untuk mencengkeram suatu benda, mereka
secara bergantian meremas dan melepaskan (“milkmaid’s grip”) atau
mengalami kesulitan dalam mempertahankan tonjolan lidah (“trombone
sign”).10

Athetosis biasanya mempengaruhi tangan dan kaki. Gerakan menggeliat


lambat sering bergantian dengan memegang bagian anggota badan pada posisi
tertentu (postur) untuk menghasilkan aliran gerakan yang mengalir terus
menerus. Ketika chorea dan athetosis terjadi bersamaan, gerakannya
menggeliat, seperti menari, dan lebih lambat daripada di chorea tetapi lebih
cepat daripada di athetosis.9

5 Patofisiologi
Ganglia basal meliputi striatum (nukleus kaudatus dan putamen), globus
pallidus, nukleus subthalamic (STN), dan substantia nigra. Sistem
"ekstrapiramidal" ini merupakan sejumlah sirkuit yang saling terkait dari mana
output muncul pada tingkat yang berbeda. Meskipun sistem piramidal kortikal
dan ekstrapiramidal subkortikal tidak bekerja secara independen satu sama lain,
istilah sistem motorik ekstrapiramidal lebih cocok, karena pusatnya (setidaknya
sampai batas tertentu) terlibat dalam patogenesis beberapa gangguan gerakan
termasuk hiperkinesia.11
Selain kontrol motorik, yang sebagian besar berasal dari kompartemen
lateral ganglia basalis, ada juga kompartemen "ventral" dan "limbik", yang

11
terlibat dalam fungsi kognitif seperti pembelajaran dan memori. Nukleus
accumbens dan substantia innominata masing-masing dianggap sebagai bagian
ventral dari striatum dan globus pallidus. Juga accumbens menerima input
dopaminergik yang berasal dari daerah tegmental ventral. Patologi ganglia basal
juga dapat menyebabkan perubahan/patologi non-motorik. Lesi pada nukleus
kaudatus, misalnya, dapat menyebabkan apatis dengan hilangnya inisiatif pada
sebagian besar pasien.11

Input
Striatum adalah sistem input terpenting dari ganglia basalis yang menerima
serat glutamatergik dari korteks serebral, khususnya area motorik lobus frontal.
Serat ini diatur secara topikal dan berasal dari neuron proyeksi lapisan kelima.
Selain korteks motorik dan premotor, masukan lebih lanjut datang dari nukleus
centromedian thalamus, substansia nigra, dan nuklei raphe oral.11

12
Gambar 1 makroskopik bagian otak manusia dengan gambar skema yang
ditumpangkan menunjukkan input striatal (A), output striatal (B), jalur langsung
(C), dan jalur tidak langsung (D). Input striatal berasal dari 1: korteks motorik,
2: talamus, 3: nuklei raphe oral, dan 4: substansia nigra. Keluaran striatal adalah
melalui 1: pallidum eksterna, 2: pallidum interna, dan 3: substansia nigra. Panah
biru di (C) dan (D) menunjukkan neurotransmisi stimulasi/glutamatergic dan
panah merah inhibisi/neurotransmisi GABAergik.11

Striatum terdiri dari dua kompartemen: patch dan matriks ekstrastriosomal.


Ini menerima input yang berbeda dan memiliki target yang berbeda. Aktivitas
yang tidak seimbang antara kompartemen ini kemungkinan mendasari
terjadinya stereotip. Degenerasi spesifik striatum terjadi pada penyakit
Huntington (HD), penyebab terkenal untuk chorea. Juga dalam bentuk penyakit
neurodegeneratif lainnya, striatum mungkin terpengaruh, misalnya pada
Multiple System Atrophy (MSA) dan Cortico-Basal Degeneration (CBD).
Kerusakan pada striatum juga dapat disebabkan oleh toksisitas, misalnya pada
penyakit Wilson. Namun, penting untuk disadari bahwa penyakit ini juga dapat
mempengaruhi area otak lainnya, sehingga menghasilkan gambaran klinis yang
lebih kompleks.11
Selain neokorteks, persarafan glutamatergik striatum juga berasal dari
talamus; terutama nukleus intralaminar kaudal. Deep Brain Stimulation (DBS)
dari inti ini dapat meringankan beberapa gejala yang terlihat pada penyakit
Parkinson (PD) dan sindrom Tourette. Menariknya, input thalamus
menghasilkan bidang terminal akson yang lebih banyak daripada akson kortikal.
Lebih lanjut, serabut thalamus dapat menginervasi beberapa interneuron striatal,
tetapi tidak pada populasi neuron striatal lainnya. Persarafan glutamatergik yang
beraneka ragam oleh neokorteks dan talamus menimbulkan gambaran kompleks
tentang stimulasi striatal dan kerusakan pada salah satu dari sistem input ini
dapat menyebabkan ketidakseimbangan neurokimia di striatum. Misalnya, studi
post-mortem pada pasien PSP, HD, atau PD menunjukkan hingga 50%

13
kehilangan neuron di kompleks thalamic centromedian, sehingga berkontribusi
pada gambaran klinis.11
Terlepas dari persarafan glutamatergik, striatum menerima masukan dari
neuron otak tengah dopaminergik, terutama dari bagian ventral Substantia Nigra
pars compacta (SNc), yang merupakan wilayah paling sensitif pada PD.
Hilangnya regulasi transmisi striatal yang dimediasi dopaminergik adalah
tipikal pada PD. Lebih lanjut, pada PD, hilangnya duri secara besar-besaran di
striatum kemungkinan berkontribusi terhadap ketidakseimbangan dalam
memproses input ekstrinsik ke striatum. Sebaliknya, aktivitas dopaminergik
yang meningkat dapat menginduksi chorea, seperti yang dapat dilihat pada
pasien PD yang diobati dengan levodopa atau pada pasien yang
mengembangkan supersensitivitas dopamin dari terapi neuroleptik kronis. Juga
dalam model HD tikus, status hiperdopaminergik ditemukan yang tidak selalu
terkait dengan penyusutan striatal.11
Selain itu, striatum menerima input serotonergik dari nuklei raphe oral dan
persarafan noradrenergik dari lokus coeruleus. Kedua inti ini menunjukkan
perubahan degeneratif pada berbagai penyakit neurodegeneratif (antara lain PD)
dan berkontribusi pada gambaran klinis.11

Output
Output dari striatum diatur melalui segmen eksternal dan internal Globus
Pallidus (GPe/GPi), sehingga menimbulkan jalur tidak langsung dan langsung
masing-masing. Konsep jalur langsung dan tidak langsung di ganglia basalis
dapat membantu menjelaskan beberapa gangguan gerakan. Selanjutnya konsep
ini mengarah pada pengembangan pendekatan bedah yang ditujukan misalnya
GPi.11

14
Gambar 2 representasi skema dari gabungan jalur langsung dan tidak langsung
dalam keadaan normal (A) dan penyakit. Warna struktur anatomi dan panah
sesuai dengan gambar. Karena degenerasi substantia nigra (SN), nukleus
subthalamic (STN) menjadi hiperaktif. Stimulasi otak dalam STN (C)
mengembalikan ketidakseimbangan ini lagi. Degenerasi striatum misalnya
penyakit Huntington (D), STN misalnya infark (E), atau pallidum (F) akan
menyebabkan berbagai bentuk hiperkinesia.11

Nucleus Subthalamic adalah nukleus kecil di jalur tidak langsung dan


dianggap sebagai alat pacu jantung ganglia basal. STN adalah target bedah
utama pada penyakit PD. Degenerasi spesifik STN dianggap sebagai penyebab
balisme. Namun, defek disinhibisi thalamus oleh STN juga dapat menghasilkan
chorea. Seringkali onsetnya tiba-tiba dan disebabkan oleh infark kecil atau
perdarahan. Namun penting untuk disadari bahwa STN juga sedikit banyak
dipengaruhi dalam berbagai bentuk penyakit neurodegeneratif.11

15
Gambaran umum anatomi fungsional ganglia basalis ini dapat membantu
dalam evaluasi neuropatologis (misalnya dalam mencari lesi fokal) dan korelasi
dengan gambaran klinis.11
Kerusakan pada inti basal dikaitkan dengan gangguan gerakan seperti yang
terlihat pada PD. Banyak gangguan inti basal menyebabkan kelainan gerakan.
Ketika aktivitas jalur tidak langsung berkurang, gangguan gerakan hiperkinetik
berkembang. Gerakan involunter dari gangguan hiperkinetik dibagi menjadi
tremor, dan berbagai keadaan korea, athetosis, dan ballismus.12

6 Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis kondisi choreatic primer adalah berdasarkan sejarah dan temuan
klinis. Namun, beberapa penelitian laboratorium dapat berguna, terutama dalam
membedakan bentuk sekunder chorea.8
Penyakit Huntington: Satu-satunya studi laboratorium yang saat ini tersedia
untuk mengkonfirmasi HD adalah pengujian genetik. Ini mengidentifikasi
kelainan gen pada gen pada lengan pendek kromosom 4, ditandai dengan
pengulangan abnormal CAG trinucleotide, panjang yang menentukan usia
onset. 8
Penyakit Wilson: Tingkat serum seruloplasmin rendah dan nilai-nilai
tembaga serum menunjukkan peningkatan ekskresi tembaga urin menguatkan
diagnosis dalam banyak kasus. Aminoasiduria persisten, mencerminkan
kelainan tubulus ginjal, hadir  di sebagian besar tapi tidak semua pasien. Hasil
tes fungsi hati biasanya normal. Kadar amonia serum mungkin meningkat. Jika
diagnosis masih belum pasti, biopsi hati dapat membantu mengkonfirmasikan
diagnosis. 8
Sydenham chorea: chorea dapat tertinggal setelah infeksi streptokokus 1-6
bulan, kadang-kadang selama 30 tahun. Oleh karena itu, titer antibodi
antistreptococcal mungkin tidak lagi meningkat pada presentasi. 8
 Neuroacanthocytosis: Diagnosis ditegakkan dengan adanya eritrosit
runcing (acanthocytes) dalam apusan darah perifer. Tingkat kinase serum
creatine mungkin meningkat. 8

16
Penelitian laboratorium lainnya yang berguna dalam diferensial diagnosis
dari chorea termasuk kadar komplemen, titer antibodi antinuclear, titer antibodi
antifosfolipid, kadar asam amino dalam serum dan urin, studi enzimatik dari
fibroblas kulit, tingkat thyrotropin, nilai tiroksin, dan tingkat parathormon. 8
CT scan dan MRI keduanya mungkin menunjukkan fokus lesi di basal
ganglia yang menyebabkan choreoathetosis. Pada kondisi tertentu, seperti pada
chorea akut, gambaran untuk infark, perdarahan, tumor, atau malformasi
pembuluh darah mungkin  berguna.  berguna. Keracunan karbon monoksida
dapat menunjukkan gambaran hipodens di globus palidus bilateral. Pada HD,
MRI pada tahap lanjut penyakit ini akan menunjukkan gambaran atropi pada
kedua nukleus caudatus. 1

7 Tatalaksana
Tidak ada obat untuk penyakit ini. Namun, gejala dapat diatasi. Mungkin
yang paling penting adalah evaluasi dan pembuatan sistem pendukung pasien.
Seiring perkembangan penyakit, pasien akan membutuhkan perawatan khusus.
Manajemen nutrisi penting, karena kesulitan menelan. Tetrabenazine telah
disetujui untuk pengobatan korea.13

Perawatan Medis
Mayoritas pasien diobati dengan neuroleptik, yang memblokir reseptor
dopamin. Obat lain yang digunakan termasuk agen GABaergic seperti
valproate, clonazepam, dan gabapentin. Baik minocycline dan CoQ10 telah
menunjukkan harapan pada hewan. Chorea yang terjadi setelah transplantasi
jantung dapat berespon terhadap steroid, dan plasmapheresis dapat
memperpendek perjalanan chorea pada pasien dengan demam rematik. Untuk
sebagian besar, obat-obatan hanya mengurangi korea pada beberapa pasien, dan
mereka juga memiliki efek samping yang kuat.13
Operasi
Dalam dekade terakhir, Deep Brain Stimulation (DBS) telah dikembangkan
dan dapat memberikan beberapa manfaat bagi beberapa pasien dengan korea.

17
Laporan anekdotal menunjukkan bahwa pada pasien tertentu, prosedur ini
berhasil dan mengurangi korea. DBS dilakukan dengan menempatkan elektroda
di globus pallidus internus. Namun, DBS masih merupakan prosedur bedah
eksperimental. Ini tidak bekerja pada semua pasien dengan chorea, dan
prosedur ini dikaitkan dengan sejumlah komplikasi.13
Transplantasi sel saraf adalah prosedur eksperimental lain yang telah
digunakan untuk mengobati beberapa pasien dengan korea Huntington, tetapi
perbaikan belum terlihat pada semua pasien. 13

8 Komplikasi
Tingkat keparahan gerakan involunter abnormal dapat menyebabkan
rhabdomyolysis atau trauma lokal pada beberapa pasien. Kesulitan menelan dan
lidah dystonia biasanya hadir pada pasien neuroacanthocytosis dapat
menyebabkan  pneumonia aspirasi dan kematian dini pada beberapa pasien.

9 Prognosis
Prognosis tergantung pada penyebab chorea. Penyakit huntington (HD)
memiliki prognosis buruk, karena semua pasien akan meninggal akibat
komplikasi dari penyakit. Demikian pula, pasien dengan neuroacanthocytosis
dapat mengembangkan pneumonia aspirasi, yang dapat menyebabkan kematian
dini.

BAB III
PENUTUP

Choreoathetosis merupakan suatu sindroma klinis berupa gerakan


involuntar  yang merupakan kombinasi dari gerakan khoreatik dan gerakan
athetotik. Kedua gerakan abnormal ini sering dikombinasikan pada satu

18
gangguan. Choreoathetosis dapat terjadi secara akut atau secara kronik, bersifat
sementara atau bisa terjadi seumur hidup. Perkembangan choreoathetosis telah
dikaitkan dengan berbagai etiologi, baik kelainan neurologis dan sistemik,
seperti kelainan genetik dan keturunan, penyakit serebrovaskular, lupus
eritematosus sistemik, dan penyakit jaringan ikat lainnya, hipertiroidisme,
hipoparatiroidisme, infeksi poststreptokokus (reumatik atau Sydenham chorea),
infeksi otak fokal, hiperglikemia, cedera otak postanoxic dan posttraumatic, dan
lain-lain. Patofisiologi gerakan involunter dari gerakan hiperkinetik termasuk
chorea dan athetosis adalah karena gangguan pada inti basal sehingga aktivitas
jalur tidak langsung menjadi berkurang. Tidak ada obat untuk penyakit ini.
Namun, gejala dapat diatasi. Mungkin yang paling penting adalah evaluasi dan
pembuatan sistem pendukung pasien. Seiring perkembangan penyakit, pasien
akan membutuhkan perawatan khusus. Prognosis tergantung pada penyebab
chorea. Penyakit huntington (HD) memiliki prognosis buruk, karena semua
pasien akan meninggal akibat komplikasi dari penyakit. Demikian pula, pasien
dengan neuroacanthocytosis dapat mengembangkan pneumonia aspirasi, yang
dapat menyebabkan kematian dini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lynn D. Joanne, Newton Herbert. B., Rae-Grant Alexander D. The 5-Minute


Neurology Consult: 2nd Edition.2012.Lippincott Williams & Wilkins.

19
2. Sathirapanya P. Choreoathetosis Is a Possible Adverse Event of a Commonly
Used Antibiotic. Hat Yai: Prince of Songkla University; 2017. Report No.:
Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 (CC BY-NC).
3. Brooks D. Chorea and Other Hyperkinetic Disorders. In Mapping ItCB. Brain
Mapping: An Encyclopedic Reference.: Elsevier Inc.; 2015. p. 751
4. Lisak Robert P., Truong Daniel D., Carroll William M., Bhidayasiri Roongroj.
International Neurology: A Clinical Approach.2009.Willey-Blackwell
5. Jinnah HA, Hess EJ. Assessment of Movement Disorders in Rodents. In
Movement Disorders.: Academic Press; 2015. p. 59-76.
6. Singer HS, Mink JW, Gilbert DL, Jankovic J. Chorea, Athetosis, and Ballism. In
Disorders HaHM. Movement Disorders in Childhood, Second Edition.: Elsevier
Inc; 2016. p. 143-175.
7. Kaufman DM, Geyer HL, Milstein MJ. Involuntary Movement Disorders. In
Psychiatrists KCNf..; 2017. p. 389-447.
8. Vertrees Stephanie M. Chorea in Adults. 2014. Medscape.
http://emedicine.medscape.com/article/1149854-overview.
9. Gonzalez-Usigli HA. Chorea, Athetosis, and Hemiballismus. 2020 May.
10. Gershanik OS. Movement Disorders. In Reference Module in Neuroscience and
Biobehavioral Psychology. Buenos Aires: Elsevier Ltd. ; 2020. p. 1-12.
11. Dunnen WFAd. Neuropathological Diagnostic Considerations in Hyperkinetic
Movement Disorders. PMC NCBI. 2013; IV(7).
12. Moini J, Piran P. Basal nuclei. In Functional and Clinical Neuroanatomy.:
Academic Press; 2020. p. 241-266.
13. Merical B, Sánchez-Manso JC. Chorea. NCBI. 2021 July.

20

Anda mungkin juga menyukai