Anda di halaman 1dari 11

KDRT DALAM HUKUM PIDANA

Dira silvianti, Lutfi Hady Laelan

Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Gunung Djati
Bandung.
Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Gunung Djati
Bandung.
Rharasilvi@gmail.com, bangkupeng123@gmail.com

Abstrak
Artikel ini menjelaskan tentang bagaimana kedudukan KDRT dalam pandangan Hukum Pidana,
kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam ketentuan perundang undangan di indonesia
tergolong sebuah kejahatan dengan ancaman hukum pidana karena mengakibatkan kesakitan dan
penderitaan fisik maupun mental terhadap korbannya. Tujuan nya untuk mengetahui prospek
penegakan hukum undang undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Korban
kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan harus mendapat
perlindungan dari negara dan atau masyarakat, agar terhindar dan terbebas dari kekerasan
penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajad dan martabat kemanusiaan. Kekerasan
dalam rumah tangga khususnya kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri, tidak hanya
menimbulkan penderitaan fisik tetapi juga penderitaan psikis. Oleh karena itu korban KDRT
harus mendapat perlindungan secara maksimal.Kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan
suami terhadap istrinya dikategorikan sebagai perbuatan pidana karena terdapat kelakuan yang
dilarang dan bersifat melanggar hukum, sehingga perbuatan itu mengandung sanksi yang
dikenakan bagi yang melanggar larangan tersebut. Penelitian ini berusaha membahas
permasalahan apakah ketentuan Pasal 44 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Kata Kunci: kekerasan dalam rumah tangga, hukum pidana

Abstract
Violence in the home (domestic violence) in the provisions of law in Indonesia is a crime with
the threat of criminal law, because it caused pain and suffering to the victim physically and
mentally. The purpose of this study was to determine the prospects for law enforcement Law on
the Elimination of Domestic Violence, Most victims of domestic violence are women must
receive protection from the state and or society, in order to avoid free from violence or treatment
that burdens the degree and human dignity. Domestic violence, especially violence that what a
husband does to his wife, not only causes physical suffering but also also psychological
suffering. Therefore, victims of domestic violence must receive maximum protection. Domestic
violence committed husband against wife is categorized as a criminal act because of the place
actions that are prohibited and violate the law, so that the contains sanctions imposed for those
who violate the prohibition. This study seeks to discuss the issue of whether the provisions of
Article 44 Law Number 23 of 2004 concerning the Elimination of Violence in Household.

Keywords: domestic violence, criminal law

PENDAHULUAN

Tindak kekerasan telah menjadi fenomena dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.


Kekerasan terjadi bukan saja dalam area publik, namun marak terjadi juga dalam area domestik
yang melahirkan kekerasan dalam rumah tangga. Ironisnya dalam berbagai kasus kekerasan
dalam rumah tangga, perempuan khususnya istri merupakan korban. Relasi suami istri yang
idealnya dibangun dalam suasana keharmonisan dan kebahagiaan, namun banyak istri yang
mengalami tindak kekerasan dari suaminya, baik kekerasan fisik, psikis, seksual maupun
ekonomi.
Dalam perkembangannnya para korban kekerasan dalam rumah tangga sulit mengajukan
penderitaan yang dialaminya kepada penegak hukum, karena kuatnya pandangan bahwa
perlakuan kasar suami kepada istri merupakan bagian dari peristiwa privat (urusan rumah
tangga),1 sehingga tidak bisa dilaporkan kepada aparat kepolisian. Sehingga penderitaan korban
kekerasan dalam rumah tangga (istri) berkepanjangan tanpa perlindungan.
Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dipengaruhi oleh berbagai macam faktor,
antara lain adalah faktor sosial, ekonomi, dan budaya. Faktor ini pula yang kemudian menjadi
suatu alat untuk melegalkan segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga sehingga lebih lanjut
dianggap sebagai sesuatu hal yang lumrah terjadi dalam kehidupan berumah tangga. Kondisi ini
makin bertambah buruk ketika yang menjadi korban mayoritas berasal dari kaum perempuan dan
1
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita (Edisi 1,
Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 135.
anak-anak, hal ini terkait dengan ruang lingkup rumah tangga yang dianggap sebagai wilayah
privat dan terisolasi dalam lingkungan keluarga sehingga tidak memungkinkan intervensi atau
campur tangan dari pihak luar.2
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan tindak pidana. Yang ingin dicapai
dalam undang-undang ini adalah meminimalisir tindak pidana KDRT dan pada akhirnya adalah
terwujudnya posisi yang sama dan sederajat di antara sesama anggota keluarga. Posisi yang
seimbang antara suami dan istri, anak dengan orang tua dan juga posisi yang setara antara
keluarga inti dengan orang-orang yang baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi
bagian dari keluarga sementara saat itu dalam keluarga. Seperti pembantu rumah tangga maupun
sanak keluarga yang kebetulan tinggal dalam keluarga tersebut dengan tidak memberi
pembatasan apakah mereka laki-laki atau perempuan.

METODE

Kajian ini menggunakan metode kualitatif, Sumber, data berupa publikasi baik cetak maupun
elektronik, jenis, data berupa narasi, repostase dan jenis jenis lain yang dapat dipersamakan
dengan jenis tersebut, Teknik pengumpulan data dengan cara pelacakan sumber-sumber
terpublikasi. Teknis analisis dilakukan secara diskriptif.

HASIL PEMBAHASAN

A. KDRT Dalam Hukum Pidana

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari difinisi perkawinan tersebut dapat diketahui bahwa tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, oleh karena itu suami istri
perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing pihak dapat mengembangkan
kepribadiannya serta mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil. Kenyataannya, apa yang

2
Bambang Waluyo, 2000, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta, Sinar Grafika.
menjadi tujuan dari perkawinan kadang-kadang tidak tercapai, karena pasangan suami istri
tersebut sering bertengkar dan apabila tidak terkendali akan terjadi kekerasan dalam rumah
tangga dan yang menjadi korban umumnya adalah perempuan (istri). 3

Hal ini menjadi salah satu pertimbangan diundangkannya UndangUndang No. 23 Tahun
2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Undang-undang ini, selain
mengatur hal ihwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan terhadap korban kekerasan
dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga
dengan unsur-unsur tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur
dalam KUHP.4

Adapun pengertian kekerasan dalam lingkup rumah tangga dapat dilihat dalam pasal 1
ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang
menyatakan bahwa:

“Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.”

Mengenai bentuk-benuk kekerasan, pasal 5 UU Penghapusan KDRT mengelompokkan


bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga ke dalam empat cara, yaitu sebagai berikut:

“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam
lingkup rumah tangganya, dengan cara:

a) Kekerasan fisik;

b) Kekerasan psikis;

c) Kekerasan seksual; atau

3
Dewi Karya, 2013, "Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Suami Terhadap Istri", Jurnal Ilmu
Hukum, Vol. 9, No. 17. Hlm. 38.

4
Ibid... Hlm. 39.
d) Penelantaran rumah tangga

Kekerasan rumah tangga tidak mengenal jenis kelamin. Kekerasan bisa terjadi dari istri
terhadap suami. Seorang istri yang amat pencemburu dan pemarah, bisa mengungkapkan
kemarahan yang meledak dalam bentuk tindakan kekerasan, baik secara fisik maupun mental.5

Pasal 6 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 menyatakan “Kekerasan fisik sebagaimana


yang dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit atau luka berat.”

Ketentuan pidana dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 diatur dalam Bab VIII
mulai Pasal 44 sampai dengan Pasal 53. Adapun ketentuan pidana untuk kekerasan yang
dilakukan oleh suami terhadap istri yang bentuk kekerasannya adalah kekerasan fisik diatur
dalam Pasal 44 Ayat (1) sampai dengan Ayat (4). Pasal 44 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004
menyatakan:

1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima
belas juta rupiah).
2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban
mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun atau denda paling banyak RP 30.000.000,00; (tiga puluh juta rupiah).
3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya
korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda
paling banyak Rp 45.000.000,00; (empat puluh lima juta rupiah).
4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap
istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan seharihari, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak p 5.000.000,00; (lima juta
rupiah).

5
Khairiah Nafisah dan Nursiti, 2018, "Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Oleh Suami Terhadap
Istri (Suatu Penelitian Di Pengadilan Negeri Banda Aceh)", JIM Bidang Hukum Pidana, Vol. 2, No. 3. Hlm. 591.
Pasal 50 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 menentukan “Selain pidana sebagaimana
dimaksud dalam bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:

a) Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban
dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku.

b) Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu


Pasal 51 menentukan bahwa “Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan.”6

B. Kekerasan Fisik Menurut KUHP Dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004


Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Pada dasarnya istilah kekerasan fisik tidak ditemukan dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) secara terperinci, yang ada adalah istilah penganiayaan yang secara
substansi dapat memberikan pemahaman mengenai kekerasan fisik yang diakibatkan karena
suatu tindak pidana penganiayaan. Kekerasan fisik dalam tindak penganiayaan seperti diuraikan
dalam pasal-pasal KUHP adalah bertujuan merugikan pihak korban secara fisik dan jasmani.

Pengertian penganiayaan menurut yurisprudensi adalah adanya tujuan yang patut yang
hendak di capai oleh suatu perbuatan yang di sadari (terpaksa) menimbulkan rasa sakit atau luka.
Dalam ilmu hukum, penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja
untuk menimbulkan rasa sakit (pijn) atau luka (letsel) pada tubuh orang lain.7

Berdasarkan pasal 5 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, dipertegas larangan


melakukan kekerasan dalam lingkup rumah tangga, larangan pada pasal ini mencakup kekerasan
fisik, kekerasan psikis atau psikologis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga atau
kekerasan ekonomi.

6
Dewi Karya, 2013, "Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Suami Terhadap Istri", Jurnal Ilmu
Hukum, Vol. 9, No. 17. Hlm. 39.

7
Didi Sukardi, 2015, "Kajian Kekerasan Rumah Tangga Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif", Jurnal Mahkamah,
Vol. 9. No. 1. Hlm. 44.
Pasal 6 menjelaskan perbuatan kekerasan fisik dalam rumah tangga, yakni : “kekerasan
fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit, atau luka berat".

Berdasarkan keterangan Pasal 5 di atas, dapat diambil kesimpulan yakni ada dua unsur
kekerasan fisik dalam pengaturan UU PKDRT yaitu: adanya perbuatan dan adanya akibat
perbuatan ditimbulkan.

a) Adanya perbuatan, yaitu adanya perbuatan atau adanya aksi dalam melakukan kekerasan
fisik atau penganiayaan berupa memukul, menendang, mencubit, mendorong, baik
dengan tangan/kakinya maupun dengan alat atau senjata

b) Adanya akibat perbuatan, yakni adanya akibat dari perbuatan tersebut, yaitu rasa sakit
dan luka pada tubuh.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ditemukan pengaturan


khusus mengenai perbuatan pidana yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga.
Dalam KUHP hanya mengatur tentang tindak pidana atau delikdelik tentang penganiayaan. Pada
dasarnya Kitab Undang-Undang Hukum pidana (KUHP) telah mengatur sanksi pidana bagi
pelaku kekerasan yang merupakan bagian dari tindak pidana penganiayaan, namun sanksi
tersebut belum mengakomodir langsung tindak kekerasan dalam keluarga.

Dengan dikriminalisasikannya perbuatan kekerasan dalam rumah tangga sebagai tindak


pidana dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga atau disingkat dengan UU PKDRT, maka UU ini telah menjadi bagian dari
sistem hukum pidana positif Indonesia. Karena secara yuridis semua bentuk kekerasan terhadap
perempuan, terutama yang terjadi di ranah rumah tangga harus dipandang sebagai kejahatan
terhadap kemanusiaan dan merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia. 8

C. Ketentuan Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Berikut akan dijelaskan tentang beberapa ketentuan pidana tentang kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT). Karena tindak kekerasan tersebut terbagi menjadi beberapa macam,
8
Ibid... Hlm. 45.
karenanya ketentuan pidana dimaksud akan diuraikan dan dibagi berdasarkan bentuk-bentuk
kekerasan, yakni:

1. Kekerasan Fisik

Delik Sanksi

Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, ketentuan pidananya berupa:

 Penjara paling lama 5 (lima) tahun; atau


 Denda paling banyak Rp 15 juta

Kekerasan fisik yang mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, ketentuan
pidananya berupa :

 Penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun; atau


 Denda paling banyak Rp 30 juta

Kekerasan fisik yang mengakibatkan matinya korban, ketentuan pidananya berupa:

 Penjara paling lama 15 (lima belas) tahun; atau


 Denda paling banyak Rp 45 juta

Kekerasan fisik yang dilakukan suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, ketentuan pidananya berupa :

 Penjara paling lama 4 (empat) bulan; atau


 Denda paling banyak Rp 5 juta

2. Kekerasan Psikis

Delik Sanksi

Kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga, ketentuan pidananya berupa:


 Penjara paling lama 3 (lima) tahun; atau
 Denda paling banyak Rp 9 juta

Kekerasan psikis yang dilakukan suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, yang ketentuan pidananya berupa :

 Penjara paling lama 4 (empat) bulan; atau


 Denda paling banyak Rp 3 juta

3. Kekerasan Seksual

Delik Sanksi

Kekerasan seksual, ketentuan pidananya berupa :

 Penjara paling lama 12 tahun; atau


 Denda paling banyak Rp 36 juta

Memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual, ketentuan
pidananya berupa :

 Penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun; atau


 Denda paling sedikit Rp 12 juta dan paling banyak Rp 300 juta

Mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali,
mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 minggu terus
menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau
mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, ketentuan pidananya berupa :

 Penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun; atau


 Denda paling sedikit 25 juta dan paling banyak 500 juta

4. Penelantaran Rumah Tangga


Delik Sanksi

Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangga; atau menelantarkan orang lain yang
berada di bawah kendali, ketentuan pidananya berupa :

 Penjara paling lama 3 (lima) tahun; atau


 Denda paling banyak Rp 15 juta

Pidana Tambahan

Selain ancaman pidana penjara dan/atau denda tersebut di atas, hakim dapat menjatuhkan pidana
tambahan berupa:

 Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban
dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
 Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu .

Delik Aduan

Tindak pidana kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan seksual yang dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan delik aduan.

PENUTUP

Kekerasan dalam lingkup rumah tangga ialah sebagaimana dapat dilihat dalam pasal 1
ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang
menyatakan bahwa: “Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.”
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga atau disingkat dengan UU PKDRT ini telah menjadi bagian dari sistem hukum pidana
positif Indonesia. Karena secara yuridis semua bentuk kekerasan terhadap perempuan, terutama
yang terjadi di ranah rumah tangga harus dipandang sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan
merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Waluyo, 2000, “Pidana dan Pemidanaan”, Jakarta, Sinar Grafika.

Dewi Karya, 2013, "Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Suami
Terhadap Istri", Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 9, No. 17.

Didi Sukardi, 2015, "Kajian Kekerasan Rumah Tangga Dalam Perspektif Hukum Islam Dan
Hukum Positif", Jurnal Mahkamah, Vol. 9. No. 1.

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, “Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan
Antara Norma dan Realita” (Edisi 1, Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007).

Khairiah Nafisah dan Nursiti, 2018, "Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang
Dilakukan Oleh Suami Terhadap Istri (Suatu Penelitian Di Pengadilan Negeri Banda
Aceh)", JIM Bidang Hukum Pidana, Vol. 2, No. 3.

Anda mungkin juga menyukai