Anda di halaman 1dari 5

Hidup Itu Memang Harus Dinikmati

Ayu Fitria N

XI MIPA 2

Bosan. Perasaan itu selalu menghampiriku setiap kali sedang berkumpul dengan
pengurus OSIS yang lain. Seperti halnya hari ini, kami membahas tentang acara yang akan
kami laksanakan dalam 3 minggu ke depan.

Hari ini adalah jadwal kumpul rutin angkatan untuk OSIS angkatan 31 dan sudah bisa
dipastikan, kumpul hari ini akan sangat membosankan. Dengan pembicaraan yang agak
ngalor ngidul, para pengurus yang asik sendiri dengan dunianya, ditambah angin sepoi-sepoi
yang membelai lembut pipiku, membuatku merasa suntuk dan mengantuk.

Beginilah setiap kali kami berkumpul rutin untuk membahas sesuatu yang khusus
untuk angkatan kami saja. Menurutku kumpul angkatan selalu saja menjadi kegiatan yang
paling membosankan dan hanya membuang-buang waktu. Apalagi jika sudah saling
membicarakan sesuatu yang bersifat pribadi atau berubah menjadi tempat untuk ajang curhat.

Yah, beginilah aku. Selalu menjadi orang dengan kepribadian yang tertutup
dimanapun aku berada. Dari kecil hingga sekarang aku menginjak kelas 2 SMA, kehidupan
monotonku selalu saja terjadi.

Pernah sekali waktu aku membayangkan mempunyai sahabat sejati yang bisa
mengerti tanpa harus aku bercerita. Memahami meski lewat tatapan mata dalam kebisuan.
Teman yang selalu ada di saat aku membutuhkannya dan dia juga membutuhkanku, bukan
untuk saling memanfaatkan. Tapi itu semua hanya impian yang entah sampai kapan hanya
menjadi angan-anganku saja.

Sejak kecil, aku memang dididik untuk tidak pernah bercerita tentang apapun kepada
siapapun. Untuk sekedar menulis di buku diary saja tidak diizinkan, apalagi menangis.
Memang aku di ajarkan untuk menjadi orang yang mandiri dan kuat tanpa harus mempunyai
perasaan yang mendalam terhadap siapapun. Bahkan untuk menanam perasaan rindupun tak
boleh. Tapi aku juga manusia yang seorang makhluk sosial. Masih membutuhkan orang lain.
Dan aku sadar bahwa selama ini, hakku sudah dilanggar. Hak asasi manusiaku yang malang.

Sampai saat ini, aku merasa tidak pernah mempunyai teman dekat. Teman dekat
menurutku adalah teman yang selalu berbagi kenangan, berbagi cerita, bahkan berbagi hari-
hari bersama. Pernah ada seorang teman-sesama pengurus OSIS-yang berkata, “aku
menganggap kamu sahabat, kamu juga kan?” katanya. Waktu itu aku terdiam membisu dan
mengangguk pelan. Aku bingung sekali harus menjawab apa karena memang aku tidak
menganggapnya sespesial seperti dia menganggapku.

Mungkin karena sudah terbiasa memendam sesuatu sendirian, berpengaruh sekali


dalam kehidupan pribadiku, apalagi terhadap kesehatan jiwaku. Setiap ada masalah, selalu ku
pendam sendirian. Apapun yang aku rasakan, tidak pernah kusampaikan kepada siapapun.
Dan itu selalu membuat dadaku sesak seperti akan meledak. Dan terkadang membuat
emosiku sedikit tidak terkontrol.

Ketertutupan inilah yang membuat semua orang tidak terlalu menyukaiku. Introvert.
Hanya satu kata, tapi membuat semuanya jelas. Orang mungkin berfikir aku selalu tidak ingin
diganggu. Karena itulah mereka selalu menjauhiku. Karena aku seorang yang introvert,
berkepribadian tertutup. Bahkan mungkin overintrovert.

Sebenarnya aku merasa kesal dan kurang suka dengan sesama pengurus OSIS yang
seangkatan denganku. Dari awal masuk OSIS, kami memang sudah diajari arti kekeluargaan
dan kebersamaan. Namun hingga sekarang aku selalu merasa mereka membatasi diri
denganku karena aku orang yang sangat tertutup. Saking kentaranya tindakan mereka, aku
merasa bukan bagian dari kepengurusan OSIS ini. Meskipun aku adalah pengurus OSIS.

Minggu ke dua di bulan April. Hari ini kami pengurus OSIS di evaluasi oleh alumni
yang memang cara mendidiknya sangat keras sekali. Kami dimarahi dan dihukum habis-
habisan karena dia melihat dan mendengar dari pengurus OSIS lainnya bahwa sikap kami
kurang kompak, kurang solid, dan masih ada saja yang belum menyatu. Aku sadar itu aku.
Tapi mau bagaimana lagi? Beginilah aku, dengan sifat ku yang keras kepala dan tertutup.

Hari-hari berlalu dan aku mulai berusaha menyatu dengan pengurus OSIS yang
lainnya. Namun tetap saja, perasaan bosan itu selalu menghinggapi setiap kali kami sedang
berkumpul. Rasanya seperti rasa bosan itu menginfeksiku dengan kekuatannya.

Hari ini kami mengadakan kumpul bersama di ruman Ivan. Tadinya mereka berkata
bahwa kumpul hari ini akan membahas sesuatu yang sangat penting. Namun yang kudapati
hanya melihat mereka semua sedang makan bersama sambil berbincang ria membahas hal
yang tak berujung, kecuali Lia dan aku. Rasanya kesal setengah mati hanya menunggui dan
melihat mereka makan, sedangkan aku terlihat seperti orang bodoh yang hanya menjadi
nyamuk di antara mereka.

Setelah mereka selesai makan, aku bertanya kepada Ivan.

“Van, apa yang mau dibicarakan hari ini? Lama sekali. Kalau begini terus lebih baik
aku pulang saja ke rumah.”

“Memangnya apa kegiatanmu di rumah, Ca? Malahan menurutku membosankan


sekali berada di rumah, berkumpul di sini membuat pikiranmu tenang. Dengan nyanyian
burung gereja yang mengalun indah, di tambah angin lembut yang membelaiku, membuatku
ingin cepat-cepat terlelap dalam damai,” Celetuk Zeno.

Aku hanya terdiam dan bersiap-siap untuk pergi. “Silahkan saja jika ada keperluan,
kami disini hanya berkumpul, tidak jadi membicarakan hal yang penting. Ayo, ku antar kamu
turun ke bawah,” kata Ivan mempersilahkanku pergi.

Sesampainya di bawah, Ivan membantuku mengeluarkan motor dari dalam garasi


rumahnya. “Memangnya kamu tidak bosan diam di rumah? Ada kegiatan lain?” tanya Ivan,
memecahkan kesunyian diantara kami. “Tidak, hanya saja lebih nyaman berada di dalam
kamar daripada menjadi obat nyamuk dan cicak putih yang hanya menguping pembicaraan
yang tak bisa ku ikuti,” jawabku setengah berbisik, sambil berharap dia tidak mendengarnya.

“Harusnya, kamu berusaha menjadi orang yang terbuka. Tidak perlu kepada semua
orang. Cukup seorang saja karena aku tau kamu lelah memendam semuanya sendirian. Jika
boleh, aku mau menjadi pendengar setiamu meski tidak selamanya waktuku ku habiskan
bersamamu, Annisa Nur Hikmah,” katanya.

“Iya, terserah kamu saja, terimakasih, tapi tolong jangan terlalu peduli padaku,”
jawabku sekenanya.

“Aku serius, Ca. Aku memang peduli padamu.”

“Aku mohon. Hentikan saja. Jangan membuatku berharap lebih,” kataku setengah
berteriak.

“Baiklah, maaf. Jika kamu butuh, aku selalu siap mendengarkan,” jawab Ivan, dengan
tatapan yang tak bisa ku pahami.
Aku pulang dengan perasaan yang campur aduk. Perkataan Ivan ada benarnya juga.
Terkadang aku lelah memendam perasaanku sendirian. Tapi karena sudah terbiasa, aku selalu
berhasil mengubur semuanya tanpa harus bercerita kepada siapapun.

Sebagai rasa terimakasihku kepada Ivan, sejak hari itu aku mulai berusaha dekat
dengan pengurus OSIS lainnya. Meskipun aku tetap menjadi diriku yang tertutup, setidaknya
aku mulai bisa beradaptasi.

Bulan Agustus adalah bulan yang paling dinanti-nati oleh kami para pengurus OSIS.
Bagaimana tidak? Di bulan ini kami akan menjadi mentor bagi adik-adik kelas kami dalam
kegiatan MPLS. Kegiatan yang membuat kami harus mengeluarkan semua kemampuan untuk
membimbing adik kelas menjadi generasi yang lebih baik dari generasi yang sebelumnya.

Seminggu lamanya kegiatan MPLS berlangung. Pada hari terakhir MPLS, kami
memberikan persembahan berupa kabaret kepada adik-adik kelas kami. Yang awalnya kami
merasa deg-degan karena takut mereka tidak menyukainya, berubah menjadi rasa bahagia
karena ternyata adik kelas antusias sekali melihat kabaret yang kami persembahkan.

Setelah upacara penutupan MPLS berakhir, kami para pengurus OSIS berbagi rasa
kebahagiaan dan rasa haru bersama karena semuanya menjadi awal bagi kami menuntun
adik-adik kami menuju masa depan yang berkualitas.

Semuanya menangis bersama, kecuali aku. Aku hanya melihat mereka semua dari
kejauhan karena takut hatiku akan tersentuh dan aku tidak mau ikut menangis. Kulihat
mereka semua saling berangkulan dan berbagi perasaan.

Di hari inilah semua nya berubah. Pertahananku pun runtuh saat mereka satu persatu
mulai merangkul ku dan meminta maaf jika aku merasa mereka menjauhiku. Disitu aku
tersadar bahwa selama ini aku hanyut dalam keegoisanku sendiri dan membuat benteng yang
membatasi diriku dengan mereka.

Memendam perasaan itu seperti bom waktu yang suatu saat akan meledak. Ada dua
macam ledakan yang akan terjadi. Jika bukan ledakkan kata-kata, yang akan terjadi adalah
ledakan air mata. Dan hari ini, bom waktuku meledak menjadi ledakan air mata tanpa bisa
berkata apa-apa. Karena dari setiap tetes air mataku yang mengalir, semua kata-kata itu
meleleh dan melebur. Menghilangkan rasa sesak atas semua perasaan yang ku pendam
selama ini.
Bahkan hanya dengan setetes air mata yang di bumbui perasaaan cinta, bisa membuat
kehidupanku berubah. Sekarang aku tersadar, hidup itu memang harus dinikmati. Dengan itu,
kita tidak akan menyesal bila suatu saat kita menemui perpisahan. Karena dalam suatu
pertemuan yang singkat, selalu ada perpisahan. Setidaknya dalam pertemuan singkat itu,
memori yang terekam akan selalu hadir menjadi sebuah kenangan yang terindah.

Anda mungkin juga menyukai