Anda di halaman 1dari 19

Accelerat ing t he world's research.

TEORI TENTANG RIBA


Eni Haryani

Related papers Download a PDF Pack of t he best relat ed papers 

KONSEPT UALISASI PELARANGAN RIBA SEBAGAI T RANSAKSI T ERLARANG


Jurnal Economic

Ekonomic Value Of Money


Syaeful Anwar

KONSEPT UALISASI PELARANGAN RIBA SEBAGAI T RANSAKSI T ERLARANG oleh


rozy qyah
TEORI TENTANG RIBA

OLEH : ENI HARYANI BAHRI

A. Pendahuluan

Manusia merupakan makhluk yang "rakus", mempunyai hawa nafsu yang bergejolak
dan selalu merasa kekurangan sesuai dengan watak dan karakteristiknya, tidak pernah merasa
puas, sehingga transaksi-transaksi yang halal susah didapatkan karena disebabkan
keuntungannya yang sangat minim, maka harampun jadi (riba). Ironis memang, justru yang
banyak melakukan transaksi yang berbau riba adalah dikalangan umat Muslim yang notabene
mengetahui aturan-aturan (the rules of syariah) syari'at Islam. Sarjana barat pernah
berkomentar "I found muslim in Indonesian, but I didn't find Islam in Indonesian, I didn't find
muslim in West Country, but I found Islam in Westcountry". Maksudnya adalah bahwa ia
menemukan orang Islam di Indonesia, tetapi perbuatan orang Islam tidak Islami, sebaliknya
ia tidak menemukan orang Islam di negara barat tetapi perbuatan atau pekerjaannya
mencerminkan kebudayaan Muslim. Kalau demikian kondisi umat Islam, maka celakalah
"mereka". Karena seorang muslim sejati hanya akan "melongok" dunia perekonomian
melalui kaca mata Islam yang selalu mengumandangkan "ini halal dan ini haram, ini yang
diridhoi Allah dan yang ini dimurkai oleh-Nya"
Riba merupakan suatu tambahan lebih dari modal asal, biasanya transaksi riba sering
dijumpai dalam transaksi hutang piutang dimana kreditor meminta tambahan dari modal asal
kepada debitor. tidak dapat dinafikkan bahwa dalam jual beli juga sering terjadi praktek riba,
seperti menukar barang yang tidak sejenis, melebihkan atau mengurangkan timbangan atau
dalam takaran.
Dalam makalah ini penulis akan memaparkan topik-topik yang berhubungan dengan
riba yakni : konsep riba dan macam-macam riba, landasan hukum pelarangan riba, hikmah
pelarangan riba, riba dan bunga bank dalam hukum islam, perbedaan sistem bunga bank
konvensional dan sistem bagi hasil Bank Syariah.

1
B. Konsep Riba dan Macam-macam Riba
1. Pengertian Riba

Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan
(azziyadah)1, berkembang (an-numuw), membesar (al-'uluw)2 dan meningkat (al-irtifa').
Sehubungan dengan arti riba dari segi bahasa tersebut, ada ungkapan orang Arab kuno
menyatakan sebagai berikut; arba fulan 'ala fulan idza azada 'alaihi (seorang melakukan
riba terhadap orang lain jika di dalamnya terdapat unsur tambahan atau disebut liyarbu
ma a'thaythum min syai'in lita'khuzu aktsara minhu (mengambil dari sesuatu yang kamu
berikan dengan cara berlebih dari apa yang diberikan).3

Menurut terminologi ilmu fiqh, riba merupakan tambahan khusus yang dimiliki
salah satu pihak yang terlibat tanpa adanya imbalan tertentu. Riba sering juga
diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai "Usury" dengan arti tambahan uang atas
modal yang diperoleh dengan cara yang dilarang oleh syara', baik dengan jumlah
tambahan yang sedikit atau pun dengan jumlah tambahan banyak.

Berbicara riba identik dengan bunga bank atau rente, sering kita dengar di tengah-
tengah masyarakat bahwa rente disamakan dengan riba. Pendapat itu disebabkan rente
dan riba merupakan "bunga" uang, karena mempunyai arti yang sama yaitu sama-sama
bunga, maka hukumnya sama yaitu haram.

Dalam prakteknya, rente merupakan keuntungan yang diperoleh pihak bank atas
jasanya yang telah meminjamkan uang kepada debitur dengan dalih untuk usaha
produktif, sehingga dengan uang pinjaman tersebut usahanya menjadi maju dan lancar,
dan keuntungan yang diperoleh semakin besar. Tetapi dalam akad kedua belah pihak baik
kreditor (bank) maupun debitor (nasabah) sama-sama sepakat atas keuntungan yang akan
diperoleh pihak bank.

Di manakah letak perbedaan antara riba dengan bunga? Untuk menjawab


pertanyaan ini, diperlukan definisi dari bunga. Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan

1
Abu Sura'i Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Islam, alih bahasa M. Thalib, (Surabaya: al-Ikhlas, 1993),
hal. 125. menurutnya riba adalah tambahan yang berasal dari usaha haram yang merugikan salah satu pihak
dalam suatu transaksi.
2
Menurut Syaikh Abul A'la al-Maududi An-Numuw adalah pertumbuhan dan Al-'Uluw adalah tinggi,
lihat, Bicara Tentang Bunga Bank dan Riba, hal. 110
3
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, cet. I,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan ACAdeMIA, 1996), hal. 37

2
dari kata interest yang berarti tanggungan pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan
dengan persentase dari uang yang dipinjamkan.4 Jadi uraian di atas, dapat disimpulkan
bahwa riba "usury" dan bunga "interest" pada hakekatnya sama, keduanya sama-sama
memiliki arti tambahan uang. Menurut Tim Pengembangan Syari'ah Institut Bankir
Indonesia, bahwa pengertian dari interest atau bunga adalah uang yang dikenakan atar
dibayar atas penggunaan uang, sedangkan konsep usury adalah pekerjaan meminjamkan
uang dengan mengenakan bunga yang tinggi.5

Abd al-Rahman al-Jaziri mengatakan para ulama' sependapat bahwa tambahan atas
sejumlah pinjaman ketika pinjaman itu dibayar dalam tenggang waktu tertentu 'iwadh
(imbalan) adalaha riba.6 Yang dimaksud dengan tambahan adalah tambahan kuantitas
dalam penjualan asset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kuantitas (tafadhul),
yaitu penjualan barang-barang riba fadhal: emas, perak, gandum, serta segala macam
komoditi yang disetarakan dengan komoditi tersebut. Riba (usury) erat kaitannya dengan
dunia perbankan konvensional, di mana dalam perbankan konvensional banyak ditemui
transaksi-transaksi yang memakai konsep bunga, berbeda dengan perbankan yang
berbasis syari'ah yang memakai prinsip bagi hasil.

2. Macam-Macam Riba

Pada dasarnya riba terbagi menjadi dua macam yaitu riba akibat hutang piutang
yang telah dijelaskan tentang keharamannya dalam al-Qur'an, dan riba jual beli yang juga
telah dijelaskan boleh dan tidaknya dalam bertransaksi dalam as-Sunnah.

a. Riba akibat hutang-piutang (Riba Ad-duyun)


Riba Qard ( ‫) ق رق ض رب رر‬, yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang
disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtarid), dan Riba Jahiliyah ( ‫) ل يهر ق ر رب ر‬,
yaitu hutang yangdibayar dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar
hutangnya pada waktu yang ditetapkan.7

Muhammad, Manajemen Bank Syari'ah, edisi revisi, (Yogyakarta: Unit Penerbit dan Peretakan (UPP)
4
AMP YKPN, 2002), hal. 35.
5
Tim Pengembangan Syari'ah Institut Bankir Indonesia, Konsep Produk dan Implementasi Operasional
bank Syari'ah, hal. 36
6
Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-arba'ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), juz.
II, hal. 245.
7
Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, cet. I, (Jakarta:
Tazkia Institute, 1999), hal. 77-78

3
Contohnya :8

Fulan meminjam uang dengan Fulana sebesar Rp 500.000 dengan tempo dua
bulan. Saat waktunya tiba Fulana meminta uang yang dipinjam, akan tetapi Fulan berkata
bahwa ia belum dapat membayar uang yang dipinjam dan meminta waktu tambahan satu
bulan. Fulana menyetujui dengan memberikan syarat bahwa uang yang harus dibayar
menjadi Rp 560.000. Penambahan jumlah tersebut termasuk kategori Riba Jahiliyah.

Fulan ingin meminjam uang kepada Fulana sebesar Rp 500.000. Fulana


menyetujui namun dengan syarat ketika Fulan hendak mengembalikan uang, maka uang
yang harus dikembalikan Fulan adalah sebesar Rp 550.000. Kelebihan Rp 50.000 tersebut
termasuk kedalam Riba Qardh.

b. Riba akibat jual-beli (Riba Al-Buyu’)


Riba Fadl ( ‫)رب ر رل ضرق‬, yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau
takaran yang berbeda dan barang yang dipertukarkan termasuk dalam jenis barang
ribawi, dalam hadits Ubadah bin Shamit dijelaskan bahwa seseorang menukar barang
berupa emas harus dengan emas pula yang sepadan dan beratnya juga harus sama,
perak dengan perak dan harus diserahterimakan secara langsung.Dan Riba Nasi'ah (
‫) ق ر س ر رب ر‬, yaitu penangguhan atas penyerahan atau penerimaan jenis barang
ribawi yang diperlukan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi'ah muncul dan
terjadi karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan
saat ini dan yang diserahkan kemudian.9
Contohnya :
Fulana membeli dan mengambil emas seberat 3 gram pada bulan ini, akan tetapi
uangnya diserahkan pada bulan depan. Hal ini termasuk kedalam riba Nasi’ah, hal ini
dikarenakan harga emas pada bulan ini belum tentu dan pada umumnya akan berubah di
bulan depan.
Seseorang menukarkan 10 gram emas (jenis 916) dengan 12 gram emas (jenis 750).
Pertukaran seperti ini tidak diperbolehkan, walaupun jenis 750 lebih berat dibandingkan
jenis 916. Hal ini dikarenakan sebaiknya dalam pertukaran keduanya memiliki berat
timbangan dan jenis yang sama. Hal ini termasuk dalam riba Fadl.

8
Fosei, Islamwiki.blogspot.comhttp://www.syariahbank.com/pengertian-riba-dalam-islam-dan-
macam-macam-riba/ di akses 14 Okt 2016
9
Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, cet. I, (Jakarta:
Tazkia Institute, 1999), hal. 77-78

4
C. Landasan Hukum Pelarangan Riba
1. Sejarah Pelarangan Riba Sebelum Islam

Riba tidak hanya dikenal dalam Islam saja, tetapi dalam agama lain (non-Islam)
riba telah kenal dan juga pelarangan atas perbuatan pengambil riba, bahkan pelarangan
riba telah ada sejak sebelum Islam datang menjadi agama.

Beberapa hal berikut sangat mungkin menjadi faktor pendukung arus


perekembangan riba (bunga uang) :10

a. Jiwa materialisme pada awal tumbuhnya revolusi industri di Eropa.


b. Pandangan sebagian kalangan ekonom bahwa bunga yang sedikit itu adalah biaya
administrasi
c. Pandangan para ekonom bahwa sedikit bunga tidak bertentangan dengan moral dan
bukan merupakan eksploitasi atas sesama manusia
d. Pengaruh Yahudi yang menguasai lembaga keuangan saat itu.

Riba tidak hanya dihadapi oleh kaum muslim. Agama samawi yang datang
sebelum Islam (Yahudi dan Nasrani) pun telah melarangnya. Para filosuf Yunani juga
menyatakan penolakan terhadap praktek yang merusak ini. Mereka bahkan menganggap
bunga sebagai suatu yang hina dan keji.11

1.1 Masa Yunani Kuno

Bangsa Yunani kuno mempunyai peradaban tinggi, peminjaman uang dengan


memungut bunga dilarang keras. Ini tergambar pada beberapa pernyataan Aristoteles
yang sangat membenci pembungaan uang:12

 Bunga uang tidaklah adil


 Uang seperti ayam betina yang tidak bertelur
 Meminjamkan uang dengan bunga adalah sesuatu yang rendah derajatnya

10
Lalu Fahmi Zainul Arifin, Konseptualisasi Pelarangan Riba Sebagai Transaksi Terlarang, ( STAI
Darul Ulum Banyuwangi : Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3 no. 1, 2013) hal. 40
11
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah; Dari Teori ke Praktek, cet. 6, (Jakarta : Gema Insani
Press, 2003), 47-48
12
Buku Pintar BMT Unit Simpan Pinjam dan Grosir, Pinbuk Jawa Timur, (Surabaya, Jl. Dukuh
Kupang 122-124), hal, 11

5
1.2 Masa Romawi
Kerajaan romawi melarang setiap jenis pemungutan bunga atas uang dengan
mengadakan peraturan-peraturan keras guna membatasi besarnya suku bunga
melalui undang-undang. Kerajaan Romawi adalah kerajaan pertama yang
menerapkan peraturan guna melindungi para peminjam.13

1.3 Menurut Agama Yahudi


Yahudi juga mengharamkan seperti termaktub dalam kitab sucinya, menurut
kitab suci agama Yahudi yang disebutkan dalam Perjanjian Lama kitab keluaran
ayat 25 pasal 22: "Bila kamu menghutangi seseorang diantara warga bangsamu
uang, maka janganlah kamu berlaku laksana seorang pemberi hutang, jangan kamu
meminta keuntungan padanya untuk pemilik uang".14 Dan pada pasal 36 disebutkan:
" Supaya ia dapat hidup di antaramu janganlah engkau mengambil bunga uang atau
riba dari padanya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu
dapat hidup diantaramu". Namun orang Yahudi berpendapat bahwa riba itu
hanyalah terlarang kalau dilakukan dikalangan sesama Yahudi, dan tidak dilarang
dilakukan terhadap kaum yang bukan Yahudi. Mereka mengharamkan riba sesama
mereka tetapi menghalalkannya kalu pada pihak yang lain. Dan inilah yang
menyebabkan bangsa Yahudi terkenal memakan riba dari pihak selain kaumnya.
Berkaitan dengan kedhaliman kaum Yahudi inilah, Allah dalam al-Qur'an surat an-
Nisa' ayat 160-161 tegas-tegas mengatakan bahwa perbuatan kaum Yahudi ini
adalah riba yaitu memakan harta orang lain dengan jalan Bathil, dan Allah akan
menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih.

1.4 Menurut Agama Nasrani


Berbeda dengan orang Yahudi, umat Nasrani memandang riba haram
dilakukan bagi semua orang tidak terkecuali siapa orang tersebut dan dari agama
apapun, baik dari kalangan Nasrani sendiri ataupun non-Nasrani. Menurut mereka
(tokoh-tokoh Nasrani) dalam perjanjian lama kitab Deuntoronomy pasal 23 pasal 19
disebutkan: "Janganlah engkau membungakan uang terhadap saudaramu baik uang

13
Ibid., hal. 12
14
Karnaen Purwaatmaja, "Apakah Bunga sama dengan Riba"?, kertas kerja Seminar Ekonomi Islam,
(Jakarta: LPPBS, 1997) hal.37

6
maupun bahan makanan atau apapun yang dapat dibungakan".15 Kemudian dalam
perjanjian baru di dalam Injil Lukas ayat 34 disebutkan: "Jika kamu menghutangi
kepada orang yang engkau harapkan imbalannya, maka di mana sebenarnya
kehormatan kamu. Tetapi berbuatlah kebaikan dan berikanlah pinjaman dengan
tidak mengharapkan kembalinya, karena pahala kamu sangat banyak".16
Pengambilan bunga uang dilarang gereja sampai pada abad ke-13 M. pada
akhir abad ke-13 timbul beberapa faktor yang menghancurkan pengaruh gereja yang
dianggap masih sangat konservatif dan bertambah meluasnya pengaruh mazhab
baru, maka piminjaman dengan dipungut bunga mulai diterima msyarakat. Para
pedagang berusaha menghilangkan pengaruh gereja untuk menjastifikasi beberapa
keuntungan yang dilarang oleh gereja. Ada beberapa tokoh gereja yang beranggapan
bahwa keuntungan yang diberikan sebagai imbalan administrasi dan kelangsungan
organisasi dibenarkan karena bukan keuntungan dari hutang. Tetapi sikap
pengharaman riba secara mutlak dalam agama Nasrani dengan gigih ditegaskan oleh
Martin Luther, tokoh gerakan Protestan. Ia mengatakan keuntungan semacam itu
baik sedikit atau banyak, jika harganya lebih mahal dari harga tunai tetap riba.17

2. Tahapan Larangan Riba Dalam Al-quran


Prinsip dasar yang dianggap baik tentang mu’a>malah di dalam Islam adalah
memperbolehkan untuk melakukan segala sesuatu selama tidak ada dalil yang
melarangnya. Oleh karena itu, segala bentuk transaksi terlarang di dalam hukum Islam
senantiasa dijustifikasi oleh dalil-dalil yang syariah, terlepas apakah setelah itu terjadi
proses ijtihad atau tidak.
Riba adalah kegiatan yang jelas-jelas terlarang berdasarkan dalil-dalil yang jelas
pula. Sebagaimana larangan terhadap minuman keras (khamr) bersifat bertahap (tadri’j),
Al-quran juga melarang riba secara bertahap pula.18 Metode ini ditempuh agar tidak
mengagetkan mereka yang telah biasa melakukan perbuatan riba dengan maksud
membimbing manusia secara mudah dan lemah lembut untuk mengalihkan kebiasaan
mereka yang telah mengakar, mendarah daging yang melekat dalam kehidupan

15
Buku Pintar BMT Unit Simpan Pinjam dan Grosir, Pinbuk Jawa Timur, (Surabaya, Jl. Dukuh
Kupang 122-124), hal, 11
16
Karnaen Purwaatmaja, "Apakah Bunga sama dengan Riba"?, kertas kerja Seminar Ekonomi Islam,
(Jakarta: LPPBS, 1997) hal.39
17
Muhammad, Manajemen Bank Syari'ah, edisi revisi, (Yogyakarta: Unit Penerbit dan Peretakan (UPP)
AMP YKPN, 2002), hal. 39
18
Wasilul Chair, Riba Dalam Persfektif Islam,(Jurnal Ekonomi Islam) hal.12-13

7
perekonomian jahiliyah. Ayat yang diturunkan pertama dilakukan secara temporer yang
pada akhirnya ditetapkan secara permanen dan tuntas melalui empat tahapan.
2.1 Tahap Pertama

Surat Ar Rum ayat : 39





Dalam surat Ar-Rum ayat 39 Allah menyatakan secara nasehat bahwa Allah tidak
menyenangi orang yang melakukan riba. Dan untuk mendapatkan hidayah Allah ialah
dengan menjauhkan riba. Di sini Allah menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang
mereka anggap untuk menolong manusia merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Berbeda dengan harta yang dikeluarkan untuk zakat, Allah akan memberikan
barakah-Nya dan melipat gandakan pahala-Nya. Pada ayat ini tidaklah menyatakan
larangan dan belum mengharamkannya.

2.2 Tahap Kedua


Surat Annisa ayat : 160-161





Pada tahap kedua, Allah menurunkan surat An-Nisa' ayat 160-161. riba digambarkan
sebagai sesuatu pekerjaan yang dhalim dan batil. Dalam ayat ini Allah menceritakan
balasan siksa bagi kaum Yahudi yang melakukannya. Ayat ini juga menggambarkan
Allah lebih tegas lagi tentang riba melalui riwayat orang Yahudi walaupun tidak terus
terang menyatakan larangan bagi orang Islam. Tetapi ayat ini telah membangkitkan
perhatian dan kesiapan untuk menerima pelarangan riba. Ayat ini menegaskan bahwa
pelarangan riba sudah pernah terdapat dalam agama Yahudi. Ini memberikan isyarat

8
bahwa akan turun ayat berikutnya yang akan menyatakan pengharaman riba bagi kaum
Muslim.

2.3 Tahap Ketiga


Surah Ali Imran ayat : 130



Dalam surat Ali Imran ayat 130, Allah tidak mengharamkan riba secara tuntas, tetapi
melarang dalam bentuk lipat ganda. Hal ini menggambarkan kebijaksanaan Allah yang
melarang sesuatu yang telah mendarah daging, mengakar pada masyarakat sejak zaman
jahiliyah dahulu, sedikit demi sedikit, sehingga perasaan mereka yang telah biasa
melakukan riba siap menerimanya.

2.4 Tahap Keempat


Surah Albaqarah ayat : 275-279













Turun surat al-Baqarah ayat 275-279 yang isinya tentang pelarangan riba secara
tegas, jelas, pasti, tuntas, dan mutlak mengharamannya dalam berbagai bentuknya, dan
tidak dibedakan besar kecilnya. Bagi yang melakukan riba telah melakukan

9
kriminalisasi. Dalam ayat tersebut jika ditemukan melakukan kriminalisasi, maka akan
diperangi oleh Allah SWT dan Rasuln-Nya.

3. Fatwa Majelis Ulama Tentang Riba

Fatwa Keputusan Fatwa Majlis Ulama Indonedia (MUI) nomor 1 tahun 2004
tanggal 24 Januari 2004 tentang bunga (interest / fa’idah) menetapkan bahwa :19

a. Pengertian bunga (interest / fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi
pinjaman uang (al qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa
mempertimbangkan pemanfaatan / hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu,
diperhitungkan secara pasti dimuka, dan pada umumnya berdasarkan persentase.
b. Pengertian riba adalah tambahan (ziayadah) tanpa imbalan yang terjadi karena
penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumbnya, dan inilah yang
disebut riba nasi’ah.
c. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada
zaman Rasulullah SAW. Ya ini riba nasiah. Dengan demikian praktek pembungaan
uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba hukumnya haram.
d. Praktek pembungaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh bank,
asuransi, pasar modal, pegadaian, koperasi dan lembaga keuangan lainnya, maupun
dilakukan oleh individu.
e. Bermu’amalah dengan lembaga keuangan konvensional, untuk wilayah yang sudah
ada kantor/jaringan lembaga keuangan syariah dan mudah dijangkau, tidak
dibolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga. Untuk
wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan syariah, diperbolehkan
melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip
darurat/hajat.
4. Fatwa-fatwa Lain Mengenai Riba
Hampir semua ormas Islam di Indonesia telah membahas riba, utamnya Nahdhatul
Ulama dan Muhammadiyah. 42 Majelis Tarjih Muhammadiyah telah memutuskan
beberapa hal mengenai ekonomi/keuangan di luar zakat, yang meliputi masalah perbankan
(1968 dan 1972), masalah keuangan secara umum (1976) dan koperasi simpan pinjam
(1989). Majelis Tarjih Sidoardo (1968) memutuskan sebagai berikut :
a. Riba hukumnya haram berdasarkan nass yang sarih dari al-Qur’an dan as-Sunnah

19
Lihat Fatwa majelis Ulama Indonesia No. 1 Tahun 2004 di www.mui.or.id

10
b. Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba hukumnya halal
c. Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya termasuk
musytabihat.
d. Menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya sistem
perekonomian, khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
Lajnah Bahsul Masa’il NU membahas persoalan riba dalam beberapa kali sidang.
Kesimpulannya adalah terdapat tiga pendapat ulama mengenai riba :
a. Haram, sebab termasuk hutang yang dipungut rente.
b. Halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sedangkan adat yang berlaku tidak
dapat begitu saja dijadikan syarat.
c. Shubhat, karena adanya perselisihan ahli hukum tentang riba.

Meskipun demikian, Lajnah Bahsul Masa’il tetap mengharamkan bunga bank


dengan alasan kehati-hatian. Selanjutnya Lajnah memandang perlu untuk mencari jalan
keluar, yaitu suatu sistem perbankan yang sesuai dengan hukum Islam, yaitu bank tanpa
bunga dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Perlunya memperbaiki sistem perbankan yang telah ada.


b. Munas mengamanatkan kepada PB NU untuk membentuk suatu tim pengawas dalam
bidang syari’ah sehingga dapat menjamin bahwa operasional keseluruhan bank NU
tersebut sesuai dengan kaidah mu’amalah Islam.
c. Para mutasyawiri>n setuju dan mendukung berdirinya bank Islam NU dengan sistem
tanpa bunga.

Sedangkan Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam sidang yang kedua di


Karachi Pakistan menyepakati dua hal utama yaitu : pertama, praktik bank dengan sistem
bunga adalah tidak sesuai dengan syari’ah Islam. Kedua, perlu segera didirikan bank-bank
alternatif yang beroperasi dengan prinsip-prinsip syari’ah.

D. Hikmah Pelarangan Riba

Sebab dilarangnya riba ialah dikarenakan riba menimbulkan kemudaratan yang


besar bagi umat manusia.kemudaratan tersebut antara lain:20

20
Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar baru Algesindo 2007) hal. 291

11
1. Riba menyebabkan permusuhan antara individu yang satu dengan yang lain, dan
menghilangkan jiwa tolong menolong diantara mereka.
2. Riba mendorong terbentuknya kelas elite, yang tanpa kerja keras mereka mendapat
harta, seperti benalu yang setiap saat mengisap orang lain.
3. Riba merupakan wasilah atau perantara terjadinya penjajah di bidang ekonomi,
dimana orang-orang kaya mengisap dan menindas orang-orang miskin.
4. Islam mendorong umatnya agar mau memberikan pinjaman kepada orang lain yang
membutuhkan dengan modal “qardhul hasan”atau pinjaman tanpa bunga

Adapun hikmah lain yang bisa dirincikan adalah :

1. Allah SWT tidak mengharamkan sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi manusia,
tetapi hanya mengharamkan apa yang sekiranya dapat membawa kerusakan baik
individu maupun masyarakat.
2. Cara riba merupakan jalan usaha yang tidak sehat, karena keuntungan yang di peroleh
si pemilik dana bukan merupakan hasil pekerjaan atau jerih payahnya.
Keuntungannya diperoleh dengan cara memeras tenaga orang lain yang pada dasarnya
lebih lemah dari padanya.
3. Riba dapat menyebabkan krisis akhlak dan rohani. Orang yang meribakan uang atau
barang akan kehilangan rasa sosialnya, egois.
4. Riba dapat menimbulkan kemalasan bekerja, hidup dari mengambil harta orang lain
yang lemah. Cukup duduk di atas meja, orang lain yang memeras keringatnya.
5. Riba dapat mengakibatkan kehancuran, banyak orang-orang yang kehilangan harta
benda dan akhirnya menjadi fakir miskin

E. Riba dan Bunga Bank Dalam Hukum Islam


Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, riba telah dikenal pada saat turunnya ayat-
ayat yang menyatakan larangan terhadap transaksi yang mengandung riba sesuai dengan
masa dan periode turunnya ayat tersebut sampai ada ayat yang melarang dengan tegas
tentang riba. Bahkan istilah dan persepsi tentang riba begitu mengental dan melekat di
dunia Islam. Oleh karena itu, terkesan seolah-olah doktrin riba adalah khas agama Islam.
Akan tetapi menurut seorang Muslim Amerika, Cyril Glasse, dalam buku
ensiklopedinya, tidak diberlakukan di negeri Islam modern manapun, sementara itu,

12
kebanyakan orang tidak mengetahui bahwa di agama Kristen pun, selama satu melenium,
riba adalah barang terlarang dalam pandangan theolog, cendikiawan maupun menurut
undang-undang yang ada.
Kegiatan transaksi yang mengandung riba merupakan kegiatan transaksi yang
secara tegas diharamkan bahkan pengharamannya telah menjadi aksiomadalam ajaran
Islam. Riba merupakan transaksi yang mengandung unsur eksploitasi terhadap para
peminjam (debitor) bahkan merusak akhlak dan moralitas manusia. Pengharaman ini
tidak hanya berlaku pada agama Islam saja, akan tetapi dalam agama-agama samawi juga
melarangnya bahkan mengutuk pelaku riba. Plato (427-347 SM) misalnya termasuk
orang yang mengutuk para pelaku pelipat gandaan uang.21
Sedikit atau banyaknya riba, memang masih menjadi perdebatan, hal ini
dikerenakan bahwa riba Jahiliyah yang dengan jelas dilarangnya riba adalah yang
berlipat ganda (ad'afan mudha'afah).
Sedangkan bunga, dalam Time Value of Money dan Cost of Capital, Konsep
diskonto sangat penting dalam analisis teori modal dan investasi. Secara praktis
digunakan dalam evaluasi proyek ataupun keputusan investasi. Misalnya saja model Net
Present Value (NPV), cost benefit analysis, internal required rate of return (IRR),
Deviden Model dalam asset evaluation dan seterusnya. Diskonto inilah yang disebut
dengan time value of money.
Konsep time value of money atau yang disebut oleh ilmu Ekonomi sebagai
positive time preference menjelaskan bahwa nilai komoditi pada saat ini lebih tinggi
dibanding nilainya di masa depan. Konsep yang dikembangkan oleh Von Bhom-Bawerk
dalam capital and interest dan positive theory of capital memang menyebutkan bahwa
positive time preference merupakan pola ekonomi yang normal, sistematis dan rasional.
Diskonto dalam positive time preference ini biasanya didasarkan pada_atau
setidaknya_berhubungan intim dengan tingkat bunga (interest rate).22Namun sejak
terjadinya konvergensi pendapat dalam fikih bahwa bunga diharamkan di dalam Islam
karena dianggap salah satu bentuk riba, maka muncullah berbagai pertanyaan tentang
penggunaan diskonto dalam evaluasi investasi ataupun sebagai cost of capital.
Ada penyikapan yang relatif sama terhadap positive time preference, yaitu bahwa
teori tersebut tidak bisa diasumsi begitu saja diterima secara menyeluruh di kalangan
21
Muhammad dan R. Lukman Fauroni, Visi al-Qur'an tentang Etika dan Bisnis, (Jakarta: Salemba
Diniyah, 2002), hal. 152
22
Mohamad Hidayat, MBA, An Introduction to Shariah Economic; Pengantar Ekonomi Shariah, (Jakarta
Timur : Zikrul Hakim (Anggota IKAPI, 2010), hal. 75

13
ekonomi. Jika disebutkan oleh Von Bhom-Bawerk bahwa positive time preference
merupakan pola yang wajar dan normal berdasarkan background historis, maka
pertimbangan rasional justru justru membuka peluang kemungkinan terjadinya negative
time preference atau zero time preference (break event point) karena lekatnya unsur
ketiakpastian (uncertainty) di masa depan.
Dalam hal pengharaman bunga bank, dapat dicermati pada Muktamar II Lembaga
Riset Islam Al-Azhar yang diselenggarakan di Kairo pada bulan Mei tahun 1965 yang
dihadiri utusan dari 35 negara Islam telah menyepakati beberapa hal, diantaranya adalah:
‚Bunga (interest) bank dari semua jenis pinjaman, hukumnya riba dan
23
diharamkan. Bebeberapa fatwa yang mendukung haramnya bunga bank antara lain:
a. Rabithah Al-Alam Al-Islami: Bunga bank yang berlaku dalam perbankan
konvensional adalah riba yang diharamkan (Keputusan No. 6 Sidang ke-9, Makkah
12-19 Rajab 1406 H).
b. Majma’ Fiqh Islami, OKI (organisasi konfrensi Islam) menetapkan: Bahwa setiap
tambahan (interest) atas hutang yang telah jatuh tempo dan orang yang berhutang
tidak mampu membayarnya, dan sebagai imbalan atas penundaannya itu, demikian
pula tambahan (interest) atas pinjaman yang ditetapkan diawal perjanjian, maka
kedua bentuk ini adalah riba yang diharamkan dalam syariah (Keputusan No. 10
Majlis Majma’ Fiqh Islami, Konfrensi OKI II, 22-28 Desember 1985).

F. Perbedaan Sistem Bunga Bank Konvensional dan Sistem Bagi Hasil Bank Syariah

Sistem perbankan syariah berbeda dengan sistem perbankan konvensional karena


sistem keuangan dan perbankan syariah adalah merupakan subsistem dari suatu sistem
ekonomi Islam yang cakupannya lebih luas. Oleh karena itu, perbankan syariah tidak
hanya dituntut untuk menghasilkan profit secara komersial, namun dituntut untuk secara
sungguh-sungguh menampilkan realisasi nilai-nilai syariah.

Di dalam perbankan konvensional terdapat kegiatan-kegiatan yang dilarang oleh


syariah Islam, seperti menerima dan membayar bunga (riba), membiayai kegiatan
produksi dan perdagangan barang-barang yang diharamkan seperti minuman keras
(haram), kegiatan yang sangat dekat dengan gambling (maisir) untuk transaksi-transaksi

23
Su arto )ulkifli, Pa dua Praktis Tra saksi Perba ka Syari’ah. Jakarta, )ikrul Haki , 00 , .hal. 5

14
tertentu dalam foreign exchange dealing, serta highly and intended speculative
transaction (gharar) dalam investment banking.

Tujuan dari pendirian bank-bank Islam ini umumnya adalah untuk


mempromosikan dan mengembangkan aplikasi dari prinsip-prinsip Islam, syariah, dan
tradisinya ke dalam transaksi keuangan dan perbankan serta bisnis lain yang terkait agar
umat terhindar dari hal-hal tersebut, meskipun sesungguhnya Islam bukanlah satu-
satunya agama yang melarang pembayaran bunga.

Prinsip utama bank syariah adalah :


a. larangan riba (bunga) dalam berbagai bentuk transaksi;
b. menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada memperoleh
keuntungan yang sah menurut syariah; dan
c. menumbuhkembangkan zakat.

Sepanjang praktek perbankan konvensional tidak bertentangan dengan prinsip-


prinsip Islam, maka bank-bank syariah telah mengadopsi sistem dan prosedur perbankan
yang ada. Namun, bila terjadi pertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, maka bank-
bank syariah merencanakan dan menerapkan prosedur mereka sendiri guna menyesuaikan
aktivitas perbankan mereka dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Untuk itu maka Dewan
Syariah berfungsi memberikan masukan kepada perbankan syariah guna memastikan
bahwa bank syariah tidak terlibat dalam unsur-unsur yang tidak disetujui oleh Islam.

Berdasarkan prinsip utama itu, maka secara operasional, terdapat perbedaan-


perbedaan yang substantif antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional.
Dalam investasi, usaha yang dilakukan mengandung risiko, dan karenanya mengandung
unsur ketidakpastian. Sebaliknya, pembungaan uang adalah aktivitas yang tidak memiliki
risiko karena adanya persentase suku bunga tertentu yang ditetapkan berdasarkan
besarnya modal.

Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil

Bunga Bagi Hasil


a. Penentuan bunga dibuat a. Penentuan besarnya nisbah bagi hasil
pada waktu akad dengan dibuat pada waktu akad dengan
asumsi harus selalu berpedoman pada kemungkinan untung-

15
untung. rugi.
b. Besarnya bunga adalah b. Besarnya bagi hasil adalah berdasarkan
suatu persen-tase tertentu nisbah terhadap besar-nya keuntungan
terhadap besarnya uang yang diperoleh.
yang dipinjamkan. c. Besarnya bagi hasil tergantung pada
c. Besarnya bunga tetap keuntungan proyek/usaha yang
seperti yang dijanjikan dijalankan. Bila usaha merugi maka
tanpa mempertimbang-kan kerugian akan ditanggung oleh pemilik
apakah proyek/usaha yang dana, kecuali kerugian karena kelalaian,
dijalankan oleh nasabah / salah urus, atau pelanggaran oleh
mudharib untung atau rugi. mudharib.
d. Eksistensi bunga d. Tidak ada yang meragukan keabsah-an
diragukan (kalau tidak bagi-hasil.
dikecam) oleh semua
agama termasuk Islam.
Sumber : Muhammad Syafii Antonio (2001), Bank Syariah : Dari Teori ke Praktek
(Gema Insani Press bekerja sama dengan Yayasan Tazkia Cendekia).

16
G. Kesimpulan

Dari uarain makalah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa riba merupakan kegiatan
eksploitasi dan tidak memakai konsep etika atau moralitas. Allah mengharamkan transaksi
yang mengandung unsur ribawi, hal ini disebabkan mendholimi orang lain dan adanya unsur
ketidakadilan (unjustice). Para ulama sepakat dan menyatakan dengan tegas tentang
pelarangan riba, dalam hal ini mengacu pada Kitabullah dan Sunnah Rasul.

Sejak pra-Islam riba telah dikenal bahkan sering dilakukan dalam kegiatan
perekonomian sehari-hari. Pada masa Nabi Muhammad saw riba mulai dilarang dengan
turunnya ayat-ayat al-Qur'an yang menyatakan larangan akan riba, ayat tersebut turun sesuai
dengan masa dan periode turunnya sayat sampai ada ayat yang melarangnya secara tegas.
Tetapi tidak hanya Islam saja yang melarang pengambilan riba, tetapi aga,a-agama samawi
juga melarang dan mengutuk pra pelaku riba

Secara garis besar riba riba ada dua yaitu: riba akibat hutang piutang dan riba akibat
jual beli.

Islam mengharamkan riba selain telah tercantum secara tegas dalam al-Qur'an surat
al-Baqarah ayat 278-279 yang merupakan ayat terakhir tentang pengharaman riba, juga
mengandung unsur eksploitasi. Dalam surat al-baqarah disebutkan tidak boleh menganiaya
dan tidak (pula) dianiaya, maksudnya adalah tidak boleh melipat gandakan (ad'afan
mudhaafan) uang yang telah dihutangkan, juga karena dalam kegiatannya cenderung
merugikan orang lain. Pengharaman riba juga berdasarkan pada Fatwa MUI No. 1 Tahun
2004 tentang Bunga. Secara prinsip dasar berbeda sistem bunga bank dan sistem bagi hasil.
Perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah selain itu juga harus mengacu kepada
tujuan awal ekonomi islam yakni mempertimbangkan aspek maqashid syariah.

17
DAFTAR PUSTAKA

Abu Sura'i Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Islam, alih bahasa M. Thalib, Surabaya:
al-Ikhlas, 1993
Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-arba'ah, Beirut: Dar al-
Fikr, 1972
Fosei, Islamwiki.blogspot.comhttp://www.syariahbank.com/pengertian-riba-dalam-
islam-dan-macam-macam-riba/ di akses 14 Okt 2016
Karnaen Purwaatmaja, "Apakah Bunga sama dengan Riba"?, kertas kerja Seminar
Ekonomi Islam, Jakarta: LPPBS. 1997
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad
Abduh, cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan ACAdeMIA. 1996
Lalu Fahmi Zainul Arifin, Konseptualisasi Pelarangan Riba Sebagai Transaksi
Terlarang, ( STAI Darul Ulum Banyuwangi : Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3 No.
1, 2013)
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah; Dari Teori ke Praktek, cet. 6, Jakarta :
Gema Insani Press. 2003
Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, cet. I,
Jakarta: Tazkia Institute, 1999
Muhammad, Manajemen Bank Syari'ah, edisi revisi, Yogyakarta: Unit Penerbit dan
Peretakan (UPP) AMP YKPN. 2002
Muhammad dan R. Lukman Fauroni, Visi al-Qur'an tentang Etika dan Bisnis, Jakarta:
Salemba Diniyah, 2002
Mohamad Hidayat, MBA, An Introduction to Shariah Economic; Pengantar Ekonomi
Shariah, Jakarta Timur : Zikrul Hakim Anggota IKAPI, 2010
Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syari’ah. Jakarta, Zikrul
Hakim, 2003
Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Bandung: Sinar baru Algesindo 2007
Tim Pengembangan Syari'ah Institut Bankir Indonesia, Konsep Produk dan
Implementasi Operasional bank Syari'ah, 2013
Buku Pintar BMT Unit Simpan Pinjam dan Grosir, Pinbuk Jawa Timur, Surabaya, Jl.
Dukuh Kupang 122-124)
Wasilul Chair, Riba Dalam Persfektif Islam, Jurnal Ekonomi Islam

18

Anda mungkin juga menyukai