Al Jarh Wa Al Tadil 193e50b8
Al Jarh Wa Al Tadil 193e50b8
lllll!i:! !1 ! :i!:i! i! i!: il! l!I l l :1 :1 1 :1 :1 1:li il ! l !l il !l il 1:l !l !Il! l! 1! 1i!l1:l 1i!l !l i: 1 I1 1I:!li 11il :lil11il l i !l11i!:i1ill�i1:illl!l�illl
1 1 1
AL-JARH WA AL-TA'DIL
I. Pendahuluan hihru1 suatu hadits, maka ilmu hadits
Kedudukan hadits (al-Sunnah) se diroyah membahas secara khusus ke
bagai sumber ajaran Islam setelah Al adaan perawi. Jalan wltuk mengetahui
Qur' a.11 sudah tidak diperselisihkan lagi keadaan perawi itu adalah melalui ilnm
oleh para ulama. Berhujjah dengan "al-Jarh Wa al-Ta'dil".
hadits shahih jelas tidak dipe rdebatkan Makalah ini berusalia mengeten
lagi, bahkan demikianlal! yang se gallkan pengertian Al-Jarh wa Al
mestinya. Namun bagaimana menentu Ta'dil, dasar-dasar kebolehat1 melaku
kan kesahihan suatu hadits merupakan kan Al-Jarh wa al-Ta'dil, sebab-sebah
kajian yang tidak sederhana. Suatu ha! perawi dijarh dan dita 'di!, cara mela
yang pasti ada jarak waktu yang pan kukat1 Jarh wa al-ta'dil dan pertentan
jang antara masa kehidupan Rasulullah gan Jarh wa al-ta'dil.
dengan masa penulisan dat1 pembula1an
suatu hadits.
II. Pengertian al-Jarh wa al-Ta'dil
Untuk meneliti keshahihahru1 sua
Secara Jughawi lafad al jarh ada-
tu hadits dalam ilmu hadits dikem
lah masl!uar ctari kata kerjanya
bru1gkan dua cabru1g ilmu yakni ilmu l:>-f. - c.fi - c_.r- yru1g berarti
hadits riwayal: yang obyek kajiannya "melukai sebagian badan yang me
ialah bagaimana cara menerima, me
mw1gkinkat1 daral1 c!apat mengalir"
nyampaikan kepada orang lain dan me (Al-Abb Lowes Ma'luf, 1935: 83), se
uiindahkan atau mendewankan dalam
lanjumya dikatakan bal1wa al-jarh
suatu diwan hadits. Dalam menyam
mempunyai arti "mang-'aib-kan sese
paikan dat1 mendewru1kat1 hadits
orru1g yang oleh kart!nat1ya ia menjadi
dinukilkan dat1 dituliskan apa adanya
kurang". Di samping itu juga mem
baik mengenai ma.tan maupun sanad
punyai arti menolak seperti dalam ka
nya. Ilmu ini tidak membicarakat1 hal limat J.A\..!JI i--5'\J..I C.f. "Hakim itu
ibwal sifat parawi yang berkenaan de
menolak saksi".
ngru1 'adil, dllabith atau fasiq yru1g da
pat berpengaruh terhadap shal1ih tidak
nya suatu hadits. Perihal perawi meru Menurut istilal1, al jarh ialah:
pakat1 obyek kajian ilmu hadits di
royal1. Karena kedudukat1 perawi sa
J->. J' .i..;;J1� � i.SJ)' J-.,J JN
�IJJ �_,Li��� LC �J �
ngat penting dalam menentukan kesha-
. \.A� ))� J'
24
''Nampak suatu sifat pada peravi y ang al hadits.
merusakkan keadilannya, atau menced
erakan hafalannya, karenanya gugurlah ri
wayalnya a tau dipandang /emah" ('Ajaj
AI-Khathib, 1989: 260).
m. Dasar kebolehan melakukan
jarh dan ta'dil
Pengenian ta' di! menu rut ahli
hadits antara lain: Dalam melaknkan jarh dan ta'dil
aka.n teruugkap aib atau kepribadian
.\.°:ll� _..# 9_j ..:,.,� ,,_s Jl}I �J perawi. Oleh karena itu dipermasala
hkan apakah ha! ini tidak sejalan de
o_p-�J ngan maksud firman Allah yang ter
maktub dalam surat Al-Hujarat ayat
I 0, dan apakah ini berarti kita tidak
"Sifat rov,,i dari segi diterima dan dho-
hirnya kaadilannya • (Ajaj al-Khathib, menentang anjuran hadits Nabi yang
1989:262). menyataka.n:
Sedaugka.n meuurut Hasbi ash
Shiddieqi, (198 i :206) membcrikan de � � �..UI � �I �L,:-1..t-" �
fmisi al-ca'dil sebagai berikut: .(..U-1 ,IJJ) :i..�I �y. .U .iii I.J---
"Barang siapa yang menutupi aib
saudaranya (yang muslim) di dunia, maka Al
lah akan menutupi bagin ya di hari Oiyamah •
(H.R. Ahmad).
"Mengakui kead1lan seseorang, ke
dhabithan dan kepercanyaan �
Menanggapi pennasalahan di atas
Ajaj al-Khathib justru berpa.ndangan
Dengan demilcian meourut 'Ajaj sebaliknya clan mengatakan 'bahwa kai
aL-Khathib, ilmu iarh dan ta'dil adalah <lah-kaidah Syari'ah yang umum telah
suatu ilmu yang "membahas ha! ihwal menw1jukk:an kewajiban melestarikan
para perawi dari segi diterima atau di ilmu ini karena dengan menggunakan
tolaknya pcriwayatannya (' Ajaj al ihwal para parawi aka.n nampak jalan
K11athib, 1989:261). yang lurus untuk memelibara al-sw1-
Secara IetiiJ1 tegas Iagi Ahd al nah (al-hadits).
Rahman Ibu Hatim al-Razi sc:perti a. Firman Allah dalam surat al-Hu
yang dirulis oleh Fathurrahman jurat ayat 6:
(1968: 168) mem.leftnisikan ilmu jarh s.� J--il! �s.� WI l_pl _:r-lll�ll�
dan ta'dil, yaini suaru ilmu yang Jll\:m
hc.has tcutang jarh rum ta '<.Iii para \� All.¢. L. j \� �I I�
25
ridhoi agama clan keamanannnya Mukha/afat ialah menyalahi peri
(Ajaj Al-Khatib, l 989:261). wayatan orang yang lebib tsiqot.
Di sampiug dalil-dalil di atas be Mukhalafat ini dapat menimbulkan
berapa keterangan mauyatakan bahwa haditsnya syadz atau munkar. Yang di
seiring dengan munculnya periwayatan maksud dengan ghalath ialah banyak
yang salah satu segi pentingnya dalam kekeliruan dalam meriwayatkan. Ja
menentukan kbabar yang sahih adalah halat al hal ialal1 tidak dikenal identi
keadilan sisi periwayatan, maka al-jarh tasnya, mak1,ud perawi yang belum di
wa al-takdil ini telab dipraktekkan kenal identitasnya ialah haditsnya tidak
pada masa Sahabat, tabi'in dan untuk dapat diterima. Sedangkan da 'wa al
selanjutnya. Kepentingan dasar w1tuk inqitha' ialah diduga keras sanadnya
melakukan al-jarh dan al-ta'dil ini ada terputus, misalnya menda'wa perawi
lah semata-mata berhidmat pada meutadliskan atau mengirsalkan suatu
Syari'ah fslamiyah, memelihara sum hadits.
ber syari'ah yang didasari kejujuran Mengingat perjalanan (pekerjaan)
dan niat yang ihlas. melakukan jarh dan ta 'di! ini merupa
kan pekerjaan yang rawan, karena
menyangkut nama baik dan kehor
IV. Sebab-sebab yang menj adi
matan para perewi yang akan menen
perawi dikenakan j arh dan
tukan diterima atau tidaknya suatu
ta'dil serta syarat orang men
hadits, maka ulama menetapkan krite
tajrih dan men-ta'dil
ria tertentu bagi seorang yang melaku
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani lran jarh clan ta 'dil yakni haruslal1
seperti yang dikutip oleh Hasbi Ash orang tersebut 'alim, bertakwa, wara',
Shiddieqi (1%8: 124) bahwa sebab-se jujur, belum pemah dijarh, tidak fana
bab yang menjadikan aibnya seorang tik terhadap sebagian perawi, menge
perawi itu banyak, tetapi semuanya tahui jarh dan ta'diJ. Apabila
berkisar di sekitar lima macam saja persyaratan-persyaratan ini tidak terpe
yakni bid'ah, mukhalafah, ghalath, ja nuhi maka periwayatan tidak dapat di
halah al ha!, da'wa al-inqitha". terima.
Bid'ah yaitu melakukan tindakan
tercela di luar ketentuan syara'. Orang
yang disifati dengan bid'ah ada
kalanya tergolong orang yang di
kafirkan dan adakalanya tergolong V. Cara melakukan .Jarh dan
orang yang difasikkan. Mereka yang Ta'dil
dianggap kafir adalah golongan rafidah Disadari sepenulmya oleh para
dan mereka yang dianggap fasiq ialah ulama bahwa jalan utama wlluk me
golongan yang mempunyai i'tikad ber ngetahui hulnuu Syari'ah adalal1 mela-
lawanan dengan dasar syari'at.
26
Jui penukilan dan periwayatau. Oleh dan terperinci dalam mentajrih.
karena itu dicetapkaulah beberapa ke Lazinmya para ulama tidak me
tentuan clalam jarb dan ta'dil para nyebutkan sebab-sebab dalam
perawi yang pada pokoknya: menta'dil, misalnya tidak pemah
I. Bersikap jujur dan proporsional, disebutkan bahwa si fulan tsiqah
yaitu mengemukakan keadaan atau 'adil karena shalat, puasa,
perawi secara apa adanya. Mu dan tidak menyakiti orang. Cukup
hammad Sirin seperti yang dikutip mereka mengatakan "si fulan
Ajaj Al-Khatib (1989:266) me tsiqah atau 'adil". Alasannya tidak
ngatakan: disebutkan karena terlalu banyak.
Lain halnya dengan al jarh,
_;-S'.i; fJ �"L.... �..fl,�, !\L,:-1 ..:...Jl;, umwm1ya sebab-sebab al-jarlmya
A.:...,�
disebutkan misalnya "Si fulan itu
tidak bisa diterima haditsnya ka
"Anda mencP.iakai saudaramu apabi rena dia sering teledor, ceroboh,
la kamu menve!iutkan kejelekannya lebih banyak ragu atau tidak dho
tanpa menyebut kebaikan·kebaikan
nya �
bith, atau pendusta atau fasiq dan
lain sebagainya.
2. Cennat dan korek Jalam melaku
kan penelitian. Ulama mi-salnya
secara cermar dapat membedakan Untuk menget.ahui 'adalahnya se
antara dhaifnya suatu hadits kare orang perawi menurut 'Ajaj AI- Khatib
na lemalmya agama parawi dan ada dua jalan:
dhaifnya suw1 hadits karena I. Mt:laJui popularitas keadilan
perawinya tidak kuat hafalaimya. perawi di kalangan para ulama.
3. Tetap menjaga bat.as-batas Jadi bila seorang perawi sudah di
kesopanai1. Dalam melakukan jarh kenal sebagai orang yang adil se
dan t.a'clil, Ulam.a senantiasa da perti Malik Ibnu A11as, Sufyan
lam etik i!miah dan santun yang al-Tsauri, maka tidak perlu lagi
tinggi dalam mcngw1gkapkan ha diadakan penelitia.n lebih jauh
siI jarh dan ta 'dilnya. Bahkan un lagi.
tuk mengungkapkan kelemahan 2. Melalui tazkiyah, yaitu adanya se
para perawi, seorang ulama cukup orang yang adil menyatakai1
mengatakan: keadilan seorangperawi yai1g se
mula belum dikenal keadilannya
(Ajaj al-khatib. 1989: 267).
'Tidak adanya keteguhan dalam ber Adapw1 untuk mengetahui keca-
bicara • (Ajaj al-Khathib, 1989; 267). catai1 juga dapat ditempuh seperti pada
4. Bersifat glohal dalam 1m:nta'dil cara mengetahui keadilan seorang
perawi yang disebutkan di atas.
27
iiiii i i :i li ji i i i i ili i iji i i l i: Ji ili i i i i i ;lji lj i i i i li ijli i i i i:lji:Ji i i ! i i ij ij ili iji i i ilJ:j l\i ii�i l iiiii�iiii
111 1 1 111 1 1
::
1 1 11 1 1 1 1 1 1 1 1 11 1 1 1 111 111
28
!=9.�.:,�:51:�.���
;:;;:;;.····--::·:····:·:,:······,:· :···:······:·:,··:···::·:·,··:·:•• :,: ·.::�:::::::.::::::::�::!:!:::,:.!::::::::::::•.:::;:::::::::::::i.i::• ••:.:::::.:,:::::::.:::·:..,..
29
hadits, sebagai berikut: ukuran yang bukan substansi jarh,
a. Jarh didahulukan dari ta'dil mes sedangkan menta'dil di.a tidak
kipw1 ulama yang menta'dilnya akan menta'dil, kecuali setelall
lebih banyak dari ulama yang meneliti secara cermat parsyaratan
mentajrih. Menurut Al-Syaukani diterimanya ke'adalahan seorang
(t.t.: 68) peudapat ini adalah pen perawi.
dapat jumhur, alasannya orang Menurut Ajaj al-Khatib ( l 989:
yang mentajrih mernpw1yai kele 68) pendapat pertamalah yang
bihan mengetahui (kecermatan) dipegangi oleh ulama hadits, baik mu
melihat kekurangan perawi yang taqaddimin maupw1 muta'akhirin.
hal ini umunmya tidak dilihat se Demikianlah sekilas tentang AI
cara jeli oleh orang yang Jarh dan Al-Ta'dil yang merupakan
menta'dil (Ajaj Al-Khatib, ilmu tentang h_al ihwal para perawi
1989:267). dari segi diterima atau ditolaknya suatu
b. Ta'dil didahulukan dari jarh apa periwayatan. Dan ilmu ini sangat ur
bila orang yang menta'dil lebih gen bagi terlaksananya pembendw1gan
banyak dari ulan1a yang mentaj terhadap mereka yang membuat haclits
rih, karena banyaknya yang hadits palsu.
menta'dil memperkuat keadaan
mereka. Pendapat ini kemudian DAFTAR BACAAN
ditolak dengan alasan bahwa mes Al-Qur'an dan Terjemahnya
kipw1 ulama yang menta'dil itu 1992 Depteman Agama RI
banyak, namw1 mereka tidak AI-Abb Louis Ma';uf
mw1gkin akan mau menta'dil se 1935 Kamus AJ-Manjid, AI-Mathba'ah
suatu yang telah ditajrih oleh AI-Bijatsu kuliyah, Beirut, cet. VII.
ulama lain. Muhanunad Ajaj Al-Khatib
c. Apabila jarh dan ta'dil saling ber 1989 Ushul a/-Hadits Ulumuhu 1M1rnus
tentangan maka tidak dapat ditar tha/ahuhu, Dar el Fikr, Beirut.
jihkan salah satunya, kecuali ada Muhanunad lbn Ali, lbnu Muhammad al
Syaukani
sesuatu yang menguatkannya, de
t.t. lrsyad a/-Fuhul Ila Tahv-iq Min /Im
ngan demikian terpaksa kita al Ushul, Daar el Fikri.
tawaqquf dari mengamalkan salah Hasbi, Ash-Shiddieqi
satw1ya sampai diketemukan ha.I 1968 Pengantar I/mu Hadits, Bulan Bin
yang menguatkan salah satw1ya tang, Jakarta.
(al-Syauka.ni, t.t.: 68). Rahman. Fathur. Drs.
d. Ta'dil harus didahulukan dari 1968 lkhtisar I/mu Musthalah Hadits.
jarh, karena pentajrih dalam men PT. AI-Ma'arif, Bandung.
30